• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Keunggulan Komparatif Menurut David Ricardo

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Daya Saing

2.4.1 Teori Keunggulan Komparatif Menurut David Ricardo

Ricardo mengembangkan konsep keunggulan komparatif dalam bukunya yang berjudul The Principles of Political Economy and Taxation yang diterbitkan pada tahun 1817. Ricardo dalam penjelasannya menggunakan Portugal dan Inggris sebagai contoh. Meski tenaga kerja Portugal lebih produktif baik dalam produksi anggur maupun pakaian, Ricardo menunjukkan bahwa bila Inggris melakukan spesialisasi dalam produski dan ekspor pakaian sementara Portugal anggur, kedua

28 negara mampu memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi daripada kondisi (autarki) sebelumnya. Spesialisasi produk suatu negara dalam komoditi tertentu dilandasi oleh β€œkeunggulan komparatif” yang dimiliki negara tersebut. Keunggulan komparatif tersebut berasal dari perbedaan kemampuan teknologi antar negara.

Berbeda dengan pandangan teori lain yang umumnya menyatakan bahwa perdagangan internasional tidak selalu mendatangkan keuntungan, Ricardo sebaliknya yakin bahwa semua negara akan memetik keuntungan dari perdagangan internasional. Keuntungan itu bahkan juga diperoleh oleh negara yang mempunyai kemampuan teknologi lebih rendah secara mutlak (absolut) di semua sektor ekonomi daripada negara dagangnya (Arifin dkk, 2007:18).

Konsep keunggulan komparatif Ricardo dibangun dengan sejumlah asumsi yaitu: (i) dua negara masing-masing memproduksi dua jenis komoditi dengan hanya menggunakan satu faktor produksi, tenaga kerja; (ii) kedua komoditi yang diproduksi bersifat identik (homogen) baik antar industri maupun antar negara; (iii) komoditi tersebut juga dapat dipindahkan antar negara dengan biaya transportasi nol; (iv) tenaga kerja merupakan faktor produksi yang bersifat homogen dalam suatu negara, namun bersifat heterogen (tidak identik) antar negara; (v) tenaga kerja dapat bergerak antar industri dalam suatu negara namun tidak antar negara; (vi) pasar barang dan pasar tenaga kerja dikedua negara diasumsikan dalam kondisi persaingan sempurna; (vii) perusahaan-perusahaan dikedua negara diasumsikan bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, sementara tujuan konsumen adalah memaksimalkan kepuasan (utility) (Arifin dkk, 2007:19).

29 2.4.2 Teori Keunggulan Kompetitif Menurut Michael J. Porter

Teori keunggulan kompetitif yang dikemukakan oleh Michael J. Porter yaitu menurutnya tidak ada korelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya alam yang murah) yang dimiliki suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan internasional. Banyak negara di dunia yang jumlah sumber daya alamnya sangat bear yanng proporsional dengan luas negerinya, tetapi terbelakang dalam daya saing perdagangan internasional. Begitu juga dengan tingkat upah yang relatif murah daripada negara lain, justru berkolerasi erat dengan rendahnya motivasi bekerja yang keras dan berprestasi (Dhipayana, 2018:45).

Porter memaparkan sebuah model yang menyatakan bahwa suatu lokasi pusat kegiatan (national home base) perusahaan-perusahaan sangat berpengaruh terhadap daya kompetisi perusahaan-perusahaan tersebut dipersaingan internasional. Home base ini menyediakan faktor-faktor dasar yang dapat mendorong ataupun sebaliknya menghambat daya kompetisi perusahaan-perusahaan. Porter membedakan empat faktor dasar yang dimaksud yakni (i) faktor kondisi-kondisi, (ii) faktor permintaan domestik, (iii) faktor industri-industri pendukung, (iv) faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan. Keempat faktor ini saling terkait. Karena keterkaitan empat faktor tersebut terlihat secara visual seperti bentuk diamond (Arifin dkk., 2007:53-54). Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.

30 Gambar 4. Faktor-Faktor Dasar dalam Teori Diamond Porter

Sumber: Porter (1990:78)

Faktor-fakor kondisi (i) umumnya merupakan kondisi awal dan dasar yang dimiliki oleh suatu negara. Negara tersebut dapat mengembangkan industri-industri tertentu dengan memanfaatkan kondisi dasar ini dengan optimal. Dalam kaitan ini kita mengenal kemudian istilah negara dengan biaya produksi rendah (low cost countries) atau pun negara agraris. Porter menekankan bahwa faktor kondisi-kondisi (i) ini tidak semuanya merupakan anugrah alam atau, warisan, namun sesuatu yang bisa berubah, dibangun, dan dikembangkan. Inisiatif- inisiatif politik, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial menentukan kualitas faktor kondisi-kondisi di suatu negara.

