• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia

EPD (Export Product Dynamic) merupakan suatu indikator yang mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Metode EPD digunakan untuk menentukan keunggulan kompetitif komoditi tertentu dari suatu negara. Jika pertumbuhan komoditi itu berada di atas rata-rata dan keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu yang panjang, komoditi ini mungkin akhirnya menjadi sumber penting pendapatan ekspor suatu negara.

Pada penelitian ini, metode EPD digunakan untuk menentukan keunggulan Kompetitif lada Indonesia di lima negara tujuan ekspor utama yaitu Vietnam, India, Amerika Serikat, Jerman dan Singapura selama periode tahun 2010-2019 yang kemudian akan di kelompokkan menjadi 4 indikator yaitu Rising star, Falling star, Lost opportunity, dan Retreat. Berikut pada Gambar 10 ditampilkan hasil analisis EPD lada Indonesia di lima negara tujuan ekspor utama lada Indonesia selama periode tahun 2010-2019.

95 Gambar 10. EPD Lada Indonesia

Sumber: Trademap, 2020 (diolah), Lampiran 3.

Mengacu pada Gambar 10 dimana ditampilkan hasil perhitungan EPD yang dapat dilihat bahwa posisi pasar lada Indonesia di negara tujuan ekspor utama berada di posisi Retreat pada kuadran IV dan Falling Star kuadran III. Komoditas lada Indonesia di lima negara tujuan ekspor utama memilki keunggulan komparatif yang baik, tetapi tidak memilki keunggulan kompetitif. Dapat dilihat pada sumbu X di Vietnam dan India menunjukkan nilai yang hampir mendekati nol dan sumbu Y memilki nilai di bawah nol atau bernilai negatif yang artinya kedua negara tersebut berada pada posisi Falling Star, sedangkan di Amerika Serikat, Jerman dan Singapura pada sumbu X dan Y memiliki nilai dibawah nol atau negatif yang artinya ketiga negara tersebut berada pada posisi Retreat. Nilai sumbu X dan sumbu Y yang ditunjukkan pada Gambar 10 merupakan nilai perolehan rata-rata sumbu X dan sumbu Y pada periode 2010-2019.

Posisi pasar lada Indonesia di Vietnam dan India berada pada posisi Falling Star yang berarti pasar lada Indonesia masih memiliki sedikit keunggulan meskipun terjadi penyusutan atau peluasan pasar yang sangat lambat. Rata-rata pertumbuhan

Vietnam

96 pangsa pasar ekspor produk dinamis di kedua negara tersebut memiliki nilai positif, sedangkan untuk pangsa pasar komoditas lada memilki nilai negatif. Kualitas lada yang diminta oleh Vietnam dan India harus memenuhi International Standar Organization (ISO) dan standar mutu yang telah ditetapkan oleh International Pepper Community (IPC). Kualitas lada Indonesia ditentukan dalam SNI Lada Putih 0004-2013 dan SNI Lada Hitam 0005-2013 (Purwanto, 2011:2).

Standar Mutu Lada Indonesia mencerminkan kualitas lada yang dihasilkan oleh petani lada di Indonesia. Adanya perbedaan standar mutu yang diterapkan oleh negara pengekspor dan pengimpor lada dapat menyebabkan hambatan teknis dalam perdagangan yang berupa penolakan dari negara pengimpor karena tidak sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan. Ekspor lada dapat diterima oleh negara pengimpor namun lada dengan kualitas rendah akan melalui pembebanan pajak ekspor sebesar 10%. Sehingga untuk meningkatkan nilai ekspor lada maka standar mutu harus diharmonisasikan dengan spesifikasi yang diminta oleh negara konsumen. Setiap lada yang diekspor harus memenuhi standar dari negara pengekspor. Namun demikian eksportir juga harus mempertimbangkan persyaratan mutu yang berlaku di negara pengimpor. Mengingat standar menjadi salah satu hambatan dalam perdagangan, maka dengan harapan untuk memperlancar kegiatan ekspor, standar nasional harus diharmonisasikan dengan standar internasional atau dengan peraturan teknis negara tujuan ekspor agar tidak terjadi penolakan.

Diketahui bahwa pada SNI Lada Putih 0004-2013 dan SNI Lada Hitam 0005-2013 tidak dicantumkan persyaratan kadar abu total (total ash) dan abu larut asam (ash insoluble acid) untuk memenuhi standar ISO dan IPC, lalu pada persyaratan

97 kadar minimal piperin dan minyak atsiri pad a SNI Lada Putih 0004-2013 dan SNI Lada Hitam 0005-2013 hanya mencantumkan sesuai hasil analisa sedangkan ISO telah menentukan berapa persen kadar minimal piperin dan minyak atsiri untuk komoditas lada yang akan di ekspor.

