• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR

DI PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG

FARIS RAHMADIAN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(3)

ABSTRAK

FARIS RAHMADIAN. Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN.

Pasca erupsi, kawasan Gunung Galunggung merupakan salah satu kawasan yang menjadi arena besar pertarungan kepentingan antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Objek pasir yang berlimpah menjadikan pertambangan skala besar hadir dan berimplikasi secara esensial terhadap kehidupan masyarakat lokal yang tidak hanya berada dekat dengan kawasan pertambangan, namun juga berada jauh dengan lokasi pertambangan. Terlebih diketahui bahwa ideologi masyarakat yang menekankan pada kesejahteraan dan populisme, berbanding terbalik dengan ideologi swasta dan pemerintah yang menekankan pada profit dan pembangunan. Dampak negatif dan positif aktivitas pertambangan mulai secara nyata dirasakan oleh masyarakat, diantaranya seperti degradasi kualitas air, tingkat pendapatan atau konflik yang secara krusial merepresentasikan respons masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan pasir yang telah hampir tiga puluh tahun mengeruk kawasan ini.

Kata kunci: Analisis aktor, pemanfaatan sumber daya alam, penilaian dampak, Persepsi masyarakat, pertambangan pasir

ABSTRACT

FARIS RAHMADIAN. Actor Ideology and Public Perception of Sand Mining Impacts on Rural Galunggung Mountain. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN.

After the eruption, the region of Galunggung is one of area that become contestation arena between the interests of the government, public and private. The abundant of sand mining object, make large scale mining industry came in and implicates essentially on the lives of local communities who are not only close to the mining area, but also are away from the mining area. Moreover, it is known that the public ideology is emphasizes to welfare and populism, inversely proportional to the private and government ideology that emphasizes to profit and developmentalism. Negative and positive impacts of mining activity started significantly perceived by the public, such as degradation of water quality, the level of income, or conflict that represents the community response to the presence of sand mining company that has been almost thirty years to dredge this area.

(4)

IDEOLOGI AKTOR DAN PERSEPSI MASYARAKAT

TERHADAP DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR

DI PEDESAAN GUNUNG GALUNGGUNG

FARIS RAHMADIAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung

Nama : Faris Rahmadian

NIM : I34100120

Disetujui oleh

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr Pembimbing

Diketahui

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung” dengan baik. Karya ilmiah ini mengangkat isu pertambangan serta dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat di dua desa di kawasan gunung Galunggung, dimana sejak tahun 1984 kawasan ini telah menjadi ladang galian tambang pasir yang memberikan dampak positif maupun negatif terhadap tiga ruang aktor, yakni masyarakat, pemerintah dan swasta.

Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak anjuran dan arahan pada penulis selama proses penulisan proposal hingga penyelesaian skripsi ini, serta Ir. Fredian Tonny, Ms. selaku dosen penguji utama skripsi, dan Ir. Hadiyanto, Msi. selaku dosen penguji perwakilan departemen SKPM yang memberikan berbagai saran dan pencerahan dalam penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua serta adik tercinta yang selalu memberikan semangat, inspirasi, intimasi, edukasi dan doa untuk penulis. Serta ucapan terima kasih juga sebesar-besarnya pada masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, khususnya warga RW 07 dan RW 10 serta kelompok pembenihan ikan Mekar Saluyu yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data serta menerima dengan hangat penulis disana sebagai pendatang selama periode penelitian.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada semua teman dan kerabat yang telah memberi dukungan baik moril maupun materil kepada penulis selama proses penulisan laporan ini. Terlebih kepada keluarga besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, teman-teman serta sahabat di SKPM 47. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

PENDEKATAN TEORITIS 7

Tinjauan Pustaka 7

Urgensi Ekologi 7

Etika Lingkungan 10

Pengertian Pertambangan 11

Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi 12

Pengertian Persepsi 15

Kerangka Konseptual 16

Hipotesis Penelitian 17

Definisi Operasional 18

METODE PENELITIAN 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Teknik Pengumpulan Data 22

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 23

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23

PROFIL MASYARAKAT DESA RANCAPAKU

DAN DESA MEKARJAYA 25

Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan 25

Struktur Sosial dan Ekonomi 26

Kondisi Fisik 29

Ikhtisar 30

ANALISIS IDEOLOGI DAN PERAN AKTOR

DALAM PERTAMBANGAN PASIR GALUNGGUNG 31

Aktor Masyarakat 31

Aktor Swasta 33

Aktor Pemerintah 37

Ikhtisar 42

ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR 45

Dampak Ekologi 45

Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air 47

(8)

Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara 57

Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan 61

Dampak Sosial 66

Persepsi Terhadap Dampak Keberadaan Perusahaan Tambang Pasir 67

Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor 72

Persepsi Terhadap Konflik Sosial 75

Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan 79

Dampak Ekonomi 82

Tingkat Pendapatan 83

Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja 87

Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa 90

Ikhtisar 94

PENUTUP 99

Simpulan 99

Saran 100

DAFTAR PUSTAKA 101

LAMPIRAN 105

(9)

DAFTAR TABEL

1 Jadwal pelaksanaan penelitian 22

2 Sejarah letusan Gunung Galunggung 25

3 Jumlah perusahaan industri sedang dan besar Kabupaten Tasikmalaya tahun 2013

40

4 Analisis aktor pertambangan pasir Gunung Galunggung 43

5 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat degradasi kualitas air

48

6 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat kerentanan terhadap bencana

52

7 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat polusi melalui udara

58

8 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat alih fungsi lahan

62

9 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap dampak keberadaan perusahaan tambang pasir

68

10 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap hubungan antar aktor

73

11 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap konflik sosial

76

12 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap cara pandang lingkungan

80

13 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat kesempatan bekerja

88

14 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat aktivitas ekonomi desa

(10)

DAFTAR GAMBAR

1 Pola hubungan antar aktor dalam pemanfaatan SDA 10

2 Kerangka konseptual 17

3 Proses produksi pertambangan pasir di Desa Mekarjaya 36 4 Rata-rata pendapatan rumah tangga responden Desa Mekarjaya

dan Desa Rancapaku April 2013 – April 2014

84

5 Rantai penjualan pasir Galunggung 86

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian: Desa Mekarjaya 106

2 Peta lokasi penelitian: Desa Rancapaku 107

3 Kuesioner penelitian 108

4 Panduan wawancara mendalam 115

5 Surat pernyataan tentang kesepakatan antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan pasir pada bulan maret tahun 2013

118

6 Salah satu bentuk protes warga terhadap dampak negatif dari aktivitas penambangan pasir di Desa Mekarjaya melalui media massa

120

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia telah merumuskan bahwa pemanfaatan sumber daya alam adalah untuk memajukan kesejahteraan bersama, seperti yang termuat dalam filosofi dasar negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, perlu adanya pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, yang memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Sebagai lembaga formal, aparatur pemerintahan memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengelola sumber daya alam di daerahnya. Beberapa pasal pengelolaan lingkungan hidup telah dibuat guna menunjang keberlangsungan sumber daya alam di Indonesia, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 (UU Air), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 (UU Kehutanan), Undang-Undang No. 4 tahun 2009 (UU Minerba), hingga Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPLH).

Undang-undang tersebut pada dasarnya saling memperjelas dan mendukung posisi masyarakat dalam sektornya masing-masing, dalam konteks wilayah hutan contohnya, disebutkan bahwa UU Kehutanan memandang hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran masyarakat, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan peran terbuka dan progresif pemerintah untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Selain itu, dalam pembukaan undang-undang ini juga disebutkan bahwa dalam rangka melakukan pengelolaan kawasan hutan, haruslah mampu menampung dinamika aspirasi, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat. Begitu pula dengan UU Air dan UU Minerba, dua undang-undang ini sangatlah krusial mengingat posisinya yang sangat dekat dengan masyarakat dan peran besarnya bagi aspek sosial hingga ekonomi masyarakat. Pada UU Minerba, disebutkan bahwa pada dasarnya tujuan pengelolaan mineral dan batu bara adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Demikian halnya pada UU Air, disebutkan jika sumber daya air sejatinya dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut pada pasal enam undang-undang ini disebutkan jika penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui posisi dan hak ulayat masyarakat, hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu.

