• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAKUL SEMANGGI GENDONG DAN ASPEK SOSIAL BUDAYA

C. Bakul Semanggi Gendong dan Aspek Sosial Budaya 1.Cara Pengolahan Semanggi 1.Cara Pengolahan Semanggi

2. Kharakteristik Bakul Semanggi Gendong

Bakul semanggi gendong yang sudah jarang terlihat ternyata berasal dari kampung Kendung, Kendung merupakan kampung tingkat Rukun Warga (RW) yang memiliki ciri khas dibanding dengan kampung-kampung lain di wilayah Kota Surabaya. Selain lokasinya berbatasan dengan Kabupaten Gresik, kampung ini juga memiliki kekhasan yaitu kuliner semanggi dan bakulnya yang biasa disebut bakul semanggi gendong.

Data terakhir tahun 2012 jumlah bakul semanggi gendong tidak lebih dari 36 orang saja. Jumlah ini menurut para bakul semanggi yang berhasil penulis temui sudah lebih sedikit dibanding lima tahun sebelumnya. Hal ini menurut para bakul semanggi gendong disebabkan oleh usia para bakul semanggi gendong yang semakin tua dan tidak

kuat lagi untuk menjajakan semanggi ke Kota Surabaya. Hal lain yang menyebabkan berkurangnya bakul semanggi gendong adalah hanya sedikit bahkan hampir tidak ada generasi muda saat ini, terutama anak-anak perempuan dari para bakul semanggi gendong yang berminat melanjutkan tradisi orang tua mereka sebagai bakul semanggi gendong.

Bagi generasi muda keturunan bakul bakul semanggi gendong akan lebih memilih bekerja di pabrik-pabrik, berdagang yang lain atau tetap berdagang semanggi dengan inovasi baru dan berkelas, contohnya adalah keberadaan kuliner semanggi yang disajikan di hotel-hotel berbintang di Kota Surabaya, di Mall ataupun seperti depot semanggi ternama di Surabaya yaitu semanggi Dempo.

Beberapa alasan tersebut yang menyebabkan jumlah bakul semanggi gendong saat ini semakin berkurang, bahkan jarang ditemui setiap hari di wilayah mereka menjajakan semanggi. Dari jumlah bakul semanggi gendong yang saat ini masih eksis keberadaannya, mereka didominasi oleh para perempuan yang sudah setengah baya bahkan sudah ada yang berusia lanjut yaitu usia diatas 60 tahun.

Agar lebih lengkap gambaran profil bakul semanggi gendong, di bawah ini penulis sajikan tabel tentang kharakteristik bakul semanggi gendong yang menjadi subyek penelitian ini. Terdapat 9 subyek penelitian dengan karakteristik seperti disajikan dalam tabel di bawah ini:

Dilihat dari tabel karakteristik bakul semanggi gendong pada tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1) Bakul gendong adalah seorang perempuan; 2) Rata-rata mereka sudah menjalani profesi bakul gendong antara 12 tahun sampai 26 tahun; 3) Ditinjau dari segi usia, rata- rata mereka berusia antara 47 sampai 64 tahun; 4) Pendidikan mereka rata- rata rendah yaitu mulai tidak pernah sekolah sampai Sekolah Dasar ((SD); 5). Pendapatan mereka rata-rata tinggi yaitu antara 2,8 juta sampai 3,2 juta rupiah per bulan. Jika dibandingkan dengan UMK Kota Surabaya yang berkisar 1,257 juta rupiah pada tahun 2012 dan 1,740 juta rupiah di tahun 2013, maka pendapatan bakul semanggi gendong lebih tinggi dari UMK yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan; 6) Rata-rata pengalaman bakul semanggi gendong diperoleh dari keluarga, baik dari orang tua langsung (ibu), nenek atau kakak perempuan, bahkan ada yang berasal dari ibu mertua maupun kakak ipar perempuannya, atau dengan kalimat lain bahwa pengalaman menjadi bakul semanggi gendong itu diperolehnya dari tingkat budaya genetik atau turun temurun.

Dengan demikian dapat didiskripsikan bahwa bakul semanggi gendong Surabaya memiliki ciri-cirisebagai berikut: 1) Seorang perempuan kategori setengah tua dan tua dengan pengalaman puluhan tahun, 2) Tingkat pendidikannya rendah, 3) Tingkat pendapatan tinggi

bila dibandingkan dengan UMK Kota Surabaya, dan 4) Pengalaman diperoleh dari budaya genetik atau turun temurun.