Faktor permintaan domestik (ii) adalah hal-hal yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan di suatu negara. Mereka berpengaruh terhadap kecepatan dan arah dari inovasi dan pengembangan produk. Menurut Porter, permintaan domestik sendiri dipengaruhi oleh tiga hal, yakni (a) komposisi dari keinginan dan kebutuhan konsumen, (b) jangkauan (scope) dan tingkat pertumbuhan pasar, dan (c) mekanisme yang menyalurkan keinginan dan

(iv) Stra tegi,

31 kebutuhan konsumen domestik ke pasar internasional. Sebuah negara dapat mempunyai keunggulan di pasar atau industri terentu bila permintaan dometik memberi sinyal yang dini dan jelas kepada produsen dalam negeri tentang kecenderungan permintaan konsumen domestik. Umumnya pasar domestik lebih berpengaruh dan berperan dalam pengembangan kemampuan perusahaan untuk mengenal kebutuhan konsumen daripada pasar luar negeri (Arifin dkk, 2007:55).

Faktor industri-industri pendukung (iii) adalah keberadaan atau pun sebaliknya ketiadaan industri-indusri pemasok dan pendukung yang kompetitif dalam persaingan internasional. Industri pemasok yang kompetitif secara intemasional akan memperkuat inovasi dan internasionalisasi industri utama pada fase perkembangan berikutnya. Sementara itu, industri pendukung adalah industri yang dapat memanfaatkan kegiatan bisnis tertentu secara bersama-sama dengan industri utama. Mereka juga bisa menjalin hubungan bisnis yang bersifat saling melengkapi dengan industri utama, seperti misalnya hubungan bisnis antraa perusahaan piranti lunak dan perusahaan piranti keras.

Faktor strategi, struktur, dan persaingan perusahaan (iv) merujuk pada kondisi yang berpengaruh terhadap hal-hal yang terkait dengan bagaimana perusahaan-perusahaan di suatu negara didirikan, diorganisasi, dan dijalankan, setra dengan karakteristik persaingan antar perusahaan di pasar domestik. Aspek-aspek budaya turut berpengaruh di sini. Struktur manajemen, budaya perusahaan, dan hubungan perusahaan berbeda-beda antar negara. Ini dapat memberikan keuntungan atau pun kerugian tersendiri bagi industri-industri tertentu (Arifin dkk, 2007: 55-56).

32 2.5 Herfindahl Indeks (HI)

Analisis Herfindahl Index (HI) digunakan untuk mengetahui tingkat konsentrasi pasar suatu komoditi di pasar internasional maupun di negara tujuan.

Hasibuan (1993) dalam Panorama (2016:54) menyebutkan bahwa analisis Herfindahl Indeks (HI) digunakan dengan tujuan untuk mengetahui struktur pasar komoditi tertentu di pasar internasional serta mengukur penguasaan pangsa pasar masing masing negara yang terlibat dalam perdagangan suatu komoditi tersebut.

Panorama (2016:54-55) menjelaskan bahwa tahapan yang pertama yang dilakukan untuk menganalisis pangsa pasar dengan menggunakan Herfindahl Index adalah menghitung pangsa pasar setiap negara produsen suatu komoditi di pasar internasional melalui besaran nilai ekspor komoditi tersebut. Perhitungan pangsa pasar yang dilakukan menggunakan formula sebagai berikut :

𝑆𝑖𝑗 = 𝑋𝑖𝑗

π‘‡π‘‹π‘–βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™βˆ™ (1) Keterangan :

Sij = Pangsa pasar komoditas i negara j di pasar internasional Xij = Nilai ekspor komoditas i negara j di pasar internasional

TXj = Total nilai ekspor komoditas seluruh negara di pasar internasional

Menurut Panorama (2016:55-56) hasil dari formula tersebut kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar suatu negara dalam perdagangan suatu komoditas secara internasional, yaitu menggunakan formula Herfindahl Index sebagai berikut :

𝐻𝐼 = 𝑆𝑖𝑗1 2+ 𝑆𝑖𝑗2 2+ 𝑆𝑖𝑗3 2+ β‹― 𝑆𝑖𝑗𝑛 π‘›βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ (2)

33 Keternagan :

HI = Nilai indeks herfindahl

Sij = Pangsa pasar komoditas i negara j di pasar internasional i = Jenis komoditas

jn = Jumlah negara eksportir komoditas j yang terlibat dalam perdagangan komoditas i dunia

Nilai Herfindahl Index ini berkisar antara 0 hingga 1 (10.000 yang merupakan kuadrat dari 100%). Jika nilai Herfindahl Index mendekati 0 menunjukkan bahwa struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jikai indeks bernilai lebih dari 1 atau (10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli serta d istribusi pangsa pasar yang sangat tidak merata dalam suatu industri. Nilai Herfindahl Index (HI) dapat disimpulkan pada Tabel 6 berikut :

