• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAMPAK PERTAMBANGAN PASIR

Boks 2. Kisah Kehidupan kasus Bapak KRN (55 Tahun)

Bapak KRN merupakan warga asli kampung Cipager, Desa Rancapaku, kecamatan Padakembang. Lokasi rumah beliau yang hanya kurang lebih berjarak 10 meter dari sungai Cikunir, membuat erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 juga turut memporak-porandakan lingkungan tempat tinggalnya. Pasca rehabilitasi kawasan pada tahun 1983-1984, bapak KRN juga turut membantu proses perbaikan fasilitas Desa, termasuk dalam pembuatan tanggul yang dibuat sepanjang sungai Cikunir. Tanggul yang tujuan awalnya adalah positif, yakni menjadi penyangga aliran lahar jika kembali mengalir melalui sungai Cikunir, lama kelamaan malah dianggap sebagian warga sebagai hal yang negatif karena tidak adanya kompensasi, khususnya yang berkenaan dengan pemanfaatan lahan yang dijadikan tanggul. Hingga pada akhirnya di penghujung tahun 1998, ketika orde-baru runtuh dan krisis ekonomi melanda Indonesia, masyarakat satu persatu mulai “menghancurkan” tanggul yang berisi pasir tersebut. “Karena tidak ada kompensasi, ya sudah kita buat kompensasi sendiri” tuturnya, beliau juga mengatakan pasir dari tanggul ini sangat bermanfaat, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga membangun rumah-rumah warga yang memang pada saat itu sedang sulit-sulitnya. Walaupun pada akhirnya masyarakat memperoleh “kompensasi” dari „pembangunan tanggul‟, yakni dengan „menjual tanggul‟ itu sendiri, banyak masyarakat yang pada akhirnya menyadari dampak buruk dari hancurnya tanggul tersebut, diantaranya adalah Bapak KRN. “Memang semua itu akan selalu ada positif dan negatifnya”, tuturnya.

dilintasi oleh truk-truk besar pengangkut pasir, padahal jalur-jalur tersebut (termasuk jalan di dusun Cikembang) merupakan jalan yang dulunya juga dimanfaatkan oleh truk-truk pasir untuk membawa material pasirnya ke tempat penampungan.

Reaksi yang dilakukan masyarakat memang tergolong wajar, mengingat dampak dari lalu lalang truk ini secara nyata telah mengancam warga. Seperti yang disebutkan oleh LSR (47 tahun), yang juga merupakan pedagang di kawasan jalan utama Kecamatan Padakembang:

“Jalan utama yang di depan itu kan namanya jalan baru, tapi sama sekali tidak terlihat baru, seharusnya mungkin itu dinamakan “jalan baru setaun tapi sudah rusak”. Apalagi kalau naik motor, depan dan belakang truk semua, ditambah jalannya juga banyak yang berlubang, sangat rawan. Untung saja tidak pernah ada yang sampai tabrakan atau kecelakaan parah, tapi kalau yang jatuh dari motor lumayan sering sepertinya. Rasanya jika dikatakan jalannya mau diperbaiki juga bakal sama saja selama masih dilewatin truk-truk pasir itu.”

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika kemunculan resiko atau kerentanan masyarakat terhadap bencana dirasakan baik oleh masyarakat di Desa Mekarjaya dan juga Desa Rancapaku. Namun hal yang esensial justru lebih dirasakan oleh mayoritas masyarakat Desa Rancapaku dimana ancaman banjr dan longsor lebih sering terjadi akibat jarak Desa yang lebih dekat dengan aliran sungai. Walaupun demikian Desa Mekarjaya juga merasakan hal yang sama, namun hanya sebagian kecil wilayahnya yang mengalami bencana banjir atau longsor, yakni hanya di kawasan dusun Karangdan. Sedangkan untuk permasalahan jalan yang rusak, masyarakat Desa Mekarjaya lebih merasakan dampaknya dibandingkan dengan masyarakat Desa Rancapaku. Hal ini dikarenakan Desa Mekarjaya merupakan jalan utama truk-truk besar pengangkut material pasir yang berlalu lalang.