Selanjutnya,untukmengetahui tentang unsur-unsur eksistensi bakul gendong semanggi dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 6. Eksistensi Bakul Semanggi Gendong Di Surabaya

Dari tabel6 tersebutdapat dijelaskan bahwa eksistensi bakul gendong semanggi didapatkan dataantara lain: 1) Pengalaman yang dirasakan selama menjadi bakul semanggi dodominasi oleh pengalaman karena faktor ekonomi; 2)Bahan baku mudah didapatkan, karena sebagian besar dari juragan; 3) Adanya pelanggan yang setia di kota Surabaya yang didomonasi kaum tua.

Dari kedua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa bakul gendong semanggi Surabaya memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh pedagang atau bakul yang lain. Ciri-ciri tersebut antara lain: 1) Tradisional, 2) Hanya dilakukan oleh perempuan, 3)Berasal dari satu lokasi tempat asal yang sama, 4) Cara menjualnya digendong, dengan berjalan kaki

berkeliling ke kampung-kampung di kota Surabaya, atau lazim secara kependudukan disebut dengan migrasi sirkuler.

Berkaitan dengan keberadaan bakul semanggi gendong di Kota Surabaya tersebut, mereka ternyata melakukan migrasi atau perpindahan dengan jangka waktu sementara dalam kurun waktu 24 jam per hari, dengan tujuan utama yaitu menjajakan semanggi. Lama menjajakan semanggi tersebut tergantung dari jarak jauh dekatnya lokasi mereka menjajakan semangginya dan ketersediaan kuliner semanggi itu sendiri, artinya sudah habis atau masih belum. Bila semanggi sudah habis mereka langsung pulang ke Kendung dengan naik angkot di Pasar Kupang menuju Kendung.

Rata-rata para bakul semanggi gendong menjajakan semanggi butuh waktu antara 7 sampai 8 jam setiap hari, terhitung dari mulai keberangkatan mereka dari rumah yang ada di Kendung, yaitu antara jam 6 sampai jam 7 pagi setiap hari. Lama waktu tersebut belum dihitung dengan para bakul semanggi gendong ini memperoleh bahan-bahan kelengkapan semanggi, memasak, menyiapkan segala sesuatu kelengkapan untuk menjajakan dan lain-lain. Jika dipikir dengan logika masyarakat zaman sekarang ini, apa yang dilakukan oleh bakul semanggi gendong tersebut sebagai tindakan yang irasional, namun tidak berlaku bagi bakul semanggi gendong tersebut. Mereka menganggap apa yang dilakukannya itu sebagai sesuatu yang rasional sehingga mulai dulu hingga sekarang masih tetap dilakukan dan tidak ada perubahan, baik dari cara penyajiannya, dengan menggunakan daun pisang sebagai alas atau piringnya. Krupuk menyerupai krupuk puli yang lebar sebagai sendoknya. Bahan-bahannya, terdiri dari sayur semanggi dan kecambah yang sudah dimasak, ditabur bumbu yang menyerupai bumbu pecel, dan bahannya terdiri dari ketela rambat, cabe rawit, gula merah dan garam yang ditumbuk hingga mirip dengan bumbu pecel pada umumnya. Cara menjajakannya, bahkan sampai pada bakul semanggi itu sendiri, yang menggunakan kebaya dan jarik bermotif batik serta selendang yang digunakan untuk menggendong semanggi, yang

ditempatkan pada keranjang atau orang Surabaya menyebutnya sebagai bakul untuk tempat semanggi dan bumbu pecelnya tersebut.

Bila ditotal lama waktu yang dibutuhkan oleh para bakul semanggi gendong setiap hari untuk menjajakan semangginya di Kota Surabaya berkisar antara 12 sampai 14 jam. Bagaimana tidak, setiap hari mereka harus bangun pagi sekitar jam 2 atau jam 3 pagi untuk memasak segala kelengkapan semanggi, dan khusus untuk bumbu sudah mereka masak di malam hari sesaat setelah sampai di rumah, dan sebelumnya mereka harus belanja ke juragan yang juga ada di kampung tersebut.

Dengan penjelasan tersebut maka bakul semanggi gendong merupakan satu diantara pedagang lain yang tetap konsisten dengan pilihannya yaitu sebagai bakul semanggi gendong, yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya hingga menjajakan semangginya ke Kota Surabaya. Adapun rute perjalanan migrasi sirkuler yang dilakukan oleh para bakul semanggi gendong tersebut penulis sajikan pada tabel berikut ini.

