• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Klaster Industri

2.2.2 Klaster Industri di Negara Berkembang dan di Indonesia

Klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah (Knorringa & Meyer-Stamer 1998). Klaster ini belum melakukan pembagian pekerjaan secara vertikal sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain). Manfaat yang diperoleh dari aglomerasi baru terbatas pada kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster dengan ciri-ciri demikan dikenal dengan istilah “survival cluster”. Survival cluster ini dapat ditemukan baik di daerah pinggiran (rural) maupun di daerah perkotaan (metropolitan). Yang berada di daerah perkotaan biasanya tumbuh karena kebutuhan pemiliknya untuk survive, kurang mempunyai akar di daerah tersebut dan beroperasi pada subsektor-subsektor yang modern. Klaster yang berada di daerah pinggiran lebih banyak beroperasi pada sektor tradisional yang pada umumnya bertumpu pada ket erampilan pekerjaan tangan, seperti: sepatu, alas kaki, barang-barang dari kulit, pakaian jadi, perabot rumah tangga dari kayu, perhiasan dan produk kerajinan tangan lainnya.

Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) berpendapat bahwa sangat sulit untuk mengembangkan survival cluster yang banyak terdapat pada negara -negara berkembang menjadi klaster dengan kinerja yang lebih tinggi, karena tidak punya kemampuan untuk memenuhi biaya, kualitas dan permintaan yang melekat pada suatu sektor yang formal.

Altenburg dan Meyer -Stamer (1999) dalam penelitiannya di Amerika Latin menyimpulkan bahwa pada negara-negara berkembang dik awasan tersebut terdapat bentuk-bentuk klaster yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1) Sebagaian besar klaster adalah berupa “survival cluster” yang terdiri dari perusahaan berskala usaha mikro dan usaha kecil, yang memproduksi barang-barang konsumsi berkualitas rendah untuk pasar lokal, yang pada umumnya “barrier to entry”-nya rendah. Pada umumnya produktivitas dan upah pada perusahaan dalam klaster tersebut juga masih rendah. 2) Beberapa klaster merupakan “klaster maju” yang menghasilkan berbagai

jenis barang dengan tingkat produksi massa, yang merupakan barang substitusi impor namun tidak banyak melakukan ekspor. Perusahaan dalam klaster ini terdiri dari berbagai skala, mulai dari yang kecil sampai perusahaan yang berskala besar.

3) Beberapa diantaranya merupakan klaster perusahaan trans-nasional, yang bergerak dalam bidang produksi barang yang mengandung muatan teknologi yang tinggi, seperti elektronika dan kendaraan bermotor. Klaster ini didominasi oleh cabang dari perusahaan multi-nasional, yang melayani baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional.

Knorringa dan Stamer-Meyer (1998) berpendapat, bahwa klaster dalam suatu negara berkembang bisa stagnan saja atau berkembang menurut suatu lintasan tertentu. Klaster stagnan akan tetap hanya berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, namun tidak mendapatkan manfaat lain dari keberadaan klaster tersebut.

Klaster yang berkembang, dapat mengalamai pertumbuhan melalui beberapa kemungkinan lintasan (trajectory) menuju salah satu bentuk klaster berikut: klaster distrik industri Italia (Italianate industrial district), klaster “hub and spoke” atau bentuk klaster satelit (satellite).

Pada lintasan pertama, suatu klaster yang semula hanya berupa aglomerasi perusahaan akan mengembangkan sekumpulan ciri-ciri yang merupakan ciri-ciri dari suatu distrik industri Italia (Italianate industrial district) dan kemudian berkembang menjadi suatu klaster berbentuk “hub and spoke” dimana terdapat

beberapa perusahaan besar yang yang menjadi leader dengan banyak perusahaan kecil dan menengah yang menjadi subkontraktornya.

Lintasan kedua, yang lebih umum terjadi dibanyak negara berkembang, adalah perubahan dari aglomerasi biasa perusahaan yang kemudian berubah langsung menjadi klaster hub and spoke tanpa melalui proses menjadi suatu

Italianate industrial district terlebih dahulu.

