• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Mekarjaya Desa Rancapaku

wisata Gunung Galunggung secara tidak langsung juga membuat banyaknya wisatawan khususnya pada akhir minggu berlalu-lalang melalui jalur ini. Namun hal sebaliknya justru terdapat di Desa Rancapaku, seperti yang disebutkan oleh USR (43 tahun) yang merupakan salah satu penjual warung kelontong di Desa Rancapaku:

“Kalau disini (Desa Rancapaku) tergolong sepi jalannya. Coba saja lewat sekitar jam 12.00, pasti jalan sepi, orang yang lalu lalang juga jarang. Beda lah kalau dibandingkan dengan Desa Mekarjaya. Makanya dikit yang buka warung disini, paling hanya ada beberapa. Sisanya ya bertani, kalau bapak-bapaknya apalagi yang masih muda banyak yang jadi buruh ke Jakarta, ada yang kerja juga di tempat wisata, tapi kalau kerja di tambang itu hampir tidak ada disini. Soalnya memang kalah sama „beku‟, jadi tidak terlalu untung, untungnya cuma kecil.”

Pernyataan yang dinyatakan oleh ibu USR memang cukup menggambarkan juga bagaimana kondisi mata pencaharian sebagian besar masyarakat di Desa Mekarjaya. Memang pada dasarnya baik masyarakat di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku pada saat ini hampir sudah tidak ada yang menggantungkan secara mutlak penghidupan mereka pada sektor pertambangan. Hanya beberapa orang mungkin yang bertahan di sektor ini, itu pun biasanya hanya orang-orang yang memiliki relasi dan jabatan tertentu di perusahaan. Sedangkan untuk buruh dan supir pengangkut pasir, pekerjaan itu lebih bersifat tidak mengikat dan hanya cenderung “musiman”. Lain halnya ketika dulu, sebelum masuknya era industri di kawasan ini, seorang informan menyatakan masih ada masyarakat yang melakukan penambangan pasir baik secara berkelompok ataupun perorangan, namun seiring dengan masuknya industri tersebut, penambang konvensional ini semakin tersingkir dan bahkan sama sekali tidak ada yang bertahan. Seperti halnya yang disebutkan oleh bapak RRK (56 tahun) yang merupakan warga Desa Rancapaku.

“Dulu itu jelas ramai, hampir seluruh warga di kawasan Gunung Galunggung mungkin setidaknya sempat ikut menambang. Tapi sekarang jelas semakin kalah oleh perusahaan, warga sama sekali tidak bisa apa-apa, tidak ada tambahan dari “berkah pasir” lagi. Tapi walaupun begitu masih ada saja yang mengambil pasir kalau hujan, karena kalau hujan, pasir itu cukup banyak yang terbawa arus sampai-sampai menggumpal. Hal ini dimanfaatkan dan dikumpulkan warga, siapa tau bermanfaat.”

Memang banyak masyarakat yang beranggapan pada saat ini pasir tidak lagi membawa “berkah” seperti yang mereka rasakan ketika sebelum runtuhnya rezim orde baru. Bahkan masyarakat juga mengatakan pada saat ini keuntungan hanya diperoleh oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kekuatan jaringan serta kekuasaan, dan bukan berada pada masyarakat

sekitar ataupun buruh pertambangan. Hal ini seperti yang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5 Rantai penjualan pasir Galunggung

Berdasarkan Gambar 5, setidaknya memang dapat terlihat jika penggali pasir yang langsung menjualnya ke toko bangunan atau tauke7 hanya mendapat keuntungan yang tergolong rendah. Harga pasir yang berada di tangan pihak tauke setidaknya menjadi belipat dua kali lipat dari harga yang dijual oleh penggali tambang. Demikian halnya ketika tauke melakukan penjualan langsung ke konsumen, harga jual menjadi kembali bertambah menjadi sekitar Rp. 80.000 per-kubik. Harga yang ditawarkan tersebut setidaknya memiliki selisih harga sekitar Rp. 50.000 per-kubik dengan harga yang ditawarkan oleh penggali pasir. Namun perbedaan yang paling terlihat adalah ketika pasir Galunggung telah dijual oleh pihak toko bangunan. Setidaknya terdapat selisih harga sebesar kurang lebih Rp. 200.000 per-kubik antara harga jual penggali pasir dan harga jual toko bangunan. Angka yang cukup jauh berbeda ini, telah mengindikasikan adanya ketidakadilan ekonomi yang terjadi antara pihak-pihak yang sama- sama memanfaatkan objek material pasir Galunggung.