Dari tabel 7 tersebut dapat dijelaskan bahwa para bakul semanggi gendong di Kota Surabaya dalam memasarkan dagangan semanggi melakukan perjalanan yang jauh, sehingga dapat dikategorisasikan dalam kependudukan sebagai migrasi sirkuler atau migrasi non permanen.

Agar lebih jelas maka penulis diskripsikan masing-masing bakul semanggi yang menjadi subjek penelitian kali ini.

Bakul Semanggi 1

Seorang subjek yang menekuni usaha semanggi ini bernama ibu Mu’ripah, usia 65 tahun, menggeluti usahanya sekitar 17 tahun. Usaha ini pun diperoleh dari peninggalan ibu mertuanya. Subjek dengan senang hati melanjutkan usaha ini, karena dengan menjadi bakul gendong semanggi berkeliling, subjek dapat menghidupi keluarganya.

Dengan tekad yang kuat tetap menjalankan usahanya meskipun jarak yang harus ditempuh sangat jauh, penghasilan yang diperolehnya tidak menentu, kadang bisa habis,

kadang tidak, tetapi karena kebanggaan dan kecintaan terhadap kota kelahirannya yaitu kota Surabaya, membuat subjek ingin tetap menjadi bakul semanggi gendong walaupun dirasa berat atau subjek mengatakan dengan istilah soro tapi seneng yang artinya ’sengsara tapi senang’. Soro disini diartikan juga karena menjadi bakul gendong semanggi itu dalam menjajakannya harus melakukan perjalanan jauh, sedangkan seneng diartikan senang melakukan menjadi bakul gendong, apalagi kalau dagangannya habis, sehingga pulang membawa uang banyak.

Selain naik angkutan umum atau carteran dengan sesama bakul gendong, sesampainya di pemberhentian terakhir Pasar Kembang, subyek harus mulai melakukan perjalanan berkeliling dari kampung ke kampung yang menjadi tujuannya hingga sore hari saatnya kembali ke rumah. Namun semua itu subjek jalani dengan ikhlas untuk melanjutkan tradisi keluarga dan membantu pemerintah kota dengan menjaga dan melestarikan kuliner tradisional ini sebagai aset budaya lokal Kota Surabaya agar tidak cepat punah, apalagi bila di Kelurahan Sememi ada kunjungan dari Walikota Surabaya atau ada pertemuan-pertemuan yang bersifat kedinasan, baik di lingkungan Kelurahan, Kecamatan, Kotamadya, bahkan tingkat Propinsi Jawa Timur.

Subjek selalu ikut serta untuk menyuguhkan kuliner semanggi sebagai kuliner khas Kota Surabaya yang sampai saat ini tetap eksis di tengah persaingan makanan-makanan tradisional yang beraneka ragam dan menjamurnya makanan modern.

Itulah pengalaman yang pernah subyek rasakan, selain pengalaman setiap hari harus bergulat dengan waktu baik saat memasak semanggi dan kelengkapannya serta harus menjual berkeliling di Kota Surabaya yang sangat melelahkan.

Semua itu akan menyenangkan saat kembali di sore hari dengan membawa uang. Dengan adanya uang, subjek dapat berjualan lagi di esok hari dan subjek dapat memberi uang saku sekolah cucu-cucunya. Dengan begitu subjek merasa senang dan bahagia.

Bakul Semanggi 2

Berbeda lagi dengan subjek yang bernama ibu Rukana, berusia 62 tahun. Subjek menjadi bakul gendong semanggi sudah 26 tahun lamanya. Pengalaman diperolehnya dari nenek dan ibunya yang kala itu juga menjadi bakul gendong semanggi. Subjek memperoleh bahan semanggi dari juragan atau orang yang menanam atau menyediakan bahan mentah semanggi.

Subjek setiap hari menjajakan semanggi di kota Surabaya, tepatnya di sekitar jalan Dharmawangsa, Kampus Unair, Kedung Tarukan, Kedung Sroko sampai Kali Kepiting. Walau tenaganya sudah tua, ia tetap ingin menjadi bakul gendong semanggi karena untuk melestarikan tradisi keluarga sampai batas ia kuat menjalaninya.

