• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN UNGGULAN DI SELAT ALAS PROVINSI NTB

DAFTAR ISTILAH

2 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN UNGGULAN DI SELAT ALAS PROVINSI NTB

Pendahuluan

Selat Alas merupakan sentra penangkapan cumi-cumi di Provinsi NTB. Tahun 1996, tangkapan cumi-cumi dari Selat Alas memberikan kontribusi sebesar 7% dari produksi tangkapan cumi-cumi nasional (Hufiadi dan Genisa 2001). Selanjutnya, posisi geografisnya yang strategis sebagai penghubung antara perairan Samudera Hindia di bagian selatan dan Laut Flores di bagian utara (Gambar 2). Secara berkala, masa air yang melintas di selat ini berbeda tergantung pada musim (barat laut dan tenggara) yang memberikan dampak tersendiri bagi biota yang ada di dalamnya. Keberadaan ekosistem penting seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang disertai dengan struktur wilayah pesisir yang tersusun dari daerah teluk menambah kompleksitas perairan yang mendukung kehidupan berbagai jenis biota di dalamnya.

Berbagai jenis ikan dimanfaatkan dan menjadi target penangkapan nelayan Selat Alas. Beberapa jenis diantaranya adalah cumi-cumi, cakalang, tongkol, tengiri, kakap merah, kerapu, lemuru, layang, dan teri.Ikan kakap merah merupakan ikan demersal yang bernilai ekonomi penting yang masih bisa ditangkap oleh nelayan Selat Alas. Hal ini didukung pendapat Blaber et al. (2005) yang menyatakan bahwa penyebaran ikan kakap merah di perairan Indonesia dan diantaranya perairan NTB dinyatakan sebagai salah satu lokasi konsentrasi ikan kakap merah. Selanjutnya salah satu ikan pelagis yang memiliki harga yang tinggi adalah ikan cakalang. Sebagai perbandingan potensi ikan cakalang di wilayah perairan lain yang berhubungan langsung dengan perairan Selat Alas adalah Selat Makasar dan Laut Flores sebesar 28,449 ton/tahun (Uktolseja 1998 dalam Zainuddin 2009). Selain ikan-ikan pelagis besar seperti cakalang dan tongkol, Selat Alas juga merupakan wilayah perairan yang potensial bagi penangkapan ikan pelagis kecil seperti ikan teri. Ikan teri merupakan ikan pelagis kecil dan biasanya merupakan penciri bagi perikanan skala kecil dan penyebarannya di seluruh perairan pantai Indonesia (Genisa 1999). Jenis yang paling umum di Indonesia adalah Stolephorus spp, ikan ini ditangkap hampir diseluruh wilayah Indonesia dan sangat khas sebagai perikanan skala kecil. Dikarenakan perilakunya yang membentuk gerombolan besar ini, maka ikan teri seringkali ditangkap dalam jumlah yang dominan.

Diantara ikan-ikan yang dimanfaatkan dan menjadi target penangkapan tersebut tentu ada yang diprioritaskan untuk dimanfaatkan sebagai jenis ikan unggulan (priority target species). Penentuan prioritas ini penting agar pengelolaan perikanan memiliki fokus sehingga strategi pengelolaan dapat dirancang dengan baik. Komoditas unggulan dicirikan oleh keunggulan dari sisi penawaran maupun permintaan yang tinggi baik pasar lokal maupun eksport, memiliki nilai jual tinggi, serta memiliki nilai tambah yang tinggi (Mawardi 1997; Hendayana 2003). Dari sisi penawaran, komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam harga sehingga dapat dijadikan andalan untuk mendapatkan pendapatan bagi nelayan.

Tingginya potensi sumberdaya ikan (SDI) di Selat Alas tidak dibarengi oleh upaya pengelolaan yang baik, sehingga beberapa komoditas perikanan seperti cumi-cumi telah mengalami tangkap lebih. Upaya pengelolaan sangat penting dilakukan mengingat sifat sumberdaya ikan meskipun dapat diperbaharui (renewable) namun perlu kehati hatian dalam pemanfaatannya untuk menjamin keberlanjutan, baik dalam jumlah maupun kemampuannya untuk regenerasi (Pauly et al. 2002).