Padahal secara logika, para pekerja dan penggali pasir tersebut harus lebih banyak menguras waktu dan tenaga. Namun insentif dan keuntungan yang diperoleh oleh para pekerja seolah sangat tidak adil dan justru menguntungkan pihak pemodal saja. Hal tersebut memang pada akhirnya menjadi salah satu faktor menagapa banyak masyarakat yang enggan untuk bekerja di sektor pertambangan. Konstruksi sistem kapitalisme yang

7

Tauke merujuk pada istilah pihak perusahaan atau kepala kerja suatu perusahaan pertambangan.

Penggali Pasir

Tauke Pasir

Toko Bangunan / Pasir

Konsumen Harga Pasaran ± Rp. 30.000/kubik Harga Pasaran ± Rp. 80.000/kubik Harga Pasaran ± Rp. 30.000/kubik Harga Pasaran ± Rp. 60.000/kubik Harga Pasaran ± Rp. 230.000/kubik

dipraktikan oleh pihak swasta secara nyata hanya akan semakin memunculkan kesenjangan antara pihak pekerja dan pemodal. Pihak pekerja (masyarakat) yang mengidamkan kesejahteraan akan selalu terganjal oleh perbedaan cara pandang dan ideologi yang saling bertentangan. Terlebih tidak jarang pihak swasta mendapat dukungan dari oknum pemerintahan yang juga memiliki cara pandang yang lebih berorientasi profit dan cenderung mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.

Berdasarkan pernyataan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan jika pendapatan masyarakat di Desa Mekarjaya memiliki perolehan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Rancapaku. Hal ini diantaranya dikarenakan faktor implikasi dampak ekologis yakni banjir terhadap berkurangnya hasi produksi masyarakat Desa Rancapaku, hingga adanya peluang kerja yang lebih besar untuk bidang wirausaha di Desa Mekarjaya. Sedangkan dalam kaitannya dengan pendapatan dari faktor pertambangan, pada saat ini sangatlah kecil jumlahnya masyarakat baik dari Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku yang melakukan aktivitas penambangan secara konvensional. Selain karena tergerus oleh kehadiran industri, pendapatan yang dihasilkan oleh sektor ini tergolong tidak terlalu besar, sehingga banyak masyarakat yang justru mencari alternatif sumber pendapatan lainnya.

Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja

Industri pertambangan memang dapat menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi. Karena terdapat berbagai proses didalamnya, dari penggalian hingga pengangkutan hasil tambang yang membutuhkan jumlah pekerja yang banyak. Hal tersebut mungkin pada dasarnya dapat dikatakan sebagai salah satu manfaat positif yang diakibatkan oleh keberadaan aktivitas tambang pasir.

Dampak negatif yang diakibatkan pertambangan pasir namun lambat laun lebih dirasakan secara esensial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Diantaranya adalah untuk peluang kerja di sektor tambang tersebut justru lebih di dominasi oleh orang-orang dari luar Desa, atau kehadiran perusahaan tambang yang justru semakin mengancam eksistensi pekerjaan petani ataupun peternak ikan, baik karena adanya konversi lahan ataupun dampak ekologis lain yang ditimbulkan. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap kesempatan bekerja dapat dilihat pada pada Tabel 13:

Tabel 13 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat kesempatan bekerja

No. Pernyataan Presentase (%) Total (%) MKJ RCP S N TS S N TS MKJ RCP 1 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian 36.67 46.67 16.67 56.67 43.33 0.00 100.00 100.00 2 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang non- pertanian 10.00 33.33 56.67 53.33 46.67 0.00 100.00 100.00 3 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan terbatasnya ruang kerja masyarakat 3.33 66.67 30.00 13.33 60.00 26.67 100.00 100.00 4 Aktivitas penambangan pasir tidak membuka peluang bekerja bagi masyarakat setempat 10.00 46.67 43.33 56.67 43.33 0.00 100.00 100.00 5 Aktivitas penambangan pasir didominasi oleh pekerja dari luar Desa

