• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINERJA TENAGA KERJA DAN KESEMPATAN KERJA DI NTT

2. Kinerja Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja Regional

2.8 Kinerja Partisipasi Tenaga Kerja Wanita di NTT

Kinerja partisipasi tenaga kerja wanita diukur berdasarkan proporsi dari jumlah keseluruhan wanita yang bekerja dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk usia

kerja. Kinerja partisipasi tenaga kerja wanita di Nusa Tenggara Timur adalah 42,5% atau sekitar 769.004 orang.

Kinerja partisipasi tenaga kerja wanita dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2000 dapat dilihat dalam Tabel 8 dari Lampiran V. Tampak di sini bahwa terdapat enam kabupaten yang memiliki kinerja partisipasi tenaga kerja wanita lebih rendah daripada rata-rata Provinsi NTT (42,5%), diurutkan berdasarkan persentase terrendah yaitu : (1) Kota Madya Kupang (29,0%), (2) Timor Tengah Selatan (33,4%), (3) Belu (36,9%), (4) Kabupaten Kupang (40,8%), (5) Sumba Timur (40,9%), dan (6) Timor Tengah Utara (41,8%). Terdapat tujuh kabupaten yang memiliki kinerja partisipasi tenaga kerja wanita lebih tinggi daripada rata-rata Provinsi NTT (42,5%), diurutkan berdasarkan persentase tertinggi, yaitu : (1) Ende (53,7%), (2) Flores Timur (48,5%), (3) Sikka (46,4%), (4) Manggarai (46,0%), (5) Ngada (44,4%), (6) Alor (43,1%), dan (7) Sumba Barat (42,7%).

2.9 Kinerja Tenaga Kerja yang Memiliki Status Sebagai Karyawan

Kinerja tenaga kerja yang memiliki status sebagai karyawan diukur berdasarkan proporsi dari jumlah tenaga kerja yang memiliki status pekerjaan utama sebagai buruh atau karyawan dibandingkan dengan jumlah keseluruhan tenaga kerja yang ada. Buruh atau karyawan adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang.

Tenaga kerja yang memiliki status sebagai buruh atau karyawan dalam struktur perekonomian regional Nusa Tenggara Timur merupakan tenaga kerja yang paling terkena dampak dalam memperoleh pendapatan ekonomi yang rendah, juga merupakan tenaga kerja yang paling peka dalam menghadapi persaingan dan perubahan ekonomi global di masa mendatang, serta berpeluang besar untuk menjadi penganggur terbuka. Masalah utama yang dihadapi oleh tenaga kerja yang memiliki status pekerjaan sebagai buruh atau karyawan di Nusa Tenggara Timur adalah memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah,

memperoleh pembayaran upah dan gaji yang rendah, memiliki tingkat produktivitas yang rendah, memperoleh pendapatan ekonomi yang rendah, sebagai konsekuensinya penghasilan ekonomi yang terbatas itu hanya dipakai untuk memenuhi konsumsi yang terbatas, sehingga tidak mampu menggerakkan roda perekonomian regional Nusa Tenggara Timur.

Kinerja tenaga kerja yang memiliki status sebagai buruh atau karyawan di Nusa Tenggara Timur adalah 11,1% atau sekitar 200.846 orang.

Kinerja tenaga kerja yang memiliki status sebagai buruh atau karyawan dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2000 dapat dilihat dalam Tabel 9 dari Lampiran V. Tampak di sini bahwa terdapat lima kabupaten yang memiliki kinerja tenaga kerja yang memiliki status sebagai buruh atau karyawan lebih tinggi daripada rata-rata Provinsi NTT (11,1%), diurutkan berdasarkan persentase tertinggi yaitu : (1) Kota Madya Kupang (59,2%), (2) Belu (12,3%), (3) Manggarai (12,1%), (4) Alor (12,0%), dan (5) Ngada (11,3%). Terdapat delapan kabupaten yang memiliki kinerja tenaga kerja yang memiliki status sebagai buruh atau karyawan lebih rendah daripada rata-rata Provinsi NTT (11,1%), diurutkan berdasarkan persentase terrendah, yaitu : (1) Timor Tengah Selatan (4,0%), (2) Sumba Barat (4,5%), (3) Kabupaten Kupang (6,6%), (4) Timor Tengah Utara (7,7%), (5) Ende (9,7%), (6) Flores Timur (10,0%), (7) Sikka (10,4%), dan (8) Sumba Timur (11,0%).