Pentingnya penelitian ini dilakukan mengingat banyaknya jenis komoditas perikanan yang dihasilkan oleh nelayan di Selat Alas Provinsi NTB menyebabkan rataan tiap komoditas menjadi relatif kecil. Disamping itu terdapat berbagai macam teknologi penangkapan ( multi gear multi species) sehingga menyebabkan kendala dalam pengusahaannya, terutama dalam permodalan dan pasar.

Tujuan Penelitian

Dari uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

1) Menentukan komposisi ikan hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Alas Provinsi NTB.

2) Menentukan komoditas ikan unggulan di perairan Selat Alas Provinsi NTB. 3) Menentukan tingkat pemanfaatan ikan unggulan di perairan Selat Alas

Provinsi NTB.

Metode Penelitian Tempat dan waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli – Desember 2012. Lokasi penelitian dilakukan di desa nelayan di kawasan Selat Alas Provinsi NTB yaitu di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) (Tabel 1 dan Gambar 2). Desa-desa tersebut dijadikan lokasi penelitian karena merupakan lokasi utama desa nelayan dan sebahagian besar dari mereka merupakan nelayan kecil. Pekerjaan menjadi nelayan ini merupakan pekerjaan utama bagi masyarakat setempat.

Tabel 1 Lokasi penelitian

Kabupaten Kecamatan Desa

Sumbawa Barat Sekongkang Aik Kangkung

Jereweh Benete

Taliwang Labuhan Lalar

Poto Tano Poto Tano

Lombok Timur Keruak Tanjung Luar

Labuhan Haji Labuhan Haji

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua nelayan tradisional (nelayan kecil) yang tersebar di desa nelayan yang ada di perairan Selat Alas Provinsi NTB

yaitu yang ada di pesisir Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa Barat. Untuk menentukan responden penelitian, populasi yang ada dikelompokkan menjadi beberapa sub-populasi berdasarkan jenis alat yang dioperasikannya. Selanjutnya, penentuan sampel dilakukan berdasarkan prinsip snowball sampling, yaitu nelayan yang dijadikan sampel ditentukan berdasarkan petunjuk nelayan berikutnya. Nelayan yang menggunakan alat tangkap bagan apung, dan rawai hiu tidak menjadi sampel dalam penelitian ini karena adanya aturan dalam masyarakat nelayan di Selat Alas yang tidak memperbolehkan nelayan bagan apung untuk melakukan penangkapan di sepanjang pesisir dan perairan Selat Alas. Nelayan yang menggunakan rawai untuk menangkap hiu tidak melakukan penangkapan di sepanjang perairan Selat Alas, hal ini disebabkan telah langkanya hiu yang menjadi target penangkapan mereka.

Dengan memperhatikan keseragaman informasi yang diperoleh pada saat pengumpulan data dilakukan, maka jumlah sampel dari setiap sub-populasi bervariasi, yaitu antara 5 – 30 orang nelayan sampel sehingga berjumlah 125 orang (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah sampel penelitian

Jenis Alat Jumlah Sampel (orang)

Payang 30

Jaring insang hanyut 21

Jaring klitik 20

Jaring insang tetap 9

Rawai hanyut 5

Pancing tonda 20

11

Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan menggunakan metode survei dan studi literatur, Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Metode survei dengan menggunakan teknik wawancara dan focus group discussion terhadap semua stakeholder perikanan tangkap di lokasi studi (nelayan, pedagang, dan Dinas Kelautan dan Perikanan). Teknik wawancara dan focus group discussion ini dilakukan untuk memperoleh data primer yang terdiri dari jenis dan harga ikan hasil tangkapan, nilai produksi pemasaran ikan hasil tangkapan, wilayah pemasaran (lokal = 1, nasional = 2, dan luar negeri =3), dan peluang komoditas untuk menjadi produk olahan (1 = rendah, 2 = tinggi, dan 3 = sangat tinggi).

