• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kesadaran Kolektif Komunitas

D. Konsensus Terhadap Pola-pola Normatif

Kenyataan yang paradoksal yang ditemui dalam masyarakat Balun adalah meskipun total penduduk di sana mengaku beragama, mayoritas penduduk masih juga meyakini bahwa makam mbah Alun memiliki sumber kekuatan yang lain. Kekuatan itu muncul dalam bentuk ketaatan-ketaatan irasional berupa kewajiban-kewajiban dan pantangan-pantangan yang harus dilakukan oleh masyarakat Balun. Jika dilanggar sekalipun bagi yang tidak mempercayai sebenarnya juga tidak terjadi apa-apa, bagi yang amat meyakini adanya kekuatan tersebut mereka benar-benar merasa tidak punya nyali dan keberanian melanggar wewaler (norma) yang sudah turun-temurun tersebut.

Bahkan menurut As (66 th) dijelaskan ada empat jenis pantangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut.

1. Menyebut daun pisang kering yang sebetulnya klaras harus diubah dengan krawit sebab sebagai penghormatan kepada nama Panji Laras. Implikasinya jika dilanggar selalu saja ada gangguan atau kemungkinan nasib sial/malang yang ditemui bagi yang menyebut sembarangan.

2. Memakai Jarik Corak Udan Liris. Implikasinya jika dilanggar akan

selalu didatangi ular dan keluarga sakit-sakitan.

3. Memakai Kloso Mendong (batiknya lurik-lurik). Implikasinya jika

dilanggar anggota keluarga yang meniduri akan terkena penyakit. 4. Memelihara Anjing dan Kuda. Implikasinya jika dilanggar binatang-binatang piaraan itu akan cepat mati atau pihak pemilik selalu akan diliputi perasaan bosan.

Sementara itu, kewajiban yang harus dilaksanakan warga Balun adalah sebagai berikut.

1. Warga diwajibkan ‘nyekar’ ke pesarean (makam) dua kali setahun (sebelum turun ke sawah dan setelah panen).

2. Warga yang akan menikah wajib ‘sowan’ minta restu ke sana sebelum kerumahnya Kades.

3. Warga jika menanggap wayang kulit, dalang tidak boleh membelakangi pesarean.

4. Warga wajib menjaga batu-bata disekelingi pesarean, dan tidak boleh menambah atau mengurangi apalagi membangun yang lebih baik.

5. Lampu teplok wajib dinyalakan setiap malam dan tidak boleh diganti

dengan lampu listrik.

Hingga saat ini ternyata warga tetap menaati dan menghormati pantangan ataupun kewajiban yang berlaku tersebut.

Bukti ketaatan tersebut juga tercermin lewat pengakuan responden dalam kategori tidak penting (percaya) dijumpai hanya 2 orang (Kristen), 1 orang (Islam) sedangkan tidak seorangpun dari warga Hindu yang menyatakan tidak penting (percaya). Khusus untuk umat Hindu ini memang berkaitan dengan isi ajaran agamanya untuk menghormati apa yang diistilahkan dengan Desa Kala Patra serta menjunjung tinggi warisan peninggalan leluhur sebagai wujud bakti mereka juga kepada Tuhannya.

Demikian pula bagi warga yang masih menganggap penting makam tersebut, bukan semata-mata sebagai wujud ‘leluri’ peninggalan historis, tetapi lebih merupakan kekukuhan keyakinan warga bahwa kehadiran makam tersebut memang membawa rahmat dan berkah ke seluruh warga. Sebagaimana dijelaskan oleh Ms (55 th) seorang juru kunci makam:

“Mboten Islam, mboten Kristen, mboten Hindu, sedanten wargi mriki

taksih pitados menawi pesarean mbah Sinare puniko kagungan kekiyatan lintu. Mboten wonten sing kuwantun nerak wewaler ingkang sampun turun temurun wiwit siyen kulo alit. Nggih wonten ugi ingkang nyobi-nyobi, nanging pungkasanipun nggih nyuwun sepunten ten mriki malih, amargi yogane sing bibar kawinan girap-girap terus awit sakderengipun mboten sowan mriki rumiyen”. (Tidak Islam, Kristen atau Hindu

semua masih mempercayai jika makam ini punya kekuatan lebih, dan tidak ada seorangpun yang berani melanggar sejak saya kecil

dulu. Memang pernah juga ada yang mencoba tidak pergi ke sini sebelum menikah, apa hasilnya anak penganten tersebut

‘girap-girap’/ngomong sembarangan).