Persepsi Terhadap Tingkat Polusi Melalui Udara

Udara yang bersih dan sehat mungkin menjadi dambaan bagi banyak orang, bahkan bagi sebagian orang mungkin akan bersusah payah mencari “udara” tersebut ke daerah dataran yang lebih tinggi. Karena memang seperti kita ketahui, daerah yang lebih tinggi atau apalagi memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, umumnya sudah mulai banyak ditumbuhi oleh pepohonan besar yang menjulang tinggi, yang biasanya sarat akan oksigen dan lingkungan yang asri. Namun hal tersebut agaknya sulit diperoleh oleh masyarakat Kecamatan Padakembang, khususnya Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku, walaupun berada di daerah pegunungan, namun letak Desa yang hanya sekitar 400-600 di atas permukaan laut ditambah dengan aktivitas pertambangan dan lalu-lalang truk yang membawa material pasir, membuat udara di kawasan ini seolah

tidak hanya kering, namun juga dipenuhi oleh debu-debu atau pasir halus yang berterbangan.

Selain menyalurkan debu, medium udara juga mampu menghasilkan apa yang disebut sebagai “polusi suara”. Terlebih aktivitas pertambangan merupakan suatu aktivitas industri yang memerlukan berbagai alat berat, yang tentunya bagi sebagian orang apalagi yang berada dekat kawasan tambang akan merasa terganggu dengan suara-suara yang dihasilkan. Belum lagi seperti permasalahan truk besar yang lalu-lalang membawa material pasir, tentunya bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar jalan utama atau jalan yang dilalui truk tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan terganggu. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap kerentanan terhadap polusi melalui udara dapat dilihat pada pada Tabel 7:

Tabel 7 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat polusi melalui udara

No. Pernyataan Presentase (%) Total (%) MKJ RCP S N TS S N TS MKJ RCP 1 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan udara dipenuhi debu 70.00 23.33 6.67 10.00 30.00 60.00 100.00 100.00 2 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan jalan atau rumah dipenuhi debu 73.33 23.33 3.33 13.33 36.67 50.00 100.00 100.00 3 Aktivitas penambangan pasir menimbulkan kebisingan yang mengganggu 56.67 30.00 13.33 0.00 36.67 63.33 100.00 100.00 4 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat enggan berlama-lama di luar rumah 30.00 50.00 20.00 0.00 46.67 53.33 100.00 100.00 5 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan masyarakat lebih mudah terserang penyakit (ISPA) 46.67 40.00 13.33 10.00 43.33 46.67 100.00 100.00

Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku

Berdasarkan Tabel 7, baik Desa Mekarjaya ataupun Desa Rancapaku memiliki pernyataan yang sangat bertolak. Tidak terdapat satupun

pernyataan yang yang dijawab sama oleh mayoritas responden yang berasal dari kedua Desa tersebut, berikut adalah penjelasannya:

1. Sebagian masyarakat Desa Mekarjaya mungkin dapat dikatakan sudah terbiasa dengan aktivitas pertambangan yang dilakukan di Desa ini. Namun berdasarkan data, terlihat sebanyak 70.00 persen masyarakat Desa Mekarjaya merasa dampak dari aktivitas pertambangan ini cukup mengganggu, khususnya dalam kaitannya dengan banyaknya debu yang dihasilkan oleh truk-truk pembawa pasir yang lalu lalang pada siang hari. Sedangkan bagi masyarakat Desa Rancapaku, dimana di Desa ini tidak terdapat aktivitas pertambangan dan jalan utama Desanya tidak boleh dilalui truk pengangkut pasir, setidaknya 60.00 persen responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan yang menyebutkan akibat pertambangan pasir, udara menjadi dipenuhi debu.

2. Demikian halnya dengan debu yang berada di jalan-jalan atau bahkan rumah warga. Masyarakat Desa Mekarjaya sebagaian besar atau sebanyak 73.33 menjawab setuju, sedangkan berbanding terbalik dengan masyarakat di Desa Rancapaku yang sebanyak 50.00 persen menjawab tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Namun responden dari Desa Rancapaku sisanya menjawab pada pilihan netral (36.67 persen), dan setuju (13.33 persen). Terdapat beberapa alasan oleh responden yang memilih jawaban tersebut, diantaranya adalah bahwa walaupun tidak ada truk yang membawa material pasir yang diperbolehkan melewati kawasan Desa Rancapaku, tetapi seperti yang sudah disebutkan sebelumnya masih kerap ada truk-truk yang melanggar peraturan tersebut dan melewati kawasan ini, sehingga tidak jarang bekas-bekas pasir ikut terbawa angin dan bahkan sampai ke dekat rumah warga.