26.67 40.00 33.33 80.00 20.00 0.00 100.00 100.00

Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku

Berdasarkan data dari Tabel 13 maka dapat dilihat kecenderungan responden di Desa Mekarjaya menjawab pada pilihan netral, sedangkan untuk responden di Desa Rancapaku cenderung menjawab pada pilihan Setuju. Berikut adalah penjelasannya:

1. Pada pernyataan pertama, yakni aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian, sebesar 46.67 persen responden di Desa Mekarjaya menjawab pada pilihan netral. Namun, mayoritas pilihan kedua adalah setuju, dengan persentase sebesar 36.67 persen. Hal tersebut dikarenakan bagi sebagian masyarakat, aktivitas pertambangan pasir

tidak secara langsung berakibat pada berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian, walaupun memang akibat air bersih yang semakin sulit diperoleh berimplikasi juga terhadap menurunnya hasil produksi mereka, tetapi menurut mereka berkurangnya peluang kerja pertanian pada saat ini lebih disebabkan oleh individu itu sendiri. Karena semakin banyaknya orang yang menjual sawah hingga pekarangan rumah mereka, baik untuk alasan ekonomi ataupun pembangunan. Namun, untuk pernyataan aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang non-pertanian, sebesar 56.67 persen responden di Desa Mekarjaya tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Karena dengan aktivitas pertambangan yang hampir 24 jam terus beroperasi, dianggap dapat membuka peluang baru khususnya bagi masyarakat yang berada di dekat lokasi tambang untuk membuka warung kelontong dan warung makan, bahkan terdapat juga industri batako yang cukup menyerap tenaga kerja dari warga Desa Mekarjaya. 2. Berbeda dengan mayoritas responden di Desa Mekarjaya, sebagian

besar responden di Desa Rancapaku atau sebesar 56.67 Setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang pertanian, dan sebesar 53.33 persen juga setuju dengan pernyataan aktivitas penambangan pasir menyebabkan berkurangnya peluang kerja masyarakat di bidang non-pertanian. Secara spesifik responden menyebutkan alasannya, diantaranya untuk bidang pertanian jelas disebabkan oleh keruhnya air yang berpengaruh terhadap hasil produksi pertanian, bahkan sampai ada yang pada akhirnya menjual sawah milikinya karena dirasa beberapa tahun belakangan ini pertanian kurang menguntungkan. Terlebih untuk yang memiliki sawah di sekitar sungai Cikunir, pendangkalan sungai yang diakibatkan pertambangan pasir juga telah menyebabkan beberapa kali sawah yang berada di sekitarnya hancur karena terendam luapan sungai.

3. Terkait dengan peluang kerja yang diciptakan oleh aktivitas pertambangan pasir, walaupun mayoritas responden Desa Mekarjaya lebih memilih jawaban netral, namun kecenderungan responden tersebut juga berada pada jawaban tidak setuju. Terbukti dengan persentase tidak setuju sebesar 33.33 – 43.33 persen mendominasi pernyataan yang menyatakan, aktivitas pertambangan pasir menyebabkan terbatasnya ruang kerja masyarakat, dan juga pernyataan yang menyatakan aktivitas penambangan pasir didominasi oleh pekerja dari luar Desa. Hal tersebut diantaranya dikarenakan memang terdapat beberapa masyarakat Desa Mekarjaya yang bekerja di perusahaan tambang, dimana mayoritas bekerja sebagai supir truk dan buruh tambang harian. Sedangkan untuk Desa Rancapaku, yang terjadi justru sebaliknya, seluruh responden dari Desa Rancapaku mengatakan di Desa Rancapaku sama sekali tidak ada yang bekerja di perusahaan tambang pasir. Walaupun pernah ada beberapa orang yang bekerja di perusahaan tambang, itu lebih

dikarenakan sistem kekerabatan, bukan karena memang terbukanya lowongan kerja.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui jika dampak negatif terkait keberadaan perusahaan tambang jauh lebih dirasakan oleh masyarakat di Desa Rancapaku. Berbeda dengan masyarakat di Desa Mekarjaya yang masih dapat merasakan insentif ekonomi yang diakibatkan oleh keberadaan perusahaan pertambangan. Seperti halnya yang juga dikatakan oleh LSR (47 tahun):

