• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah perairan Selat Alas Provinsi NTB merupaka wilayah perairan yang sangat potensial bagi penangkapan berbagai jenis ikan baik ikan pelagis maupun ikan demersal. Jenis ikan hasil tangkapan nelayan selat alas sangat bervariasi. Tingginya variasi jenis ikan hasil tangkapan di peraiaran Selat Alas ini merupakan ciri dari perikanan tangkap berskala kecil. Hal ini, terlihat dari tingginya populasi nelayan kecil dengan ciri ukuran perahu yang digunakan relati kecil (< 5 GT) yaitu lebih dari 90% dari keseluruhan jumlah perahu yang dioperasikan di Selat Alas. Tingginya jumlah nelayan ini mengakibatkan tingginya tingkat eksploitasi dari beberapa jenis ikan, utamanya ikan-ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi.

Pengendalian terhadap eksploitasi sumberdaya ikan di Selat Alas penting untuk dilakukan untuk kelestarias sumberdaya ikan (SDI) itu sendiri dan keberlanjutan usaha penangkapan yang dilakukan oleh nelayan. Salah satu upaya pengendalian tersebut adalah dengan melakukan pengelolaan terhadap perikanan tangkap berbasis ikan unggulan. Komoditas ikan unggulan merupakan komoditas dengan ciri utama adalah tingginya permintaan pasar dan tingginya harga.

Hasil penelitian terhadap potensi SDI di Selat Alas telah diketahui bahwa ikan unggulan Selat Alas adalah terdiri dari ikan-ikan pelagis dan ikan-ikan demersal. Ikan-ikan pelagis yang menjadi ikan unggulan adalah cumi-cumi, ikan cakalang dan ikan tongkol, sedangkan kelompok ikan demersal adalah ikan kakap merah dan ikan kerapu.

Hasil analisis potensi lestari maksimum (MSY) diketahui bahwa MSY dari cumi-cumi sebesar 657.2 ton/tahun, ikan cakalang sebesar 1,493.0 ton/tahun, ikan tongkol sebesar 1,189.1 ton/tahun, ikan kakap merah sebesar 205.8 ton/tahun, dan ikan kerapu sebesar 259.1 ton/tahun. Selanjutnya tingkat upaya optimum (fopt) dari

masing-masing ikan unggulan tersebut adalah 13,687 trip/tahun untuk cumi-cumi, untuk ikan cakalang sebesar 49,805 trip/tahun, ikan tongkol sebesar 49,132 trip/tahun, ikan kakap merah sebesar 141,488 trip/tahun, dan ikan kerapu sebesar 75,569 trip/tahun. Akan tetapi tingkat pemanfaatan cumi-cumi, tongkol, dan kerapu telah melampaui potensi lestarinya (MSY), sedangkan cakalang dan kakap merah tingkat pemanfaatannya masih dibawah potensi lestarinya. Tingkat pemanfaatan cumi-cumi sebesar 140.4%, tongkol sebesar 156.6%, dan kerapu sebesar 197.2%. Adapun tingkat pemanfaatan ikan cakalang sebesar 52.9 % dan ikan kakap merah sebesar 65.7%.

Peluang peningkatan pengusahaan untuk cumi-cumi, tongkol dan kerapu untuk saat ini tidak direkomendasikan karena dapat memberikan dampak negatif terhadap sumber daya tersebut, misalnya kepunahan. Dengan kondisi sumber daya ikan yang telah berada dalam status over exploited ini seharusnya dilakukan upaya pengurangan eksploitasi. Di lapangan, upaya pengurangan ini bukanlah hal yang mudah. Penerapan kebijakan ini akan menghadapi kendala yang tidak kecil karena terkait dengan mata pencaharian yang merupakan satu-satunya sumber penghidupan nelayan. Oleh karena itu, regulator dalam perikanan tangkap di daerah ini harus berupaya untuk dapat mengarahkan nelayan untuk mengurangi eksploitasi terhadap ke tiga jenis ikan unggulan yang status pemanfaatannya sudah over exploited. Untuk mencukupi kebutuhannya, nelayan diarahkan untuk dapat melakukan eksploitasi ikan unggulan lainnya seperti cakalang dan ikan kakap yang

peluang pemanfaatannya masih tinggi, serta nelayan diarahkan untuk menjadi nelayan pembudidaya ikan.