(13)

penegakan amanat-amanat konstitusi tersebut. Sepanjang 2013 lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya telah terjadi 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1.281.660 hektare dengan melibatkan setidaknya 139.874 keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48.78%), disusul infrastruktur 105 kasus (28.46%), pertambangan 38 kasus (10.3%), kehutanan 31 kasus (8.4%), pesisir kelautan sembilan kasus (2.44%) dan lain-lain enam kasus (1.63%). Berdasarkan data tersebut, dapat diambil gambaran jika setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria yang melibatkan atau mengorbankan 383 keluarga atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektare (Nugraha 2013). Berdasarkan data tersebut kita dapat melihat jika permasalahan sumber daya alam terdapat pada berbagai lini. Padahal, pengelolaan sumber daya alam yang serasi dan seimbang sangatlah diperlukan untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dan menunjang keberlanjutan kehidupan ekosistem di Indonesia.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2012 menyebutkan, pada sektor pertambangan setidaknya terdapat 5.940 izin usaha pertambangan (IUP) yang dinyatakan masih bermasalah, baik dari segi perizinan, kepemilikan lahan, dan lain sebagainya (Wihardandi 2012). Terlebih pada era ini isu pertambangan semakin kompleks dan dipenuhi polemik, walaupun legalitas pertambangan belum diperoleh, banyak perusahaan tambang yang tetap melakukan aktivitas pertambangannya, dan lagi-lagi permasalahan seperti ini terjadi karena banyaknya oknum-oknum baik swasta maupun pemerintah sendiri yang memiliki otoritas namun cenderung berorientasi profit tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan dan hak-hak masyarakat banyak. Sehingga perlu untuk dipahami, bahwa urgensi sumber daya alam sama sekali bukan hanya berada pada tataran kepentingan ekonomi apalagi politik belaka. Bagi masyarakat khususnya masyarakat yang rentan atau miskin, sumber daya alam merupakan aspek krusial yang menyangkut hidup dan mati diri serta keluarganya. Seperti yang disebutkan oleh Dharmawan (2006), sumber daya alam adalah “last resort” atau tempat pengaduan terakhir bagi lapisan masyarakat miskin untuk mempertahankan kehidupannya (survival strategy), oleh karena itu sumber daya alam bukanlah sekedar permasalahan yang ada di permukaan, namun esensial dan seharusnya menjadi prioritas isu nasional yang memerlukan sinergi seluruh stakeholder terkait.

(14)

masyarakat dengan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua Pengurus Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Lili Hasanuddin mengungkapkan, desentralisasi dan demokratisasi pada era ini memang hanya cenderung sebatas menimbulkan keriuhan politik. Masyarakat memang semakin bebas mengekspresikan diri dan menuntut kesetaraan politik, namun akses ke sumber daya alam masih tetap digenggam elite politik dan elite pengusaha (Otonomi… 2011). Orientasi apatis pemeritah terhadap masyarakat inilah yang akhirnya menyebabkan kerugian baik moril maupun materil bagi masyarakat. Masyarakat seolah hanya menerima “sisa” dari pemanfaatan sumber daya alam pihak otoritas dan bahkan tidak jarang hingga harus kehilangan akses terhadap sumber daya yang selama ini menjadi sumber penghidupannya. Selain itu, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas-aktivitas pengelolaan sumber daya alam tersebut tentunya akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap mata pencaharian mereka, kondisi lingkungan dan tentunya juga tempat tinggal masyarakat sekitarnya.

Gambaran-gambaran tersebut seolah direfleksikan secara nyata di kawasan Gunung Galunggung, Jawa Barat. Beberapa titik di kawasan Gunung Galunggung, khususnya di daerah Kecamatan Padakembang telah menjadi kawasan pengerukan pasir berbagai pihak, diantaranya oleh CV PG, CV AS dan CV FR. Walaupun kehadiran perusahaan seperti CV AS bukan yang pertama di kawasan ini, namun bagi masyarakat sekitar, perusahaan tambang yang masih eksis pada saat ini yakni CV AS, merupakan salah satu faktor yang dianggap sangat mengancam kondisi sosial, lingkungan dan ekonomi masyarakat di kawasan kaki Gunung Galunggung. Pasalnya, perusahaan tersebut telah cukup lama aktif dalam aktivitas pertambangan pasir di Gunung Galunggung (khususnya Kecamatan Padakembang), dan masih terus melakukan aktivitas penambangan serta eksplotiasinya, namun cenderung mengabaikan kepentingan dan kondisi masyarakat sekitarnya.

(15)

pertambangan pasir sebagai berkah justru malah terganggu oleh aktivitas pertambangan pasir yang semakin gencar dilakukan oleh perusahaan-perusaahan disana. Masyarakat di kawasan Gunung Galunggung merasa aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh perusahaan tersebut semakin mengancam kondisi sosial, lingkungan serta ekonomi mereka.

Aktivitas pertambangan tersebut pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi dalam masyarakat, baik positif maupun negatif. Namun respons penolakan atas dampak-dampak yang terjadi seolah diabaikan baik oleh pihak perusahaan maupun pemerintah sendiri. Masyarakat cenderung berada pada posisi minor yang aspirasinya dan haknya seolah dikebiri walaupun berada pada lingkungannya sendiri. Bagi masyarakat lokal, aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh industri besar tersebut jelas secara langsung maupun tidak langsung akan mengancam dan perlahan „membunuh‟ kelangsungan hidup masyarakat lokal dan masyarakat sekitar kawasan tambang. Berdasarkan pemaparan tersebut, masyarakat di kawasan Gunung Galunggung tidak hanya tertekan karena dampak lingkungan yang ditimbulkan, namun juga implikasinya terhadap ancaman eksistensi mata pencaharian hingga konflik baik vertikal maupun horizontal. Tendensi pengelolaan sumber daya alam di berbagai sektor yang lebih mengabdi pada kepentingan elite politik dan elite pengusaha dengan mengorbankan kepentingan dan hak-hak rakyat, membuat dampak yang ditimbulkan tidak hanya sebatas dampak fisik, namun juga non-fisik. Seperti banyak contoh-contoh yang terjadi di Indonesia, isu pertambangan merupakan permasalahan sensitif yang tidak hanya disikapi sebagai permasalah yang bersifat permukaan, namun juga sebagai permasalahan ekologi, sosial dan ekonomi mendalam dan kompleks.

(16)

Rumusan Masalah

Lingkungan dan sumber daya alamnya pada era ini merupakan isu masyarakat global yang berkaitan dengan jaringan interaksi politik yang paling kompleks. Lingkungan beserta sumber daya alamnya dianggap sebagai objek yang selalu berkaitan dengan pola-pola interaksi dan variasi yang paling rumit, dan sekaligus dengan pelibatan aktor yang paling majemuk (Lay 2007). Demikian halnya dengan kasus pemanfaatan sumber daya alam di kawasan Gunung Galunggung. Aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sangatlah beragam, terlebih mengingat aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan oleh perusahaan didalamnya yakni CV AS, merupakan aktivitas pertambangan yang bukan lagi dalam ruang lingkup pertambangan skala kecil, namun termasuk pada skala besar sehingga memerlukan berbagai izin serta proses yang panjang baik dengan pihak pemerintah dan juga masyarakat.

