• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS IKAN UNGGULAN DI SELAT ALAS

KPPL (Komite Pemantau

Perikanan Laut) Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa Barat, Lembaga Swadaya Masyarakat

Pembahasan

Ikan unggulan Selat Alas beberapa diantaranya telah mengalami tangkap lebih yaitu cumi-cumi, ikan tongkol, dan ikan kerapu. Hal ini disebabkan karena tingkat pengupayaan yang tinggi dan alat tangkap yang digunakan tidak selektif terhadap ikan-ikan atau cumi-cumi muda. Alat tangkap payang merupakan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan wilayah studi untuk menangkap cumi-cumi, alat ini memiliki selektivitas yang rendah karena ukuran mata jaringnya kecil sehingga dapat menangkap semua ukuran cumi-cumi atau ikan. Selanjutnya alat tangkap rawai hanyut dan pancing ulur merupakan alat tangkap yang selektivitasnya sangat tergantung dari ukuran mata pancing yang digunakan. Nelayan wilayah studi menggunakan ukuran mata pancing yang kecil sehingga dapat menangkap ikan-ikan yang masih muda dengan ukuran yang kecil.

Dilakukan pengawasan dan pembatasan upaya penangkapan terhadap ikan- ikan yang telah mengalami tangkap lebih. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) yang telah terbentuk di masyarakat wilayah studi yaitu KPPL. KPPL merupakan kelompok masyarakat pengawas yang keberadaannya telah melalui persetujuan dari masyarakat setempat dan diakui keberadaannya berdasarkan surat keputusan masyarakat desa yang diperkuat dengan adanya peraturan daerah (Perda). KPPL juga dilengkapi dengan aturan pengelolaan perikanan yang dikenal dengan awiq-awiq. Pembatasan upaya penangkapan ikan untuk tujuan pengelolaan dapat juga dilakukan dengan strategi subsidi dibidang perikanan yang harus dilakukan secara cermat dengan mengacu pada karakteristik sumberdaya perikanan. Oleh karena itu agar supaya subsidi perikanan efektif maka harus benar-benar dikendalikan oleh sistem pengelolaan sumber daya perikanan yang baik. Pada pengelolaan dimana output benar-benar dikendalikan, maka subsidi akan mengarah kepada peningkatan rent (profit), bukan kepada output yang justeru akan menambah degradasi sumber daya (Fauzi 2005).

Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 3 tentang teknologi penangkapan ikan unggulan, diperoleh urutan prioritas teknologi penangkapan ikan unggulan terpilih yaitu pancing tonda menempati urutan pertama kemudian urutan prioritas berikutnya adalah payang, pancing ulur, dan rawai hanyut. Alat tangkap pancing tonda umum digunakan oleh nelayan Selat Alas untuk menangkap ikan cakalang. Telah diketahui bahwa tingkat pemanfaatan ikan cakalang masih dibawah potensi lestarinya (Tabel 5) sehingga alat tangkap pancing tonda masih bisa untuk dikembangkan baik dari jumlah maupun penambahan tingkat upayannya. Alat tangkap pancing tonda ini juga dapat digunakan untuk menangkap ikan tongkol, dimana ikan ini tingkat pemanfaatannya telah melampaui potensi lestarinya. Ikan tongkol ditangkap oleh nelayan Selat Alas dengan menggunakan alat tangkap rawai hanyut dengan menggunakan ukuran mata pancing yang sangat kecil sehingga semua ukuran ikan dapat tertangkap. Hal inilah salah satu yang menyebabkan terjadinya tangkap lebih terhadap ikan tongkol, sehingga pengembangan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap rawai hanyut ini tidak direkomendasikan baik dari penambahan jumlah maupun tingkat upayannya.

Beberapa alat tangkap lainnya yang selama ini digunakan oleh nelayan Selat Alas untuk menangkap komoditas ikan unggulan yang telah melampaui potensi

lestari ikan-ikan unggulan tersebut adalah payang dan pancing ulur. Payang merupakan alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap cumi-cumi. Payang merupakan alat tangkap yang memiliki selektivitas rendah, karena ukuran mata jaring khususnya pada bagian kantung sangat kecil yaitu 0.5 cm sehingga semua ukuran cumi-cumi dapat tertangkap. Akibat dari penggunaan payang ini menyebabkan tingkat pemanfaatan cumi-cumi berada pada kondisi tangkap lebih. Akan tetapi cumi-cumi di Selat Alas masih bisa dimanfaaatkan oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap yang lebih selektif yaitu dengan menggunakan pancing lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hilangnya cumi-cumi di wilayah perairan Selat Alas dan juga agar nelayan tetap bisa memanfaatkan cumi- cumi secara berkelanjutan. Penggunaan alat tangkap payang masih bisa dialihkan untuk menangkap ikan lain selain cumi-cumi yaitu misalnya ikan teri. Ikan teri merupakan jenis ikan bergerombol yang umum ditangkap oleh nelayan wilayah studi, dan biasanya tertangkap dalam jumlah besar. Ikan teri ini potensinya sangat tinggi, hal ini seperti dinyatakan oleh Karnan et al. (2013) bahwa potensi lestari ikan teri di perairan Selat Alas masih tinggi yaitu sebesar 7915.76 ton/tahun dan tingkat pemanfaatannya masih dibawah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Akan tetapi alat tangkap rawai hanyut dan pancing ulur direkomendasikan untuk memperbesar ukuran mata pancing.

