• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IDEOLOGI DAN PERAN AKTOR DALAM PERTAMBANGAN PASIR GALUNGGUNG

Boks 1. Kisah Kehidupan kasus Bapak JIL (53 Tahun)

Bapak JIL merupakan warga asli kampung Karangdan, Desa Mekarjaya, kecamatan Padakembang. Ketika tahun 2005, beliau merupakan salah satu orang yang turut terlibat dalam proses produksi di perusahaan pertambangan pasir milik salah satu juragan tambang yang bertempat tinggal di Jakarta. Menurutnya, ketika itu aktivitas pertambangan memang mengalami masa “keemasannya”. Banyak bermunculan perusahaan tambang pasir yang menerima pesanan pasir dalam jumlah yang besar.

Namun menurutnya, hampir kesemua perusahaan tersebut tidak pernah melalui proses perizinan yang resmi. “Sudah rahasia umum jika disini orang lebih senang mengurus lewat jalur „belakang‟. Dan sudah rahasia umum juga jika juragan tambang semakin kaya, dan pekerjanya tetap miskin”. Pernyataan tersebut juga setidaknya telah menggambarkan alasan kuat mengapa beliau memilih kembali bekerja sebagai buruh tani dan mengurus kolam ikan pada tahun 2007. “Bagaimanapun juga pertanian jauh lebih menjanjikan”, tuturnya.

Tabel 3 Jumlah perusahaan industri sedang dan besar Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2013

Sumber: Kabupaten Tasikmalaya dalam Angka 2013

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat data yang cukup berbeda dengan fakta yang ada di lapangan. Berdasarkan tabel tersebut, dari total enam Kecamatan yang berada di kawasan sekitar wilayah Gunung Galunggung, hanya Kecamatan Singaparna yang disebutkan terdapat industri sedang dan besar. Padahal industri besar dan sedang yang berada di kawasan Kecamatan Singaparna bukanlah industri pertambangan pasir. Sedangkan Kecamatan yang secara nyata kaya dengan industri pertambangannya seperti Kecamatan Padakembang dan Kecamatan Sukaratu disebutkan tidak terdapat satupun industri golongan sedang atau besar. Padahal yang dimaksudkan dengan industri besar-sedang adalah perusahaan industri dengan jumlah tenaga kerja minimal 20 orang. Padahal industri tambang yang pada saat ini ada di Kecamatan Padakembang khususnya Desa Mekarjaya merupakan industri berskala besar yang jelas-jelas memiliki tenaga kerja lebih dari 20 orang. Bahkan menurut pemerintah Desa Mekarjaya sendiri, CV AS yang merupakan salah satu industri tambang terbesar di kawasan Gunung Galunggung telah melakukan aktivitas pertambangannya sejak tahun 2006. Bahkan menurut pihak Desa CV AS baru saja memperpanjang kontraknya pada tahun 2011 lalu. Tentunya sebagai perusahaan besar yang telah lama eksis CV AS setidaknya dapat digolongkan pada perusahaan golongan sedang dan besar.

Pernyataan tersebut juga diperjelas oleh beberapa warga dari Desa Mekarjaya yang rumahnya berada tepat di pinggir jalan utama yang merupakan jalur dimana truk-truk pengangkut material pasir berlalu-lalang. Menurut mereka sejak dahulu atau khususnya pasca-orde baru tahun 1998 aktivitas pertambangan pasir hanya sempat berhenti beberapa saat, namun tidak lama kemudian truk-truk kembali berlalu lalang mengangkut material pasir Gunung Galunggung. Terlebih menurut mereka semenjak adanya pembangunan jalan aspal yang diinisiasi juga oleh pihak masyarakat, pemerintah dan pihak pertambangan pasir. Jalan aspal yang selanjutnya kerap disebut warga sebagai jalan baruini setidaknya telah menjadi “saksi” bahwa aktivitas pengangkutan material pasir dari Gunung Galunggung memang tidak pernah sepenuhnya berhenti. Seperti halnya yang dikatakan

No. Kecamatan Sedang Besar Jumlah

1 Singaparna 3 1 4 2 Cigalontang 1 0 1 3 Leuwisari 0 0 0 4 Sariwangi 0 0 0 5 Padakembang 0 0 0 6 Sukaratu 0 0 0

oleh SNY (43 tahun) warga Desa Mekarjaya yang bertempat tinggal di sekitar pinggir jalan baru:

“Sepengetahuan saya itu tidak pernah sampai tidak ada truk di jalan (jalan Desa Mekarjaya), pasti saja selalu ada. Apalagi kalau sampai satu atau dua tahun tidak ada truk pasir yang “lalu lalang” itu tidak pernah sama sekali. Belakangan ini juga sama, saya kan sejak lama tinggal di sini (di pinggir jalan), jadi selalu dengar kalau ada truk yang lewat. Tapi kalau masalah ada izin atau tidak, kita masyarakat kurang mengerti, yang masyarakat tahu selama ini jika masih ada truk lewat, maka berarti penambangan pasir masih berlangsung.”

Pernyataan SNY juga mengindikasikan adanya data yang bertolak belakang dengan fakta yang berada di lapangan. Walaupun menurut data pada tahun 2013 di wilayah Kecamatan Padakembang tidak terdapat industri yang termasuk pada golongan menenengah atau besar, sebagian besar masyarakat menyatakan pernyataan yang menyatakan sebaliknya, dimana pada tahun 2013 mereka masih dapat melihat truk yang berlalu lalang membawa material pasir. Pada dasarnya, isu aktivitas penambangan pasir Galunggung secara ilegal atau tanpa izin memang sudah sering didengar warga sejak aktivitas penambangan pasir pada zaman rezim orde baru, namun hingga saat ini masih banyak warga yang tidak mampu bertindak untuk menanggapi persoalan tersebut. Namun bagaimanapun juga, bagi sebagian warga yang kritis dan menuntut dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan pasir Gunung Galunggung, transparansi dan kejelasan legalitas aktivitas penambangan pasir Galunggung merupakan salah satu hal yang mereka gaungkan. Tetapi baik pemerintah tingkat Desa maupun di tingkat Kecamatan seolah saling menghindar dan cenderung beralasan permasalahan penambangan merupakan permasalahan kompleks yang dari aspek perizinannya lebih banyak diurus oleh pemerintah pusat. Seperti yang disebutkan oleh YYT (52 tahun) seorang peternak ikan di Desa Mekarjaya yang juga cukup aktif dalam menuntut hak-hak masyarakat yang terkena dampak dari aktivitas penambangan pasir:

“Saya dan teman-teman dari kelompok pembenihan ikan itu sudah bukan sekali atau dua kali datang ke kantor desa. Tapi tetap saja hasilnya sama, ketika awal tahun kemarin kita baru kesana dan meminta surat tentang perizinan perusahaan tambang, tetapi tidak pernah ada. Padahal seharusnya izin menambang di daerah kita, di wilayah kita, ya minimal harus jelaslah suratnya ke masyarakat, karena itu hak masyarakat sebenarnya, tapi ya kenyataannya berbeda. Disini pokoknya uang yang berkuasa.”

Kelompok pembenihan ikan yang bapak YYT maksud adalah kelompok pembenihan ikan Mekar Saluyu Desa Mekarjaya yang mayoritas anggotanya merasa dirugikan atas dampak degradasi kualitas air sungai dari

aktivitas penambangan pasir. Berdasarkan pemaparan bapak YYT juga, pada saat ini setidaknya terdapat tiga perusahaan pertambangan pasir yang melakukan aktivitas penambangannya di tiga lokasi yang berbeda di Desa Mekarjaya. Hal ini kembali menunjukkan adanya perbedaan pernyataan antara pemerintah Desa dengan masyarakat. Dimana menurut pihak pemerintah Desa pada tahun 2014 ini hanya terdapat satu perusahaan pertambangan pasir yang sedang aktif melakukan aktvitas penambangan, yakni CV AS.

Berbagai fakta dan data yang menyatakan adanya penyimpangan tersebut setidaknya mampu memperlihatkan arah tendensi pihak pemerintah terkait dengan permasalahan pertambangan di kawasan Gunung Galunggung. Pemerintah yang seharusnya mampu merepresentasikan kekuatan populis justru malah terksesan bertindak sebaliknya dengan otoritas yang dimiliki. Bahkan dapat dikatakan orientasi pemerintah dalam kasus ini lebih cenderung mirip dengan pihak swasta yang mengedepankan keuntungan elite semata.