Subjek merupakan generasi terakhir di keluarganya yang masih tetap menjadi bakul gendong semanggi. Subyjek mengatakan “sinten sing bade nerusaken sadean semanggi, nek kulo mboten purun”, artinya siapa yang akan melanjutkan berjualan semanggi kalau bukan saya. Subjek mengatakan bahwa anak-anaknya tidak mau menjadi bakul gendong semanggi seperti dirinya karena soro atau sengsara dan penghasilan yang diperolehnya tidak menentu. Oleh karena itulah walau dirinya sudah tua ingin tetap menjajakan semanggi dan tidak mau berubah yang lain.

Subyek mengatakan biasanya dalam satu minggu saya akan ada hari untuk istirahat dari kegiatan bakul gendong. Hal ini subjek lakukan untuk menjaga kesehatan badan karena sudah tua. Kalau zaman subjek masih muda dulu tidak pernah libur dari bakul gendong, apalagi bila di Surabaya sudah punya langganan banyak, menjadi suatu motivasi bagi diri subjek untuk tetap melakukan berjualan sampai sekarang ini.

Pengalaman subjek adalah saat menjajakan keliling tiba-tiba ada langganan yang “nebas” atau diborong semua. Itu membuat subjek lebih giat untuk menjadi bakul gendong, apalagi yang nebas itu adalah orang Surabaya keturunan Tionghoa, berarti kuliner semanggi

yang subyek jajakan itupun juga digemari orang Surabaya keturunan, tidak hanya orang Surabaya asli saja.

Pengalaman subjek yang lain adalah bahwa setiap hari harus pergi pulang dari Kendung ke Surabaya dan kembali ke Kendung lagi dengan naik angkutan umum merupakan suatu pengalaman rutin yang harus subyek jalani. Harapan subjek semoga semanggi akan lebih banyak digemari, terutama anak-anak muda, makanya subjek setiap hari selalu mampir ke tempat-tempat yang banyak anak mudanya, misalnya di kampus-kampus.

Bakul Semanggi 3

Ibu Salamah, berusia 54 tahun, asal dari Desa Kendung, subjek menjadi bakul gendong semanggi selama 15 tahun. Pengalaman diperolehnya dari orang tuanya yang juga menjajakan semanggi di Kota Surabaya dan sekarang sudah tidak lagi karena sudah tua. Subjek merasa terbebani apabila tidak mengikuti jejak ibunya karena ketrampilan tersebut diturunkan dari ibunya untuk dilanjutkan kepada anak-anaknya, terutama anak perempuan. Subjek mempunyai dua saudara perempuan yang semuanya juga menjadi bakul gendong semanggi, hanya saja adiknya menjajakan semanggi di sekitar Kendung, karena masih memiliki anak-anak yang masih relatif kecil untuk ditinggal jauh seharian.

Subjek berangkat dari Kendung sekitar pukul 07.00 pagi naik angkutan umum menuju ke Pasar Kembang sebagai tempat pemberhentian terakhir dari Kendung menuju Kota Surabaya. Dari Pasar kembang subjek naik angkutan lagi menuju ke daerah Rungkut. Sesampai di Rungkut subjek mulai berkeliling menjajakan semangginya menemui para pelanggannya yang setia untuk membeli. Biasanya subjek setiap seminggu sekali datang ke tempat- tempat dimana ia kelilingi untuk menemui pelanggannya.

Sepincuk semanggi subjek tawarkan dengan harga Rp 4.000,00 sampai Rp 5.000,00 sudah termasuk kerupuk puli. Ia menjajakan semangginya hingga habis bahkan sampai jam 17.00 saatnya ia harus kembali ke desa Kendung sebagai tempat tinggal keluarganya. Apabila

dagangan habis, subjek bisa membawa pulang sekitar Rp 200.000,00 sampai Rp 250.000,00 Ia senang menjadi bakul gendong semanggi karena ikut melestarikan budaya makanan khas Kota Surabaya yang sekarang semakin sulit diperolehnya.

Bakul Semanggi 4

Lain halnya dengan ibu Ati. Subjek ini telah berusia 52 tahun, tetap loyal dengan mata pencahariannya meskipun penghasilan yang didapatnya tidak menentu. Bekerja sebagai bakul gendong semanggi keliling selama 20 tahun ini semakin membuat subjek bersemangat untuk terus melestarikan dan mengembangkan atau mengenalkan semanggi kepada generasi muda.