Metode studi literatur dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang terdiri dari data time series selama 10 tahun dari statistik perikanan tangkap Provinsi NTB, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa Barat, yang meliputi data jenis ikan, produksi ikan hasil tangkapan, jumlah kapal, jenis dan jumlah alat tangkap, serta jumlah trip penangkapan.

Analisis Data

Komposisi Hasil Tangkapan Nelayan di perairan Selat Alas Provinsi NTB.

Data hasil tangkapan nelayan responden dianalisis secara deskriptif untuk melihat komposisi dan kelimpahan hasil tangkapan nelayan responden dan disajikan secara diagramatik.

Komoditas Ikan Unggulan

Metode seleksi komoditas ikan unggulan di perairan Selat Alas Provinsi NTB dilakukan melalui dua tahap (Sutisna 2007), yaitu pertama, menginventarisasi semua komoditas yang dianggap unggulan oleh para responden yang merupakan perwakilan dari semua stakeholder perikanan tangkap di lokasi studi (nelayan, pedagang ikan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan). Tahap ini ditetapkan 10 (sepuluh) jenis ikan sebagai calon ikan komoditas unggulan. Tahap kedua, komoditas pilihan para responden tersebut disaring lagi untuk mendapatkan 5 (lima) jenis ikan unggulan dengan menggunakan metode skoring. Seleksi tahap kedua inilah, pendekatan aspek pemasaran digunakan sebagai kriterianya seperti produksi, nilai produksi, harga, wilayah pemasaran, dan nilai tambahnya.

Kriteria pemasaran seperti produksi, harga, dan nilai produksi maka skor yang digunakan adalah nilai sesungguhnya (aktual) dari ketiga kriteria tersebut. Akan tetapi untuk kriteria wilayah pemasaran dan nilai tambah karena datanya bersifat kualitatif maka perlu dikuantitatifkan dengan menggunakan metode skoring. Skor yang digunakan untuk wilayah pemasaran adalah jika wilayah pemasaran hanya dipasarkan di wilayah lokal saja (kabupaten dan Provinsi) maka diberi skor 1, sedangkan kalau di pasarkan hingga tingkat nasional diberi skor 2 dan jika dieksport maka diberi skor 3. Kriteria nilai tambah, jika komoditas tersebut peluangnya rendah untuk menjadi produk olahan maka diberi skor 1, jika peluangnya tinggi diberi skor 2 dan jika sangat tinggi diberi skor 3.

Pemilihan komoditas ikan unggulan dilakukan dengan metode skoring. Standarisasi nilai dilakukan karena nilai kriteria yang digunakan tidak seragam sehingga perlu untuk diseragamkan dengan menggunakan fungsi nilai

(Mangkusubroto dan Trisnadi 1985 dalam Sultan 2004) dengan rumus sebagai berikut : � � =� −���−�� ... (2-1) �[�] = ∑ �� �� ... (2-2) Keterangan i = 1, 2, 3 ,,,, n

V(x) = fungsi nilai dari variabel x X = variabel x

Xo = nilai terburuk kriteria x

x1 = nilai terbaik pad kriteria x V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A Vi(Xi) = fungsi nilai dari alternatif pada

kriteria ke-i; X i = kriteria ke-i.

Karena V adalah fungsi nilai yang mencerminkan preferensi pengambil keputusan, maka urutan alternatif ikan unggulan didasarkan pada urutan nilai V(X) dari yang tertinggi sebagai urutan prioritas pertama hingga nilai V(X) terendah sebagai urutan prioritas terakhir dari ikan unggulan terpilih tersebut.