Ikan unggulan Selat Alas dengan tingkat pemanfaatan dibawah potensi lestarinya (cakalang dan kakap merah) haruslah mengedepankan aspek kehati- hatian dengan cara menjaga agar tingkat upaya yang dilakukan tidak melebihi upaya optimumnya. Hal ini dilakukan agar SDI tetap dapat lestari dan penangkapan oleh nelayan dapat tetap berlanjut. Hal ini, seperti pernyataan Dahuri (1993) bahwa sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih namun dibatasi oleh faktor-faktor pembatas alami dan non alami.

Ikan-ikan unggulan Selat Alas ditangkap dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Hasil analisis terhadap alat tangkap terpilih menunjukan urutan prioritas dari alat-alat yang digunakan saat ini yaitu pancing tonda menduduki urutan prioritas pertama kemudian berturut-turut adalah payang, pancing ulur, rawai hanyut, jaring insang tetap, jaring klitik, dan jaring insang hanyut.

Pancing tonda merupakan alat tangkap unggulan karena alat tangkap ini unggul pada tiga (3) aspek dari empat (4) yang dianalisis dari penelitian ini. Dari aspek teknis, alat tangkap ini memiliki produksi yang tinggi dan jangkauan penangkapan yang relatif jauh dari home base nelayan. Tingginya produksi dari alat ini disebabkan target tangkapannya merupakan ikan pelagis besar (cakalang) yang bersifat bergerombol sehingga bila tertangkap biasanya dalam jumlah yang banyak. Ikan pelagis besar ini juga merupakan ikan perenang cepat sehingga nelayan dalam melakukan perburuan hingga jauh dari home base mereka.

Pancing tonda merupakan jenis teknologi penangkapan yang memiliki dampak sosial yang paling rendah, artinya pengoperasian alat ini tidak menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat di mana alat ini dioperasikan. Selanjutnya, alat ini juga sangat mudah digunakan oleh nelayan, hal inilah yang menyebakan alat pancing tonda ini unggul pada aspek sosial.

Alat tangkap pancing tonda merupakan alat yang sangat selektif terhadap ikan hasil tangkapan serta pengoperasiannya tidak merusak lingkungan perairan. Pancing tonda merupakan jenis alat yang pengoperasiannya di permukaan perairan sehingga tidak akan mengganggu habitat dasar perairan seperti terumbu karang. Dari tujuh (7) alat tangkap yang dianalisis maka alat tangkap payang merupakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena payang kurang selektif terhadap ikan tangkapan karena ukuran mata jaring yang kecil. Akan tetapi payang merupakan alat tangkap yang dapat menampung tenaga kerja yang relatif lebih banyak dari alat tangkap lain yang dioperasikan saat ini oleh nelayan Selat Alas. Oleh sebab itu payang merupakan salah satu solusi terhadap tingginya pengangguran dilokasi alat ini dioperasikan.

Beberapa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Selat Alas tidak direkomendasikan untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena tingkat pemanfaatan dari ikan target dari alat tangkap tersebut telah melampaui potensi lestarinya. Payang misalnya, merupakan alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap cumi-cumi. Alat tangkap payang ini tidak dirokemendasikan untuk menangkap cumi-cumi karena tidak selektif, hal ini disebabkan karena kecilnya mata jaring khususnya pada bagian kantung sehingga semua ukuran cumi-cumi dapat tertangkap. Cumi-cumi masih bisa dimanfaatkan oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap yang lebih selektif misalnya pancing. Alat tangkap yang lain yang tidak direkomendasikan untuk dikembangkan adalah rawai hanyut dan

pancing ulur. Rawai hanyut umum digunakan untuk menangkap ikan tongkol sedangkan pancing ulur digunakan untuk menangkap ikan kerapu. Kedua jenis ikan terget tersebut diketahui bahwa tingkat pemanfaatannya telah melampaui potensi lestarinya. Ikan tongkol masih bisa dimanfaatkan oleh nelayan Selat Alas tetapi dengan mengganti alat tangkap yang digunakan yaitu pancing tonda. Pancing tonda merupakan alat tangkap dengan urutan prioritas tertinggi dari keseluruhan alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Selat Alas, disamping itu pancing tonda juga merupakan jenis alat tangkap yang selektif karena ukuran mata pancing yang digunakan cukup besar. Ikan komoditas unggulan Selat Alas dengan tingkat pemanfaatannya yang telah tangkap lebih yaitu ikan kerapu masih bisa dimanfaatkan tetapi dengan memperbesar mata pancing dari alat tangkap ini sehingga ikan kerapu yang tertangkap dapat lebih selektif yaitu tidak menangkap ikan dengan ukuran yang kecil.

