• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kesadaran Kolektif Komunitas

E. Keterlibatan Komunitas dalam Menghukum

Pentingnya penegakan aturan dan hukum secara baik disadari sepenuhnya oleh warga Balun sebagai pilar utama terselenggaranya mekanisme kehidupan sebuah sistem sosial. Itulah sebabnya penyimpangan dan pembelotan yang dilakukan salah satu anggota dari komponen pembentuk sistem sosial baik secara langsung ataupun tidak akan mengganggu kinerja gerak sistem yang sudah padu (integrated) tersebut. Oleh karena itu, tidak banyak pilihan yang ditawarkan agar sistem yang sudah lama berjalan itu terhindar dari pengeroposan-pengeroposan lebih jauh. Pilihannya pun terpaku kepada dua hal keluar dari sistem atau kembali sebagai komponen penopang sistem seperti sedia kala. Bahkan menurut Sp (57 th) yang juga seorang pamong, desa akan jauh lebih beruntung ditinggalkan salah seorang pembuat onar daripada seluruh kampung merasa tercemar oleh perbuatan satu orang. Lebih jauh ia menjelaskan:

“Wonten paribasan anak polah bopo kepradah. Tegese, menawi mboten

lepat mbok bilih mekaten, wonten reribet alit nggih sami ditangani keluargi piyambak nek saged, nanging nek keluargi piyambak kuwangkalan mbobilih langkung saeipun nyuwun tulung tetanggi, menawi tetanggi mboten sagah nggih kedah desa. Amargi nopo, saged kemawon jalaran tumindake setunggal wargi ingkang laku bedang, sedoyo wargi kampung katut-katut. Ing mriki nggih nate kedadosan mekaten, nanging sakniki sampun tobat”

(Ada peribahasa, anak berulah, orang tua yang tak tahu apa-apa terbawa-bawa. Jika memang keluarga tidak sanggup menangani barangkali desapun perlu ambil alih. Kenapa? Karena, akibat ulah seorang warga yang menyimpang, bisa berdampak kepada rusaknya citra desa secara keseluruhan. Di sini pernah terjadi. Tetapi sekarang sudah bertobat).

Oleh sebab itu, pemberian hukuman menurut tata aturan yang telah disepakati bersama oleh seluruh warga adalah penting. Tidak saja itu akan membuat warga yang bakal melakukan deviasi sosial

berpikir berlipat kali tetapi juga akan menumbuhkan kesadaran kolektif dalam diri warga agar bukan karena takut sanksi jika mereka bertindak menyimpang melainkan lebih karena rasa hormat dan taat kepada kesepakatan bersama. Warga pun sepakat tidak ada diskriminasi perlakuan, jika memang salah tindakan kuratif yang perlu ditempuh adalah pemberian hukuman. Namun, begitu, masih pula disadari dalam sebuah komunitas sosial yang tradisionalistik dan masih menjunjung tinggi rasa toleransi kepada sesama anggota warga, hukum yang berlakupun bukan yuridis-formal an-sich, tetapi ada pula kompromi-kompromi yang bisa ditempuh terlebih dulu. Pihak yang terakhir ini, pastilah memberikan pendapatnya tidak setuju jika pelaku pelanggaran itu langsung dihukum. Upaya rehabilitasi jauh lebih penting daripada sekadar pemberlakuan punishment. Sebagaimana diungkapkan Gr. (50 th):

“Saya sendiri kurang sependapat jika seseorang yang berlaku menyimpang/selingkuh langsung diberi hukuman. Patut dilihat apa latar belakangnya, apa motivasinya. Itu penting. Jika sudah tabiatnya, nggih monggo sak kerso. Tetapi jika ada faktor lain, misalnya disebabkan salah satu pasangannya kurang greget atau apa ... “. Pendapat dari seorang moralis tingkat desa yang kebetulan juga banyak mendalami agama itu, mungkin saja akan tidak diterima mayoritas warga yang lain. Tetapi paling tidak ia juga bisa menjadi representasi kelompok yang memang perlu menimbang dalam-dalam untuk sebuah kesepakan lama yang berlaku dalam masyarakat pada konteks kekinian.