3. Kebisingan atau gangguan suara secara nyata dirasakan oleh masyarakat Desa Mekarjaya, terlihat dari tabel sebanyak 56.67 persen masyarakat Desa Mekarjaya merasakan kebisingan atau gangguan suara yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir. Sedangkan sebaliknya, masyarakat Desa Rancapaku menyatakan tidak setuju dengan adanya kebisingan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir dengan persentase sebesar 63.33 persen.

4. Dengan kondisi lingkungan yang banyak tercemar oleh polusi udara seperti debu-debuan dan lain sebagainya, ada kemungkinan masyarakat akan enggan untuk berlama-lama diluar rumah. Namun masyarakat Desa Mekarjaya sebanyak 50.00 persen memiliki jawaban netral terhadap pernyataan tersebut, sedangkan persentase terbesar kedua berada pada jawaban setuju (30.00 persen), dimana masyarakat memang menjadi enggan berlama-lama diluar rumah lantaran debu-debu tersebut memunculkan perasaan udara cenderung “tidak aman” untuk dihirup. Namun sebaliknya, masyarakat Desa Rancapaku memiliki jawaban yang bertolak dengan jawaban mayoritas responden dari Desa Mekarjaya, dimana sebanyak 53.33

persen responden dari Desa Rancapaku tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

5. Debu atau polusi melalui udara erat kaitannya dengan penyakit atau infeksi saluran pernafasan. Berkaitan dengan hal tersebut, sebanyak 46.67 persen masyarakat Desa Mekarjaya setuju dengan pernyataanaktivitas pertambangan pasir menyebabkan masyarakat lebih rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk diantaranya masalah saluran pernafasan. Namun sebaliknya, masyarakat Desa Rancapaku memiliki pernyataan yang berbeda, yakni sebesar 46.67 responden tidak setuju terhadap pernyataan tersebut.

Ketika membahas tentang pencemaran atau polusi, maka akan dibahas pula terkait dengan sumber pencemaran atau polusi itu sendiri. Dalam kaitannya dengan aktivitas pertambangan pasir, tentu saja aktivitas penggalian material tambang hingga pengangkutan material tambang dapat menyebabkan dampak polusi udara yang cukup berarti. Terlebih dengan objek tambang yang berupa pasir, pada dasarnya pasir merupakan butir-butir batuan halus atau dapat disebut juga sebagai kersik halus, yang ukuran materinya sangat kecil yang dapat dengan mudah terbawa oleh angin.

Pasir yang terbawa oleh angin dapat dengan mudah terhirup oleh manusia, dan itulah yang dapat menjadi pemicu atau penyebab berbagai penyakit diantaranya adalah infeksi saluran pernafasan. Belum lagi akibat debu-debu lain atau kotoran yang ikut terbang terbawa angin karena jalanan yang kotor dan gersang akibat lalu-lalang truk-truk besar pembawa material pasir. Hal tersebut selain membawa penyakit, dianggap sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat Desa Mekarjaya membawa pengaruh yang buruk juga terhadap aktivitas atau kegiatan sehari-hari. Seperti yang dituturkan oleh LSR (47 tahun), seorang ibu dari Desa Mekarjaya yang juga merupakan pedagang di kawasan jalan utama Kecamatan Padakembang:

“Masyarakat disini mungkin sudah sampai biasa dengan debu, bahkan mungkin suara berisik truk pasir yang lewat juga sudah biasa. Tapi sebenarnya bagaimana juga dibalik hati masing- masing pasti “risih”, tapi mau mengeluh juga percuma. Apalagi itu debu kan sangat menganggu, dagangan ibu saja kalau didiemkan satu hari pasti sudah tebal debu-debunya. Takutnya kalau kotor gitu juga konsumen jadi pada tidak mau beli.”

Senada dengan pernyataan ibu LSR, salah seorang masyarakat Desa Rancapaku yakni pak JJG (54 tahun) menuturkan tentang keluhannya terkait dengan dampak polusi udara yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan pasir:

“Saya dulu sempat tinggal di daerah Kubangeceng. Disana bisa dibilang kondisinya cukup jauh dengan disini, disana tiap jam truk juga lewat, mau magrib, tengah malam, sampai subuh juga masih saja ada truk.. Parahnya, truknya bukan sekedar truk biasa, tetapi truk tua yang hampir selalu membawa muatan pasir

berlebih. Coba saja dilihat pasti selalu kelebihan muatan, dan bukan apa-apa, jadinya juga masyarakat yang terkena dampaknya, pasirnya kan jadi pada jatuh, selain bikin kotor dan itu juga jadi kehirup sama kita.”

