• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PUTUSAN PENGADILAN AGAMA YANG MENJAD

D. Syarat Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah

Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan Pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap harus dilakukan berdasarkan permohonan pihak yang

berkepentingan. Permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut dapat diajukan

langsung kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Propinsi atau dapat juga

diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur

dalam Pasal 125 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999.

Permohonan diajukan secara tertulis yang memuat:

a. Keterangan mengenai diri pemohon:

1. Apabila perseorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjaan (melampirkan fotocopy bukti identitas, surat bukti

kewarganegaraan).

2. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan

pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (melampirkan foto copy akta atau peraturan pendiriannya).

1. Memuat nomor dan jenis hak atas tanah (melampirkan foto copy surat

keputusan dan atau surat keputusannya).

2. Letak, batas-batas dan luas tanahnya dengan menyebutkan tanggal dan

nomor Surat Ukur atau Gambar Situasi jika ada.

3. Jenis penggunaan tanahnya (pertanian/non pertanian).

c. Alasan permohonan pembatalan disertai keterangan lain sebagai data

pendukung, antara lain:

1. Foto copy putusan Pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan

terakhir.

2. Berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana.

3. Surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

E. Prosedur Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah.

Setelah persyaratan permohonan dipenuhi selanjutnya diajukan kepada

pejabat berwenang, dalam hal ini dapat diajukan langsung ke Menteri atau Kepala

Kantor Wilayah Propinsi dan atau melalui Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.

Tata cara pembatalan hak atas tanah diatur dalam Pasal 127 sampai dengan

133 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, yaitu:

1. Apabila permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan melalui Kantor

Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan melakukan kegiatan sebagai

a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas permohonan, baik data

yuridis atau data fisik.

b. Mencatat permohonan dalam formulir isian yang telah disediakan.

c. Memberikan tanda terima berkas permohonan.

d. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data

fisik jika masih diperlukan.

e. Melakukan verifikasi terhadap data yuridis dan data fisik permohonan

dengan cara mencocokkan hak atas tanah dengan amar putusan Pengadilan

dengan data yuridis yang terakhir sebelum diproses lebih lanjut sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f. Menyampaikan berkas permohonan pembatalan hak atas tanah kepada

Menteri disertai pertimbangan dan keterangan apabila terdapat perbedaan

antara data yuridis dan data fisik dengan putusan Pengadilan.

Setelah berkas permohonan sampai di Kantor Menteri, maka Menteri

memerintahkan pejabat yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan sebagai

berikut:

a. Mencatat dalam formulir isian yang telah ditentukan.

b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik dan

apabila belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan untuk

c. Meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik

permohonan dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau

tidaknya amar putusan Pengadilan dilaksanakan.

d. Memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan

pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa

amar putusan Pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai dengan alasan

dan pertimbangannya.

e. Apabila Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan Pengadilan,

Menteri dapat memohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam

pelaksanaan amar putusan Pengadilan dimaksud.51

2. Apabila permohonan yang diajukan langsung kepada Menteri, maka Menteri

akan melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik dan

apabila belum lengkap segera minta kepada pemohon untuk

melengkapinya.

b. Mencatat dalam formulir isian yang telah ditentukan.

c. Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik

permohonan dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau

tidaknya amar putusan Pengadilan dilaksanakan.

51 Kegiatan berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan pembatalan hak karena

melaksanakan putusan pengadilan yang merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah (Pasal 130 PMNA/KBPN Nomor 9/99).

d. Apabila terjadi perubahan data fisik dan data yuridis Menteri dapat

memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk meneliti perubahan

tersebut dan melaporkan hasilnya untuk dijadikan bahan pertimbangan

untuk menerbitkan keputusan pembatalan hak atau tidak melaksanakan

amar putusan Pengadilan.

e. Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan

pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa

amar putusan Pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai dengan

pertimbangannya.

f. Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan Pengadilan,

Menteri dapat memohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam

pelaksanaan amar putusan Pengadilan dimaksud.

g. Keputusan pembatalan hak atas tanah atau keputusan tidak melaksanakan

putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain

yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.52

F. Putusan Pengadilan Agama Tidak Dapat Menjadi Dasar Permohonan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Sebagaimana sudah diuraikan pada Bab sebelumnya, Penggugat (ahli waris)

kemudian menindaklanjuti putusan Pengadilan Agama tersebut. Ahli Waris (ABDI,

RAMLAH dan ZAIDAR) mengajukan permohonan pembatalan Sertipikat Hak Milik

Nomor 249 atas nama KADIR yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan

kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana suratnya tanggal 06 September 2010.

