• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjelasan Umum ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution dan Peratifikasian oleh

Indonesia

ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi, sosial, politik dan hubungan diantara sesama anggotanya. Sejak ditandatanganinya deklarasi Bangkok atau deklarasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand.

ASEAN lahir sebagai sebuah organisasi regional yang mengusung tema kepercayaan dan meningkatkan kerjasama dalam pembangunan bersama masyarakat ASEAN dalam berbagai aspek kerjasama yang meliputi aspek ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.

Seiring dengan perkembangan konstelasi internasional, ASEAN mengalami perkembangan pesat. Pada awal berdirinya, ASEAN menaruh perhatian yang besar untuk membangun rasa saling percaya (confidence

building measures), itikad baik dan mengembangkan asas

untuk bekerjasama secara terbuka diantara sesama anggotanya. Kini dengan segala kematangan dan pencapaian yang telah diraih, kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh ASEAN mulai menyentuh kerjasama di bidang-bidang yang sebelumnya dianggap sensitif.

Setelah peristiwa terbakarnya lahan dan hutan pada 1997, para Menteri Lingkugan Hidup negara-negara ASEAN menyusun rencana regional untuk mengatasi masalah kebakaran hutan tersebut. Rencana Aksi Regional (Regional Action Plan) ini dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama yang mengharuskan negara-negara anggota untuk menyusun rencana nasional mereka, dan untuk menunjukkan langkah-langkah khusus mereka yang "harus ada" untuk memantau, mencegah, menghalangi, dan mengurangi pembakaran hutan77, yang kemudian menjadi cikal bakal dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution.

ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution adalah bentuk insiatif dan upaya dari ASEAN

untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional dan sub-regional secara terkoordinir yang berupa kesepakatan negara anggota ASEAN untuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas. Perjanjian polusi asap lintas batas ini ditandatangani sejak tahun 2002 dan berlaku sejak tahun 2003 setelah enam negara meratifikasi yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar dan Singapura.

77 Ayyappan Palanissamy, “Haze Free Air in Singapore and Malaysia-The Spirit of the Law in Southeast Asia”, International Journal of Education and Research (Agustus, 2013)

Pencemaran lingkungan lintas batas yang disebabkan oleh kabut asap memberikan dampak yang serius terhadap keselamatan dan keamanan warga negara dan kepentingan setiap negara yang tercemar. Oleh karena itu, Negara anggota ASEAN menyadari untuk memperkuat kebijakan nasional dan strategi sebagai bentuk upaya serta kebutuhan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tentunya akan memberikan dampak terciptanya kabut dan asap.

Permasalahan pencemaran lingkungan lintas batas yang disebabkan oleh kabut dan asap ke beberapa negara anggota, menjadi fokus dari beberapa instrumen lingkungan ASEAN. Maka, ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution (ACPTP) pada tahun 1995,

menganggap serta menjadikan Polusi atau pencemaran yang disebabkan oleh Asap Lintas Batas sebagai salah satu perhatian umum ASEAN yang harus ditangani secara bersama.

Pada tanggal 10 Juni 2002, masing-masing perwakilan Menteri Lingkungan Hidup dari tiap negara anggota ASEAN menandatangani ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution di Kuala Lupur, Malaysia. ASEAN Agreement Tranboundary Haze Pollution mulai

berlaku pada hari ke-60 setelah negara anggota meratifikasi, menerima serta menyetujiu perjanjian tersebut.78 Namun Indonesia baru meratifikasi Agreement

Tranboundary Haze Pollution pada tahun 2015.

Adapun pengertian perjanjian Internasional terdapat dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan demikian, perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan – ketentuan yang mempunyai akibat hukum.

Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban – kewajiban yang mengikat bagi negara- negara peserta(para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium

Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara –negara untuk melaksanakan dengan itikad baik kewajiban – kewajibannya.79

Pada dasarnya, AATHP terdiri dari 32 pasal, dan berikut akan dibahas bagian-bagian terpenting dari kesepakatan tersebut yang memiliki pengaruh terhadap Indonesia.

4.1.3.1. Pasal 2: Tujuan

Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk mencegah dan memonitor transboundary haze

pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan

yang sebaiknya dilakukan dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama regional dan internasional.

4.1.3.2. Pasal 3 : Prinsip

4.1.3.2.1. Prinsip tanggung jawab Negara 4.1.3.2.2. Prinsip pencegahan

4.1.3.2.3. Prinsip precautionary.

4.1.3.2.4. Prinsip pembangunan yang aman

4.1.3.2.5. Prinsip kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat lokal, NGO, petani dan perusahaan swasta 4.1.3.3. Pasal 4 : Kewajiban Umum

4.1.3.3.1. Bekerjasama dalam upaya pencegahan polusi udara lintas batas akibat kebakaran hutan termasuk didalamnya pengembangan upaya monitor, adanya sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan teknologi dan saling memberi bantuan,

4.1.3.3.2. Ketika terjadi transboundary haze

pollution dari suatu negara, segera

merespon dan menginformasikan negara atau negara-negara yang terkena atau akan terkena polusi udara tersebut untuk meminimalisir akibatnya.

4.1.3.3.3. Melakukan upaya legislatif dan administratif untuk melaksanakan kewajiban dalam kesepakan ini.80 4.1.3.4. Pasal 5: adanya ASEAN center yang dibuat

untuk memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar pihak dalam mengelola dampak polusiasap. Ketika suatu negara menyatakan keadaan darurat, dapat meminta bantuan kepada ASEAN center. 4.1.3.5. Pasal 16: Kerjasama secara teknis dan penelitian

termasuk pertukaran informasi, para ahli, teknologi dan alat. Memberikan pelatihan, pendidikan dan kampanye pengembangan kesadaran tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan dan lingkungan.