Perbedaan kepentingan antara masyarakat, pemerintah dan swasta tidak jarang berakibat pada gesekan sosial antar pihak tersebut yang mulai mengarah pada letupan-letupan konflik. Pasalnya, sumber daya alam yang seharusnya juga menjadi hak masyarakat seolah direbut secara paksa oleh pihak yang tiba-tiba datang dengan kekuatan industrinya dan secara perlahan mengancam eksistensi mereka. Walaupun berbagai dampak negatif telah secara nyata diklaim oleh masyarakat, baik pihak pemerintah maupun swasta tetap mempertahankan dan menjalankan proyek pertambangan pasir tersebut. Hal tersebut seolah menggambarkan kondisi kepentingan yang saling bertolak belakang antara pihak masyarakat, pemerintah, dan swasta, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai reaksi dan persaingan antar aktor-aktor yang terlibat. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimanaideologi dan peran para aktor yang terlibat dalam aktivitas pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung?

(17)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:

1. Mengetahui ideologi dan peran para aktor yang terlibat dalam aktivitas pertambangan pasir di kawasan kaki Gunung Galunggung. 2. Mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap dampak

negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir, baik pada aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi akademisi, pemangku kebijakan dan masyarakat pada umumya mengenai penilaian dampak (impact assesment) galian tambang golongan C. Secara spesifik dan terperinci manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak adalah sebagai berikut:

1. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan kajian mengenai dampak-dampak ekologi, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh aktivitas galian tambang golongan C dengan objek spesifik tambang pasir yang dampaknya kerap tidak dianggap sebagai isu yang strategis dan sentral.

2. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan para pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan sumber daya alam yang seharusnya mempertimbangkan banyak aspek secara rasional dan tidak menimbulkan disparitas. Terlebih ketika berkaitan dengan sumber daya alam yang menjadi tumpuan penghidupan serta hidup dan mati masyarakat.

3. Bagi Masyarakat

(18)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Urgensi Ekologi

Pada dasarnya, makhluk hidup akan selalu membutuhkan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Terlebih manusia, baik untuk pemenuhan kebutuhan hidup ataupun untuk keberlangsungan hidup tentunya tidak akan terlepas dari lingkungan beserta sumber daya alamnya. Namun terkadang, manusia melupakan bahwa interaksi dan hubungan manusia dengan lingkungan atau sumber daya alamnya terjalin hubungan yang resiprokal. Itulah yang menjadi basis dalam konsep ekologi, yang berfokus pada hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya. Dalam konsep ekologi, ekosistem dimaknai sebagai sistem-sistem dalam lingkungan yang terdiri atas komponen-komponen (baik komponen biotik maupun abiotik) yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ketraturan tersebut terjadi akibat adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem. Ketika masing-masing komponen tersebut menjalankan fungsi dan bekerja dengan baik, maka keteraturan ekosistem terjaga, namun sebaliknya, jika terjadi perubahan-perubahan dalam ekosistem (baik secara alamaiah maupun akibat perbuatan manusia), maka ekosistem dapat menunjukkan ketikdakseimbangannya (Soemarwoto 1997). Lebih lanjut, Soemarwoto (1997) juga menjelaskan jika ekologi merupakan salah satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau bersama dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan dan hasil yang seimbang antara elemen makhluk hidup dan lingkungan itu sendiri.

(19)

merupakan kajian mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan sebagai dasar pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. Dalam dokumen Amdal terdapat beberapa kriteria mengenai dampak suatu usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup, diantaranya adalah jumlah manusia yang akan terkena dampak, luas wilayah persebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik atau tidak berbaliknya dampak (PP No. 27 Tahun 1999).

Uraian pasal undang-undang tersebut merupakan salah satu contoh yang menunjukkan pihak pemerintah telah melakukan upaya-upaya regulasi untuk mengantisipasi atas dampak pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan1. Namun, berbagai permasalahan lingkungan dan sumber daya alam bukan berarti langsung menghilang. Banyak kasus dan permasalahan pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus terulang. Sebagai contoh adalah dampak dari penambangan pasir besi di kawasan pesisir selatan Jawa Barat. Penambangan pasir di kawasan ini telah dilakukan sejak tahun 2011. Jika di kalkulasikan, maka kerusakan alam akibat penambangan pasir besi kurang lebih mencapai 2.250 hektare dari sekira 15 ribu hektare area yang dijadikan lokasi tambang (Riswan 2013). Hal tersebut tentu saja menimbulkan dampak yang tidak sedikit, dan tentu saja dampak tersebut juga akan berpengaruh pada kondisi hidup masyarakat sekitarnya.

Permasalahan ekologi memang tidak hanya berakar pada kesalahan regulasi, namun juga penyimpangan implementasi yang tidak jarang dilakukan oleh oknum pihak pemerintah yang memiliki otoritas dalam melegalkan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak-dampaknya secara komperhensif. Terlebih pada era ini Indonesia telah mengusung sistem pemerintahan yang berbasis daerah atau disebut otonomi daerah. Secara konseptual, otonomi daerah merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri, namun secara tidak langsung otonomi daerah kerap menjadi dalih pemerintah daerah atas kewenangannya dalam segala aspek yang terdapat di daerahnya (Tarmansyah 2011).

Tarmansyah (2011) secara lebih lanjut juga menyebutkan, tidak jarang era otonomi daerah ini justru menjadi „lahan‟ untuk pihak pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya alam daerahnya secara lebih maksimal. Dengan tuntutan kebutuhan dana seperti pembangunan dan dana rutin operasional pemerintahan yang besar, memaksa pemerintah daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, menguras sumberdaya alam yang tersedia, dan lain sebagainya. Padahal dalam kaitannya dengan kewenangan dan otoritasnya di daerah, seharusnya penyimpangan semacam ini tidak muncul, karena memang tujuan dibentuk otonomi daerah adalah agar

1

(20)

peraturan-peraturan yang ada dan dibuat pemerintah daerah dapat langsung menyentuh dan menguntungkan masyarakat daerahnya sendiri. Seperti juga yang disebutkan oleh Kartodihardjo (2008), pembangunan pada era ini yang lebih condong didasari oleh mazhab ekonomi pasar secara konseptual hanya akan mentransaksikan komoditi yang dihasilkan dari sumber daya alam, dan seolah tidak memperhatikan dampak-dampak atau kerusakan dari sumber daya alam itu sendiri. Kartodihardjo (2008) juga menjelaskan terkait perbedaan antara pengelolaan dan pemanfaatan. Menurutnya dalam konsep pengelolaan, terdapat berbagai kegiatan atau proses yang ditujukan juga untuk memastikan status dan fungsi serta daya dukung sumber daya alam, sedangkan dalam konsep pemanfaatan lebih cenderung terbatas pada upaya eksploitasi manfaat semata.

Dampak aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang eksploitatif tidak jarang mendorong kondisi krisis yang lebih sering disebut sebagai krisis ekologi. Krisis ekologi yang dimaknai sebagai suatu keadaan dimana sistem ekologi mengalami destabilisasi keseimbangan alam yang diakibatkan oleh peradaban „late-modernity‟, yang menempatkan seluruh elemen ekosistem biosfer dalam ancaman kehancuran bersama (Dharmawan 2007). Raharja (2011) secara lebih lanjut juga menjelaskan krisis ekologi sebagai krisis hubungan antar manusia dan kebudayaannya dengan lingkungan hidup yang merupakan tempat mereka berlindung, bermukim, dan mengeksploitasi sumber daya alam. Berbagai penjelasan definisi tersebut pada intinya mengarah pada kondisi kritis antara manusia dengan lingkungannya yang juga berdampak terhadap aspek-aspek luas, seperti aspek sosial dan ekonomi. Ancaman krisis ekologi memang akan terus mengancam seiring terus berkembanganya investasi dan proyek pemanfaatan sumber daya alam di daerah-daerah oleh pihak kapitalis. Khususnya aktivitas seperti pertambangan, reklamasi, ekspansi serta pembukaan lahan perusahaan merupakan aktivitas-aktivitas yang memang memiliki dampak terhadap ekosistem secara krusial.