Menentukan Tingkat Pemanfaatan Komoditas Ikan Unggulan

Upaya penangkapan optimum dan produksi maksimum lestari ditentukan dengan terlebih dahulu dengan melakukan standarisasi alat tangkap. Menurut Gulland (1983) bahwa jika di suatu perairan terdapat berbagai jenis alat (multi gear) maka salah satu alat tangkap dapat dipakai sebagai alat tangkap standar. Alat tangkap lainnya dapat distandarisasikan terhadap alat tangkap yang telah dipilih sebagai alat tangkap standar tersebut. Alat tangkap yang dtetapkan sebagai alat tangkap standar dipilih dari alat tangkap yang mempunyai produktivitas yang paling tinggi. Selanjutnya, upaya tangkap optimum (fopt) dan MSY dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Schaefer. Upaya optimum (Fopt) dan Maksimum Sustanaible Yield (MSY) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Fopt = b a 2 ... (2-3) MSY = b a 4 2 ... (2-4) Keterangan

a adalah intersep dan b adalah slope pada persamaan regresi liner

Persamaan Schaefer ini sering digunakan untuk menghitung MSY dan upaya tangkap optimum (Fopt) karena perhitungan menggunakan persamaan Schaefer sederhana, mudah dan hasilnya akurat serta mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu kebijakan (Ghofar , 2003). Tingkat pemanfaatan sumnberdaya ikan unggulan dihitung dengan formula berikut :

Tingkat pemanfaatan = x100% MSY

Ci

... (2-5) Keterangan

Ci = Jumlah hasil tangkapan saat ini; MSY = Maximum Sustainable Yield

Dalam penggunaan metode ini beberapa asumsi dasar harus diperhatikan adalah :

(1) Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal dan sama sekali tidak berpedoman pada struktur populasinya.

(2) Stok ikan selalu dalam keadaan yang cenderung menuju situasi stady state sesuai model pertumbuhan biomasa seperti kurva logistik.

(3) Hasil tangkapan dan upaya penangkapan merupakan data yang bersifat random.

(4) Hasil tangkapan yang didaratkan berasal dari perairan Selat Alas Provinsi NTB dan tidak ada hasil tangkapan yang di daratkan di luar kawasan.

(5) Teknologi penangkapan tidak ada perubahan secara signifikan.

Dwiponggo (1987) dan Bintoro (2005) mengklasifikasikan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu (1) exploited jika sumberdaya ikan baru dimanfaatkan); (2) ligthly exploited (jika tingkat pemannfaatan sumberdaya ikan dibawah 25% dari potensi lestarinya); (3) moderately exploited (jika tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan berada dibawah nilai jumlah tangkapan yang diperbolehkan); (4) fully exploited (jika tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sama dengan potensi lestarinya); (5) over exploited (jika tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan telah melampaui potensi lestarinya); dan (6) depleted (jika tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan terus menurun mendekati kepunahan).

Hasil Penelitian Komposisi Hasil Tangkapan Nelayan Selat Alas

Komposisi ikan hasil tangkapan nelayan Selat Alas selama penelitian menunjukkan bahwa jenis ikan yang tertangkap berupa ikan pelagis besar ataupn kecil, dan ikan-ikan demersal. Ikan-ikan pelagis seperti cumi-cumi, tongkol, cakalang, teri, alu-alu dan layang mendominasi hasil tangkapan nelayan (Tabel 3). Produksi hasil tangkapan nelayan selama penelitian adalah sebesar 6,839 kilogram. Produksi tangkapan cumi-cumi menempati proporsi tertinggi yaitu sebesar 17.3 % dari produksi seluruh hasil tangkapan, kemudian diikuti oleh ikan yang lain seperti tongkol sebesar 9,2 %, cakalang sebesar 8.3 %, dan teri 6.4%. Ikan-ikan pelagis ini memang merupakan ikan yang biasanya berkelompok (schooling fish) sehingga ketika tertangkap biasanya dalam jumlah yang banyak. Ikan demersal yang banyak tertangkap oleh nelayan Selat Alas adalah kakap merah, kerapu, kue, ekor kuning, dan ikan demersal lainnya dalam jumlah sedikit. Ikan kakap merah merupakan ikan demersal yang paling banyak ditangkap dari golongan ikan demersal dengan proporsi sebesar 4.1% dari seluruh hasil tangkapan, kemudian diikuti oleh ikan kerapu sebesar 3.8%, ikan kue sebesar 3.5%, dan ekor kuning sebesar 2.5%. Ikan- ikan demersal tersebut masih dapat ditemukan oleh nelayan di perairan Selat Alas terutama ikan kakap merah dan kerapu yang memiliki nilai jual tinggi. Keberadaan ikan-ikan demersal ini sangat terkait dengan tipe dasar perairan Selat Alas khususnya di wilayah pesisir yang didominasi oleh keberadaan terumbu karang.

