• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komitmen Indonesia terhadap Zero Burning Policy Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah

4.3 Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencemaran Asap Lintas Batas

4.3.3 Komitmen Indonesia terhadap Zero Burning Policy Masalah asap kebakaran hutan di Indonesia adalah

masalah yang pelik. Pada tahun 2015 adalah merupakan bencana asap terparah sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh gangguan terhadap sumber daya hutan yang terus berlangsung bahkan intensitasnya makin

meningkat. Hampir setiap musim kemarau di Indonesia pada beberapa tahun trakhir ini sering mengalami kebakaran, khusunya di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan.

Kebakaran hutan di Indonesia disebabkan karena adanya kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam praktek konservasi lahan, penyiapan atau pembersihan atau pembukaan lahan oleh perusahaan dilakukan dengan cara membakar. Metode land clearing dengan cara membakar tersebut lebih dipilih daripada metode lain karena dinilai paling murah dan efisien. Faktor ekonomi dan ketidak tersediaan teknologi yang memadai menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan, meskipun dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan hasilnya.

Saat ini kasus kebakaran hutan telah menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon serta bagi keanekaragaman hayati. Untuk mengurangi berbagai

dampak daripada Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas, Negara anggota ASEAN menyadari bahwa adanya kebutuhan untuk memperkuat kebijakan nasional dan strategi untuk mencegah dan mengurangi kebakaran hutan dan lahan yang berdampak terciptanya kabut dan asap. ASEAN kemudian mengambil inisiatif dan langkah untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional, sub-regional serta nasional secara terkoordinir dalam upaya pengambilan kebijakan terhadap permasalahan lingkungan lintas batas. Ketika kabut asap mulai menyebar ke beberapa negara anggota, itu menjadi fokus dari beberapa instrumen lingkungan ASEAN.

Pada tahun 2015 Indonesia secara efektif telah mengikatkan dirinya dengan Agreement on ASEAN Transboundary Haze Pollution (AATHP) sebagai bentuk komitmen dalam mengatasi asap lintas batas terkhususnya dalam menangani pembakaran hutan atau pembukaan lahan dengan cara dibakar. Hal tersebut seharusnya diikuti dengan komitmen dan itikad baik dalam mengimplementasikan isi perjanjian tersebut. Bekerjasama antar negara ASEAN dalam mencegah terjadinya asap

lintas batas, negara yang bertanggungjawab atas kebakaran harus merespon dengan cepat apabila terjadi kebakaran hutan atau lahan hingga mentransformasikan isi perjanjian tersebut ke dalam hukum nasional, sehingga penyebab terjadinya kebakaran lahan yang menyebabkan asap lintas batas dapat ditekan dan diminimalisir.

Inkonsistensi Indonesia dalam mentransformasikan AATHP kedalam hukum nasional saat ini cukup nampak dibuktikan bahwa hingga saat ini Indonesia belum menyelaraskan hukum nasional dengan kewajiban yang seharusnya mengikat seiring telah diratifikasinya AATHP khususnya yang berkaitan dengan larangan pembakaran lahan atau hutan sebagai upaya pembukaan lahan. Hal tersebut dapat kita lihat dengan masih berlakunya Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), dimana Undang-undang tersebut masih memberikan izin terhadap pemilik lahan atau pelaku usaha perkebunan untuk dapat membuka lahan/ land clearing dengan cara membakar.

Pada dasarnya membuka lahan dengan cara membakar hutan merupakan hal yang secara tegas dilarang dalam undang-undang, yakni diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH yang berbunyi: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”.

Namun yang sangat disayangkan adalah di ketentuan pasal lainnya ada ketentuan yang mengizinkan pembukaan lahan dengan cara membakar dengan catatan diperbolehkannya membakar lahan dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Disisi lain terdapat beberapa peraturan teknis sebagai turunan atas Undang-undang Perkebunan dan UUPLH yang menunjukan bahwa inkonsistensi Indonesia semakin nyata terhadap komitmen untuk menekan terjadinya kebakaran hutan atau lahan sehingga dapat

meminimalisir terjadinya bencana asap. Tidak hanya Undang-undang Perkebunan dan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup saja yang memiliki pertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap asap lintas batas yang telah di perjanjikan di AATHP melainkan masih ada peraturan dibawahnya seperti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan peraturan di tingkat daerah.