(21)

Etika Lingkungan

Pemerintah, swasta ataupun masyarakat tidak jarang seolah saling berkompetisi dalam memperoleh akses dan manfaat yang sebesar-besarnya dalam rangka pemanfaatan objek sumber daya alam. Era demokrasi Indonesia pada saat ini yang mengusung sistem otonomi daerah2 tidak jarang justru malah menimbulkan dinamika dalam pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam yang baru, yang justru dapat semakin membuka lebar jurang kesenjangan antara pihak penguasa dan pihak masyarakat yang dapat berimplikasi pada menurunnya kualitas dan kondisi hidup mereka. Hal tersebut tentu saja mengindikasikan adanya perbedaan pemakanaan dan sudut pandang baik antara pihak pemerintah, swasta dan masyarakat terhadap sumber daya alam. Pada satu sisi, pemerintah dan/atau swasta memandang lingkungan dan sumber daya alam sebagai aspek ekonomis, sedangkan masyarakat lebih memandang sebagai aspek mutualistis yang berkaitan pula dengan kondisi hidup mereka.

Pihak pemerintah sebagai representasi negara yang seharusnya menjadi aktor netral dan seharusnya memihak kepentingan masyarakat, malah terkesan turut berpartisipasi dalam kontestasi antar aktor dalam sumber daya alam. Bahkan, dengan mudah kita dapat memperoleh literatur dan fakta yang menunjukkan bahwa pihak pemerintah tidak berbeda jauh dengan orientasi dan pandangan kapitalis perusahaan-perusahaan swasta yang cenderung mengabaikan pihak masyarakat. Sitorus dan Wiradi (dalam Antoro 2010) mengungkapkan, bahwa dalam kaitannya dengan hubungan antar aktor, masyarakat kerap menempati posisi yang lebih lemah:

Gambar 1 Pola hubungan antar aktor dalam pemanfaatan sumber daya alam

Gambar di atas menjelaskan hubungan interaksi negara dengan pasar yang mutualistik, hubungan interaksi negara-pasar terhadap masyarakat yang bersifat hegemonik (kuat mempengaruhi), hubungan antara negara-pasar dengan SDA yang berorientasi pasar, serta hubungan antara produksi masyarakat dengan SDA yang lemah dan terus tergerus akibat dominasi aktor-aktor lainnya.

2

Pada era ini konflik lebih banyak mengambil bentuk “konflik kewenanangan”, yang mulai mengemuka sejak rejim pengaturan pemerintahan desentralisasi secara penuh sejak Undang-Undang (UU) No. 22/1999 dan dilanjutkan dengan UU No. 32/2004 sebagai konsekuensi otonomi daerah (Dharmawan 2007)

NEGARA PASAR

(22)

Perbedaan kepemilikan akses akan sumber daya alam dan cara pandang terhadap sumber daya tidak jarang justru menyebabkan berbagai permasalahan krusial yang tidak hanya menyangkut aspek lingkungan, namun juga sosial dan ekonomi masyarakat. Keraf (2010) juga secara tidak langsung menyatakan dalam berbagai permasalahan ekologi hingga ancaman krisis yang terjadi pada dewasa ini tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, namun juga faktor internal dari manusia sebagai pihak yang terus menerus berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini yang selanjutnya juga disebut sebagai cara pandang ataupun etika terhadap lingkungan. Secara harfiah, etika dapat dimaknai sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens 1993). Lebih lanjut, Keraf (2010) menyebutkan tentang tiga etika lingkungan yang berbeda:

1. Anthropocentrism

Merupakan cara pandang yang menekankan pada manusia dan kepentingannya sebagai prioritas utama, manusia sebagai aktor kausal, dan lingkungan serta sumber daya alamnya hanya sebatas aspek pemenuhan kebutuhan manusia.

2. Biocentrism

Merupakan cara pandang yang menanggap bahwa lingkungan dan sumber daya alam lainnya memiliki nilai tersendiri, dan manusia merupakan bagian dari alam yang interdependen.

3. Ecocentrism

Merupakan cara pandang yang menekankan pada etika terhadap seluruh komunitas ekologis, baik yang biotik maupun abiotik. Ecocentrism membawa etika yang menandang semua komponen dalam dimensi lingkungan memiliki nilainya tersendiri.

Pengertian Pertambangan

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan objek tambang yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang (UU No. 4 Tahun 2009). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dilihat jika pada dasarnya aktivitas pertambangan merupakan suatu proses yang panjang dan tentunya melibatkan berbagai tahap dan materi-materi yang beragam.

Undang-undang Negara Indonesia juga telah secara jelas meengklasifikasikan jenis terkait izin usaha pertambangan, meliputi izin untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C (Ngadiran dalam Samad 2013). Golongan bahan galian tambang tersebut terbagi atas perbedaan materi dan fungsinya, atau dengan penjelasan sebagai berikut:

(23)

Bahan galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam, lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya (antara lain kobalt, nikel dan timah).

2. Galian Tambang Golongan B

Bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan zirkom). 3. Galian Tambang Golongan C

Bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu kerikil. Golongan ini dianggap paling kurang memiliki nilai strategis dan dampak yang vital.

Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi Pertambangan

Aktivitas pertambangan merupakan salah satu aktivitas yang kerap menuai dilematika karena berbagai dampaknya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Terkait dengan hal tersebut, Soemarwotto (1997b) menyebutkan pada dasarnya “dampak” dapat bernilai positif maupun negatif. Tapi secara umum, masyarakat lebih mengenal dampak sebagai suatu konotasi yang negatif, karena dampak yang akan bernilai berbeda jika berada pada ruang atau sudut pandang yang berbeda.

Diantara berbagai dampak yang timbul, namun pada tataran realitas, tidak jarang dampak yang muncul lebih sering mengarah pada dampak negatif, terlebih terhadap aspek ekologi. Aktivitas pertambangan dapat menciptakan resiko kerusakan ekologis yang fatal. hal tersebut tidak lepas dari berbagai proses kompleks yang harus dilalui dalam aktivitas penambangan, seperti bagaimana teknik penambangan yang dilakukan, hingga bagaimana mengelola dan mengolah hasil tambang yang telah diperoleh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem di dalam dan sekitar lokasi penambangan.

(24)

pertambangan sangat berdampak terhadap kondisi kesehatan dan penghidupan masyarakat, dari air yang semakin sulit diperoleh khususnya pada musim kemarau hingga air yang dikonsumsi memicu terjangkitnya penyakit diare. Selain itu dampak secara sosial juga dapat terlihat, khususnya antara masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya persaingan terhadap peluang kerja yang minim, dan juga pekerja lokal yang mayoritas hanya bekerja sebagai buruh tambang, sedangkan pendatang banyak yang memiliki jabatan lebih baik (Sulton 2011). Demikian halnya yang terjadi di kawasan kota Samarinda, di kelurahan Sempaja Utara. Walaupun terdapat perbedaan dimana objek tambang di kawasan ini adalah batubara, namun terdapat kesamaan dimana kesempatan bekerja sektor pertambangan pada masyarakat lokal di wilayah ini sangatlah minim. Masyarakat lokal yang bekerja pada perusahaan hanyalah sebagai buruh kasar dan supir truk penangkut batubara. Namun hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah permasalahan ekologi, berdasarkan penelitian ini disebutkan bahwa ini pasca kehadiran perusahaan tambang kerap muncul permasalahan diantaranya adalah banjir, sumur masyarakat yang tercemar, saluran air tersendat, debu, terjadinya tanah longsor dan jalan yang rusak. Hal ini jugas semakin diperparah dengan masih rendahnya kepedulian perusahaan terhadap masyarakat, hanya kepada sebagaian kecil masyarakat saja yang pernah memberikan dana kompensasi (“uang debu”), akan tetapi pemberian dana tersebut tidak merata dan diarasakan oleh masyarakat tidak cukup untuk menggantikan dampak negatif yang dihasilkan (Pertiwi 2011).