Tabel 3 memperilhatkan bahwa nelayan Selat Alas menggunakan satu jenis alat untuk menangkap beberapa jenis ikan dan sebaliknya satu jenis ikan dapat ditangkap menggunakan beberapa jenis alat. Payang misalnya, merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap cumi-cumi, akan tetapi payang juga dapat digunakan untuk menangkap ikan yang lain seperti ikan teri, lemuru, layang, tembang, dan kembung. Sebaliknya cumi-cumi selain dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap payang tetapi juga dapat digunakan dengan menggunakan alat lain seperti pancing.

Payang merupakan alat tangkap dengan produksi tertinggi jika dibandingkan dengan alat-alat yang lain di Selat Alas. Produksi payang selama peneltian adalah sebesar 29.6% dari produksi total. Alat tangkap yang lain yang memiki produksi tinggi setelah payang adalah pancing ulur dengan produksi sebesar 28,4% dari seluruh hasil tangkapan kemudian diikuti oleh alat lain yaitu jaring insang hanyut sebesar 10.6%, pancing tonda sebesar 9.5%, rawai hanyut sebesar 8.2%, jaring insang tetap sebesar 7.3%, dan jaring kelitik sebesar 6.4% (Tabel 3).

Tabel 3 Proporsi ikan hasil tangkapan nelayan per jenis alat penangkapan di Selat Alas Provinsi NTB

Jenis Ikan Proporsi Jenis Ikan Proporsi Hasil Tangkapan (%) Hasil Tangkapan (%)

Payang Cumi-cumi 15.6 Jaring insang hanyut Belanak 2.9

Lemuru 1.5 Alu-alu 1.6

Layang 2.6 Baronang 0.4

Teri 6.4 Biji Nangka 0.9

Tembang 2.4 Kaka Tua 0.6

Kembung 1.0 Lemuru 1.1

Pancing tonda Cakalang 6.7 Layang 0.8

Lemadah 0.5 Tembang 0.9

Tongkol 1.8 Tongkol 0.9

Kembung 0.5 Kembung 0.5

Rawai hanyut Cakalang 1.3 Jaring insang tetap Belanak 1.2

Tongkol 6.4 Biji Nangka 0.4

Kembung 0.5 Kaka Tua 0.8

Pancing Ulur Alu-alu 3.2 Ekor kuning 0.8

Baronang 0.7 Kakap putih 0.4

Kaka Tua 0.4 Kakap merah 0.2

Cakalang 0.4 Kerapu 0.2

Cumi-cumi 1.7 Kuwe 0.2

Ekor kuning 1.4 Lemuru 0.6

Kakap putih 6.6 Layang 1.0

Kakap merah 3.3 Tembang 0.9

Kerapu 3.0 Kembung 0.5

Kuwe 2.8 Jaring klitik Alu-alu 0.5

Kurisi 0.2 Baronang 0.1

Lemadah 0.7 Biji Nangka 0.2

Layur 0.2 Ekor kuning 0.6

Marlin 0.7 Kakap putih 1.2

Pari 0.2 Kakap merah 0.6

Tengiri 1.0 Kerapu 0.6 Tuna 1.9 Kuwe 0.5 Kurisi 0.6 Lemuru 0.8 Layang 0.3 Tembang 0.0 Kembung 0.3