Hasil analisis terhadap sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) sangat fluktuatif setiap bulannya dan berulang tiap Tahunnya. SPL tertinggi di selat alas terjadi pada bulan November dan Desember dengan suhu rata-rata mencapai 29.8oC dan SPL

terendah terjadi pada bulan Agustus dengan suhu rata-rata mencapai 27.0oC,

sedangkan pada bagian dalam selat dan pada daerah pantai di dominasi suhu rendah. Konsentrasi klorofil-a di wilayah perairan Selat Alas sangat fluktuatif, hal ini berkaitan dengan kondisi SPL, pola sebaran konsentrasi klorofil-a di selat Alas berulang tiap tahunnya, yang menunjukkan peningkatan konsentrasi klorofil-a pada bulan Agustus dengan rata-rata konsentrasi sebesar 0.5 mg/m3 kemudian menurun

pada bulan Desember dengan rata-rata konsentrasi sebesar 0.2 mg/ m3. Keterkaitan

antara SPL dan klorofil-a di Selat Alas merupakan fenomena terjadinya upwelling terutama pada bagian selatan selat (selatan Jawa – selatan Timor), up-welling yang terjadi pada bagian selatan Jawa hingga Timor ini dimulai pada bulan April – November (Kunarso et al. 2005).

Analisis secara spasial terhadap SPL menunjukkan hal yang sama pada analisis secara temporal. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya SPL pada DPI di bagian selatan selat pada bulan Agustus dan tingginya klorofil-a di DPI pada bagian selatan selat. SPL mulai meningkat di daerah DPI seiring dengan perubahan waktu hingga mencapai puncaknya pada bulan Desember, demikian juga dengan penurunan konsentrasi klorofil-a di daerah DPI hingga mencapai puncak penurunan kadar konsentrasi klorofil-a pada bulan Desember.

Tingginya konsentrasi klorofil-a pada bagian selatan Selas Alas pada bulan Agustus tidak berhubungan langsung dengan melimpahnya ikan unggulan di Selat Alas. Hal ini, disebabkan karena ikan-ikan unggulan tersebut merupakan ikan-ikan karnivora. Keberadaan ikan karnivora ini di kolom perairan akibat melimpahnya ikan-ikan lain sebagai makanan mereka yang merupakan pemakan pytoplankton (herbivora). Hal ini ditunjukkan dengan analisis korelasi parsial antara produktivitas ikan unggulan dengan konsentrasi klorofil-a (Tabel 15) dengan rhitung

< α (0.05). Akan tetapi berbeda dengan korelasi antara SPL dengan keberadaan ikan cakalang dan tongkol. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kedua jenis ikan tersebut dengan sebaran SPL di perairan Selat Alas, dengan rhitung > α (0.05) (Tabel 15). Hal ini, diperkuat dengan beberapa hasil

penelitian tentang hubungan antara SPL dan keberadaan ikan cakalang dan tongkol, dengan kisaran suhu optimum dari kedua jenis ikan ini adalah 20 – 29 oC (Syahdan

Penangkapan ikan unggulan di Selat Alas dilakukan di beberapa daerah penangkapan di wilayah perairan Selat Alas. Cumi-cumi banyak ditangkap di daerah selatan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa CPUE cumi-cumi lebih banyak ditangkap di daerah selatan wilayah perairan Selat Alas. Sementara itu, ikan lain seperti cakalang dan tongkol ditangkap di beberapa tempat di wilayah Selat Alas. Adapun ikan kerapu dan kakap merah dapat ditangkap di daerah terumbu karang dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Selat Alas. Penangkapan ikan unggulan berhubungan dengan daerah penangkapan ikan tersebut.