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diambil kesimpulan jika permasalahan polusi melalui udara jauh lebih dirasakan di Desa Mekarjaya. Hal ini dikarenakan jalan Desa Mekarjaya juga dimanfaatkan oleh truk-truk pengangkut material pasir berlangsung hampir selama 24 jam. Hal itu yang pada akhirnya berdampak pada kebisingan dan polusi udara berupa debu dan pasir-pasir yang berterbangan sepanjang Desa Mekarjaya. Berbeda dengan Desa Rancapaku, dimana di Desa ini memang sama sekali tidak terdapat aktivitas penambangan pasir. Hal ini juga bahkan didukung dengan kesepakatan yang disusun oleh masyarakat dan pihak pemerintah Desa yang melarang truk pengangkut material pasir untuk melewati jalur di Desa. Padahal jalur Desa Rancapaku ketika dahulu menjadi salah satu alternatif jalan yang cukup sering dilalui truk.

Persepsi Terhadap Tingkat Alih Fungsi Lahan

Konversi lahan merupakan suatu fenomena tersendiri yang dapat menjadi pembahasan menarik dari sudut pandang agraria. Bahkan secara khusus lahan juga memiliki definisi dan tipe-tipenya sendiri, namun secara umum dalam penelitian ini, alih fungsi lahan dimaknai sebagai suatu transformasi areal pertanian menjadi areal non-pertanian. Seperti diketahui, mayoritas mata pencaharian masyarakat baik di Desa Mekarjaya maupun Desa Rancapaku berada pada sektor pertanian. Namun pasca terjadinya erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983, lahan-lahan sawah yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk bertani, serta lahan pekarangan yang sebelumnya mereka manfaatkan untuk beternak atau berkebun menjadi tertimbun oleh material pasir.

Banyak masyarakat yang merasa mampu mengatasi masalah timbunan pasir tersebut dengan caranya masing-masing, diantaranya adalah dengan membuangnya ke aliran sungai, hingga menjualnya kepada tengkulak atau “pengepul pasir dadakan” yang pada pasca meletusnya Gunung Galunggung memang banyak tersebar hampir di seluruh Desa. Namun, tidak semua masyarakat merasa mampu dalam melakukan pekerjaan pembersihan pasir tersebut. Sebagian besar masyarakat juga banyak yang akhirnya menyewakan, atau bahkan hingga menjual lahannya untuk dimanfaatkan oleh masyarakat yang umumnya lebih memiliki modal, atau juga disewakan pada industri penjualan pasir skala kecil yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat. Namun masyarakat tidak sadar bahwa pada dasarnya akibat konversi lahan tersebut memunculkan berbagai dampak yang mungkin dapat dikatakan juga merugikan masyarakat. Dampak aktivitas pertambangan pasir dan kaitannya dengan persepsi terhadap alih fungsi lahan dapat dilihat pada pada Tabel 8:

Tabel 8 Persepsi masyarakat Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku terhadap tingkat alih fungsi lahan

No. Pernyataan Presentase (%) Total (%) MKJ RCP S N TS S N TS MKJ RCP 1 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan jumlah hutan berkurang 76.67 20.00 3.33 36.67 13.33 50.00 100.00 100.00 2 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan banyak fauna yang punah 33.33 40.00 26.67 20.00 13.33 66.67 100.00 100.00 3 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan banyak flora yang punah 16.67 53.33 30.00 3.33 23.33 73.33 100.00 100.00 4 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan jumlah atau luas sawah menjadi berkurang 60.00 20.00 20.00 20.00 26.67 53.33 100.00 100.00 5 Aktivitas penambangan pasir menyebabkan luas pekarangan atau kebun warga menjadi berkurang 70.00 20.00 10.00 33.33 30.00 36.67 100.00 100.00

Sumber: Data primer. Keterangan: S = Setuju, N = Netral, TS = Tidak Setuju, MKJ = Desa Mekarjaya, RCP = Desa Rancapaku

Pada Tabel 8 dapat dilihat jika persentase jawaban mayoritas responden antara Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku kembali saling bertolak belakang. Hal tersebut secara spesifik dapat dikarekan faktor lokasi, dimana Desa Mekarjaya sejak tahun 1984 atau pasca erupsi Gunung Galunggung sudah mulai diminati oleh industri pertambangan, baik industri pertambangan kecil, hingga industri pertambangan besar-sedang. Sedangkan berbeda dengan Desa Rancapaku, dimana di kawasan ini hampir tidak pernah ada satupun industri pertambangan skala besar-sedang yang melakukan pengerukan material pasir.