Nelayan

Perkembangan jumlah nelayan penuh berfluktuatif dalam sepuluh (10) tahun terakhir, tingkat pertambahannya tidak lebih dari 0,05 % dalam kurun waktu tujuh (7) tahun terakhir yaitu dari tahun 2003 – 2009. Namun setelah tahun 2010 hingga tahun 2012 terjadi penurunan jumlan nelayan sekitar 23 %. Hal ini, disebabkan karena adanya pemutakhiran data yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, dikarenakan kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sumbawa pada tahun 2003. Penyebab yang lain karena sebahagian nelayan di Kabupaten Sumbawa Barat beralih profesi ke bidang yang terkait dengan industri pertambangan yang berkembang di daerah tersebut.

Perkembangan nelayan sambilan relatif sama dengan nelayan penuh, yaitu perkembangannya relatif tetap hingga tahun 2009. Jumlah nelayan sambilan pada tahun 2010 – 2012 mengalami penurunan hingga 35%. Penurunan jumlah nelayan sambilan ini disebabkan karena Kabupaten Sumbawa Barat melakukan pemutakhiran data karena kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumbawa. Perkembangan jumlah nelayan di Selat Alas Provinsi NTB seperti di tunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Komposisi dan perkembangan jumlah nelayan tetap dan nelayan sambilan di Selat Alas Provinsi NTB tahun 2003-2012.

Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) berdasarkan jenis kategori usaha di Selat Alas meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 12% pada RTP dengan kategori perahu motor (0 – 5 GT) dari tahun 2009 – 2012. Peningkatan jumlah RTP dengan kategori perahu motor ini disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah daerah Provinsi NTB terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang meliputi pemberdayaan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan melalui pengembangan usaha perikanan dan peningkatan mutu serta pengembangan sarana prasarana perikanan dan kelautan (DKP Provinsi NTB 2011).

Peningkatan RTP dengan kategori perahu motor ini juga disebabkan karena pembelian sendiri motor tempel oleh nelayan. Sebaliknya peningkatan jumlah RTP dengan kategori perahu motor ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah pada RTP tanpa motor hingga 22%. Perkembangan jumlah RTP di Selat Alas berdasarkan kategori usahanya seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Komposisi dan perkembangan RTP di Selat Alast berdasarkan kategori usahanya tahun 2003-2012

Alat Tangkap

Nelayan di Selat Alas sebagain besar merupakan nelayan skala kecil. Jenis dan ukuran alat tangkap yang beragam. Jenis alat yang dioperasikan di perairan ini adalah payang, jaring insang hanyut, jaring klitik, jaring insang tetap, dan pancing (rawai hanyut, pancing tonda, dan pancing ulur). Beragamnya jenis alat yang dioperasionalkan oleh nelayan Selat Alas ini menggambarkan perikanan skala kecil yang dominan di selat ini. Komposisi jumlah alat tangkap yang dioperasikan di Selat Alas seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Komposisi jumlah alat tangkap yang dioperasikan di Selat Alas tahun 2003-2012

Jumlah alat yang dioperasikan di Selat Alas sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5 di atas terlihat bahwa alat tangkap jaring klitik, rawai hanyut, dan pancing tonda jumlahnya tetinggi dibandingkan alat yang lain. Tingginya pertambahan jumlah ketiga jenis alat ini mencapai 21% dalam kurun waktu 10 tahun (2003 – 2012). Alat-alat tangkap ini khususnya jaring klitik umum digunakan oleh nelayan

diseluruh lokasi penelitian, sehingga jumlahnya lebih tinggi jika dibandingkan alat tangkap yang lain. Akan tetapi, alat tangkap jaring insang hanyut perkembangannya paling lambat dibanding alat tangkap yang lain. Hal ini disebabkan karena produktivitas alat tangkap ini yang biasanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan cakalang dan kakap merah juga paling rendah dibanding dengan alat tangkap yang lain (Lampiran 3).