Daerah penangkapan ikan (DPI) unggulan ternyata tidak dipengaruhi secara langsung oleh sebaran konsentrasi klorofil-a tetapi melalui rantai makanannya, karena ikan-ikan unggulan ini termasuk dalam kategori ikan karnivora sehingga mereka tidak memanfaatkan pytoplankton sebagai makanan mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat fluktuasi suhu permukaan laut di Selat Alas. Hal ini berpengaruh terhadap keberadaan ikan cakalang dan tongkol. Secara umum fluktuasi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a ini memiliki hubungan tidak langsung dengan adanya sebaran daerah penangkapan ikan unggulan di Selat Alas.

Selama ini nelayan Selat Alas memanfaatkan DPI secara tradisional tanpa ada pengaturan yang jelas terhadap tingkat upaya, besaran produksi, dan besaran mata jaring yang boleh digunakan. Nelayan memanfaatkan DPI berdasarkan besarnya modal dan kemampuan mereka dalam melakukan operasi penangkapan.

Lebih lanjut Dahuri et al. (1996) menyatakan, agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, pada dasarnya diperlukan informasi yang menyangkut sisi penawaran dan permintaan dari sumberdaya perikanan termaksud. Informasi utama untuk mengelola kegiatan pembangunan perikanan tangkap secara berkelanjutan antara lain meliputi : (1) Distribusi spasial jenis-jenis sumberdaya ikan; (2) Potensi lestari (MSY) setiap jenis sumberdaya ikan; (3) Persyaratan ekologis bagi kehidupan dan pertumbuhan setiap jenis sumberdaya ikan; (4) Transfer energi dan materi antar tingkat trofik dalam suatu ekosistem perairan sumberdaya ikan yang dikelola hidup; (5) Dinamika populasi sumberdaya ikan; (6) Sejarah hidup dari sumberdaya ikan; (6) Kualitas perairan di mana sumberdaya ikan hidup; (8) Tingkat penangkapan terhadap sumberdaya ikan dalam bentuk upaya tangkap secara time series.

Adanya perbedaan terhadap tingkat pemanfaatan SDI unggulan di Selat Alas memerlukan suatu upaya pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur penangkapan ikan tersebut agar dapat memberikan manfaat optimal bagi pemanfaatan ikan di Selat Alat.

Pengelolaan perikanan dimaksudkan untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan sehingga pemanfaatannya dapat berlanjut dalam jangka panjang. Menurut UU perikanan No.31 tahun 2004, pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan dibidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Perikanan yang tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah keberlanjutan akan mengarah kepada degradasi lingkungan, tangkapan berlebih, dan praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak (Fauzi dan Anna 2005). Hal ini dipicu karena keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat, sehingga tingkat eksploitasi sumber daya ikan diarahkan sedemikan rupa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar- besarnya dalam waktu singkat. Akibatnya, kepentingan lingkungan diabaikan dan penggunaan teknologi yang menghasilkan secara cepat yang bersifat merusak dapat terjadi (Sutisna 2007).

Konsep pengelolaan perikanan tangkap berbasis ikan unggulan di Selat Alas Provinsi NTB digambarkan dalam bentuk pola pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan unggulan, bukan merupakan pemodelan atau model matematik. Secara umum pengelolaan perikanan tangkap adalah pengendalian jumlah tangkapan dan ukuran ikan sebagai respon terhadap kondisi perikanan yang tingkat eksploitasinya relatif sudah berlebih. Pengendalian tersebut di lakukan dalam empat cara, yaitu (1) penentuan jenis ikan unggulan (2) penentuan potensi lestari maksimum, jumlah upaya optimum (fopt), dan penentuan tingkat pemanfaatan masing-masing ikan

unggulan tersebut (3) menentukan prioritas teknologi penangkapan ikan unggulan; dan (4) menentukan sebaran DPI berdasarkan kondisi oseanografi (SPL dan klorofil-a) dan produktivitas tertinggi.

Tahap pertama (1) dan kedua (2) dari konsep pengelolaan ini mengacu pada hasil penelitian Bab 2. Ikan unggulan Selat Alas berupa ikan-ikan pelagis (cumi- cumi, cakalang dan tongkol) serta ikan-ikan karang/demersal (kerapu dan kakap merah). Ikan-ikan unggulan tersebut sebahagian diantaranya yaitu cumi-cumi, tongkol, dan kerapu pemanfaatannya telah melampaui potensi lestarinya atau dengan status over exploited. Hal ini sebagai akibat dari tingkat pengupayaan yang sangat intensif sehingga melampaui upaya optimum (fopt) yang seharusnya.