2.10 Kinerja Tenaga Kerja yang Memiliki Status Sebagai Pekerja

Mandiri

Dalam studi ini tenaga kerja yang memiliki status sebagai pekerja mandiri diukur

berdasarkan proporsi dari penjumlahan dari tenaga kerja yang memiliki status pekerjaan utama sebagai berusaha atau bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain (self employed) ditambah dengan tenaga kerja yang memiliki status pekerjaan utama sebagai berusaha dengan dibantu anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap (self employed assisted by family

members or temporary employee) dibandingkan dengan jumlah keseluruhan tenaga kerja yang ada.

Berusaha atau bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain merupakan status pekerjaan bagi mereka yang bekerja/berusaha atas risiko sendiri, dan dalam usahanya tidak mempekerjakan pekerja keluarga maupun buruh. Contoh berusaha atau bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain adalah: (1) tukang ojek yang membawa motor atas risiko sendiri, (2) sopir taksi yang membawa mobil atas risiko sendiri, (3) kuli-kuli di pasar, stasiun atau tempat-tempat lainnya yang tidak mempunyai majikan tertentu, dan lain-lain.

Berusaha dibantu dengan anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap merupakan status pekerjaan bagi mereka yang bekerja sebagai orang yang berusaha atas resiko sendiri, dan dalam usahanya mempekerjakan anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap. Contoh berusaha atau bekerja sendiri dibantu dengan anggota rumahtangga atau buruh tidak tetap adalah: (1) pengusaha warung yang dibantu oleh anggota rumahtangganya atau orang lain yang diberi upah tidak tetap, (2) pedagang keliling yang dibantu anggota rumahtangganya atau seseorang yang diberi upah hanya pada saat membantu saja, (3) petani yang mengusahakan tanah pertaniannya dengan dibantu anggota rumahtangganya atau buruh tani tidak tetap, dan lain-lain.

Tenaga kerja yang memiliki status sebagai pekerja mandiri ini dalam struktur perekonomian regional Nusa Tenggara Timur merupakan tenaga kerja yang tergolong ke dalam usaha kecil, memperoleh pendapatan ekonomi yang rendah, juga merupakan tenaga kerja yang paling peka dalam menghadapi persaingan dan perubahan ekonomi global di masa mendatang, karena memiliki skala usaha yang tidak ekonomis (diseconomies of scale), di mana pendapatan ekonomi dari skala usaha yang kecil itu tidak mampu menutupi biaya produksi yang dikeluarkan. Pekerja mandiri ini di Nusa Tenggara Timur hanya bersifat subsisten—sekedar mencukupi kebutuhan pokok untuk mempertahankan kehidupannya.

Jelas bahwa tenaga kerja yang memiliki status pekerjaan sebagai pekerja mandiri ini di Nusa Tenggara Timur tidak dapat diharapkan kemandiriannya untuk menjadi masyarakat NTT yang mandiri, maju, dan sejahtera di masa mendatang, karena keterbatasan dalam sumberdaya modal telah menyebabkan mereka tidak dapat mengembangkan usahanya menjadi usaha berskala ekonomis (economies of scale), pada akhirnya mereka hanya terjebak dalam perangkap kemiskinan struktural (structural poverty trap) yang diciptakan oleh dan melekat dalam sistem perekonomian regional Nusa Tenggara Timur.

Kinerja tenaga kerja yang memiliki status sebagai pekerja mandiri di Nusa Tenggara Timur adalah 43,6% atau sekitar 788.908 orang. Kinerja tenaga kerja yang memiliki status sebagai pekerja mandiri dari kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2000 dapat dilihat dalam Tabel 10 dari Lampiran V. Tampak di sini bahwa terdapat lima kabupaten yang memiliki kinerja tenaga kerja yang berstatus sebagai pekerja mandiri lebih rendah daripada rata-rata Provinsi NTT (43,6%), diurutkan berdasarkan persentase tertinggi yaitu : (1) Kota Madya Kupang (27,7%), (2) Sumba Timur (35,3%), (3) Manggarai (36,7%), (4) Sumba Barat (38,7%), dan (5) Ngada (40,5%). Terdapat delapan kabupaten yang memiliki kinerja tenaga kerja yang berstatus sebagai pekerja mandiri lebih tinggi daripada rata-rata Provinsi NTT (43,6%), diurutkan berdasarkan persentase tertinggi, yaitu : (1) Timor Tengah Selatan (56,1%), (2) Alor (50,9%), (3) Belu (49,4%), (4) Sikka (47,5%), (5) Flores Timur (46,6%), (6) Ende (45,6%), (7) Kabupaten Kupang (45,0%), dan (8) Timor Tengah Utara (44,8%).