Jenis alat tertentu seperti payang dalam 5 (lima) tahun terakhir jumlahnya menurun. Alat tangkap payang ini umumnya hanya digunakan oleh nelayan Tanjung Luar, nelayan di daerah yang lain di lokasi penelitian tidak menggunakan alat ini. Hal ini disebabkan karena pengoperasian alat tangkap ini membutuhkan tambahan tenaga kerja dan tambahan perahu kecil sebagai tempat penerangan (lampu petromak) untuk menarik target penangkapan yaitu cumi-cumi agar mendekat ke arah alat ini. Hal ini membutuhkan modal yang cukup besar untuk pengadaan alat tangkap payang ini. Penurunan jumlah alat tangkap payang terkait dengan produksi dari alat ini dalam sepuluh tahun terakhir (2003 – 2012) terus menurun (Gambar 6).

Produksi

Hasil pengoperasian berbagai jenis alat tangkap dengan menggunakan alat tangkap rawai hanyut, dan pancing tonda memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap keseluruhan rata-rata produksi tangkapan nelayan di perairan Selat Alas, Nusa Tenggara Barat. Perkembangan ke-dua alat tangkap ini hingga mencapai 25% dalam 10 tahun (2003-2012). Tingginya produksi dari alat tangkap rawai hanyut dan pancing tonda tidak terlepas dari target sasaran ke-dua alat ini yaitu cakalang untuk pancing tonda dan ikan tongkol untuk rawai hanyut (Lampiran 2 sampai 6). Ikan-ikan ini merupakan jenis ikan pelagis yang menggerombol (schooling) sehingga jika tertangkap biasanya dalam jumlah yang besar.

Alat tangkap rawai hanyut merupakan alat tangkap dengan produksi tertinggi dari semua alat yang dioperasionalkan di Selat Alas. Tingginya produksi dari alat tangkap rawai hanyut ini tidak terlepas dari target penangkapannya yaitu ikan tongkol. Produksi yang tinggi dari ikan tongkol disebabkan karena cukup tingginya harga ikan ini di tingkat nelayan (Lampiran 7). Produksi yang tinggi dari alat ini menunjukkan intensifnya penangkapan ikan tongkol sehingga menyebabkan terjadinya tekanan penangkapan terhadap ikan jenis ini di wilayah peraiaran Selat Alas.

Alat tangkap lain yang menunjukkan perkembangan produksi yang cukup tinggi adalah alat tangkap payang dengan perkembangan produksi sebesar 15% dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2012). Payang umumnya digunakan oleh nelayan Selat Alas khususnya di wilayah Tanjung Luar untuk menangkap berbagai jenis ikan yaitu cumi-cumi, cakalang, dan tongkol. Ikan jenis ini merupakan ikan pelagis yang menggerombol dan tertangkap dalam jumlah besar. Tingginya produksi dari alat tangkap payang juga disebabkan karena tingginya permintaan pasar terhadap ke-tiga jenis ikan ini dan tingginya harga dari ikan-ikan tersebut (Lampiran 7). Tingginya produksi dari alat tangkap payang ini mengindikasikan tingginya tekanan penangkapan terhadap ikan terget khususnya cumi-cumi. Produksi perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di Selat Alas Provinsi NTB seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Rata-rata produksi perikanan tangkap menurut jenis alat tangkap di Selat Alas Provinsi NTB tahun 2003-2012

Trip alat penangkapan

Keseluruhan armada tangkap yang dioperasikan di Selat Alas selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun, alat tangkap rawai hanyut merupakan alat tangkap yang memiliki rata-rata trip lebih tinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Perkembangan trip penangkapan alat tangkap rawai hanyut sebesar 30.6% dari keseluruhan trip penangkapan seluruh alat selama kurun waktu 10 tahun (2003 – 2012). Kondisi ini terkait dengan jumlah alat tersebut yang juga dominan di wilayah ini (Gambar 5) serta produksi yang tinggi (Gambar 6). Akan tetapi, alat tangkap payang merupakan alat yang perkembangan tripnya terendah. Perkembangan trip

Dokumen terkait