Bagi masyarakat Desa Mekarajaya, sebetulnya banyak “harga” yang harus dibayar oleh masyarakat dengan pembiaran masuknya industri- industri tersebut. Diantaranya seperti yang empiris dapat terlihat, dimana pada saat ini kawasan Desa Mekarjaya semakin terkikis oleh aktivitas pertambangan itu sendiri, bahkan lambat laun mulai meninggalkan “romantisme Desa” yang sejatinya dimiliki oleh Desa ini. Terkait dengan masing-masing pernyataan dalam tabel, berikut adalah penjelasannya:

1. Aktivitas pertambangan pasir jelas-jelas menyebabkan luas hutan berkurang. Terlebih untuk masyarakat Desa Mekarjaya, seperti dalam tabel terlihat sebanyak 76.67 persen responden menjawab setuju dengan pernyataan tersebut. Jawaban itu muncul memang dikarenakan jumlah hutan yang terkonversi akibat pembukaan lahan aktivitas pertambangan pasir cukup besar, terlebih jika dikalkulasikan semenjak pembukaan lahan pertama secara besar- besaran atau yang menurut responden terjadi pada sekitar tahun 1986. Namun hal yang sebaliknya terlihat pada Desa Rancapaku, berdasarkan data setidaknya 50.00 persen responden menjawab tidak setuju dengan pernyataan yang menyatakan aktivitas pertambangan pasir menyebabkan luas hutan berkurang. Namun walaupun demikian, terdapat 36.67 persen responden dari Desa Rancapaku yang menjawab setuju pada pernyataan tersebut. Menurut sebagian masyarakat, memang sebetulnya dahulu banyak kawasan hutan yang menyimpan gundukan pasir, dan itu juga akhirnya dimanfaatkan sebagian besar masyarakat, namun untungnya tidak pernah sampai pada penjualan lahan atau dikonversikan untuk hal yang lainnya. 2. Terkait dengan keberadaan fauna, sebetulnya di kawasan ini bukan

merupakan tempat tinggal banyak hewan apalagi satwa endemik. Hanya saja banyak hewan sejenis kera yang tinggal di habitat hutan sebelah utara Kecamatan Padakembang. Dan menurut sebagaian masyarakat, pasca adanya aktivitas pertambangan pasir para kera tersebut menjadi terusir dari habitat aslinya, dan bahkan pernah sampai ada kera yang menyusuri perumahan warga. Namun pernyataan yang menyatakan dampak aktivitas pertambangan menyebabkan punah atau langkanya suatu hewan tersebut ditanggapi netral oleh mayoritas responden Desa Mekarjaya (40.00 persen), dan tidak setuju oleh mayoritas responden Desa Rancapaku (66.67 persen).

3. Demikian halnya dengan keberadaan flora, di kawasan ini tidak terdapat tumbuh-tumbuhan khas yang secara nyata dapat dilihat keberadaannya. Dan tidak berbeda jauh dengan pernyataan sebelumnya, untuk responden di Desa Mekarjaya mayoritas menjawab pernyataan ini dengan jawaban netral sebesar 53.33 persen, sedangkan untuk masyarakat di Desa Rancapaku menjawab pernyataan ini dengan jawaban tidak setuju sebesar 73.33 persen. Persentase tidak setuju yang cukup tinggi ini dipercaya oleh sebagian dari responden karena memang di kawasan ini tidak terdapat tumbuh-tumbuhan atau pohon yang khas sejak zaman dahulu. Walaupun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang

mempercayai tentang keberadaan pohon Jamuju, sebuah jenis pohon langka yang habitatnya adalah kawasan selatan Tasikmalaya.

4. Areal sawah merupakan salah satu areal yang pada erupsi tahun 1982 - 1983 banyak tertimbun oleh material pasir dari Gunung Galunggung. Hal tersebut juga yang menjadikan banyak masyarakat mengkonversikan areal sawahnya untuk kepentingan pertambangan atau yang lainnya. Berdasarkan data, sebanyak 60.00 persen responden dari Desa Mekarjaya menjawab setuju dengan pernyataan tersebut, sedangkan sebanyak 53.33 persen responden dari Desa Rancapaku tidak setuju dengan pernyataan tersebut.