Penyerapan tenaga kerja masyarakat lokal di perusahaan pertambangan yang pada awalnya diharapkan mampu memberikan insentif ekonomi yang jauh lebih berarti, namun ternyata tidak mampu terwujud dan hanya digantikan dengan uang kompensasi yang tidak sebanding dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan. Baik contoh kasus di Desa Cipinang maupun kelurahan Sempeja Utara, setidaknya memang mampu merefleksikan kesenjangan keuntungan yang tidak berimbang antara masyarakat dengan pihak swasta dan pemerintah. Samad (2013) yang juga melakukan penelitian atas dampak pertambangan di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur menyebutkan masyarakat lokal yang bekerja pada pertambangan hanya sebesar 37.12 persen dan 62.87 persen lainnya adalah pendatang. Hal ini tentunya tidak berimbang dengan pendapatan daerah yang semakin meningkat pasca kehadiran perusahaan pertambangan pasir. Bahkan untuk kasus di Kecamatan Wasile, Halmahera Timur, pihak perusahaan tambang telah menyebabkan berbagai dampak ekologis yang signifikan seperti, pemakaian hutan untuk tambang meluas, porositas tanah menurun sehingga tanaman sulit untuk dikembangkan, hingga air dan udara yang tercemar. Hal ini juga semakin diperparah dengan sarana dan prasarana yang dijanjikan pihak perusahaan pertambangan tidak dipenuhi, yang pada akhirnya juga kembali berdampak pada munculnya ketidaksejahteraan dan kesenjangan antara pihak masyarakat dan perusahaan.

(25)

menyebutkan jika dampak positif hanya cenderung berada pada “lingkar kekuasaan”. Yakni dampak positif yang dihasilkan semata-mata hanya dapat dirasakan oleh segelintir pihak, khususnya pihak-pihak yang memiliki otoritas. Namun secara makro dan dalam sudut pandang yang berbeda, Salim (dalam Sulton 2011) menjabarkan tentang dampak positif dan negatif yang cenderung ditimbulkan dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan, yaitu:

1. Dampak Positif:

a) Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional.

b) Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

c) Meningkatkan peluang kerja, ekonomi, dan usaha mikro masyarakat lingkar tambang.

d) Meningkatkan kualitas SDM dan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.

2. Dampak Negatif:

a) Ancaman kehancuran lingkungan hidup dan sumber daya alam. b) Penderitaan masyarakat lokal sekitar lingkar tambang.

c) Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal (khususnya yang berada di lingkar tambang)

d) Meningkatnya kekerasan atau aksi kriminalitas sejenis. e) Kehancuran ekologi pulau-pulau.

f) Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat secara makro dampak yang ditimbulkan sangatlah beragam, meliputi dampak ekologi, sosial maupun ekonomi, yang berada pada dimensi aktor pemerintah, swasta dan tentu saja masyarakat. Hal ini jika terus menerus dibiarkan akan dapat menimbulkan masalah yang lebih krusial dan tentunya akan menggiring masyarakat pada krisis ekologi yang serius.

Krisis ekologi pada dasarnya merupakan suatu kondisi krisis antara manusia dengan lingkungannya yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk didalamnya faktor aktivitas-aktivitas manusia yang melakukan eksploitasi dan dominasi terhadap lingkungan dan cenderung mengabaikan kepentingan lingkungan, seperti halnya banyak perusahaan pertambangan yang bermunculan pada dewasa ini. Dharmawan (2007) menjelaskan pada era ini dampak krisis ekologi ditunjukkan oleh beberapa situasi, diantaranya:

1. Kelangkaan sumber pangan. Hal ini telah terjadi di beberapa kawasan di dunia dan berdampak pada bencana kelaparan atau gizi buruk yang terus meluas.

2. Kelangkaan sumber energi. Energi di bumi ini cenderung masih bergantung pada fossil-fuel energy, dimana pada saat ini persediaannya semakin berkurang.

3. Pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi, serta ledakan penduduk di atas habitat yang makin sempit.

(26)

5. Menurun atau hingga hilangnya keanekaragaman hayati akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.

6. Kriminalitas, perilaku menyimpang dan masalah sosial lain akibat dari tingginya kompetisi karena terbatasnya relung kehidupan yang memadai bagi kehidupan lestari.

Dampak-dampak tersebut juga secara langsung maupun tidak langsung berdampak selain pada kondisi lingkungan masyarakat, namun juga ekonomi masyarakat. Lingkungan dan sumber daya alamnya merupakan elemen penting yang berkontribusi besar dalam penghidupan manusia. Baik dalam kaitannya untuk kepentingan konsumsi, maupun produksi. Namun ketika pemanfaatan sumber daya alam yang ada terlalu berlebihan, tendensius dan berorientasi ekonomi atau egoisme belaka, lingkungan dan sumber daya alamnya justru dapat mengancam eksistensi manusia dan bahkan penghidupannya. Lebih lanjut, lingkungan merupakan suatu kesatuan ruang yang terdiri dari komponen fisik (abiotik) seperti air, tanah, batuan dan iklim serta komponen biotik seperti tumbuhan, hewan dan jasat renik, komponen tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi memiliki keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya (Indrawan dalam Suriansyah 2009).

Pengertian Persepsi

Persepsi memiliki makna sebagai suatu proses kognitif yang dialami dan dimiliki oleh setiap orang dalam kaitannya dengan memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman (Thoha 2004). Tidak berbeda jauh dengan definisi tersebut, Walgito (dalam Zabila 2013) menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap suatu stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan aktivitas yang terintegrasi dan berada dalam diri individu. Karena persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi itu. Berdasarkan definisi tersebut, persepsi memiliki sudut pandang subjektif yang tentunya akan dapat berbeda pada setiap manusia, karena proses kognitif, penafsiran serta pemaknaan terhadap subjek atau objek tertentunya akan memiliki bentuk atau intensitas yang berbeda.

(27)

Kerangka Konseptual

Seperti yang telah disebutkan oleh Sitorus dan Wiradi (dalam Antoro 2010), pada dasarnya permasalahan sumber daya alam atau agraria selalu melibatkan tiga aktor, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Seperti halnya dalam kasus di kawasan Gunung Galunggung, pada dasarnya pihak swasta dan pemerintah merupakan pihak yang saling berkaitan dalam rangka penguasaan sumber daya alam. Pihak pemerintah selaku pemilik otoritas atas legalitas pemanfaatan kawasan, melakukan proses politik dan kebijakan sehingga pada akhirnya memberikan pihak swasta (perusahaan tambang pasir) izin untuk memanfaatkan sumber daya alam di kawasan kaki Gunung Galunggung.

