• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEM SOLIDARITAS DALAM MASYARAKAT PLURAL

D. Masyarakat Majemuk

Karakter kemajemukan Indonesia menurut Sumartana37 ditandai oleh bertumpang tindihnya, satu parameter pembeda dengan parameter pembeda lainnya, agama yang bertumpang tindih dengan etnik misalnya dan terbatasnya arena crosscutting affiliation di antara aneka kelompok yang berbeda di atas, merupakan kondisi alamiah yang masuk akal untuk melakukan ketegangan. Sekurangnya menurut Nasikun,38

realitas masyarakat semacami itu memunculkan dua ciri khasnya yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah. Atau jika menggunakan istilah James J. Coleman dan Carl G. Rosberg,39 vertikal itu menyangkut hubungan elite-massa sedang horizontal berkait dengan teritorial.

Dimensi horizontal yang menekankan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan-perbedaan agama, adat dan kedaerahan inilah yang sering kali disebut sebagai ciri masyarakat majemuk.40 Istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh J.S. Furnivall ketika menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Menurut Furnivall yang dimaksud masyarakat majemuk (plural societies) adalah a society, that

is, comprising, two or more elements or social order which side by side, yet without

37Th. Sumartana , Pengalaman, Kesaksian ... hlm. 28.

38Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1987) hlm. 30-31. 39Nazaruddin Sjasuddin, Integrasi Politik (Jakarta: Gramedia, 1989) hlm. 2-3. 40John S. Furnifall, Nederlands India: A Studi of Plural Economy (Cambridge University Press, 1939), hlm. 446 dikutip dalam Th. Sumartana, Pengalaman, Kesaksian, ... hlm. 29. Pembahasan secara empiris dan detail tentang masyarakat majemuk ini secara khusus dapat dilihat dalam kumpulan hasil penelitian yang berjudul: Interaksi Antarsuku Bangsa dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: Depdikbud - Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1989).

mingling in one political unit (suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau

lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain dalam suatu kesatuan politik). Penjelasan seperti ini bisa dimengerti oleh karena pada masa kolonialisme Belanda di Hindia Belanda masa itu, masyarakatnya terdiri atas tiga golongan Eropa, Asia Timur (Tionghoa dan keturunan lainnya) serta pribumi, yang memang sulit berbaur. Fakta tersebut menurut Suryo41 disebabkan karena Belanda menerapkan pola hubungan yang harus didasarkan pada; 1) garis warna/rasial, 2) subordinasi politik, 3) jaminan sosial terbatas dan 4) hubungan sosial yang terbatas. Tidak cukup hanya empat faktor tersebut, penjarakan agar pribumi tidak bisa berbaur dengan golongan Eropa dan Asia Timur didasarkan pula atas perbedaan agama, terutama Kristen. Maka bagi mereka orang-orang Asia atau Erasian yang menganut agama Kristen akan mendapat persamaan kedudukan seperti orang Eropa. Pengalaman historis semacam inilah kemudian yang terus membekas, sehingga persoalan kemajemukan masyarakat Indonesia itu tak pernah kunjung selesai, apalagi jika kemudian mempersoalkan perbedaan agama yang dikaitkan dengan kepemilikan sarana produksi, yang muncul bukan lagi pertimbangan rasionalitas melainkan emosionalitas.

Gambaran di atas, memang tidak bisa menjelaskan kenyataan masyarakat Indonesia pada akhir abad dua puluh ini. Perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan, bahkan transformasi sosial, ekonomi dan politik yang menandai Indonesia sebagai akibat dari berbagai upaya pembangunan dalam lebih dari lima puluh terakhir, sudah pasti mengubah secara drastis karakter kemajemukan Indonesia. Perkembangan-perkembangan luar biasa dalam bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan, telah berakibat terjadinya penyatuan berbagai elemen masyarakat yang terpisah. Akan tetapi, secara parsial, karakter kemajemukan Indonesia masa lalu tampaknya masih bertahan, sekalipun tidak seekstrem yang digambarkan Furnivall.42

Dalam konteks demikian Furnivall mengabaikan dimensi ruang dan waktu. Sesuatu yang harus diperhatikan mengingat dinamisnya perkembangan suatu masyarakat. Namun begitu konsepsi tersebut

41Joko Suryo, “Kota dan Pembauran Sosio-Kultural dalam Sejarah Indonesia” dalam Interaksi .... hlm. 42, 45.

kemudian disempurnakan oleh Cyril S. Belshaw43 yang muncul di awal tahun 1960 dengan penjelasan bahwa masyarakat majemuk itu adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Nasikun44 sendiri mengistilahkan bahwa masyarakat disebut majemuk sejauh memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Sedangkan Clifford Geertz45 menyatakan masyarakat bisa disebut majemuk jika masyarakat tersebut terbagi-bagi ke dalam subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, di mana sub-subsistem tersebut terikat oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Adapun karakteristik masyarakat majemuk menurut van den Berghe46 mencakup enam hal, yakni: 1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama yang lain; 2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer; 3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar; 4) secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; 5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; 6)adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Dengan enam karakteristik tentang masyarakat majemuk ini, van den Berghe secara kritis melihat bahwa sebenarnya masyarakat majemuk tidak dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam dua kategori versi Durkheim. Menurut van den Berghe baik solidaritas mekanik yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organik yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersifat majemuk. Hal demikian juga berarti bahwa

43Nasikun, Sistem ...., hlm. 35. 44Ibid.

45Ibid. 46Ibid.

jawaban para penganut fungsionalisme struktural terhadap pertanyaan, ‘faktor apa yang mengintegrasikan suatu masyarakat’, masih harus dipertimbangkan validitasnya untuk menganalisis suatu masyarakat yang bersifat majemuk.

Tetapi van den Berghe mengabaikan kenyataan bahwa suatu sistem sosial apa pun variannya tetap bisa terintegrasi jika di dalamnya ada dua dimensi, yakni pertama dimensi konsensus di antara anggota masyarakat terhadap nilai-nilai yang bersifat fundamental. Dan kedua, dimensi cross

cutting affiliations yang berarti berbagai anggota masyarakat sekaligus

menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial. Dengan demikian, setiap konflik yang terjadi di antara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan sosial yang lain segera akan dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai-bagai kesatuan sosial.

Dengan demikian, kritik Berghe yang berbau apologis pendekatan konflik-strukturalisme tersebut tidak sepenuhnya benar karena ada dimensi-dimensi lain yang dinafikan. Fakta tersebut tentu semakin mempertegas bahwa manusia dengan segala peradabannya adalah kompleks yang meniscayakan multipersepsi yang menghampirinya.