4.1.3.6. Pasal 27 : Penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi

Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis. Hasil studi menyimpulkan bahwa terdapat 7 (tujuh) bentuk implikasi kelembagaan atas AATHP sebagai berikut 81:

4.1.3.1. AATHP berimplikasi terhadap peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peralatan dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui mekanisme perbantuan dan kerjasama teknis;

4.1.3.2. AATHP berimplikasi terhadap perbaikan pengelolaaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif di Indonesia melalui mekanisme pemantauan, pelaporan dan komunikasi dengan ASEAN Centre;

4.1.3.3. AATHP berimplikasi terhadap kejelasan tugas dan fungsi institusi dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui penunjukan dan pembentukan NFP

81 Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional”, Jurnal Ilmu Hukum (2015), hlm. 201

(National Focal Point), NMC (National

Monitoring Centre) and CA (Competent

Authorities);

4.1.3.4. AATHP berimplikasi dalam memacu pembuatan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia;

4.1.3.5. AATHP berimplikasi terhadap pembangunan ASEAN Centre yang dapat memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar para Pihak dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia;

4.1.3.6. AATHP berimplikasi terhadap peningkatan pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di Indonesia melalui adanya penjaminan bahwa langkah legislatif, administratif dan langkah relevan lainnya akan diambil untuk mencegah pembukaan lahan dengan membakar serta adanya kerjasama teknis antar para Pihak untuk lebih mempromosikan PLTB; dan

4.1.3.7. AATHP berimplikasi dalam memacu alokasi dana yang lebih memadai dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Dilain sisi, Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke Negara-negara ASEAN justru merupakan negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut (Gambar 7)

Tabel 4: Negara-negara Peratifikasi AATHP82

Menurut beberapa pihak, isu politik di Indonesia menjadi salah satu hambatan untuk proses ratifikasi, hal ini didasarkan bahwa, ketika ratifikasi dilakukan akan mengakibatkan banyak kewajiban yang ditekankan oleh Negara-negara anggote kepada Indonesia.83

Selain itu, melalui upaya penanggulangan dengan merupakan perwujudan solidaritas ASEAN, Indonesia akan didesak secara perlahan untuk bersikap lebih tegas dalam penegakan hukumnya, bila meratifikasi AATHP tersebut. Memang dalam perjanjian itu tidak secara tegas dijelaskan hukuman apa yang bakal dijatuhkan kepada Indonesia jika hutannya terus terbakar dan melakukan ekspor asap. Tetapi dengan perjanjian tersebut, selain Indonesia mendapat bantuan teknis, negara ini juga bakal mendapatkan tekanan politis dari negara negara tetangga untuk lebih serius terhadap masalah kebakaran hutan tersebut.

Lambatnya respon yang diambil oleh pemerintah Indonesia terkait dengan ratifikasi AATHP ini maka pada tanggal 5 Agustus 2014 lalu, parlemen Singapura mengesahkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act

83 Jerger, David B, op cit, hlm.42

2014 (No. 24 of 2014) yang kemudian disingkat STHP.

Melalui aturan ini, pemerintah Singapura mampu untuk menuntut individu ataupun perusahaan di Negara tetangga yang menyebabkan polusi asap yang berdampak kepada Singapura84. Menanggapi hal tersebut, Prof. Sigit Riyanto85 beranggapan bahwa, dengan diterapkannya aturan tersebut, singapura berupaya untuk menerapkan extraterritorial

jurisdiction atau keadaan dimana suatu Negara dapat

menerapkan yurisdiknya di wilayah negera lain. Lebih lanjut lagi, Prof. Sigit menambahkan bahwa secara teoritis aturan tersebut sangat mungkin untuk tetap ada, namun secara praktis banyak kajian dan pengalaman yang menunjukkan bahwa penerapan extraterritorial jurisdiction akan menemui beberapa kendala, apalagi hubungannya dengan pencemaran asap di wilayah Asia Tenggara. Dilain sisi, pengesahan THPA oleh Singapura adalah bagian dari

84

Anonim, Singapore Passes Trans-Boundary Haze Act, 8 Februari, http://www.thejakartapost.com/news/2014/08/07/singapore-passes-trans-boundary-haze-act.html, 14.45

85 Professor Sigit Riyanto adalah Guru Besar dan Pakar Hukum Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

upayanya untuk “menggertak” Indonesia yang ketika itu belum meratifikasi AATHP.86

Namun, disisi lain salah satu kasus yang terkenal mengenai penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ini adalah

Lotus Case, pada 2 Agustus 1926 terjadi tabrakan antara SS

Lotus (kebangsaan Prancis) dengan SS Boz Kourt (kebangsaan Turki) di daerah utara Perairan Yunani. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, delapan warga Turki didalam SS Bozkourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. M. Demons (kapten SS Bozkourt) ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki. Dalam putusannya, Permanent Court

of International Justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan

yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan yurisdiksi negaranya. Tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar

86 Wawancara dilakukan di Gedung IV, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tanggal 4 Pebruari 2016, pukul 10.00 WIB-selesai.

negeri dan merugikan negara tersebut87. Merujuk pada kasus diatas, jelas kiranya bahwa hukum nasional tetap bisa diterapkan sepanjang tidak ada hukum kebiasaan yang melarangnya.

4.2 Kebijakan ASEAN dan Pemerintah Indonesia terhadap