Selain hal tersebut kualitas lada Indonesia juga kalah bersaing dengan kualitas lada Vietnam di India, Ariesha (2017:75) menyatakan bahwa petani dan para pembisnis lada Vietnam dibantu oleh pemerintah mereka untuk menjaga produksi dan ekspor ladanya dengan kebijakan pemerintah. Vietnam juga memperbaiki kualitas lada mereka dengan cara melakukan kerja sama dengan The American Spice Trade Association (ASTA) dan European Spice Association (ESA) guna memberi pengetahuan kepada petani lada untuk mengatasi masalah teknis yang dapat merusak kualitas lada.

Sedangkan di Vietnam kualitas lada Indonesia kalah bersaing dengan lada Brazil yang juga mengekspor lada ke Vietnam, diketahui bahwa kualitas lada Brazil semakin membaik, karena pada proses produksinya Brazil telah menggunakan alat pengering buatan komersil untuk menghasilkan lada dengan standar mikrobiologi yang diinginkan pasar, sedangkan ditinjau dari tingkat kebersihan cara pengolahan lada hitam dan lada putih di Indonesia masih kurang higenis sehingga resiko produk terkontaminasi mikroorganisme selama pengolahan sangat besar (Nurdjannah, 2006:14).

Sementara itu posisi pasar lada Indonesia di Amerika Serikat, Jerman dan Singapura berada pada posisi retreat, dimana retreat merupakan kondisi pertumbuhan pangsa pasar ekspor produk dinamis dan pangsa pasar komoditas lada

98 yang sangat menurun atau stagnan. Rata-rata pertumbuhan pangsa pasar ekspor produk dinamis di ketiga negara tersebut memiliki nilai negatif, dan untuk pangsa pasar komoditas lada juga memilki nilai negatif. Sama seperti Vietnam dan India, persyaratan mutu lada putih dan hitam yang telah ditentukan oleh ISO dan IPC juga harus dipenuhi di ketiga negara tersebut.

Selain persyaratan mutu ISO dan IPC, lada yang diekspor ke Amerika Serikat harus memenuhi spesifikasi dari ASTA (American Spice Trade Association), USFDA (United State Food and Drug Administration) dan akan selalu diperiksa kembali pada saat masuk ke Amerika Serikat. Pada standar mutu lada Indonesia yaitu SNI Lada Putih 0004-2013 dan SNI Lada Hitam 0005-2013, beberapa persyaratan Standar Nasional Lada Indonesia belum selaras dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh ASTA yaitu dimana SNI Lada Putih 0004-2013 dan SNI Lada Hitam 0005-2013 memilki syarat kerapatan (bulk density) minimum 600 g/l untuk lada putih dan 550 g/l untuk lada hitam, dengan demikian kerapatan yang ditentukan oleh SNI belum memenuhi syarat mutu kerapatan (bulk density) yang telah ditetapka oleh ASTA yaitu minimum 630 g/l untuk lada putih dan 570 untuk lada hitam (Badan Standardisasi Nasional, 2013:2-4).

Pada persyaratan kadar benda asing (extraneous matter) yang telah ditetapkan oleh ASTA yaitu maksimum 0,5% hanya SNI Lada Putih 0004-2013 yang belum memenuhi standar dengan ketentuan kadar benda asing 1%. Sedangkan lada Indonesia yang diekspor ke negara-negara Uni Eropa seperti Jerman harus memenuhi standar dan persyaratan teknis dari ESA (Europe Standar Association).

Pada standar mutu lada Indonesia yaitu SNI Lada Putih 0004-2013 memilki syarat

99 kadar air (moisture content) maksimum 13% dengan demikian kadar air lada yang ditetapkan SNI belum bisa memenuhi persyaratan kadar air (moisture content) yang telah ditentukan oleh ESA yaitu maksimum sebesar 12%.

Standar Nasional Indonesia dirumuskan dengan tujuan untuk melindungi konsumen dan membantu produsen dalam negeri meningkatkan nilai ekspor dari produknya. Untuk sektor rempah-rempah, khususnya produk lada, SNI yang terkait telah berjalan lebih dari 5 tahun. Rekomendasi dari Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk merevisi SNI Lada Putih 0004-2013 dan SNI Lada Hitam 0005-2013 jika telah berumur lebih dari 10 tahun, namun dilihat dari kondisi keunggulan komparatif lada Indonesia di lima negara tujuan utama berada pada posisi Falling Star dan Retreat maka diperlukan revisi untuk mengharmonisasikan standar mutu lada Indonesia dengan standar mutu Internasional dan yang diberlakukan oleh negara-negara pengimpor lada utama. Adopsi standar mutu dan persyaratan teknis minimal dari negara-negara pengimpor lada yang semakin ketat melakukan pengawasan terhadap jaminan mutu, keamanan pangan, kebersihan dan kesehatan adalah dalam hal spesifikasi fisik, kimia dan mikrobiologi. Untuk menghasilkan lada dengan kualitas yang memenuhi spesifikasi internasional maka diperlukan peningkatan adopsi penerapan GAP (Good Agriculture Practice) pada budidaya lada oleh petani, GHP (Good Handling Practice) pada penanganan pascapanen dan GMP (Good Manufacture Practice) pada tahap pengolahan lada.