“Masyarakat di sini memang beberapa ada yang bekerja di perusahaan. Itu seperti pemuda yang di warung dekat rumah, itu beberapa orang selain ngojek juga ada yang menjadi supir truk. Namun mereka bekerja kalau sedang ada proyeknya saja, yang kerjanya tetap atau bosnya tetap saja bukan orang sini (Desa Mekarjaya).”

Berdasarkan pernyataan tersebut, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada dasarnya masyarakat Desa Mekarjaya memiliki peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan Desa Rancapaku dalam kaitannya dengan kehadiran perusahaan tambang. Hal ini selain d\ikarenakan Desa Rancapaku cukup berada jauh dengan lokasi tambang, jalur Desa Rancapaku yang sama sekali tidak boleh dilalui oleh truk pengangkut material pasir. Padahal untuk di Desa Mekarjaya, beberapa warung makan atau kelontong kerap menjadi salah satu incaran para supir truk pengangkut pasir untuk beristirahat.

Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa

Keberadaan perusaahaan pertambangan pasir tentunya selain diharapkan dapat membuka peluang kerja baru, tentunya diharapkan juga bahwa mereka mampu menggerakkan atau meningkatkan aktivitas ekonomi yang terdapat di desa. Baik itu yang diindikasikan dengan meningkatnya transaksi jual beli masyarakat, hingga semakin ramainya warung makan ataupun warung kelontong di desa. Seperti halnya yang disebutkan oleh Bapak CHY (43 tahun) yang dulunya sempat menjadi mandor tambang di salah satu perusahaan berskala sedang di Desa Mekarjaya:

“Salah satu tanggung jawab perusahaan sebetulnya ya memang harus mampu menggerakan perekonomian desa. Dari awal kita juga diminta untuk mampu membuka peluang pekerjaan, hingga membantu kegiatan ekonomi ataupun sosial di desa. Itu semua sudah perusahaan lakukan sebetulnya, walaupun pada akhirnya sering muncul pro dan kontra.”

Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa dapat dilihat pada pada Tabel 14.

Tabel 14 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa

No Pernyataan Presentase (%) Total (%) MKJ RCP S N TS S N TS MKJ RCP 1 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat 3.33 63.33 33.33 13.33 76.67 10.00 100.00 100.00 2 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan aktivitas transaksi jual beli di Desa menurun 3.33 70.00 26.67 36.67 60.00 3.33 100.00 100.00 3 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan jual beli 66.67 30.00 3.33 50.00 36.67 13.33 100.00 100.00 4 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan warung kelontong di Desa semakin sepi 3.33 56.67 40.00 46.67 53.33 0.00 100.00 100.00 5 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan warung makan di Desa semakin sepi

10.00 43.33 46.67 43.33 46.67 10.00 100.00 100.00

Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku

Berdasarkan Tabel 14 maka dapat dilihat jika mayoritas jawaban responden dari kedua Desa memiliki pola dan kecenderungan yang sama. Berikut adalah penjelasannya:

1. Baik untuk Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, pernyataan yang menyatakan, aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya daya beli dan transaksi jual beli masyarakat, dijawab oleh mayoritas responden dengan pilihan netral sebesar 60.00 – 76.67 persen. Berdasarkan penuturan salah satu responden dari Desa Mekarjaya, menurutnya memang dapat dikatakan jika pasca masuknya industri pertambangan pasir transaksi jual beli di Desa menjadi meningkat, khsusunya sekitar tiga atau empat tahun belakangan ini, namun menurutnya itu hanya terjadi pada awal-

awalnya saja, sekarang bahkan transaksi atau jual beli di tingkat Desa terlihat semakin menurun, hal ini diindikasikan dari semakin sedikitnya masyarakat Desa yang berlama-lama di warung kopi atau warung makan, hingga semakin jarang terlihatnya orang keluar Desa untuk membeli kebutuhan sehari-hari atau menjual hasil pertanian atau perikanan. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan responden dari Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku sebesar 50.00 dan 66.67 persen yang setuju dengan pernyataan, aktivitas penambangan pasir menyebabkan menurunnya frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan jual beli.

