• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA

B. Kewenangan Pengadilan Agama Mengenai Sengketa

Kewenangan Pengadilan Agama mengenai sengketa milik dapat dilihat dalam

dalam suatu gugatan yang menyangkut pembagian harta warisan masih terkandung

sengketa hak milik maka perkara yang bersangkutan tidak termasuk kewenangan

Pengadilan Agama untuk memeriksanya tapi termasuk kewenangan Peradilan

Umum.” Kaidah di atas telah dianggap dalam praktek peradilan sebagai salah satu

yurisprudensi tetap. Hampir semua kalangan telah menjadikannya sebagai pedoman,

baik lingkungan Peradilan Agama maupun lingkungan Peradilan Umum. Sebagian

besar telah menjadikannya sebagai patokan dalam menentukan kewenangan perkara-

perkara warisan bagi mereka yang beragama Islam. Apalagi sejak hal itu dikukuhkan

sebagai salah satu patokan beracara dalam rapat kerja Mahkamah Agung dengan

semua lingkungan peradilan di Yogyakarta 23-25 Maret 1985. Semakin banyak para

Hakim yang mengindahkan putusan tersebut. Tetapi belum semua Hakim

melaksanakannya.

Masih sering terjadi pelanggaran atas patokan tersebut. Ada beberapa Hakim

dari lingkungan Peradilan Umum yang mengadili perkara warisan orang yang

beragama Islam atas alasan hukum warisan yang hidup di daerah hukum yang

bersangkutan adalah hukum waris adat. Sementara itu, ada pula Hakim Pengadilan

Agama yang memeriksa dan memutus perkara warisan sekalipun dalam perkara harta

warisan tersebut tersangkut sengketa milik. Padahal bidang perdata mengenai

kebendaan dengan segala bentuk sengketa hak yang mengikutinya, sejak dari dulu

tidak pernah menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama.

UU No. 7 Tahun 1989 bersikap positif tapi ragu-ragu dalam menyelesaikan

Sikap positifnya dengan cara mengukuhkan lebih tegas Yurisprudensi MA 13

Desember 1079 No. 11 K/AG/1979. Nilai kaidah hukum yang terkandung dalam

yurisprudensi tersebut diangkat menjadi ketentuan Undang-Undang dan dicantumkan

menjadi rumusan Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Dalam hal terjadi

sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 maka khusus mengenai objek yang

menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum.”

Kemudian terhadap ketentuan Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989, pembuat

Undang-Undang memberi penjelasan yang berbunyi: “Penyelesaian terhadap objek

yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di

Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa.”

Memperhatikan bunyi Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 serta penjelasan Pasal

tersebut, dapat ditarik beberapa asas sebagai acuan pedoman bagi Pengadilan Agama

mengadili perkara yang didalamnya terkandung sengketa milik.

1. Sengketa Milik Kompetensi Absolut Peradilan Umum.

Ini adalah asas pertama. Segala sengketa keperdataan yang menyangkut hak

kebendaan atau berdasar perikatan, sekalipun objek sengketa itu tersangkut perkara di

Pengadilan Agama maka sepanjang sengketa hak kebendaan mutlak menjadi

kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) untuk mengadilinya. Mengenai

jual beli dan sebagainya. Terhadap sengketa keperdataan dimaksud mutlak menjadi

kewenangan Peradilan Umum untuk mengadili. Pengadilan Agama tidak berwenang

untuk memeriksa dan memutus pembagian harta sampai ada putusan yang

berkekuatan hukum tetap tentang kepastian pemilik harta-harta tersebut.

2. Kewenangan Absolut Peradilan Umum Atas Sengketa Milik Meliputi Perkara

Warisan, Harta Bersama, Hibah dan Wakaf.

Putusan MA tanggal 13 Desember 1979 No. 11 K/AG/1979 hanya

menyinggung kemutlakan kewenangan Peradilan Umum mengadili sengketa hak

milik atas perkara warisan yang sedang diperiksa Pengadilan Agama. Pasal 50 UU

No. 7 Tahun 1989 tidak membatasinya sepanjang yang berkenaan dengan perkara

warisan, tetapi meliputi semua perkara yang menjadi yurisdiksi Peradilan Agama.

Penegasan tersebut jelas terbaca dalam Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989. Apabila

terjadi sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989, khusus mengenai objek yang

menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dulu oleh Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum. Ketentuan di dalam Pasal 50 UU No. 7 Tahun 1989 menyebutkan:

“semua perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49.”