Cara pandang pemerintah yang lebih cenderung bertumpu pada benefit, developmentalism, dan antroposentris atau cara pandang yang menganggap alam hanya sebagai pemenuhan kebutuhan manusia, ini merupakan cara pandang yang setidaknya telah merugikan masyarakat yang berada di kawasan Gunung Galunggung selama kurang lebih tiga puluh tahun. Permasalahan ini pula yang sepertinya telah bercabang dan berkembang hingga tataran dan struktur pemerintah yang lebih kompleks. Terbukti dengan hingga saat ini sama sekali tidak terdapat kebijakan afirmatif yang dianggap mampu mendorong tujuan utama masyarakat yang berada di sekitar kawasan pertambangan, yakni kesejahteraan.

Ikhtisar

Penyelenggaraan otonomi daerah pada era ini tidak jarang justru menimbulkan dinamika dan polemik yang baru. Hal ini tergambarkan juga dengan carut marut politik dan kepentingan para aktor dalam kaitannya keberadaan perusahaan pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung. Terlebih, sebagai sebagai objek tambang yang memiliki nilai strategis, pasir di Gunung Galunggung harusnya dikeruk dengan mementingkan kepentingan masyarakat sekitarnya. Namun fakta di lapangan justru menunjukkan adanya penyimpangan dan non-transparansi pihak pemerintah terhadap keberadaan perusahaan tambang di Desa Mekarjaya. Padahal dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan tersebut tidak hanya sebatas di satu desa, namun juga hingga Desa-Desa lainnya diantaranya Desa Rancapaku yang tepat berada di sebelah Desa Mekarjaya. Namun memang pada akhirnya permasalahan ini bermuara pada perbedaan ideologi serta cara pandang para aktor tersebut dalam memandang lingkungan dan juga objek sumber daya alam. Seperti yang disimpulkan dalam Tabel 4 berikut ini:

Tabel 4 Analisis aktor pertambangan pasir Gunung Galunggung

No. Aktor Ideologi Peran Fakta

1 Masyarakat Kesejahteraan, Populis, Biocentrism (1) Penambang konvensional, (2) korban kebijakan (3) advokasi Suara masyarakat yang minor meyebabkan masyarakat tersingkir dan berada pada posisi inferior atas tekanan dan dominasi pihak swasta dan pemerintah 2 Swasta Profit, Antroposentris (1) Pelaku industri pertambangan, (2) penyuplai dan pendistribusi kebutuhan pasir konsumen, (3) tanggung jawab sosial terhadap masyarakat Tuntuntan suplai pasir yang tinggi tidak jarang menyebabkan pihak swasta cenderung mementingkan keuntungan tanpa memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi sekitarnya 3 Pemerintah Profit, Antroposentris, Developmentalism (1) Mengatur regulasi, (2) memberikan izin penambangan, (3) melakukan pengawasan kontrak dan aktivitas penambangan Lemahnya regulasi di tingkat daerah dan law enforcement menybabkan banyaknya celah penyimpangan yang dimanfaatkan oknum pemerintah untuk melanggengkan kepentingan dan ego elite

Berdasarkan tabel 4, setidaknya dapat mengindikasikan jika memang terdapat perbedaan ideologi dan kepentingan antara pihak masyarakat, pemerintah, dan swasta. Padahal seharusnya masing-masing aktor tersebut dapat saling bersinergi untuk mencapai tujuan bersama yang saling

menguntungkan, terlebih dengan landasan pemerintah yang memegang prinsip otonomi daerah, seharusnya semakin menjadikan pihak pemerintah sebagai pemegang otoritas mutlah yang dapat berpihak terhadap masyarakat dan memposisikan mereka sebagai objek dan juga subjek prioritas sesuai dengan amanat konstitusi. Dimana seharusnya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih afirmatif yang mampu secara esensial menyentuh kepentingan masyarakat. Namun faktanya, memang di Kabupaten Tasikmalaya sendiri sampai saat ini belum ada kebijakan yang secara khusus mengatur permasalahan penambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung. Padahal mungkin ketegasan pihak pemerintah seperti itu yang dapat menjadi salah satu faktor yang dapat benar-benar mencapai kepentingan dan tujuan bersama antara stakeholders terkait.

Dokumen terkait