2. Terkait dengan peluang usaha baru dan semakin ramainya warung kelontong atau warung makan di Desa akibat dari keberadaan perusahaan tambang, sebesar 46.67 – 56.67 persen responden dari Desa Mekarjaya setuju dengan pernyataan tersebut. Namun berbeda dengan sebagian besar responden dari Desa Rancapaku, dimana sebesar 46.67 – 50.00 persen responden tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan warung kelontong atau warung makan menjadi semakin ramai dengan adanya kegiatan atau keberadaan pertambangan pasir. Hal ini kembali lagi dipengaruhi dengan posisi atau lokasi Desa, dimana di Desa Mekarjaya merupakan salah satu pusat dari aktivitas pertambangan pasir yang terdapat di Kecamatan Padakembang, sedangkan Desa Rancapaku sama sekali tidak terdapat perusahaan atau industri pertambangan, dan bahkan truk- truk pembawa material pasir dilarang lewat di kawasan ini. Padahal seperti yang dikatakan oleh salah seorang responden dari Desa Mekarjaya, semenjak maraknya aktivitas pertambangan baik pendapatan warung makan ataupun warung kelontong menjadi meningkat tajam, terlebih untuk warung yang buka hingga larut malam.

Walaupun secara garis besar responden di Desa Mekarjaya setuju dengan pernyataan yang menyatakan keberadaan perusahaan tambang membuat baik warung kelontong atau warung makan menjadi ramai, namun menurut salah seorang responden tidak semuanya dapat bertahan dan memanfaatkan peluang tersebut, pasalnya supir truk yang beristirahat itu umumnya secara bergerombol atau ramai-ramai, sehingga ketika mereka sudah nyaman berada di satu lokasi atau warung, mereka akan enggan untuk berpindah-pindah lagi. Seperti halnya yang dialami oleh ibu TIN (46 tahun) yang merupakan warga Desa Mekarjaya yang sempat mencoba membuka warung makan di pinggiran jalan Desa Mekarjaya:

“Dulu waktu awalnya itu dikasih tahu teman, katanya ramai disana, banyak yang nongkrong, apalagi kalau sore atau malam kan suka banyak yang istirahat. Tapi baru jalan hampir satu tahun sudah mau bangkrut itu (warung) punya saya. Soalnya kalau supir itu sudah pada punya tempat istirahat sendiri, jadi ternyata kalau sore atau malam hari ya sudah sepi.”

Namun walaupun demikian, bagi sebagian orang lainnya ramainya jalan utama masih menjadi sesuatu yang menjanjikan. Diantaranya adalah ibu MMN (56 tahun), beliau merupakan warga kampung Kubangeceng, Desa Mekarjaya yang baru saja memulai usahanya berjualan makanan rumahan di sekitar jalan utama di Desa Mekarjaya:

“Disini ibu jualan belum sampai satu bulan. Ibu tertarik soalmya disini ramai, apalagi kalau hari sabtu – minggu, banyak juga wisatawan dari dalam atau luar kota yang datang. Tapi kalau hari biasa ya “untung-untungan” saja, kalau sopir (truk) gitu agak jarang kesini. Paling di warung bawah (daerah Desa Cisaruni, Kec. Mekarjaya) atau daerah dekat jembatan (daerah Desa Tawangbanteng, Kec. Sukaratu) pada ngumpulnya. Jadi kalau ditanya keuntungan warung setelah adanya tambang mah sebenernya emang mungkin menguntungkan buat warga, tapi satu dua orang aja.”