Perkara-perkara yang dimaksud Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 adalah

perkara-perkara yang menjadi yurisdiksi absolut lingkungan Peradilan Agama. Pasal

49 UU No. 7 Tahun 1989 berisi muatan jumlah totalitas kewenangan absolut

yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Dengan ditunjuknya Pasal 49 UU No. 7

keperdataan lain dengan kewenangan Peradilan Umum untuk mengadilinya, tidak

lagi hanya terbatas terhadap perkara warisan, tetapi meliputi seluruh perkara apa saja

yang diperiksa Pengadilan Agama, termasuk perkara harta bersama, hibah, wakaf dan

shadaqah dan dalam perkara-perkara itu tersangkut sengketa hak milik atau

keperdataan lain maka sepanjang yang menyangkut sengketa milik menjadi

kewenangan mutlak Pengadilan Negeri untuk mengadilinya. Kewenangan untuk itu

dapat disimpulkan dari perkataan harus yang tercantum dalam Pasal 50 UU No. 7

Tahun 1989, yaitu “….harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum.”

Demikian jangkauan sengketa milik setelah berlaku UU No. 7 Tahun 1989

yang dijelaskan di dalam ketentuan Pasal 50. Tidak semata-mata hanya terbatas

dalam perkara warisan tetapi meliputi semua jenis perkara dalam semua bidang

hukum yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Selama dalam suatu

perkara yang diperiksa lingkungan Peradilan Agama terkait sengketa milik atau

sengketa keperdataan lain, selama itu kewenangan Pengadilan Agama menjadi pasif.

Kewenangannya baru aktif kembali untuk memeriksa dan memutus perkara apabila

sengketa milik atau keperdataan lain telah tuntas selesai dalam lingkungan Peradilan

Umum.

C. Kewenangan Pengadilan Agama Mengenai Sengketa Milik Menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 khusus mengenai objek sengketa

tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum.

2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa

tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama perkara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 49.

Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus

memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa

yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, apabila subjek sengketa antara

orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya memperlambat atau

mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau

keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan

adanya gugatan di Pengadilan Agama.36

Sebaliknya bila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan

lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa

di Pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke

pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan

jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa

36Abdul Manan,Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam Sistem

telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa yang sama

dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu

objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya,

Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa

yang tidak terkait dimaksud.37

D. Analisis Hukum Terhadap Kewenangan Mengadili Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum (Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD).

Kompetensi absolut atau kewenangan mengadili, disebut juga wewenang

mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,

dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk

mengadili.38 Kompetensi absolut pembatasan kewenangan mengadili berdasarkan

yurisdiksi mengadili badan-badan peradilan. Setiap badan peradilan telah ditentukan

sendiri oleh Undang-Undang batas yurisdiksi mengadili. Pembatasan yurisdiksi

masing-masing badan peradilan dapat mengacu kepada berbagai ketentuan

perundang-undangan.39

Berdasarkan kepustakaan hukum administrasi berbahasa Belanda antara lain

buku P. de Haan cs “Bestuursrecht in de sociale rechtstaat” sebagaimana diuraikan oleh Philipus M. Hadjon, et. al,40 bahwa Sertipikat Hak atas tanah dikelompokkan

dalam Keputusan Tata Usaha Negara kebendaan, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara

37Ibid, halaman 252.

38Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Op.Cit., halaman 11.

39Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,

dalam Gugatan Pembatalan Sertipikat Tanah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 39.

yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan. Keputusan Tata Usaha Negara

kebendaan ini sifatnya dapat dialihkan kepada pihak lain. Jadi, disamping ditujukan

untuk memberikan hak pada seseorang, hak tersebut dapat juga dialihkan kepada

pihak lain melalui peristiwa maupun perbuatan hukum.

Dengan demikian, Sertipikat hak atas tanah memiliki sisi ganda, pada satu sisi

sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi lain sebagai Tanda Bukti

Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas tanah.41 Oleh

karena itu, ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara dengan

objek gugatan Sertipikat hak atas tanah, yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Tata

Usaha Negara.

Dengan dimensi Sertipikat hak milik atas tanah yang ganda tersebut, yaitu

dimensi publik dan dimensi privat, maka gugatan pembatalan hak atas tanah

seharusnya mengikuti posisi perkara yang menjadi dasar dari suatu gugatan. Dengan

kata lain fundamentum petendi suatu gugatan menentukan klasifikasi kasus bersangkutan, apakah bersifat gugatan perdata atau gugatan Tata Usaha Negara.42

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa objek perkara Sertipikat hak atas tanah

merupakan kewenangan mengadili dari Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara (PTUN).

Kompetensi Peradilan Umum dalam sengketa dengan objek Sertipikat hak

atas tanah diidentifikasi berdasarkan kewenangan Peradilan Umum itu sendiri.