5. Sama halnya dengan areal persawahan, areal pekarangan rumah menurut sebagian besar responden pada pasca erupsi tahun 1982 - 1983 banyak yang dimanfaatkan oleh warga untuk dikeruk material pasirnya. Hal ini terlihat dengan jawaban sebagian besar responden dari Desa Mekarjaya yang mengatakan Setuju (70.00 persen) terhadap pernyataan tersebut. Namun hal ini masih berbanding terbalik dengan jawaban responden dari Desa Rancapaku, dimana sebesar 36.67 persen responden menjawab pernyataan ini dengan jawaban tidak setuju.

Material pasir yang berlimpah pada pasca erupsi Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983 memang memunculkan suatu dilematika baru. Pasalnya, di satu sisi gelimpangan pasir tersebut memberikan kerugian karena banyaknya areal sawah, pekarangan, hutan hingga rumah warga yang rusak. Namun, di satu sisi juga memberikan manfaat positif karena material pasir tersebut dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi. Namun ketika pemanfaatan terhadap sumber daya alam yang ada terlalu “bablas” atau tendensius, yang terjadi justru kerugian yang mungkin akan senantiasa dirasakan oleh masyarakat di generasi-generasi mendatang.

Kerugian atas pertambangan pasir itu yang pada saat ini mayoritas masyarakat Desa Mekarjaya rasakan, pasalnya ketika zaman dahulu sebelum erupsi Gunung Galunggug terjadi, kawasan Desa Mekarjaya masih sangat terbilang asri dengan hutan-hutan yang sangat banyak. Bahkan beberapa diantara masyarakat mengganggap ketika dahulu hutan Galunggung menyimpan jenis pohon yang pada saat ini tergolong langka, yakni pohon Jamuju. Sebetulnya pohon Jamuju merupakan pohon endemik yang hidup di habitat selatan Tasikmalaya, namun pohon yang memiliki kemiripan karakteristik dengan pohon Akasia ini dianggap memang cocok untuk hidup di daerah kawasan Gunung Galunggung. Seperti halnya yang disampaikan oleh OMH (58 tahun) yang merupakan warga asli Desa Mekarjaya:

“Waktu jaman dulu disini banyak pohon, dari yang kecil-kecil sampai yang besar. Tapi saya kurang tahu juga itu namanya pohon apa, tapi dulu katanya ada yang nyebut juga pohon Jamuju. Tapi kita tidak pernah memperhatikan, tapi yang pasti setelah banyaknya penambangan pasir di daerah atas

(Kecamatan Sukaratu) dan terus berlanjut ke bawah (Kecamatan Padakembang) pohon-pohon ya sudah jadi habis begitu saja. Binatang-binatangnya juga jadi mulai berkurang, yang dulunya banyak terlihat tupai lompat-lompat, atau bahkan suara jangkrik, saat ini sekarang jadi mulai ikut menghilang.”

Walaupun pohon Jamuju di kawasan Gunung Galunggung kebaeradaannya belum pasti, namun setidaknya hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan ekosistem yang nyata di kawasan ini.

Disamping eksistensi dan keberadaan hutan serta flora dan faunanya, sawah juga dapat menjadi indikator dalam melihat gejala konversi lahan yang ada di Desa Mekarjaya dan Desa Rancapaku. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pasca letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982 - 1983, banyak areal sawah dan pekarangan warga yang menjadi tertimbun oleh pasir. Namun hal tersebut justru disambut positif oleh masyarakat, bahkan ketika itu sempat dikenal dengan istilah sewa lahan untuk para penambang pasir. Seperti yang disebutkan oleh SMT (50 tahun) yang juga merupakan warga asli dari Desa Mekarjaya:

“Dulu itu pasca letusan pasir ada dimana-mana, Jadi banyak warga yang menyewakan sawahnya untuk dikeruk. Masyarakat jelas inginnya dapat untung, selain untung karena sawahnya “dibersihkan”, dapat uang juga dari uang sewa tersebut. Makanya dulu itu banyak yang menyewakan sampai puluh- puluhanan bata ke si penambang (pemodal) itu. Tapi selain di

Dokumen terkait