• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Kinerja

2.3.1. Pengertian Kinerja

Istilah kinerja atau prestasi kerja sebenarnya pengalih bahasaan dari bahasa Inggris “performance”. Kamus The New Webster Dictionary dalam Ruky (2001) ada

tiga arti bagi kata performance yaitu: 1) performance adalah prestasi yang digunakan dalam konteks atau kalimat misalnya mobil yang sangat cepat, 2) performance adalah pertunjukan yang biasanya digunakan dalam kalimat “Folk Dance Performance”

atau “Pertunjukan Tarian-tarian Rakyat”, 3) Performance adalah “Pelaksanaan Tugas” misalnya dalam kalimat “In performing his/her duties”.

Bernandin dan Russel dalam Gomes (2003) menyatakan: “Performance

merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama suatu periode waktu tertentu”.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa performance atau prestasi adalah hasil atau apa yang keluar (outcomes) dari sebuah pekerjaan yang telah pegawai lakukan dari suatu fungsi pekerjaan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau kontribusi mereka pada organisasi pada suatu periode waktu yang telah ditetapkan oleh organisasi tersebut.

Sedangkan Simamora dalam Timotius (2002) menyatakan kinerja merupakan suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik kwantitas maupun kualitas. Kinerja merupakan hasil yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan pada kecakapan, pengalaman dan keunggulan serta waktu dengan output yang dihasilkan tercermin dengan baik.

Penilaian prestasi kerja merupakan prosedur yang formal dilakukan di dalam organisasi untuk mengevaluasi pegawai dan sumbangan serta kepentingan bagi pegawai. Pada penilaian kinerja tidak hanya semata-mata menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan, kerajinan, disiplin, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai bidang tugasnya semuanya layak untuk dinilai.

Adapun tujuan penilaian kinerja yang dilakukan oleh perusahaan agar memberikan dorongan kepada pegawai agar dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan tujuan dan keinginan perusahaan.

2.3.2. Pengukuran Kinerja

Pendekatan penilaian kinerja hendaknya mengindentifikasi standar kinerja yang terkait, mengukur kinerja, dan kemudian memberikan umpan balik pada pegawai dan departemen sumber daya manusia.

Mangkuprawira (2004) menyatakan: “penilaian kinerja yang dilakukan dalam suatu organisasi haruslah mengikuti standar kinerja yang ditetapkan, di mana

pengukuran kinerja tersebut juga memberikan umpan balik yang positif kepada pegawai”.

Departemen sumber daya manusia mengembangkan penilaian kinerja bagi para pegawai di semua departemen. Elemen-elemen pokok sistem penilaian ini mencakup kriteria yang yang ada hubungannya dalam pelaksanaan pekerjaan, ukuran-ukuran kriteria dan kemudian memberikan umpan balik pada karyawan dan departemen sumber daya manusia. Jika standar kinerja atau perhitungan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, evaluasi dapat mengarah pada ketidakakuratan atau hasil yang bias, merenggangkan hubungan manajer dengan karyawan, dan memperkecil kesempatan kerja sama. Tanpa umpan balik, perbaikan dalam perilaku sumber daya manusia tidaklah mungkin terjadi dan bagian personalia tidak akan memiliki catatan akurat dalam sistem informasi sumber daya manusianya.

Menurut Ruky (2001):

“Pendekatan atau cara yang bersifat individual adalah cara yang menekankan pada pengukuran atau penilaian ciri-ciri kepribadian karyawan daripada hasil kerjanya, di mana karakteristik yang banyak dijadikan objek pengukuran adalah: kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas, kemauan bekerja, adaptasi, komitmen, motivasi, sopan santun, dan tanggung jawab”. Fokus perhatian pada metode ini adalah manusianya atau karakteristik yang harus dipenuhi karyawan agar mereka mampu atau akan melaksanakan tugas- tugasnya dengan tepat, benar dan sempurna sehingga akhirnya mempunyai pretasi yang bagus.

Dharma (2004) menyatakan bahwa:

“Pendekatan tradisionil terhadap penilaian kinerja didasarkan pada asumsi bahwa hal itu adalah suatu proses dari atas ke bawah dan ada pendekatan lain yang dapat digunakan yaitu: a) penilaian atas diri sendiri, b) penilaian oleh bawahan, c) penilaian oleh rekan sejawat, d) penilaian oleh multi assessment”. Pada umumnya sistem penilaian yang banyak dilakukan pada organisasi adalah sistem penilaian dari atas ke bawah, di mana pimpinan melakukan suatu penilaian terhadap bawahan berdasarkan garis wewenangnya meskipun ini sebenarnya bersifat sujektif karena pimpinan akan melakukan suatu penilaian berdasarkan rasa suka atau tidak suka. Penilaian oleh bawahan terhadap atasan biasanya dilakukan hanya menggunakan kuesioner yang diisi oleh bawahan, namun pada prakteknya tanggapan bawahan pada kuesioner tersebut kurang berpengaruh terhadap posisi atasan tersebut. Namun pada perusahaan besar yang sistem penilaiannya sudah cukup profesional, penilaian terhadapa kinerja biasanya sudah cukup objektif.

Penilaian kinerja seharusnya menciptakan gambaran akurat dari kinerja perorangan. Penilaian tidak dilakukan hanya untuk mengetahui kinerja buruk. Hasil- hasil yang baik dan dapat diterima harus diidentifikasi sehingga dapat dipakai sebagai dasar penilaian hal lainnya. Untuk mencapai tujuan ini, sistem penilaian hendaknya terkait dengan pekerjaan dan praktis, termasuk standar, dan menggunakan ukuran- ukuran terukur. Pekerjaan terkait berarti bahwa sistem mengevaluasi perilaku- perilaku kritis yang mengandung keberhasilan pekerjaan, hal ini tidaklah absah.

Cascio dalam Ruky (2001) menyatakan bahwa:

“Sebuah program manajemen kinerja yang efektif hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Relevance, yaitu hal-hal atau faktor-faktor yang diukur adalah relevan (terkait) dengan pekerjaannya, apakah itu

outputnya, prosesnya atau inputnya. b) Sensitivity, yaitu sistem yang

digunakan harus cukup peka untuk membedakan antara pegawai yang berprestasi dan tidak berprestasi. c) Reability, yaitu sistem yang digunakan harus dapat diandalkan, dipercaya bahwa menggunakan tolak ukur yang objektif, sahih, akurat, konsisten dan stabil. d) Acceptability, yaitu sistem yang digunakan harus dapat dimengerti dan diterima oleh pegawai yang menjadi penilaian maupun yang dinilai dan memfasilitasi komunikasi aktif dan kontruktif antara keduanya dan e) Practicality, yaitu semua instrumen, misalnya formulir yang digunakan harus mudah digunakan oleh kedua pihak, tidak rumit, mengerikan dan berbelit-belit”.

Dokumen terkait