Selain hal tersebut lada Indonesia juga kalah bersaing dari lada Vietnam di pasar Amerika Serikat, di pasar Jerman lada Indonesia kalah bersaing dari lada Vietnam dan Brazil sedangkan di Singapura lada Indonesia kalah bersaing dengan

100 lada Malaysia yang dikenal dengan nama “Serawak Black” dan “Sarawak White”.

malaysia memiliki suatu badan yang menangani atau mengkoordinasikan segala hal mengenai lada yang dinamakan Pepper Marketing Board (PMB) untuk meningkatkan mutu lada di tingkat petani dengan melakukan kerjasama dengan Departemen Pertanian untuk melakukan pelatihan pada petani untuk mengolah produk ladanya agar sesuai dengan mutu ekspor (Nurdjannah, 2006:22).

Untuk meningkatkan kulaitas lada Indonesia, pemerintah Indonesia membuat kebijakan tentang Pedoman Panangan Pascapanen Lada melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55/permentan/OT.140/9/2012. Kebijakan tersebut disusun dengan tujuan untuk mempertahanakan dan meningkatkan mutu dari biji lada, menurunkan kehilangan hasil atau susut hasil lada, memudahkan dalam pengangkutan hasil, meningkatkan efensiensi proses penanganan pascapanen lada, meningkatkan nilai tambah hasil lada dan meningkatkan d aya saing biji lada.

Terdapat program yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatnya kualtas dan produktivitas lada Indonesia yaitu dengan melakukan revitalisasi, rehabilitasi, ekstensifikasi dan intensifikasi (Arzila, 2019:7).

Revitalisasi pertanian adalah sebuah usaha, proses, dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyegarkan kembali daya hidup pertanian, memberdayakan kemampuan, membangunkan daya saing, meningkatkan kinerja serta mensejahterakan pelakunya terutama petani. Revitalisasi pertanian diarahkan untuk mewujudkan system pertanian industrial daya saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna menjamin kesahteraan masyarakat pertanian. Upaya revitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia khususnya untuk meningkatkan mutu

101 dan kualitas dari produk pertanian terbagi menjadi enam komponen, yaitu:

Revitalisasi Lahan, Revitalosasi Perbenihan, Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana, Revitalisasi Sumber Daya Manusia, Revitalisasi Pembiayaan Petani, dan Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir (Arzila, 2019:8).

Rehabilitasi tanaman lada adalah kegiatan perbaikan pertumbuhan dan produktivitas tanaman lada melalui tindakan tindakan penggantian tanaman lada yang sudah tidak produktif. Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian telah melaksanakan upaya rehabilitasi tanaman lada dan perluasan lahan seluas 800 ha. Untuk kegiatan rehabilitasi tanaman lada, sebanyak 500 ha dilakukan di satu provinsi yaitu provinsi Lampung dan tersebar dikabupaten Lampung Utara, Tanggamus, Lampung Barat dan Way Kanan masing-masing seluas 100 ha. Sedangkan untuk perluasan lahan tanaman lada dilakukan didua provinsi yaitu 200 ha di Bangka Belitung dan 100 ha di Bengkulu. Upaya rehabilitasi tanaman lada di Provinsi lampung oleh pemerintah terus dilakukan guna meningkatkan daya saing komoditas lada Indonesia di pasar internasional.

Pada tahun 2016 dilakukan rehabilitasi seluas 600 ha. Rehabilitasi tanaman lada ini masing-masing 200 ha untuk setiap kabupatennya dan tersebar di kabupaten Lampung Utara, Way kanan dan Lampung Timur. Sedangkan untuk kegiatan rehabilitasi di Provinsi Bangka Belitung dilaksanakan pada lahan seluas 2000 ha dengan rincian 100 ha pada tahun 2009, 1000 ha pada tahun 2010.500 ha pada tahun 2011, dan 400 ha pada tahun 2012. Proses rehabilitasi yang dilakukan masih belum cukup mengingat bahwa pada tahun 2019 total luas areal lada sebesar 187 ribu ha.

selain itu program rehabilitasi yang dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu

102 sehingga harus dilakukan rehabiliasi tanaman lada kembali karena produktivitas tanaman lada yaitu saat berusia 2 sampai 10 tahun tergantung dari pemeliharaannya (Arzila, 2019:9).