Pada generasi muda sekarang ini banyak disuguhi makanan-makanan modern dan cenderung melupakan makanan tradisonal, padahal kuliner tradisional ini merupakan makanan tradisional masyarakat kota Surabaya.

Subjek berjualan secara berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Biasanya subjek berangkat dari rumah pukul 08.00 pagi dengan naik angkutan umum dari Kendung menuju ke Pasar Kembang sebagai tempat pemberhentian terakhir angkutan tersebut ke Kota Surabaya.

Sesampai di Pasar kembang subjek memulai aktivitasnya yang rutin dilakukan setiap hari yaitu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki mengelilingi kampung-kampung yang ada di sekitar jalan Diponegoro hingga jalan Genteng sampai sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, kemudian kembali ke rumah di desa Kendung, Benowo dengan naik angkutan umum lagi dari Pasar Kembang.

Subjek menjual satu porsi semanggi ini dengan harga yang sangat terjangkau yaitu dengan harga Rp 4.000,00 sampai Rp 5.000,00 per pincuk. Meskipun pada zaman sekarang lebih sulit untuk menjual semanggi karena harus bersaing dengan makanan-makanan modern yang lain tetapi ibu Ati tetap berusaha eksis untuk menjadi bakul gendong semanggi.

Bakul Semanggi 5

Ibu Muni, (59 tahun), subjek merupakan warga asli Kendung yang telah lama berprofesi menjadi bakul gendong semanggi, sudah 26 tahun lamanya. Hampir seluruh keluarganya bekerja sebagai penjual semanggi keliling.

Berjualan semanggi merupakan suatu tradisi dalam keluarganya. Bahkan jika salah satu anggota keluarganya ada yang menolak untuk berjualan semanggi utamanya perempuan, maka orang tersebut akan dikucilkan oleh keluarga.

Subjek mendapatkan semanggi dari juragan, sedangkan untuk bumbu-bumbunya subjek membelinya sendiri dan mengolahnya sendiri. Proses pengolahan bumbu-bumbunya menggunakan resep rahasia keluarga. Subjek sangat bangga berjualan semanggi sebab di satu sisi subek mendapatkan materi namun, di sisi lain juga mendapatkan kepuasan dalam hal nonmateri sebab dengan menjadi bakul gendong semanggi berarti subjek ikut melestarikan tradisi keluarga dan budaya kuliner masyarakat Kota Surabaya agar tidak punah.

Bakul Semanggi 6

Ibu Warsini, perempuan asal Desa Kendung ini berusia 54 tahun, subjek menjadi bakul gendong semanggi sudah 15 tahun. Keterampilam membuat kuliner semanggi diturunkan dari keluarganya, terutama ibunya yang dulu juga menjadi bakul gendong semanggi. Bahan mentah semanggi diperolehnya dari juragan (pengepul).

Subjek mengaku senang menjadi bakul gendong semanggi karena makanan ini adalah sebagai makanan khas orang Surabaya asli, katanya. Dengan menjadi bakul gendong semanggi berarti ikut menjaga kelestarian budaya masyarakat Kota Surabaya tentang makanan tradisional, apalagi bila ada kegiatan di Kelurahan kendung atau Kecamatan Benowo biasanya akan “ditebas”, artinya diborong, sehingga tidak usah berkeliling langsung sudah habis dan cepat pulang ke rumah dengan membawa uang yang cukup lumayan. Hanya

saja apabila ditebas hanya dihargai Rp 3.000,00 saja per pincuk, sedangkan kalau di Surabaya subjek menjual dengan harga Rp 5.000,00 per pincuk.

Subjek setiap hari selalu menjajakan semangginya di Surabaya, terutama di sekitar jalan Jembatan Merah sampai Tanjuk Perak. Berangkat dari rumah pukul 07.00 pagi dan kembali ke Desa Kendung pukul 16.00 WIB dengan naik angkutan umum.

Subjek mengatakan bahwa menjadi bakul gendong semanggi itu ada enak dan ada tidak enaknya. Enaknya kalau ketemu pelanggan di Surabaya dan membeli, rata-rata langganan subjek adalah orang Surabaya yang sudah berusia paroh baya, jarang anak-anak muda yang membeli. Apabila ada anak-anak muda yang membeli semanggi saya, saya ikut senang karena makanan tradisional ini untuk ke depannya ada yang masih menggemari, sehingga tidak cepat hilang. Tidak senangnya, apabila pada musim hujan berkeliling jarang ada yang membelinya, sehingga sampai saatnya pulang terpaksa membawa semanggi lagi, berarti itu suatu kerugian, karena semanggi tidak bertahan lama apalagi sudah dimasak, terpaksa dimakan sendiri.