Berdasarkan pernyataan tersebut, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa pada dasarnya keberadaan perusahaan pertambangan pasir cukup berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Desa. Diantaranya adalah dampaknya terhadap frekuensi orang yang keluar Desa untuk melakukan jual beli. Pernyataan tersebut ditanggapi secara negatif oleh mayoritas responden baik di Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku, hal ini cukup beralasan dikarenakan jalan utama yang juga dipergunakana untuk jalur truk pembawa material pasir telah menyebabkan jalanan rusak parah, sehingga tidak jarang membuat masyarakat menjadi terhambat atau bahkan enggan untuk berpergian. Bahkan sebagian responden juga mengatakan, tidak jarang masyarakat terlebih ibu-ibu yang mengambil jalur memutar untuk menghindari jalan rusak dan juga truk. Membayar ongkos bahan bakar lebih besar menurutnya lebih baik daripada harus melewati jalanan yang rusak dan debu-debu yang dihasilkan oleh truk-truk pengangkut pasir.

Ikhtisar

Secara garis besar, baik Desa Mekarjaya (Desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan pasir) dan Desa Rancapaku (Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan pasir) memiliki kecenderungan jawabannya masing-masing terkait dengan keberadaan perusahaan tambang pasir. Perbedaan dan perbandingan dampak ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku dapat dilihat pada Gambar 7:

Gambar 6Perbandingan dampak pertambangan pasir Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku

Berdasarkan Gambar 6 dapat disimpulkan, baik pada aspek sosial maupun ekonomi, dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat Desa Rancapaku cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Desa Mekarjaya. Namun untuk aspek ekologi, masyarakat Desa Mekarjaya memiliki persentase ke arah negatif yang lebih tinggi.

Desa Mekarjaya yang terletak di hulu, dan Desa Rancapaku yang terletak di hilir pada akhirnya menjadi salah satu faktor alasan mengapa dampak ekologi di Desa Rancapaku menjadi lebih krusial. Konsekuensi letak Desa ditambah sebagian besar kampung atau dusun di kawasan Desa Rancapaku yang terlewati aliran sungai Cikunir menjadikan berbagai permasalahan ekologis lebih tampak di kawasan ini. Berikut dampak negatif ekologi yang terdapat di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku:

1. Kualitas air yang memburuk, khususnya air yang mengalir melalui sungai. Selain menjadi tidak dapat dikonsumsi, air tersebut juga menyebabkan munculnya endapan pasir yang mengancam eksistensi mata pencaharian warga yang beternak ikan dan juga petani, baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku.

2. Kualitas udara yang memburuk, khususnya untuk Desa Mekarjaya dimana kawasan Desa ini memang terdapat aktivitas pertambangan 0 5 10 15 20 25 30 Dampak Ekologi Dampak Sosial Dampak Ekonomi Dampak Ekologi Dampak Sosial Dampak Ekonomi

Desa Mekarjaya Desa Rancapaku

Fre

k

uens

i

Perbandingan Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Aktivitas Pertambangan Pasir di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku

dan jalur Desanya dimanfaatkan untuk pengangkutan pasir oleh truk- truk besar. Selain itu, hal ini juga berimplikasi terhadap jalanan di Desa dan Kecamatan yang rusak parah. Bahkan tidak jarang menyebabkan warga dari Desa Rancapaku mengambil jalur yang lebih jauh untuk menghindari jalanan rusak yang kurang lebih sepanjang 1.5 kilometer tersebut.

3. Kerentanan terhadap bencana alam seperti longsor dan banjir yang semakin mengancam masyarakat. Terlebih untuk Desa Rancapaku, penyusutan ukuran Sungai Cikunir yang juga melewati sebagian besar pemukiman warga menyebabkan bencana banjir lebih sering terjadi ketika turun hujan besar.

4. Jumlah hutan, sawah dan pekarangan warga yang semakin berkurang. Walaupun berada di kawasan pegunungan, namun keasrian dan segarnya udara pegunungan sulit ditemukan di kawasan ini. Khususnya di kawasan Desa Mekarjaya yang telah menjadi primadona dan lokasi strategis penambangan pasir sejak era orde

Dokumen terkait