Dalam dimensi ini diperoleh gambaran bahwa tidak seorang informanpun yang menyatakan diri tidak membutuhkan pertolongan orang lain. Keseluruhan responden baik Islam, Kristen, dan Hindu secara simultan mau bekerja-sama dan bahu membahu dalam menyelesaikan tugas ‘kesrakatan’ (hajatan atau musibah) yang dihadapi oleh para tetangganya. Bahkan mereka yang hanya mendengar saja, bila ada orang kesusahan tanpa diberitahupun dengan kesadaran sendiri mau juga memberi pertolongan. Lebih jauh dijelaskan oleh H. Ag. (52 th.):

“Hallaa Pak, ten mriki niki masio mboten enten titir, woro-woro menawi

sampun kepireng mbokbilih tetangginipun wonten ingkang kesrakatan utawi reribed punopu mekaten, mboten tiyang sepah mawon nem-nemanipun ugi sakiyeg-saikoproyo sami paring pitulungan supados

kaweratanipun tetanggi punika enggalo rampung” (Di sini ini yaa,

meskipun tidak ada undangan atau kabar, jika sudah mendengar kalau tetangganya kena musibah ataupun hajatan mereka tua-muda dengan sukarela bersama-sama memberi pertolongan agar kesusahan tersebut cepat selesai).

Kebiasaan semacam itu tidak baru saja muncul tahun-tahun terakhir (setelah pecah menjadi tiga agama besar) tersebut, melainkan sudah sejak dulu saat masih satu agama namun dengan berbagai aliran kepercayaan yang telah ada saat itu. Diferensiasi kereligiusitasan tidak merupakan halangan bagi mereka untuk turut memberikan pertolongan kepada yang tertimpa kesrakatan. Daya dorong yang menstimulasi perilaku empati tersebut lebih dikarenakan dimensi solider kemanusiaan serta persamaan meraka yang se-cuk bakal dulunya. Bahwa dikemudian hari ternyata mereka menganut garis ideologi politik ataupun agama bukanlah persoalan yang terus-menerus harus saling dikonfrontir.

Meskipun masyarakat Balun ini secara umum hidup di kawasan pedesaan tetapi pemahaman mereka tetntang kesehatan bercorak modern. Hal ini terbukti bahwa jika ada anggota keluarga atau sang responden sendiri yang mengalami sakit mereka lebih mempercayakan diri kepada petugas kesehatan (mantri/bidan, dokter ataupun di Puskesmas) dibandingkan harus dirawat ke dukun atau doa penyembuhan suptranatural lewat kyai/pendeta.

Perubahan pemahaman semacam itu memang baru saja terjadi, tidak seperti di akhir tahun 60-an lalu menyusul gencarnya kampanye kesehatan oleh tenaga medis dari Kecamatan maupun Kabupaten. Dilukiskan oleh S (57 th):

“Wah rumiyen niku, sakestu menawi mboten sumerep piyambak ngoten

nggih mboten ngandel. Mboten tiyang Balun mawon, tiyang pundi-pundi niku sami mriki adus ten balonge petinggi Bati niku. Mbok, sakit nopo mawon tah, saged saras. Sakestu niku. Kulo mboten gethok. Lha nopo gethok niku. Petinggi Bati niku nggih kados-kados tabib ngoten. Tahun-tahun sakderengipun nggih dukun-dukun niku sing ngobati menawi enten sakit”. (Kalau tidak melihat sendiri begitu barangkali tidak percaya.

Semua tidak saja warga Balun, orang di luar Balun saja jika mau sembuh sakitnya datang mandi ke kolam Kades Bati dan ajaibnya semua sembuh. Sungguh. Begitupun di tahun-tahun sebelumnya semua penduduk percaya kepada dukun jika sakit).

Dengan fakta yang demikian ini bisa pula dijadikan alat bukti bahwa sebenarnya mereka yang tinggal di desa tersebut tidak identik dengan cara-cara pengobatan yang semi modern atau primitif. Dengan adanya akses informasi yang cukup terbuka seperti tahun-tahun 70-an ke atas, perubahan pemahaman masyarakatpun secara perlahan mulai bergeser ke arah yang lebih baik.