Bakul Semanggi 7

Subjek berikutnya bernama ibu Patemi, berusia 55 tahun, berasal dari Desa Kendung. Sehari- hari subyek menjadi bakul gendong semanggi sudah 18 tahun lamanya. Pengalaman diperolehnya dari ibu mertua dan keluarganya yang rata-rata juga menjadi bakul gendong semanggi di kota Surabaya.

Tanaman semanggi diperolehnya dengan cara menanam sendiri di pekarangan rumahnya yang tidak terlalu luas. Namun untuk menanam semanggi ini menurut subjek harus telaten karena sebentar-sebentar disiram agar tidak mati. Sering kali saat menanam tidak dapat menghasilkan semanggi seperti yang diharapkan, sehingga subjek harus membeli dari juragan atau pengepul. Sebesek kecil dihargai dengan Rp 3.000,00, dan untuk kebutuhan dijual setidaknya membutuhkan sekitar 10 besek semanggi mentah. Setelah dimasak

semanggi tersebut akan menyusut dan siap di letakkan di atas tampah lengkap dengan kecambah dan bumbunya, serta seplastik krupuk puli siap untuk digendong berkeliling dipasarkan kepada pelanggannya di Kota Surabaya.

Subjek biasanya berangkat dari rumahnya pukul 08.00 pagi dengan naik mobil carteran bersama teman-temannya sesama bakul gendong semanggi sampai di Pasar Kupang. Setelah itu berpencar, subjek mulai menjajakan dagangannya di sekitar jalan Dinoyo, Ngagel sampai Wonokromo.

Subjek mengaku senang dengan pekerjaannya ini, karena dapat menghidupi keluarganya, sekaligus melestarikan tradisi makanan masyarakat Surabaya. Subjek merasa senang menjadi bakul gendong di Surabaya, karena setiap hari dapat terhibur hatinya bisa bekerja sendiri, tidak menggantungkan orang lain, dapat mengetahui perkembangan Kota karena setiap hari berkeliling, hal tersebut merupakan pengalaman yang berharga, apalagi bila ketemu pelanggannya dan menceritakan tentang pendidikan anak-anaknya, pekerjaannya, serta bagaiman menerapkan kebersihan, dan yang lainnya, itu merupakan suatu motivasi bagi subjek untuk mencontoh.

Bakul Semanggi 8

Subjek ini bernama ibu Munawaroh, usia 54 tahun, asal Desa Kendung. Subjek telah menjadi bakul gendong semanggi sejak usia 37 tahun. Pengalaman diperolehnya dari ibu mertuanya yang dulu juga menjadi bakul gendong semanggi.

Subyjk tertarik menjadi bakul gendong karena ingin membantu ekonomi keluarganya dan ingin tetap mempertahankan tradisi keluarganya tentang semanggi, apalagi ibu mertuanya sudah semakin tua, siapa lagi yang akan melanjutkan kalau bukan saya, begitu kata subjek.

Bahan mentah semanggi diperolehnya dari membeli di juragan atau pengepul tanaman semanggi. Sepincuk semanggi subyek menjual dengan harga Rp 4.000,00 sampai Rp

5.000,00. Subjek biasanya menjajakan semanggi di sekitar jalan Raya Gubeng, Kertajaya sampai jalan Pucang.

Subjek mengaku senang menjadi bakul semanggi gendong karena dapat membantu masyarakat Kota Surabaya menyediakan makanan khasnya yaitu semanggi Surabaya. Selain itu, dengan menjadi bakul gendong semanggi, subjek setiap hari bisa membawa uang sehingga tidak khawatir keluarganya tidak makan atau mencukupi kebutuhan yang lain, misalnya membiayai anak sekolah, untuk menyumbang keluarga atau tetangga yang punya hajatan.

Bakul Semanggi 9

Subjek yang bernama ibu Sumi ini penulis temui termasuk yang paling muda di antara subjek yang lain, Subjek ini berusia 47 tahun, asal Desa Kendung. Sejak usia 35 tahun subyek menjadi bakul semanggi.

Pengalaman diperolehnya dari kakak iparnya yang sama-sama menjadi bakul