Objek sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh pihak swasta dan pemerintah dalam penelitian ini adalah sumber daya alam pertambangan dengan objek spesifik pasir. Walaupun sebenarnya pasir tidak dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat, namun pasir yang tersedia dan terdapat di kawasan ini merupakan komponen vital yang juga turut menjaga keseimbangan ekosistem wilayah Gunung Galunggung. Sehingga bukan tidak mungkin dengan adanya aktivitas penambangan pasir di kawasan ini akan dapat berdampak pada ketidakseimbangan kondisi alam, atau dengan kata lain dapat menimbulkan destabilisasi ekosistem di kawasan Gunung Galunggung. Dengan kehadiran aktivitas pertambangan pasir pasir berskala besar, eksistensi kawasan dan degradasi lingkungan akan terus menggiring kawasan Gunung Galunggung pada ancaman krisis ekologi yang serius. Dampak-dampaknya pun meliputi berbagai aspek, diantaranya pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Dalam dampak ekologi, permasalahan yang melingkupinya diantaranya adalah degradasi kualitas air, kerentanan terhadap bencana, polusi melalui udara, dan alih fungsi lahan. Pada aspek sosial, hal ini dapat dilihat seperti dampaknya pada persepsi terhadap perusahaan, hubungan antar aktor, konflik sosial dan cara pandang terhadap lingkungan. Sedangkan pada aspek ekonomi, dampaknya dianggap berpengaruh terhadap pendapatan, dan kesempatan bekerja, serta aktivitas ekonomi desa.

(28)

Gambar 2 Kerangka Konseptual

Keterangan:

: Menyebabkan

: SalingMempengaruhi

: Arena Pertarungan Kepentingan Aktor

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang dapat ditarik adalah:

1. Diduga masing-masing aktor memiliki ideologi dan peran yang berbeda.

2. Diduga semakin jauh jarak desa dari aktivitas pertambangan pasir maka dampak negatif ekologi, sosial dan ekonomi akan semakin dirasakan oleh masyarakat desa.

PEMERINTAH

Dampak Sosial: - Persepsi Perusahaan - Hubungan Antar Aktor - Konflik Sosial

- Cara Pandang Lingkungan OBJEK

SDA

Dampak Ekologi: - Degradasi Kualitas Air - Kerentanan Bencana - Polusi Melalui Udara - Alih Fungsi Lahan

Aktivitas Pertambangan

Pasir SWASTA MASYARAKAT

(29)

Definisi Operasional

1. Dampak Ekologi adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan struktur ekosistem dan/atau lingkungan masyarakat. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif melalui dua puluh pernyataan untuk pengukuran persepsi dalam kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori: Rendah (20-33), Sedang (34-46), dan Tinggi (47-60). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-indikator berikut:

a. Persepsi Terhadap Tingkat Degradasi Kualitas Air, merupakan persepsi masyarakat terhadap perubahan yang terjadi pada kualitas air yang biasa mereka pergunakan untuk konsumsi maupun non-konsumsi (aktivitas usaha, pengarian, dll). Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

b. Persepsi Terhadap Tingkat Kerentanan Bencana, merupakan persepsi masyarakat terhadap kondisi masyarakat yang lebih rentan terhadap suatu bahaya, kecelakaan, atau bentuk kesusahan lainnya. Variabel diukur dengan skala likert, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

c. Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara, merupakan persepsi masyarakat terhadap polusi atau gangguan yang terjadi melalui medium udara, baik polusi udara seperti debu atau polusi suara seperti kebisingan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas dan proses pertambangan pasir. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

d. Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan, merupakan persepsi masyarakat terhadap perubahan kondisi, keberadaaan, serta bentuk atau fungsi tanah terbuka dan/atau tanah garapan, hutan, dsb. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

(30)

kategori: Rendah (25-42), Sedang (43-58), dan Tinggi (59-75). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-indikator berikut:

a. Persepsi Terhadap Keberadaan Perusahaan, merupakan persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan kehadiran pihak swasta yang melakukan aktivitas pertambangan pasir di kawasan Gunung Galunggung. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

b. Persepsi Terhadap Hubungan Antar Aktor, merupakan persepsi masyarakat terhadap kecenderungan hubungan atau interaksi antara masyarakat dengan perusahaan serta masyarakat dengan pemerintah. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

c. Persepsi Terhadap Tingkat Konflik Sosial, merupakan persepsi masyarakat terhadap kedalaman atau bentuk konflik baik antara masyarakat dengan masyarakat, ataupun antara masyarakat dengan swasta dan pemerintah. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

d. Persepsi Terhadap Cara Pandang Lingkungan, merupakan cara pandang masyarakat terhadap lingkungannya pasca kehadiran berbagai aktivitas dan proses pertambangan pasir. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

3. Dampak Ekonomi adalah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan pasir terhadap perubahan pola dan struktur ekonomi masyarakat. Pengukuran dilakukan secara kuantitatif melalui satu pertanyaan terbuka dan sepuluh pernyataan untuk pengukuran persepsi dalam kuesioner, dan akumulasi skor akan dibagi secara ordinal dalam tiga kategori: Rendah (10-16), Sedang (17-23), dan Tinggi (24-30). Pengukuran dilakukan berdasarkan indikator-indikator berikut:

a. Tingkat Pendapatan, merupakan ukuran besaran pendapatan yang didapat oleh masyarakat baik dari sektor pertanian maupun sektor non-pertanian. Indikator diukur berdasarkan tiga kategori:

i. Tinggi, jika pendapatan > Rp. 13.400.000 per tahun ii. Sedang, jika pendapatan Rp. 9.400.100 - Rp. 13.390.000

per tahun

(31)

b. Persepsi Terhadap Tingkat Kesempatan Bekerja, merupakan persepsi masyarakat terhadap peluang yang diperoleh responden dalam kaitannya dengan berbagai pekerjaan baik yang berkaitan langsung dengan pertambangan ataupun tidak. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

i. Skor 3 = untuk pilihan jawaban S ii. Skor 2 = untuk pilihan jawaban N iii. Skor 1 = untuk pilihan jawaban TS

c. Persepsi Terhadap Tingkat Aktivitas Ekonomi Desa, merupakan persepsi masyarakat terhadap interaksi dalam kegiatan ekonomi dan/atau jumlah aktivitas yang berhubungan dengan ekonomi di desa. Indikator terbagi menjadi tiga kategori, dengan skor:

(32)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di dua lokasi (Lampiran 1 dan Lampiran 2), yakni desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan pasir: (1) Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat dan Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan pasir: (2) Desa Rancapaku, Kecamatan Padakembang, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Alasan terperinci pemilihan lokasi diantaranya adalah:

1. Kawasan Gunung Galunggung telah lama menjadi tumpuan hidup dan tempat tinggal masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Pasca erupsi Gunung Galunggung tahun 1982 - 1983, material pasir dan bebatuan di sekitar kawasan gunung menjadi berlimpah, dan tidak jarang hal tersebut dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber mata pencaharian. Ketika kondisi pasca letusan membaik, sebagian masyarakat mulai kembali ke profesi lamanya seperti petani, peternak ikan, dll. Namun, kondisi pasca letusan tersebut juga telah membuat berbagai perusahaan swasta masuk dan memanfaatkan material pasir yang berlimpah, sehingga baik secara langsung ataupun tidak langsung juga berperan dalam mengubah kondisi ekosistem hingga tatanan sosial masyarakat. Terlebih, penambangan pasir yang dilakukan oleh pihak swasta tidak berbanding lurus dengan peningkatan ekonomi masyarakat, justru sebaliknya, banyak masyarakat yang merasa dirugikan dan tidak dilibatkan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam di daerahnya sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini juga diarahkan pada analisis aktor dan sejarah, dimana telaah terhadap kondisi tersebut perlu ditinjau guna memahami kondisi nyata atas krisis yang sedang dihadapi masyarakat.

2. Desa Mekarjaya merupakan salah satu desa di Kecamatan Padakembang yang memiliki industri pertambangan pasir. Sedangkan Desa Rancapaku, merupakan desa yang lokasinya berada cukup jauh dengan aktivitas pertambangan pasir. Namun kedua Desa tersebut memiliki karakteristik yang kurang lebih sama, diantaranya adalah ekosistem, kondisi ekonomi, sosial serta budaya masyarakatnya. Sehingga pemilihan kedua lokasi ini diharapkan mampu memberikan perbandingan persepsi atas dampak dan perubahan sosial yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir yang terjadi di kawasan kaki Gunung Galunggung.