Alat tangkap lainnya yang umum digunakan untuk menangkap komoditas ikan unggulan yang dalam kondisi tangkap lebih adalah pancing ulur. Pancing ulur umum digunakan oleh nelayan Selat Alas untuk menangkap ikan kerapu. Telah diketahui bahwa tingkat pemanfaatan ikan kerapu telah melampaui potensi lestarinya (Tabel 5). Pancing ulur yang digunakan untuk menangkap ikan kerapu umumnya menggunakan mata pancing yang sangat kecil sehingga menyebabkan semua ukuran ikan dapat tertangkap. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya tangkap lebih terhadap ikan kerapu, sehingga pengembangan alat ini tidak direkomendasikan baik jumlah maupun tingkat upayanya. Akan tetapi penggunaan pancing ulur untuk menangkap ikan kerapu masih bisa dilakukan dengan memperbesar ukuran mata pancingnya yaitu dengan menggunakan ukuran mata pancing nomor 7 atau 8. Penggunaan alat tangkap jaring insang hanyut, jaring insang tetap, dan jaringklitik tidak direkomendasikan untuk digunakan untuk menangkap ikan kerapu. Hal ini disebabkan karena ketiga jenis alat tangkap ini tidak ramah terhadap lingkungan habitan ikan kerapu (terumbu karang), juga karena ketiga jenis alat tangkap ini merupakan alat tangkap dengan urutan prioritas terendah.

Daerah penangkapan ikan potensial di Selat Alas terletak pada bagian pesisir selat dan pada pulau-pulau kecil yang tersebar di sepanjang Selat Alas. Meskipun hubungan antara produktivitas ikan unggulan dan kondisi oseanografi (SPL dan klorofil-a) sangat lemah, namun keberadaan ikan unggulan ini sangat tergantung pada rantai makanannya dalam hal ini ikan-ikan herbifora yang memanfaatkan pytoplankton sebagai makanannya.

Selama ini nelayan Selat Alas masih menggunakan cara-cara tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, tanpa adanya pengaturan yang jelas terhadap tingkat upaya, besaran produksi, dan besaran mata jaring dan ukuran mata pancing yang boleh digunakan. Nelayan memanfaatkan sumberdaya ikan berdasarkan besarnya modal dan kemampuan mereka dalam melakukan operasi penangkapan.

Oleh karena itu pengelolaan perikanan tangkap di Selat Alas merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.

Pengelolaan perikanan tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah saja. Masyarakat sebagai pengguna sumberdaya ikan harus juga dilibatkan, hal ini dimaksudkan agar efektifitas pengelolaan dapat dioptimumkan. Selanjutnya perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian merupakan komponen penting dalam pengelolaan. Hal ini, karena kedua lembaga tersebut merupakan sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat dalam memecahkan persoalan-persoalan perikanan yang dihadapi. Pengelolaan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat ini dikenal dengan co-management. Pengelolaan dengan prinsip co-management ini telah benyak dilakukan di Indonesia namun hasil yang didapatkan belum maksimal sebagai contoh pengelolaan ikan lemuru di Selat Bali yang tidak maksimal. Tidak maksimalnya hasil pengelolaan itu disebabkan rendahnya pengetahuan dan kepedulian nelayan, pengusaha perikanan di Kabupaten Banyuwangi menyebabkan kegiatan penangkapan terkadang tidak mengindahkan peraturan yang ada (Mustaruddin 2012). Hal lain yang menyebabkan kurang maksimalnya pengelolaan lemuru di Selat Bali juga disebabkan karena rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, hal ini seperti pernyataan dari Joesidawati et al. (2013) yang menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan pengelolaan lemuru di Selat Bali rendah, segala keputusan terletak pada pemerintah.

Prinsip-prinsip co-management ini sangat tepat diterapkan di Selat Alas. Hal ini disebabkan karena nelayan Selat Alas memanfaatkan jenis ikan yang sama pada perairan yang sama tetapi dengan wilayah administrasi yang berbeda yaitu nelayan Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa Barat. Alasan berikutnya adalah karena di wilayah studi telah terbentuk kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) yang dikenal dengan KPPL. KPPL ini dalam pelaksanaan tugasnya dilengkapi dengan aturan pengelolaan yang telah disetujui dan disepakati bersama oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam musyawarah desa yang dikenal dengan istilah awiq-awiq.