41Z.A. Sangadji,Op.Cit., halaman 36. 42Ibid., halaman 77.

Peradilan Umum berwenang mengadili perkara perdata yang bersumber dari sengketa

dalam bidang yang diatur dalam hukum perdata materiil. Sengketa yang timbul pada

Sertipikat hak atas tanah adalah yang bersifat keperdataan atau dengan kata lain

Sertipikat dari sisi sebagai alat bukti hak milik keperdataan. Identifikasi tersebut

dilakukan dalam isi gugatan Penggugat yang dinilai oleh Hakim.

Fundamentum petendi merupakan uraian termasuk fakta-fakta hukum yang menjadi dasar suatu gugatan. Bila berkaitan dengan gugatan hak sehingga lebih

menekankan kepada dikabulkannya petitum Penggugat agar Hakim menentukan

status hak tertentu, maka gugatan demikian lebih tepat diajukan kepada Peradilan

Umum dan bukan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Sebaliknya bila gugatan lebih

menekankan kepada dengan dikeluarkannya Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara

berupa Sertipikat hak atas tanah, berakibat terganggunya hak Penggugat maka

gugatan yang demikian lebih tepat diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara.43

Sertipikat hak atas tanah dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini Badan

Pertanahan Nasional selaku Badan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang

atau badan hukum (konkret, individual) yang menimbulkan akibat hukum pemilikan

atas sebidang tanah yang tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dari instansi

atasan atau instansi lain (final). Sertipikat hak atas tanah telah memenuhi syarat

sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha

Majelis Hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara waris di atas,

menimbang bahwa perkara ini dari satu sisi mengandung hak milik, namun disisi lain

perkara ini juga terlepas dari waris mal waris dimana pihak-pihaknya terdiri dari

orang-orang beragama Islam, oleh karenanya Majelis berpendapat berdasarkan Pasal

50 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 2006, maka perkara ini merupakan

wewenang Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama Tebing Tinggi untuk

mengadilinya.

Pihak yang berperkara dalam perkara waris di atas bukanlah sesama ahli

waris almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH. Pihak Tergugat bukanlah

merupakan ahli waris melainkan pihak ketiga di dalam perkara warisan tersebut. Jika

sengketa miliknya antara ahli waris dengan pihak ketiga maka hal itu dianggap

sengketa milik atau sengketa keperdataan. Pengadilan Agama hanya berwenang

memeriksa dan mengadili perkara warisan apabila objek sengketa miliknya telah

jelas kepemilikannya.

Mengenai gugatan terhadap status tanah waris yang disengketakan, bahwa

gugatan tersebut bukanlah menjadi kewenangan absolut dari Pengadilan Agama

untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama. Hal

tersebut dikarenakan bahwa mengenai tanah warisan (objek sengketa) masih memiliki

“sengketa milik” antara ahli waris dengan Tergugat (pihak ketiga). Pada satu sisi,

Penggugat mengatakan tanah sengketa adalah harta peninggalan dari orang tua

Penggugat sedangkan pada sisi yang lain Tergugat menyatakan bahwa tanah sengketa

368/19/S.R.H/1997 tanggal 7 Juli 1997 yang dibuat oleh dan dihadapan H. BADAR

selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Objek sengketa tersebut murni merupakan sengketa hak milik. Oleh sebab itu,

seharusnya sengketa kepemilikan terhadap tanah tersebut harus diselesaikan terlebih

dahulu di Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli untuk mengetahui pihak mana yang

berhak atas tanah perkara tersebut. Apabila yang menjadi dasar gugatan adalah

sengketa Sertipikat Hak Milik atas tanah maka yang berwenang mengadilinya adalah

Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini berkaitan dengan Sertipikat sebagai suatu

Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Perkara di atas menjadi kewenangan Pengadilan Agama dikarenakan adanya

sengketa waris. Apabila objek perkara waris mengenai tanah yang belum

bersertipikat, maka Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus objek

perkara bersama-sama dengan perkara sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 50

ayat 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Apabila objek perkara waris mengenai

tanah yang bersertipikat maka yang berwenang mengadilinya adalah Peradilan Tata

Usaha Negara. Majelis Hakim Pengadilan Agama seharusnya menyatakan tidak

berwenang mengadilinya sampai dengan adanya keputusan yang tetap dari

Pengadilan Negeri mengenai siapa yang berhak atas tanah tersebut ataupun sampai

dengan adanya putusan yang tetap dari Peradilan Tata Usaha Negara mengenai

Dokumen terkait