• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data dan pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Herfindahl Indeks (HI), Revealed Comparative Advantage (RCA), analisis Trade Specialization Index (TSI) dan analisis Export Product Dynamic

51 (EPD). Data time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah periode 2010-2019. Pengolahan data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel. Komoditas yang dianalisis yaitu dengan kode HS 0904 untuk komoditas lada.

1. Herfindahl Indeks (HI)

Pada rumusan masalah yang pertama digunakan Analisis Herfindahl Index (HI) untuk mengetahui tingkat konsentrasi pasar suatu komoditi di pasar internasional maupun di negara tujuan. Mengacu rumus HI pada Hasibuan (1993) dalam Panorama (2016:54-55). Analisis Herfindahl Indeks (HI) digunakan dengan tujuan untuk mengetahui struktur pasar komoditi tertentu di pasar internasional serta mengukur penguasaan pangsa pasar masing masing negara yang terlibat dalam perdagangan suatu komoditi tersebut. Perhitungan pangsa pasar yang dilakukan menggunakan formula sebagai berikut :

𝑃𝐸𝑖𝑗 =𝑁𝐸𝑖𝑗

𝑁𝐸𝑑∙ ∙ ∙ ∙ ∙∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ (5) Keterangan :

PEij = Pangsa pasar lada negara (i) di negara tujuan ekspor (j) NEij = Nilai ekspor lada negara (i) di negara tujuan eksor (j)

NEd = Total nilai ekspor lada seluruh negara di negara tujuan ekspor (j) i = Negara eksportir

j = Negara tujuan ekspor d = Dunia

Mengacu pada Panorama (2016:55-56) hasil dari formula tersebut kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar suatu negara dalam perdagangan suatu

52 komoditas secara internasional, yaitu menggunakan formula Herfindahl Index sebagai berikut :

𝐻𝐼𝑖𝑗 = 𝑃𝐸𝑖𝑗1 2+ 𝑃𝐸𝑖𝑗2 2+ 𝑃𝐸𝑖𝑗3 2+ ⋯ 𝑃𝐸𝑖𝑗𝑛 𝑛∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙∙ ∙ ∙ ∙ (6) Keternagan :

HIli = Nilai indeks herfindahl lada Indonesia

PEij = Pangsa pasar komoditas lada negara i di negara tujuan ekspor j i = Negara Indonesia

jn = Jumlah negara eksportir lada yang terlibat dalam perdagangan lada dunia sejumlah 177 negara

Nilai Herfindahl Index ini berkisar antara 0 hingga 1 (10.000 yang merupakan kuadrat dari 100%). Jika nilai Herfindahl Index mendekati 0 menunjukkan bahwa struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jikai indeks bernilai lebih dari 1 atau (10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli serta distribusi pangsa pasar yang sangat tidak merata dalam suatu industri.

2. Revealed Comparative Advantage (RCA)

Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan dalam penelitian ini mengacu pada metode RCA Krisnamurti (2012:37-38) untuk menganalisis daya saing atau keunggulan komparatif komoditas lada Indonesia di pasar internasional. Perhitungan dengan metode RCA lada Indonesia dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut

RCA

li

=

𝑁𝐸𝑙𝑖𝑁𝑇𝑙𝑖

𝑁𝐸𝑑𝑁𝑇𝑑

∙ ∙ ∙ ∙ ∙

∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙

∙ ∙ ∙ ∙ ∙ (7)

53 Keterangan :

RCAli = Tingkat daya saing komoditas lada Indonesia

NEli = Nilai ekspor komoditas lada dari Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (Vietnam, India, Amerika Serikat, Jerman, Singapura) (USD)

NTi = Nilai total ekspor seluruh komoditas dari Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (USD)

NEld = Nilai ekspor komoditas lada dari seluruh negara ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (USD)

NTd = Nilai total ekspor seluruh komoditas dari seluruh negara ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (USD)

Jika nilai RCA lebih besar dari satu (RCA > 1), maka Indonesia mempunyai keunggulan komparatif pada komoditas lada. Nilai RCA lebih besar dari satu, mempunyai arti rasio nilai ekspor lada terhadap produk ekspor total dari Indonesia lebih besar daripada nilai rasio total ekspor lada ke dunia terhadap nilai total ekspor seluruh komoditi dunia.