Tabel 6. Nilai Indeks Herfindahl Suatu Industri

Ciri-Ciri Monopoli Oligopoli Monopolistik Persaingan Sempurna HI HI=10.000 2.500<HI<10.000 100<HI<1000 HI<100 Jumlah

Produsen Satu Sedikit Beberapa Sangat

Banyak

Besar Relatif Sedikit Tidak Ada

Profit Berlebih Agak Berlebihan Normal Normal Efisiensi Kurang

Sumber : Hasibuan (1993) dalam Panorama (2016:56)

34 2.6 Revealed Comparative Advantage (RCA)

RCA (Revealed Comparative Advantage) digunakan untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif atau daya saing suatu komoditi dalam suatu negara. Perhitungan RCA (Revealed Comparative Advantage) sering digunakan untuk membandingkan kemampuan ekspor suatu komoditi dari negara tertentu dengan total ekspor dunia. Metode RCA (Revealed Comparative Advantage) didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif untuk produk tertentu yang dimiliki suatu wilayah apabila rasio nilai pangsa produk tersebut terhadap produk totalnya lebih besar daripada rasio pangsa produk terhadap produk total wilayah lain. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu negara tersebut yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia (Edwards dan Volker, (2001) dalam Krisnamurthi (2012:37).

Melalui analisis perhitungan RCA (Revealed Comparative Advantage) posisi daya saing dan ekspor produk suatu negara dapat diketahui. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor dipasar dunia, dengan menghitung nilai pangsa produk ekspor suatu negara terhadap total ekspor ke luar negara yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor produk tersebut di dunia. (Edwards dan Volker (2001) dalam Krisnamurthi (2012:38).

Penggunaan indeks RCA bertujuan untuk mengetahui posisi keunggulan bersaing dari komoditas suatu negara di pasar internasional dibandingkan dengan negara produsen lainnya. Perhitungan dengan metode RCA dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

35 𝑅𝐢𝐴 = 𝑋𝑖𝑗⁄𝑋𝑗

π‘‹π‘–π‘€β„π‘‹π‘€βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ (3) Keterangan :

RCA = Nilai RCA

Xij = Nilai ekspor komoditi i dari negara j ke pasar internasional

Xj = Nilai total ekspor seluruh komoditas dari negara j ke pasar internasional Xiw = Nilai ekspor komoditi i dari seluruh negara ke pasar internasional Xw = Nilai total ekspor seluruh komoditas dari seluruh negara ke pasar

Internasional

w = Seluruh negara atau dunia i = Jenis Komoditas

j =Negara-negara eksportir komoditas ke pasar internasional

Jika nilai RCA lebih besar dari satu (RCA > 1), maka negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dalam komoditi yang diekspor tersebut. Nilai RCA lebih besar dari satu, mempunyai arti rasio nilai ekspor komoditi tertentu terhadap produk ekspor total dari dari negara tersebut lebih besar daripada nilai rasio total ekspor komoditi tersebut ke dunia terhadap nilai total ekspor seluruh komoditi dunia.

Keunggulan metode RCA adalah mudah menghitungnya dan relatif data sekunder tersedia, mengurangi dampak pengaruh campur tangan pemerintah sehingga kita dapat melihat keunggulan komparatif produk dari waktu ke waktu.

Kelemahan metode RCA:

1. Asusmsi bahwa suatu negara dianggap mengekspor semua komoditi 2. Indeks RCA tidak dapat menjelaskan apakah pola perdagangan yang sedang

berlangsung tersebut sudah optimal

3. Tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk-produk yang berpotensi di masa yang akan datang.

36 2.7 Export Product Dynamic (EPD)

Pendekatan export product dynamics (EPD) digunakan untuk mengidentifikasi daya saing/keunggulan kompetitif suatu produk, juga mengetahui apakah suatu produk tersebut merupakan produk dengan performa yang dinamis atau tidak.

Walaupun beberapa produk bukan merupakan bagian yang besar pada ekspor suatu negara terdapat beberapa alasan untuk mengidentifikasi produk yang dinamis (pertumbuhannya cepat) dalam ekspor suatu negara. Jika pertumbuhannya diatas rata-rata secara kontinyu dalam jangka waktu yang panjang, produk ini dapat menjadi sumber pendapatan ekspor yang penting bagi negara tersebut (expanding dynamic). Selanjutnya, jika produk dinamis tersebut mempunyai karakteristik produksi yang spesifik hal ini juga menjadi informasi yang penting dalam kesempatan ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang serupa. Dengan demikian analisis RCA akan saling melengkapi dengan analisis EPD (Krisnamurthi, 2012:39). Matriks posisi pasar pada metode EPD dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Matriks Posisi Pasar

Share of Product in World Trade Share of country’s

export in world trade Rising (Dynamics) Falling (Stagnant) Rising (competitiveness) Rising Stars Falling Stars Falling

(non-competitiveness) Lost Opportunity Retreat

Sumber: Esterhuizen (2006:114).