Hal yang sama juga ditemukan pada tingkat kepercayaan mereka terhadap upacara ritual ‘Jumat Kliwonan’. Sebagian besar responden (97 %) menyatakan jika acara yang berlangsung setiap 36 hari itu harus dilaksanakan, minimal sekali dalam setahun warga wajib membawa ‘korban’ ke pesarean. Dan hanya tiga orang (2 Kristen, 1 Islam dan 0 Hindu) yang menyatakan bahwa kegiatan ritual itu tidak penting. Di antara 10 kali ‘Jumat Kliwonan’ dalam setahun tersebut memang tidak semuanya ramai, tetapi yang paling meriah adalah bulan Oktober (sebelum masa tanam ikan/padi) dan bulan Maret-April (setelah panen dilakukan).

Beraneka ‘kajat-kabul’ yang mereka bawa ke sana antara lain: 1. agar panennya berhasil;

2. agar ketemu jodoh; 3. agar sakitnya sembuh;

4. agar dagangannya/usahanya laris dan maju; 5. agar keluarganya rukun;

6. agar suami/istri yang ‘purikan’ (bertengkar) cepat kembali; 7. agar dapat ‘buntutan/nalo’ (sewaktu masih ada SDSB dulu, begitupun

sekarang masih ada juga yang ingin menang dalam judinya); 8. agar tidak menemui nasib sial, dan lain-lain.

Betapapun begitu untuk tidak semakin mengaburkan keyakinan mereka kepada agamanya masing masing, secara keras diperingatkan di makam tersebut oleh pihak juru kunci untuk tetap meminta segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sebab bagaimanapun makam tidak akan memberi apa-apa.

Adapun peserta kegiatan ritualistik tersebut selain dari Balun dan Ngangkrik juga datang dari desa-desa lain yang terbagi dalam dua ‘kloter’.82 Kloter pertama mereka berasal dari daerah selatan Balun,

82‘Kloter’ ini adalah istilah kelompok terbang untuk musim haji, tetapi secara mudah diadopsi oleh para peserta upacara ritualistik “Jumat Kliwonan” tersebut. Mengapa digunakan istilah tersebut, alasannya untuk mempermudah pengistilahan

yakni Lamongan, Tikung, Sukobendu, Benjeng, Balongpanggang, Cerme, Gresik bahkan Surabaya. Mereka datang umumnya pada bulan Oktober (sebelum musim tanam ikan/padi). Kloter kedua berasal dari sebelah barat, timur dan utara Desa Balun yang meliputi, Kalitengah, Turi Deket, Glagah, Nginjen, Laren, Sedayu dan di sekitar DAS Bengawan Solo. Mereka datang setelah masa panen, sebagai wujud ungkapan syukur mereka atas panen yang mereka lakukan. Namun, begitu pembagian tersebut bukanlah harga mati, bisa jadi terjadi lintas waktu konvensi. Untuk itu tidak ada sanksi apa-apa.

Sementara itu, khusus untuk warga Balun, umumnya mereka tidak turut merayakan di kedua ‘Jumat Kliwon’ akbar tersebut. Pilihan waktu mereka agak fleksibel, sebab bisa dalam Jumat Kliwon kapan saja, asal turut memberi sesaji/nyekar sekali dalam setahun. Pertimbangan lain menurut DS (51 th) mantan Juru Kunci, lebih didasarkan pemikiran memberi kesempatan kepada mereka yang rumahnya jauh-jauh serta memberi rasa nyaman kepada tamu yang sampai-sampai berjumlah 3.500-4.000 orang. Sesaji/korban persembahan yang mereka bawa terbagi atas dua yakni berupa:

Persembahan wajib:

- sebungkus bunga (bisa dibawa dari rumah atau membeli di dalam pesarean);

- uang (selain untuk beli karcis Rp300,- juga secara wajib-sukarela artinya wajib melempar ke seputar ‘punden’ tetapi dengan jumlah yang tidak ditentukan).

Persembahan kajat-kabul:

- Bila usahanya/panen atau cita-citanya terpenuhi, mereka secara sukarela membayar nazar berupa seperangkat alat dapur, tumpeng dan sejumlah uang tertentu/tidak mengikat.

- Keluar dari ‘punden’ setelah mengikuti doa yang dipimpin sang Juru Kunci, umumnya mereka melempar uang recehan kepada anak-anak yang berada di luar pagar pesarean.

Terlepas dari dimensi ekonomi yang mengiringi kegiatan ritualistik tersebut khususnya bagi pendapatan kas desa, bagi warga Balun sendiri

saja sebab yang datang ke sini memang banyak juga yang sudah pergi haji tetapi tetap juga rajin ‘nyekar’ ke pesarean ini.

kendatipun sudah diajari untuk tidak terlampau mempercayai bahwa makam Mbah Alun/Sinere itu punya kekuatan lain akan mental dengan sendirinya. Justru yang berkembang kemudian adalah pemahaman jika orang luar saja mempercayai bahwa makam itu menyimpan kekuatan magis, kenapa selaku warga Balun sendiri tidak mempercayai.