3. Export product dynamics (EPD)

Export product dynamics (EPD) digunakan untuk mengidentifikasi daya saing/keunggulan kompetitif lada Indonesia, juga mengetahui apakah lada Indonesia merupakan komoditas dengan performa yang dinamis atau tidak yang mengacu pada Krisnamurti (2012:39-40). Alat bantu yang digunakan untuk menganalisis Export Product Dynamic (EPD) adalah Microsoft Excel untuk menentukan nilai Sumbu X dan Sumbu Y serta untuk memetakan matriks posisi daya saing lada Indonesia.

54 Secara sistematis, metode EPD dapat dirumuskan sebagai berikut :

Sumbu X : Sumbu pertumbuhan pangsa pasar ekspor

∑ (𝑁𝐸𝑙𝑖 Sumbu Y : Sumbu Pertumbuhan pangsa pasar komoditi

∑ (𝑁𝑇𝑙𝑖

NEli = Nilai ekspor komoditas lada dari Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (Vietnam, India, Amerika Serikat, Jerman, Singapura) (USD)

NTi = Nilai total ekspor seluruh komoditas dari Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (USD)

NEld = Nilai ekspor komoditas lada dari seluruh negara ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (USD)

NTd = Nilai total ekspor seluruh komoditas dari seluruh negara ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (USD)

t = Jumlah tahun yang dianalisis (10 tahun, periode 2010-2019) t -1 = tahun sebelumnya

4. Trade Specialization Index (TSI)

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) atau Trade Specialization Statistics (TSI) yang merujuk pada Asmara dkk. (2014:29-30) digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan lada Indonesia. TSI ini dapat menggambarkan apakah untuk komoditas lada, Indonesia cenderung menjadi negara eksportir atau importir.

55 Secara matematika TSI lada Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑇𝑆𝐼

𝑙𝑖

= 𝑁𝐸

𝑙𝑖

− 𝑁𝐼

𝑙𝑖

𝑁𝐸

𝑙𝑖

+ 𝑁𝐼

𝑙𝑖

∙ ∙ ∙ ∙ ∙

∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙∙ ∙ ∙ ∙ ∙ ∙

∙ ∙ ∙ ∙ ∙ (9)

TSIli = Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan Lada Indonesia

NEli = Nilai ekspor komoditas lada dari Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (Vietnam, India, Amerika Serikat, Jerman, Singapura) (USD)

NIli = Nilai impor lada Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor lada Indonesia (USD)

Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan ini memiliki kisaran nilai antara -1 sampai dengan +1. Jika nilainya positif diatas 0 sampai 1, maka negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai eksportir. Sebaliknya, jika nilainya negatif atau dibawah 0 hingga -1 maka cenderung Indonesia sebagai negara importir lada.

Hubungan tingkat daya saing dengan spesialisasi perdagangan adalah apabila tingkat memungkinkan Indonesia sebagai negara eksportir dan sebaliknya.

Mengacu pada Kemendag (2013:1) nilai TSI juga dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan lada dalam perdagangan yang terbagi kedalam lima tahap antara lain:

1. Tahap Pengenalan

Ketika suatu industri lada (forunner) di negara lain mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) di Indonesia impor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai TSI dari industri latercomer ini adalah -1,00 sampai -0,50.

56 2. Tahap Substitusi Impor

Nilai TSI naik antara -0,51 sampai 0,00 pada tahap ini idustri di Indonesia menunjukkan daya saing yang sangat rendah dikarenakan tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri lada tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus, desain produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri dengan kata lain, untuk lada pada tahap ini Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.

3. Tahap Pertumbuhan

Nilai TSI naik antara 0,1 sampai 0,80 dan industri lada di Indonesia melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran untuk komoditi tersebut lebih besar daripada permintaan.

4. Tahap Kematangan

Nilai TSI berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00 pada tahap ini produk lada yang bersangkutan sudah pada tahap standarisasi menyangkut teknologi yang dikandungnya. Pada tahap ini Indonesia merupakan negara eksporter.

5. Tahap Kembali Mengimpor

Nilai TSI kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00 pada tahap ini industri lada di Indonesia kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara lain dan produksinya dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.

BAB IV