Lintasan ketiga adalah perubahan dari suatu aglomerasi biasa menjadi suatu klaster yang berupa distrik satelit (satellite district), dimana perusahaan kecil dan menengah dalam klaster berproduksi untuk memenuhi keperluan perusahaan besar yang berada diluar klaster tersebut. Walaupun sebagian besar klaster industri di negara berkembang masih berupa survival cluster, tetapi terdapat beberapa klaster-klaster yang berhasil berkembang sehingga mempunyai daya saing di pasar global.

Klaster industri dan klaster agroindustri yang memenuhi definisi UNIDO (OECD 1999), yang belakangan ini banyak digunakan sebagai acuan diberbagai negara, sampai saat ini belum berkembang di Indonesia.

Pada saat ini telah terdapat beberapa embrio klaster agroindustri di Indonesia. Namun hampir semuanya masih berupa survival cluster yang hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Beberapa studi diagnostik mengenai klaster agroindustri di Indonesia telah dilakukan oleh UNIDO, antara lain: klaster agroindustri barang-barang dari kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d).

Depperindag (2001) telah mengidentifikasi beberapa jenis agroindustri yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia menjadi klaster agroindustri sebagaimana yang terdapat di negara-negara maju, yakni: minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, karet, kayu, tembakau, cocoa, juice buah -buahan. Masing-masing klaster agroindustri potensial ini terdiri dari beberapa perusahaan yang berlokasi dibeberapa Propinsi dan Kabupaten, bahkan ada yang tersebar dibeberapa pulau. Untuk dapat mengembangkan masing-masing usaha agroindustri ini menjadi suatu klaster agroindustri yang kuat dan kompetitif maka diperlukan suatu strategi pengembangan klaster yang melintasi batas -batas propinsi.

Porter menyatakan bahwa biasanya klaster timbul di suatu daerah secara alamiah dan tidak dapat dipaksakan oleh Pemerintah. Begitu suatu klaster terbentuk secara alamiah, barulah Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah diharapkan berperan untuk memperkuatnya dengan memberikan fasilitasi serta menyiapkan sarana-sarana dan perangkat peraturan yang mendukung. Peranan ini dapat dilakukan Pemerintah antara lain melalui penciptaan faktor pendukung tertentu, seperti (Braga & Gerry 2002): (1) Universitas, pendidikan teknik dan pusat-pusat pelatihan; (2) Perbaikan lingkungan dan iklim usaha; (3) Pusat informasi atau bank data mengenai trend ekonomi; (4) Usaha-usaha pelayanan jasa untuk perusahaan; (5) Rangsangan bagi terbentuknya jaringan dan kerjasama antar perusahaan.

Mengingat tingkat perkembangan ekonomi antara suatu daerah dengan daerah lainnya tidak sama, maka Pemerintah Daerah sesuai kewenangan yang ada padanya sebagai daerah otonomi dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang sesuai untuk daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah perlu mengidentifikasi kekuatan industri unggulan di daerahnya masing-masing dan menetapkan kebijakan yang dapat mengemban gkan klaster dari industri unggulan tersebut.

Dalam penetapan kebijakan Pemerintah Daerah setempat (Braga & Gerry 2002) dapat dicatat beberapa issue yang menjadi kendala, seperti: (1) Keterbatasan sumber dana yang dimiliki daerah, (2) Keterbatasan perangkat organisasi dan kemampuan teknis dari aparat daerah, (3) Adanya batasan-batasan kewenangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, (4) Artikulasi, baik teknis maupun administratif antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional sangat berbeda, (5) “Terjemah an” dari kebijakan nasional untuk pelaksanaan di daerah masih banyak tergantung pada interpretasi pejabat di tingkat nasional, (6) Sering ada celah pada peraturan tingkat nasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk intervensi, (7) Kemungkinan terjadinya duplikasi dari fungsi tertentu antara badan tertentu ditingkat Nasional dengan Pemerintah Daerah yang perlu diputuskan oleh Pemerintah Pusat.