(33)

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian

KEGIATAN

Februari Maret April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan proposal skripsi

Kolokium

Perbaikan proposal

Pengambilan data lapang

Pengolahan dan analisis data

Penulisan draf skripsi

Sidang skripsi

Perbaikan skripsi

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan data primer maupun data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan, baik melalui observasi, kuesioner (Lampiran 3), dan kegiatan wawancara mendalam (in-depth interview) (Lampiran 4) yang dilakukan pada responden maupun pada informan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh baik berupa dokumen-dokumen dari pemerintah Desa, masyarakat ataupun pihak lainnya yang berkaitan, serta literatur-literatur yang menunjang data ataupun deskripsi kondisi yang berkaitan dengan penelitian.

(34)

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Dalam memperoleh data primer, sumber data didapatkan melalui kuesioner serta wawancara terhadap responden dan informan. Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai kondisi dirinya dan/atau keluarganya sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner. Dalam penelitian ini, populasinya adalah rumah tangga masyarakat Desa Mekarjaya (desa yang berada dekat dengan aktivitas pertambangan) dan Desa Rancapaku (Desa yang berada jauh dengan aktivitas pertambangan) dengan jumlah penduduk sebanyak 236 orang. Sedangkan unit analisis yang diambil adalah individu rumah tangga di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Hal ini dilakukan secara sengaja karena unit analisis tersebut dianggap paling mampu merepresentasikan kondisi dan objek penelitian yang dilakukan. Responden berjumlah 30 orang dari Desa Mekarjaya (yang berasal dari RW 07) dan 30 orang dari Desa Rancapaku (yang berasal dari RW 10). Pemilihan lokasi di RW 07 untuk Desa Mekarjaya dan RW 10 untuk Desa Rancapaku ditentukan berdasarkan observasi dan rekomendasi masyarakat setempat dan dianggap paling mampu merepresentasikan masyarakat desanya secara keseluruhan, dan responden di masing-masing desa tersebut dipilih secara acak sederhana (simple random sampling), sehingga responden yang dipilih memiliki latar belakang serta karakteristik yang bervariasi.

Informan adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi mengenai kondisi dan situasi yang terjadi sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam pedoman wawancara. Dalam penelitian ini informan dipilih secara sengaja, baik yang berasal dari pemerintahan, baik pemerintah desa maupun kecamatan, dan masyarakat, baik tokoh masyarakat, masyarakat yang tinggal dekat lokasi pertambangan, masyarakat yang pernah bekerja di pertambangan, maupun masyarakat yang memiliki informasi terkait dengan kasus yang diteliti.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini data baik yang diperoleh secara kuantitatif maupun kualitatif akan diolah untuk selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan. Untuk data yang diperoleh melalui metode kuantitatif, data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Pembuatan tabel tabulasi silang, tabel frekuensi, grafik, serta diagram diolah menggunakan aplikasi tersebut.

(35)
(36)

PROFIL MASYARAKAT DESA MEKARJAYA

DAN DESA RANCAPAKU

Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan

Kecamatan Padakembang merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dengan luas wilayah 1809 ha dan penduduk yang mencapai 31.013 jiwa, Kecamatan Padakembang mencakup lima wilayah desa didalamnya, yakni Desa Padakembang, Desa Cisaruni, Desa Mekarjaya, Desa Rancapaku, dan Desa Cilampunghilir. Kecamatan yang berada di ketinggian 700 m di atas permukaan laut ini juga terletak tepat di kawasan kaki Gunung Galunggung. Kawasan Gunung Galunggung ini memiliki varian flora dan fauna yang beragam, pasalnya sebagaian besar kawasannya adalah hutan montane, atau hutan yang berada pada dataran rendah dimana rimbunnya pepohonan besar hingga hewan-hewan seperti kera mendominasi kawasan hutan ini. Selain itu aliran sungai besar, seperti Sungai Ciwulan dan Sungai Cikunir juga mengalir deras dari puncak Gunung Galunggung yang sering juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan mereka. Namun, Gunung Galunggung merupakan Gunung berapi yang masih aktif. Hal ini tentunya juga berpengaruh besar khususnya terkait dengan kondisi ekosistem di dalamnya. Apalagi letusan Gunung berapi merupakan salah satu bencana alam yang dapat berakibat fatal, dan dampaknya pun dapat bersifat permanen dan dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Terhitung setidaknya Gunung Galunggung telah memuntahkan lahar panasnya sebanyak empat kali, berikut sejarah letusan Gunung Galunggung menurut tahunnya:

Tabel 2 Sejarah letusan Gunung galunggung

Tahun Keterangan

1882

1. Pada tanggal 8-12 Oktober 1882, letusan Galunggung menghasilkan hujan pasir panas berwarna kemerahan dan juga abu halus yang hampir menyelimuti secara merata wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

2. Selain itu, letusan juga mengalirkan lahar yang bergerak ke arah tenggara Gunung mengikuti aliran-aliran sungai yang telah ada, diantaranya adalah sungai Cikunir yang hulunya tepat berada di kawasan puncak Gunung Galunggung.

3. Letusan ini setidaknya menewaskan sekitar 4.011 jiwa dan menghancurkan 114 Desa yang berada di kawasan Gunung Galunggung.

1894

1. Letusan kembali terjadi pada bulan Oktober 1894, namun aktivitas letusan ini lebih rendah dibandingkan dengan letusan pada tahun 1882.

(37)

1918

1. Terjadi letusan yang selanjutnya membentuk kubah lava di dalam danau kawah Gunung Galunggung.

2. Letusan ini juga memuntahkan abu yang cukup tebal yang hampir tersebar merata di Jawa Barat.

1982

1. Aktivitas letusan ini dimulai pada pertengahan tahun 1982, dan aktivitas letusan baru berakhir pada bulan Januari 1983. 2. Merupakan letusan terbesar kedua setelah letusan tahun 1882 menurut cerita masyarakat. Bahkan ada warga yang menyebutnya sebagai letusan “siklus seratus tahun”.

3. Menewaskan setidaknya 18 orang dan puluhan Desa ditinggakan tanpa penghuni. Sebagian besar masyarakat mengungsi di kawasan Singaparna hingga kota Tasikmalaya. 4. Menyebabkan berubahnya peta wilayah dan batas-batas wilayah Desa (termasuk kepemilikan sawah dan tanah pekarangan masyarakat) yang diakibatkan aliran lahar serta timbunan pasir dan bebatuan.

Sumber: Data sekunder

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat jika pada dasarnya masyarakat telah mengalami dampak yang cukup parah dengan letusan Gunung Galunggung yang telah terjadi sebanyak empat kali. Dari korban jiwa, hingga harta benda harus dikorbankan oleh masyarakat sebagai konsekuensi tinggal di kawasan Gunung berapi aktif yang harus dirasakan baik oleh masyarakat Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku. Terlebih mengingat kedua desa tersebut merupakan desa yang dilalui oleh jalur aliran lahar, sehingga implikasi yang diakibatkan oleh letusan cukup masif dirasakan masyarakat kedua desa. Namun pasca letusan tahun 1982 tersebut, masyarakat Kecamatan Padakembang, khususnya Desa Mekarjya dan Desa Rancapaku juga disibukkan dengan pembuatan tanggul setinggi kurang lebih dua meter yang mengitari kawasan sungai Cikunir yang juga melewati kawasan kedua desa tersebut.