Posisi pasar ideal bertujuan untuk memperoleh pangsa ekspor tertinggi sebagai rising stars, ditandai dengan kondisi negara tersebut memperoleh pangsa pasar

37 yang dinamis untuk produk-produk yang berkembang atau meningkat dengan cepat. Posisi ini merupakan posisi yang ideal.

Lost opportunities merupakan kondisi ekspor suatu negara yang buruk dengan penurunan pangsa pasar yang tinggi pada produk yang dapat menjadi produk dinamis. Posisi lain dari pertumbuhan ekspor suatu negara dapat masuk ke dalam kelompok falling stars, yaitu kondisi yang lebih disukai daripada kelompok lost opportunities karena masih sedikit memiliki keunggulan meskipun terjadi penyusutan atau peluasan pasar yang sangat lambat.

Sementara itu retreat merupakan kelompok dengan pertumbuhan ekspor yang sangat menurun atau stagnan. Kondisi ini tidak diinginkan pasar, tetapi bisa diharapkan apabila pegerakannya menjauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan produk dinamis (Krisnamurthi, 2012:39).

Pada Gambar 5 menggambarkan empat kelompok posisi umum ekspor produk tertentu dari suatu negara berdasarkan posisi pangsa pasarnya di pasar ekspor dunia.

Gambar 5. Kuadran Posisi Dayasaing dengan Metode EPD.

Sumber: Esterhuizen (2006:114).

Lost

Opportunity Rising Star

Retreat Falling Star X Y

38 2.8 Trade Specialization Statistics (TSI)

Trade Specialization Statistics (TSI) merupakan perbandingan antara selisih nilai bersih perdagangan dengan nilai total perdagangan dari suatu negara. Trade Specialization Statistics (TSI) digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan suatu produk (Kemendag, 2013:1).

Tambunan (2004:124) menyebutkan secara implisit, indeks ini mempertimbangkan sisi permintaan dan sisi penawaran (sejak ekspor dan impor) yang identik dengan penawaran domestik dan permintaan domestik, yakni ekspor suatu komoditas terjadi apabila ada kelebihan penawaran atas komoditas tersebut di pasar domestik. Secara matematika TSI dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑇𝑆𝐼 = (π‘‹π‘–π‘—βˆ’ 𝑀𝑖𝑗)

(𝑋𝑖𝑗+ 𝑀𝑖𝑗)βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ βˆ™ (4) Keterangan :

Xij = Nilai ekspor komoditas j dari negara i Mij = Nilai impor komoditas j dari negara i

Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan ini memiliki kisaran nilai antara -1 sampai dengan +1. Jika nilainya positif diatas 0 sampai 1, maka komoditas suatu negara dapat dikategorikan sebagai eksportir. Sebaliknya, jika nilainya negatif atau dibawah 0 hinga -1 maka cenderung sebagai negara importir komoditas tersebut.

Hubungan tingkat daya saing dengan spesialisasi perdagangan adalah apabila tingkat memungkinkan negara tersebut sebagai negara eksportir dan sebaliknya (Asmara dkk, 2014:29-30).

39 Menurut Kemendag (2013:1) nilai TSI juga dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu komoditi dalam perdagangan yang terbagi kedalam lima tahap anatara lain:

1. Tahap Pengenalan

Ketika suatu industri (forunner) disuatu negara (sebut A) mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang belakangan (latercomer) di negara B impor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai TSI dari industri latercomer ini adalah -1,00 sampai -0,50.

2. Tahap Substitusi Impor

Nilai TSI naik antara -0,51 sampai 0,00 pada tahap ini idustri di negara B menunjukkan daya saing yang sangat rendah dikarenakan tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonominya. Industri tersebut mengekspor produk-produk dengan kualitas yang kurang bagus, desain produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri dengan kata lain, untuk komoditi tersebut pada tahap ini negara B lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.

3. Tahap Pertumbuhan

Nilai TSI naik antara 0,1 sampai 0,80 dan industri di negara B melakukan produksi dalam skala besar dan mulai meningkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawran untuk komoditi tersebut lebih besar daripada permintaan.

40 4. Tahap Kematangan

Nilai TSI berada pada kisaran 0,81 sampai 1,00 pada tahap ini produk yang bersangkutan sudah pada tahap standarisasi menyangkut teknologi yang dikandungnya. Pada tahap ini negara B merupakan negara ner eksporter.

5. Tahap Kembali Mengimpor

Nilai TSI kembali menurun antara 1,00 sampai 0,00 pada tahap ini industri di negara B kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara A dan produksinya dala negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.