Tingginya upaya yang dilakukan oleh nelayan disebabkan karena harga dari ikan- ikan unggulan ini yang tinggi ditingkat nelayan, dan diminati oleh pasar.

Tingkat pemanfaatan yang tinggi dan melampaui potensi lestari maksimum ini juga disebabkan karena alat tangkap yang digunakan kurang selektif. Payang misalnya sebagai alat tangkap dominan yang digunakan untuk menangkap cumi- cumi di Selat Alas ukuran mata jaringnya kurang dari 0.5 cm. Hal ini mengakibatkan cumi-cumi yang tidak layak tangkap (belum matang gonad) ikut tertangkap.

Tahap ketiga (3) mengacu pada hasil penelitian Bab 3. Urutan prioritas teknologi penangkapan ikan unggulan di Selat Alas adalah berturut-turut: pancing tonda, payang, rawai hanyut, pancing ulur, jaring insang tetap, jaring klitik, dan jaring insang hanyut. Pancing tonda menempati urutan pertama disebabkan karena alat ini unggul pada 3 aspek dari 4 aspek yang dinilai yaitu aspek teknis, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Keunggulan pancing tonda dari aspek teknis ditunjukkan karena alat ini produktivitas dan produksinya yang tinggi serta jangkauan penangkapannya yang relatif jauh dari home base nelayan. Dari aspek sosial alat tangkap pancing tonda ini mudah dioperasionalkan, tidak menimbulkan kecemburuan bagi masyarakat dilingkungan nelayan, dan mudah serta murah dalam perawatannya. Alat tangkap pancing tonda ini unggul juga pada aspek lingkungan, keunggulan ini disebabkan karena alat ini tidak merusak lingkungan, dan ukuran hasil tangkapan cukup selektif, artinya bahwa ukuran hasil tangkapan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya umpan buatan yang dipergunakan.

Dari ke tujuh alat tangakap yang dianalisis maka alat tangkap payang menunjukkan jenis alat tangkap yang tidak ramah terhadap lingkungan. Alat ini memiliki ukuran mata jaring yang kecil (> 0.5 cm) sehingga berpotensi untuk menangkap ikan atau cumi-cumi yang belum layak untuk ditangkap.

Ikan layak tangkap didefenisikan sebagai ikan yang memiliki panjang yang lebih besar dari panjang pertama kali ikan matang gonad (length at frirst maturity, Lm ). Dari beberapa hasil penelitian terhadap ikan cakalang menunjukkan bahwa ikan cakalang layak untuk ditangkap pada panjang tubuh lebih dari 40 cm (Hukom et al. 1991; Jamal et al. 2012; Manik 2007). Berikutnya rata-rata ikan kakap merah akan mencapai tingkat kedewasaan yang pertama setelah mencapai panjang 43- 51% dari panjang total tubuh ikan tersebut, ikan jantan akan mengalami kematangan gonad pada ukuran lebih kecil dari ikan betina (Heemstra dan Randall 1993). Selanjutnya ikan kerapu sunu (Plectropomus areolatus) mencapai kematangan gonad untuk yang pertama kalinya pada panjang tubuh 41 – 46 cm dengan bobot tubuh 1000 – 1500 gr, sehingga ikan kerapu sunu ini layak ditangkap pada panjang tubuh > 40 cm (Alamsyah et al. 2013).

Pertimbangan terhadap ikan yang layak untuk ditangkap ini perlu segera dilakukan di perairan selat Alas provinsi NTB. Hal ini penting dilakukan mengingat beberapa sumberdaya ikan unggulan telah melampaui potensi lestarinya. Seleksi terhadap ikan hasil tangkapan ini sangat penting agar rekruitmen sumberdaya ikan di perairan dapat berlangsung seimbang dan secara terus menerus.

Tahap ke empat (4) dari konsep pengelolaan ini mengacu pada hasil penelitian pada Bab 4. Pemetaan terhadap DPI unggulan berdasarkan produktivitas di masing- masing DPI. Dari hasil analisis korelasi parsial antara produktivitas ikan unggulan dan konsentrasi klorofil-a menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan. Hal ini terjadi karena ikan unggulan Selat Alas merupakan ikan-ikan karnivora. Oleh sebab itu tidak ada hubungan secara langsung tetapi melalaui rantai makanannya yaitu berupa ikan atau udang yang mengkonsumsi pytoplankton. Pytoplankton merupakan indikator kesuburan suatu perairan karena kandungan klorofil-a mereka.