Negara melalui instrumen hukumnya seakan mendukung dengan adanya mekanisme pembakaran dalam pembukaan lahan perkebunan, dimana UUPPLH memberikan izin untuk pembukaan lahan dengan cara dibakar seluas dua hektar dan diperparah lagi di beberapa pemerintahan daerah menerbitkan Pergub yang semakin membuat ketidak jelasaan komitmen negara dalam mengurangi asap lintas batas semakin nyata, seperti aturan lain soal membuka lahan dengan cara membakar dapat kita lihat dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan

(“Permen LH 10/2010”). Pasal 4 ayat (1) Permen LH No.10 Tahun 2010:

“Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa.”

Meskipun pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering namun tetap saja negara membenarkan cara pembakaran lahan sebagai metode land clearing. Sejalan dengan UU Perkebunan, UU PPLH, dan Permen LH 10/2010. Pertaturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 15 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang menjadi turunan peraturan diatasnya masih memperkokoh dan mendukung adanya pembukaan lahan dengan cara membakar. Kewenangan pemberian izin dengan luas lahan di bawah 5 Ha, dilimpahkan kepada:

4.3.3.1. Camat, untuk luas lahan di atas 2 Ha sampai dengan 5 Ha;

4.3.3.2. Lurah/Kepala Desa, untuk luas lahan di atas 1 Ha sampai dengan 2 Ha; dan

4.3.3.3. Ketua RT, untuk luas lahan sampai dengan 1 Ha Pergub tersebut mengalami kemunduran dalam memberikan komitmen atas pencegahan akan terjadinya bencana asap akibat pembakaran lahan. Sebelumnya, ada Pergub Kalteng No. 52 tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang dulunya pemerintah daerah memiliki kewenangan memberikan izin pembukaan lahan dengan cara membakar dengan cakupan luas diatas 2,5 Hektar dan yang dibawah luas tersebut diberikan kewenangan kepada Camat hingga ketua RT sesuai ketentuan, namun seiring telah dirubahnya Pergub tersebut pada tahun 2010 seolah lebih mempermudah perizinan pembukaan lahan dengan cara membakar yang dibuktikan dengan semakin tidak ketatnya pemberian perizinan.

Dapat kita lihat bahwa peraturan yang ada saat ini tidak berpihak kepada pencegahan bencana asap, dengan hadirnya negara yang telah membenarkan kegiatan pembukaan lahan dengan cara membakar dengan masih berlakunya peraturan-peraturan tersebut. Hingga saat ini Peraturan Perundang-undangan tersebut belum di sesuaikan dengan isi AATHP, dari hal itu juga kita dapat melihat bahwa Indonesia masih berat hati untuk memberikan komitmen yang penuh terhadap zero burning policy dalam pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan perladangan.

Tanggung jawab Pemerintah Indonesia terkait pengendalian kabut asap tidak hanya kepada publik dalam negeri saja tetapi juga kepada negara lain terutama Negara Peserta AATHP sebagai bukti pelaksanaan asas itikad baik atau good faith. Salah satu konsekuensi yang harus Indonesia terima setelah meratifikasi AATHP dalam perspektif hukum internasional adalah negara memiliki kewajiban untuk membentuk produk hukum yang seharusnya melarang pembakaran lahan sebagai metode land clearing karena Indonesia telah terikat dan

mengikatkan dirinya kepada AATHP dan memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan isi dari perjanjian. Namun hal tersebut seolah-olah hanya harapan kosong yang diberikan oleh Indonesia kepada each party dalam perjanjian tersebut. Maka sudah seharusnya Indonesia mentransformasikan perjanjian tersebut kedalam hukum positif yang lebih mampu mendukung terciptanya

zero burning policy.

Peraturan Perundang-undangan yang telah ada terbukti tidak mampu mengurangi penyebab terjadinya bencana asap yang merugikan banyak pihak termasuk negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia dibuktikan dengan terjadinya kebakaran lahan gambut pada tahun 2015 yang disebut-sebut kebakaran lahan terparah yang pernah dialami oleh Indonesia. sebab oleh itu Indonesia sudah harus mencari jalan keluar dalam menentukan metode land clearing yang lebih aman, efektif dan efisien selain dengan cara land fires atau membakar.

Seluruh produk hukum yang berkaitan dengan pembakaran lahan harus dikaji dan dipertimbangkan kembali untuk dilakukan amandemen terhadap

Undang-undang tersebut dan secara otomatis peraturan dibawahnya akan ikut menyesuaikan dengan Peraturan Perundang-undangan diatasnya, karena bukan tidak mungkin peluang tersebut disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan secara nyata bahwa pembukaan lahan dengan cara membakar telah menimbulkan dampak negatif yang luar biasa bagi banyak pihak terdampak.

4.4 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pencemaran Asap Lintas