Pada pertengahahn tahun 2013 lalu, masyarakat kawasan Gunung Galunggung sempat kembali cemas karena adanya pemberitahuan tentang meningkatnya aktivitas Gunung Galunggung. Namun akhirnya tidak terjadi peningkatan aktivitas dan status Gunung Galunggung dapat kembali normal. Walaupun demikian, banyak masyarakat yang langsung meninggalkan desa untuk mengungsi dan mengantisipasi peningkatan aktivitas gunung yang berpotensi meletus tersebut selama beberapa minggu. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat di kawasan Gunung Galungggung atau Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku khususnya, juga sangat bergantung dan dipengaruhi oleh kondisi dan keberadaaan aktivitas Gunung Galunggung.

Struktur Sosial dan Ekonomi

(38)

sama. Pasalnya Desa Mekarjaya merupakan desa hasil pemekaran dari Desa Rancapaku yang dilakukan pada tahun 1978, dimana penduduknya bermata pencaharian beragam, mulai dari petani, peternak ikan, wiraswasta hingga buruh. Selain itu, mayoritas masyarakat di kedua desa mayoritasnya memiliki kolam ikan baik berukuran kecil, sedang atau besar yang terletak di sekitar pekarangan rumah. Umumnya kolam-kolam ini dimanfaatkan untuk konsumsi sehari-hari, namun tidak jarang juga hasil dari kolam tersebut selanjutnya di jual di pasar desa atau warung atau pasar di luar desa.

Pada sektor pekerjaan yanng berbasis pada pertanian maupun peternakan, kedua desa memiliki memiliki basis wadah masyarakat yang berbentuk kelompok tani maupun kelompok pembenihan atau peternak ikan. Kelompok yang merupakan hasil kolektif masyarakat tersebut hingga pada saat ini masih tergolong aktif, namun minimnya program atau kegiatan bersama khususnya untuk kelompok tani tidak jarang menyebabkan kelompok ini hanya berfungsi aktif ketika adanya penyaluran bantuan-bantuan tani. Sedangkan untuk kelompok atau kelembagaan lainnya di kedua desa ini, terdapat juga karang taruna dan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), baik karang taruna maupun PKK juga pada akhirnya berkontribusi dalam meinginisiasi berbagai kegiatan warga, diantaranya adalah perlombaan olah raga hingga berbagai kegiatan keagamaan.

Berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lainnya, pada pasca letusan pada tahun 1982 - 1983, baik masyarakat Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku banyak yang mengalami kerugian karena rumah yang hancur, hingga sawah dan kolam-kolam ikan yang tertimbun oleh pasir. Namun masyarakat yang semula merasa sangat dirugikan oleh letusan Gunung Galunggung, mulai berbalik menjadi diuntungkan dengan material pasir yang berlimpah hampir merata di seluruh desa. Sebetulnya material pasir telah tersedia sebelum tahun 1983 (yang berasal dari letusan gunung pada tahun sebelumnya), namun pada saat itu masyarakat belum memanfaatkannya secara serius dan hanya dimanfaatkan secara skala kecil untuk keperluan membangun rumah atau fasilitas desa lainnya. Namun baru pada pasca letusan tahun 1983, banyak masyarakat yang mulai lebih fokus melakukan penjualan pasir hingga keluar daerah, bahkan hingga ada yang masih bertahan dengan industrinya sampai saat ini.

(39)

demikian, dapat dikatakan juga bahwa sebagian besar masyarakat Desa Mekarjaya masih tetap menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian pada skala prioritas, hal ini karena pekerjaan pada sektor pertambangan bukanlah pekerjaan yang bersifat mengikat, namun hanya temporer dan bersifat kontrak berkala saja.

Kondisi atau struktur penghidupan tersebut, pada akhirnya terepresentasi dalam kultur atau respons politik ekologi yang berbeda diantara kedua desa tersebut. Desa Mekarjaya cenderung lebih memiliki respons yang kompromistik, sedangkan untuk Desa Rancapaku cenderung memiliki respons yang lebih radikal terhadap keberadaan perusahaan pertambangan pasir. Hal ini diantaranya dikarenakan adanya ketergantungan ekonomi dan juga relasi atau kedekatan sosial dengan pihak perusahaan tambang pada masyarakat Desa Mekarjaya, sedangkan hal sebaliknya terjadi pada masayarakat Desa Rancapaku. Kondisi yang berbeda pada Desa Mekarjaya tersebut juga didukung oleh elite atau sesepuh desa yang juga tergolong tidak vokal dalam menyikapi keberadaan perusahaan pertambangan atas kerugian yang ditimbulkan di masyarakat.

Namun kondisi masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada sektor pertambangan lambat laun semakin berkurang seiring dengan masuknya industri pertambangan pasir, masyarakat Desa Mekarjaya khususnya, mau tidak mau harus mulai tersingkir akibat industri pertambangan pasir yang semakin kuat dan besar. Hal tersebut juga semakin diperparah dengan ketatnya persaingan dalam memperoleh pekerjaan, dengan jumlah penduduk sebanyak 7.604 jiwa di Desa Mekarjaya dan 9.185 jiwa untuk Desa Rancapaku, menjadikan persaingan dalam memperoleh pekerjaan di tingkat desa semakin sulit, dan tidak jarang sebagian masyarakat harus mencari pekerjaan hingga ke luar kota, diantaranya Garut, Bandung, atau bahkan hingga Jakarta. Sebagian besar warga kedua desa yang merantau tersebut bermata pencaharian sebagai buruh lepas dan juga usaha warung makanan atau warung kelontong. Namun migrasi warga tersebut juga berlaku sebaliknya, pasca masuknya industri serta perbaikan kawasan wisata3 Gunung Galunggung, banyak pendatang yang mulai melakukan wirausaha di kawasan ini dan sebagian diantaranya menjadi warga tetap, bahkan untuk Desa Mekarjaya sendiri terdapat dua orang warga negara Asing yaitu dari Singapura yang bertinggal di Desa Mekarjaya.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat terlihat bahwa masyarakat baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapku sangat bergantung pada kondisi ekosistem di dalamnya. Terlebih bagi mata pencaharian masyarakat yang secara garis besar masih menggantungkan pada sektor pertanian dan perikanan, walaupun demikian, kehadiran perusahaan tambang pasir ternyata juga membawa perubahan sosial yang juga berpengaruh pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

3

Gambar

Gambar 1 Pola hubungan antar aktor dalam pemanfaatan sumber daya alam
Gambar 2 Kerangka Konseptual
Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian
Gambar 3 Proses produksi pertambangan pasir di Desa Mekarjaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

komoditi perikanan tangkap yang disebabkan menurunnya tangkapan nelayan dan.. pada desa non-dampak terjadi penurunan pendapatan setelah adanya PT. Newmont Nusa Tenggara sebesar

Instrumen penelitian yang digunakan yaitu menggunakan Kuisioner. Penyusunan instrumen berdasarkan pada indikator masing-masing variabel yang yang harus mengacu pada

Hasil penelitian menunjukkan tentang dampak peralihan kawasan hutan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat desa di sekitar kawasan hutan, yakni pada aspek sosial terjadi

kegiatan pertambangan batubara ini tentu saja menimbulkan persepsi masyarakat terhadap dampak kegiatan pertambangan tersebut pada kondisi sosial, ekonomi dan fisik dimana pada

Dari empat indikator loyalitas pelanggan yang ada diatas, maka dapat diketahui bagaimana pelanggan dapat dikatakan loyal terhadap perusahaan. Pada umumnya pelanggan

2. Dampak yang dimaksud adalah dampak dari aktivitas pertambangan nikel baik itu dampak positif dan dampak negatif yang nantinya akan membawa perubahan terhadap kondisi sosial

Persepsi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan rehabilitasi lahan dan air di hulu DAS Latuppa berdasarkan rataan skor pada tabel 3 dilihat dari masing-masing

Kesiapan masyarakat lokal terhadap penerapan wisata syariah juga pada umumnya positif dan menyatakan siap dari berbagai aspek seperti kegiatan ekonomi dan peluang