Kedudukan KPPL sebagai lembaga pengawas perikanan di masyarakat sangatlah penting. Hal ini sangat berimplikasi pada efektifitas khususnya pada penegakan hukum. Hal ini disebabkan karena awiq-awiq yang merupakan produk hukum adat yang telah disepakati dan sangat ditaati oleh masyarakat adat tersebut. Pengelolaan selat dengan dua atau lebih wilayah yang berbeda secara administrasi sangatlah sulit terutama masalah koordinasi antara wilayah-wilayah tersebut, sehingga dengan keberadaan kelompok masyarakat pengawas ini dapat menjembatani kesenjangan tersebut. Struktur organisasi dalam KPPL dilengkapi dengan lembaga pemutus bila terjadi permasalahan ataupun pelanggaran aturan awiq-awiq, sehingga dengan keberadaan lembaga ini sangat penting dalam pemberian sangsi bila terjadi pelanggaran. Lembaga pemutus dalam KPPL ini telah mendapatkan pelatihan dari lembaga pemerintahan yang berwenang seperti kepolisian daerah dan perguruan tinggi setempat. Pemberian sangsi dalam bentuk denda adat yang telah disepakati oleh masyarakat selanjutnya bila pelanggaran tersebut ada kaitannya dengan hukum formal seperti pidana maka oknum tersebut juga diserahkan kepada aparat yang berwenang dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan daerah setempat.

Pengelolaan suatu perairan laut seperti selat yang dimanfaatkan oleh lebih dari dua wilayah adminitrasi yang berbeda seringkali menghadapi kendala koordinasi antara kabupaten-kabupaten tersebut. Untuk meminimalkan kendala koordinasi ditingkat kabupaten (Lombok Timur dan Sumbawa Barat) dalam pengelolaan Selat Alas dengan prinsip co-management ini maka KPPL sebagai lembaga adat yang telah mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat sangat penting. KPPL dapat menjadi jembatan informasi dari masyarakat ke pemerintah atau sebaliknya, KPPL di dua wilayah kabupaten ini juga dapat menjembatani koordinasi antar kabupaten di wilayah pengelolaan.

Dalam co-management, fungsi dan keterlibatan perguruan tinggi dan lembaga penelitian sangat penting. Hal ini disebabkan karena perguruan tinggi dan lembaga peneltian merupakan sumber informasi khususnya pada penelitian-penelitian yang terkait dengan perikanan di wilayah studi, serta perguruan tinggi juga dapat membantu dalam pemecahan persoalan-persoalan sosial yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan. Karena itu kedua institusi tersebut merupakan partner pemerintah dan KPPL untuk memberikan jalan pemecahan bagi permasalahan perikanan dan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan diwilayah studi.

Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini adalah:

1. Komoditas ikan unggulan Selat Alas terutama yang telah berada pada status tangkap lebih (cumi-cumi, tongkol, dan kerapu) direkomendasikan untuk tidak dikembangkan dalam hal penambahan armada dan peningkatan upaya tangkap. 2. Penangkapan ikan unggulan Selat Alas yang telah mengalami over eksploited

dikendalikan hingga mencapai JTB yaitu sebesar 525.8 ton/tahun untuk cumi- cumi, 951.3 ton/tahun untuk tongkol, dan 207.3 ton/tahun untuk kerapu. 3. Pengembangan penangkapan ikan unggulan Selat Alas yang tingkat

pemanfaatannya masih di bawah potensi lestarinya (ikan cakalang dan ikan kakap merah) masih bisa dilakukan tetapi hingga mencapai JTB yaitu sebesar 1,194.4 ton/tahun untuk ikan cakalang dan 164.6 ton/tahun untuk ikan kakap merah.

4. Payang tidak direkomendasikan untuk menangkap cumi-cumi yang telah over exploietd tetapi cumi-cumi masih dapat ditangkap dengan menggunakan pancing cumi-cumi dengan ukuran mata pancing yang besar (nomor 7 atau 8). 5. Alat tangkap yang lain seperti rawai hanyut dan pancing ulur direkomendasikan

untuk memperbesar mata pancing yaitu dengan menggunakan mata pancing nomor 7 atau 8 dan penangkapannya diarahkan pada ikan yang potensinya masih tinggi seperti ikan cakalang dan kakap merah ataupun ikan demersal yang lain seperti ikan kue dan ikan baronang.

6. Pengelolaan selat seperti Selat Alas dimana masyarakat yang memanfaatkan selat ini berasal dari wilayah yang berbeda, diarahkan pada pengelolaan secara bersama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait (perguruan tinggi dan lembaga penelitian) atau co-management.

7. Komite Pengelola Perikanan Laut (KPPL) merupakan lembaga yang dapat menjembatani terjadinya kesenjangan koordinasi antara dua wilayah pemerintahan yang berbeda dalam proses pengelolaan perikanan tangkap di Selat Alas.

8. Awiq-awiq yang merupakan pedoman bagi KPPL dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang timbul akibat pemanfaatan sumberdaya dapat digunakan untuk pengawasan terhadap komoditas perikanan Selat Alas yang telah mengalami tangkap lebih.

Dokumen terkait