Sebaran DPI unggulan Selat Alas Provinsi NTB tersebar di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan pada bagian selatan selat. Daerah penangkapan cumi-cumi dengan produktivitas tertinggi terletak pada daerah Tanjung Ringgit, kaloran, Kuang Wai, Selayar, Rambang, dan Teluk Sunut (Gambar 26). Selanjutnya ikan cakalang dan tongkol banyak ditangkap oleh nelayan pada daerah perairan Maluk, Pulau Tiga, Tanjung Cine, Tanjung Ringgit, Teluk Sunut, dan Teluk Benete (Gambar 27 dan Gambar 28). Berikutnya ikan-ikan karang (demersal) yang merupakan ikan unggulan Selat Alas adalah kakap merah dan kerapu. Ikan-ikan karang ini banyak ditangkap oleh nelayan Selat Alas di pulau-pulau kecil dan pesisir Selat Alas di mana terdapat terumbu karang. Daerah penangkapan tersebut dengan produktivitas yang tinggi untuk ikan kakap merah adalah daerah Maringkik kemudian diikuti di daerah daerah lain seperti Sunut dan Pulau Pasaran, sedangkan ikan kerapu banyak tertangkap pada daerah Pulau Pasaran kemudian diikuti daerah lain seperti Pulau Belang, Gili Kere, dan Pulau Kenawa.

Sebaran DPI ikan-ikan unggulan Selat Alas ini meskipun tidak berhubungan langsung dengan SPL dan kelimpahan konsentrasi klorofil-a namun sangat berkaitan dengan ikan lainnya yang memanfaatkan pytoplankton sebagai sumber klorofil-a sebagai makanannya. Ikan-ikan yang memanfaatkan pytoplankton

sebagai sumber makanan mereka inilah yang berkaitan lansung dalam rantai makanan ikan-ikan unggulan Selat Alas, seperti teri, lemuru, dan tembang. Karena itu kelimpahan konsentrasi klorofil-a menjadi hal yang sangat penting dalam penentuan DPI unggulan Selat Alas.

Komposisi dan proporsi ikan hasil tangkapan nelayan Selat Alas (Tabel 3) menunjukkan bahwa ikan teri menduduki porsi yang cukup tinggi yaitu sebesar 6% dari keseluruhan hasil tangkapan nelayan. Selanjutnya ikan lemuru dan tembang proporsinya sebesar 4% dari hasil tangkapan nelayan. Keberadaan ikan-ikan herbivora tersebut sangat erat kaitannya dengan kelimpahan klorofil-a di suatu wilayah perairan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainuddin dan Tresnati (2014) menyatakan bahwa ikan teri cenderung terdistribusi pada konsentrasi klorofil-a yang tinggi. Selanjutnya dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar klorofil-a di suatu wilayah perairan dan tingginya hasil tangkapan nelayan terhadap ikan lemuru dan tembang (Arianto dan Subiyanto 2014; Putra et al. 2014).

Nelayan Selat Alas berada pada wilayah administrasi yang berbeda yaitu pada Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa Barat sehingga konsep pengelolaan perikanan tangkap yang tepat di wilayah perairan Selat Alas dilakukan dengan pendekatan co-management. Menurut Nikijuluw (2002) co-management adalah pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Pengelolaan dengan pendekatan co-management sangat tepat dilakukan mengingat wilayah perairan Selat Alas ini dimanfaatkan oleh nelayan dari wilayah administrasi yang berbeda. Alasan yang lain karena di kedua kabupaten yang menjadi wilayah studi ini telah terbentuk kelompok masyarakat pengawas sumberdaya perikanan yang disebut dengan KPPL, lembaga KPPL ini juga telah dilengkapi dengan aturan-aturan untuk menyelesaikan permasalahan sosial akibat dari pemanfaatan sumberdaya. KPPL ini dapat menjadi jembatan untuk mengatasi kesenjangan koordinasi antara dua kabupaten yang berbeda. Dalam co-management

Dokumen terkait