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.

Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, berbunyi:

“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 di atas, kewenangan yang diberikan oleh

Undang-Undang terhadap Pengadilan Agama sudah cukup jelas, yaitu memeriksa dan

memutus sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah

dan ekonomi syariah. Penjelasan Pasal 49 tersebut antara lain menjelaskan bahwa

waris adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta

peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan

seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris dan penentuan bagian

masing-masing ahli waris.

Majelis Hakim yang menangani kasus di atas, memutus perkara tersebut, yang

mana salah satu amar putusannya berbunyi: “menyatakan bahwa Sertipikat tanah Hak

Milik atas nama KADIR No. 249 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional

(BPN) kabupaten Serdang Bedagai tanggal 10-03-2006 tidak berkekuatan hukum.”

Amar putusan tersebut tidak sejalan dengan kewenangan yang diberikan oleh

Undang-Undang sebagaimana yang diatur pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 jo. Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009 tentang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama tidak diberi kewenangan untuk

memutus sengketa Tata Usaha Negara. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan

suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan

Nasional (BPN). Oleh sebab itu, Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk

mengadili objek perkara berupa Sertipikat Hak Milik atas tanah adalah Peradilan Tata

Usaha Negara (PTUN), bukan Pengadilan Agama.

Majelis Hakim Pengadilan Agama memungkinkan dapat membuat suatu

putusan yang memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan perubahan

data fisik dan data yuridis terhadap Sertipikat Hak atas tanah yang disengketakan.

Putusan Pengadilan Agama tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Kepala

Kantor Pertanahan untuk dapat merubah data fisik dan data yuridis objek sengketa

Pengelolaan. Bukannya menyatakan Sertipikat Hak Milik atas tanah tidak

berkekuatan hukum karena hal tersebut bukan merupakan kewenangan mengadili

Pengadilan Agama.53

Pasal 124 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak

Atas tanah Negara dan Hak Pengelolaan menyebutkan bahwa:

1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yang berkepentingan.

2) Amar putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap meliputi dinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu.

Permohonan pembatalan Sertipikat Hak milik Nomor 249/Pematang Ganjang

atas nama KADIR yang diajukan oleh Ahli Waris (ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR)

didasarkan pada putusan Pengadilan Agama. Menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, Pengadilan Agama tidak diberikan kewenangan

untuk menyatakan Sertipikat Hak Milik atas tanah batal atau tidak mempunyai

kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu. Oleh sebab itu, Kepala

Kantor Pertanahan Serdang Bedagai menolak permohonan pembatalan Sertipikat Hak

Milik tersebut.

53Wawancara dengan Sofyan Hadi Syam, SH., Kepala Sub Seksi Perkara Pertanahan Kantor

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengadilan Agama tidak memiliki kewenangan mengadili mengenai objek

perkara Sertipikat Hak Milik atas tanah. Sertipikat Hak atas tanah dikelompokkan

dalam Keputusan Tata Usaha Negara kebendaan, yaitu Keputusan Tata Usaha

Negara yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan. Sertipikat hak atas tanah

merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan

Pertanahan Nasional. Sertipikat hak atas tanah memiliki sisi ganda, pada satu sisi

sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi lain sebagai Tanda

Bukti Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas tanah.

Oleh karena itu, ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara

dengan objek gugatan Sertipikat hak atas tanah, yaitu Peradilan Umum dan

Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Status putusan Pengadilan Agama No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD yang memutus

perkara yang bukan kewenangannya tidak memiliki kekuatan eksekutorial.

Putusan tersebut tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang

ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara. Salah satu amar

putusan hanya menyatakan Sertipikat Hak Milik atas nama KADIR tidak

Sertipikat yang menjadi objek sengketa. Eksekusi terhadap Putusan Pengadilan

Agama tersebut tidak dapat dijalankan (noneksekutabel) karena amar putusan

declaratoir tersebut tidak disertai dengan putusan condemnatoir dan pihak BPN kabupaten Serdang Bedagai tidak diikutsertakan sebagai pihak Tergugat dalam

perkara.

3. Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD tanggal

25 September 2008 tidak dapat dijadikan dasar permohonan pembatalan

Sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Serdang

Bedagai. Pengadilan Agama tidak diberi kewenangan untuk memutus sengketa

Tata Usaha Negara. Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan suatu Keputusan

Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili objek perkara berupa

Sertipikat Hak Milik atas tanah adalah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN),

bukan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama tidak diberikan kewenangan untuk

menyatakan Sertipikat Hak Milik atas tanah batal atau tidak mempunyai kekuatan

hukum atau yang pada intinya sama dengan itu. Oleh sebab itu, Kepala Kantor

Pertanahan Serdang Bedagai menolak permohonan pembatalan Sertipikat Hak

Milik tersebut.

B. Saran.

1. Hakim Pengadilan Agama harus teliti dalam memeriksa dan mengadili perkara

dengan Tergugat (pihak ketiga). Objek perkara yang masih memiliki sengketa

kepemilikan antara para pihak harus diselesaikan terlebih dahulu di Pengadilan

Negeri Tebing Tinggi Deli untuk mengetahui pihak mana yang berhak atas tanah

perkara tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Agama, sepanjang mengenai objek

perkara Sertipikat, seharusnya menyatakan tidak berwenang mengadilinya sampai

dengan adanya keputusan yang tetap dari Pengadilan Negeri mengenai siapa yang

berhak atas tanah tersebut.

2. Hakim dalam mengambil keputusan perkara contentiosa harus sesuai dengan ketentuan agar Putusan Hakim tersebut eksekusinya dapat dijalankan. Putusan

Pengadilan secara administratif dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya apabila telah

mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat menghukum (condemnatoir) dan bersifat constitutif (menciptakan status hukum baru) sedangkan putusan yang bersifat declaratoir tidak dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya karena hanya bersifat pernyataan sesuatu yang telah jelas. Jadi, supaya putusan Pengadilan

Agama eksekusinya dapat dijalankan, selain memuat amardeclaratoirjuga harus disertai dengan amarcondemnatoir.

3. Penggugat (ahli waris) yang memenangkan perkara harus mengajukan gugatan

baru ke Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli untuk menggugat hak kepemilikan

atas objek perkara berupa tanah seluas lebih kurang 8.501 m2(delapan ribu lima

ratus satu meter bujur sangkar) yang terletak di dusun V, Desa Pematang

KADIR. Penggugat juga dapat mengajukan gugatan tata usaha Negara terhadap

Badan Pertanahan Nasional kabupaten Serdang Bedagai yang telah menerbitkan

Sertipikat Hak Milik atas tanah atas nama KADIR di atas tanah almarhum kedua

orang tuanya. Putusan Pengadilan Negeri maupun putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara dapat dijadikan dasar pembatalan Sertipikat Hak Milik atas tanah di

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku.

A. Rasjid, Roihan,Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991. Al Rashid, Harun, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (berikut peraturan-peraturan),

Ghalia Indonesia, Jakarta,1986.

Al-Mawardi, Imam, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Darul Falah, Jakarta, 2000.

Arto, A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, FH USU Press, Medan, 2000.

Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003.

Effendi, Bachtiar, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993.

Harahap, M. Yahya,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Harahap, M. Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Djambatan, Jakarta, 2003. Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996.

Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, 2008.

Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986.

Kelsen, Hans,Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2008.

Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2008.

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Lubis, Mhd. Yamin dan Lubis, Abd. Rahim,Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2010.

Lubis, Sulaikin, Wismar ‘Aini Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008.

M. Hadjon, Philipus,Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2000.

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009. Musthofa, Sy.,Kepaniteraan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2005.

Parlindungan, AP., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Parlindungan, AP.,Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999. Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press,

Medan, 2005.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,1986.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.

Soeroso, R., Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, Bagian I, Tentang Kompetensi Kewenangan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intenusa, Jakarta, 1992.

Sumardjono, Maria S.W., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001.

Thaib, M. Hasballah,Hukum Islam di Indonesia, Tanpa Penerbit, Medan, 2005. Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Posistif, Djambatan,

Jakarta, 2001.

B. Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999.

Dokumen terkait