• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Pencemaran Asap Lintas Batas dan ASEAN Agreement on

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4.1 Pencemaran Asap Lintas Batas dan ASEAN Agreement on"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

47

4.1 Pencemaran Asap Lintas Batas dan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

4.1.1. Sejarah Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara

Kebakaran hutan di Indonesia telah banyak tercatat sejak abad kesembilan belas51. Kebakaran hutan yang kemudian menyebabkan pencemaran asap (haze pollution) merupakan salah satu isu yang selalu hangat untuk dibicarakan, baik dalam lingkup nasional, regional, maupun internasional. Hal ini dikarenakan kebakaran hutan telah terjadi sejak lama dan frekuensi kebakaran hutan terus meningkat di Indonesia setiap tahunnya. Hal ini diperparah apabila sudah memasuki musim kemarau.

Kebakaran hutan mulai marak terjadi di Indonesia pada tahun 1980an dimana pada saat itu khusus bagi Indonesia izin-izin pembukaan hutan untuk perkebunan di

51 Helena Varkkey, “Patronage Politics, Plantation Fires and Transboundary Haze”,

(2)

Indonesia mulai dilegalkan oleh pemerintah demi pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Namun, seiring dengan maraknya izin-izin perkebunan yang dilegalkan membuat pendayagunaan hutan semakin tidak terkontrol. Sehingga keseimbangan ekosistem hutan menjadi kurang di perhatikan oleh pemerintah.

Secara kronologis kebakaran hutan di Indonesia terjadi dalam beberapa periode, yaitu dari tahun 1982-1983, 1997-1998, 2005 hingga tahun 2010 serta periode 2011-2012 dan yang terbaru adalah Kebakaran hutan pada tahun 2013 dan 2015 yang memberikan dampak yang besar terhadap isu lingkungan terutama pencemaran asap lintas batas. Namun, salah satu kebakaran hutan yang cukup parah terjadi pada tahun 1997 yang menyebabkan pencemaran asap ke beberapa Negara tetangga di sekitar Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Singapura (Gambar 1).

(3)

Gambar 1. Selimut Asap di Asia Tenggara, 26 September 199752

Pada dasarrnya, Kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh banayk faktor, yang garis besarnya disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia53. Dalam konteks Indonesia, orientasi ekonomi yang mendorong terjadinya penebangan dan pengalihfungsian hutan secara besarbesaran, tanpa memperhatikan etika lingkungan, serta teknik babat dan bakar, yang digunakan dalam pengalihfungsian hutan, baik alih fungsi untuk lahan pemukiman, pertanian, perkebunan kelapa sawit, pabrik

52 Judith Mayer, “Transboundary Perspectives on Managing Indonesia’s Fires”, Journal

of Environmental and Development (June, 2006), hlm. 203

(4)

pengolahan bubur kertas, perusahaan kayu dan pembersihan lahan, telah menyebabkan terjadinya kebakaran hutan yang terus berlanjut sampai sekarang (Tabel 1).

Tabel 1. Taksiran Kebakaran Hutan 1997-2013

Merujuk pada data diatas, isu Kebakaran hutan sudah menjadi masalah klasik bagi Indonesia, dikarenakan setiap tahun terjadi Kebakaran hutan dengan intensitas yang berbeda, namun kebakaran hutan yang paling luas terjadi pada tahun 1997 dan terendah pada tahun 2011. Hal ini diakibatkan beberapa faktor seperti faktor manusia melalui pembakaran lahan dan faktor alam yaitu terkait dengan fenomena El-nino.

(5)

Meskipun sudah ada peringatan dini dari Kementerian Lingkungan Republik Indonesia terkait dengan El Nino, kebakaran lahan terus meluas di wilayah Sumatra dan Kalimantan, terutama untuk perluasan lahan yang digunakan sebagai wilayah perkebunan. Ditambah lagi, fakta bahwa penggunaan api sebagai media perluasan lahan tidak dilarang di Kalimantan dan Sumatra sehingga dilaporkan terjadi Kebakaran hutan di 23 dari 27 Provinsi pada tahun 1997-199854. Terus berlangsungnya Kebakaran hutan akhirnya mengakibatkan pencemaran polusi asap lintas batas, sebagai contoh, Kebakaran hutan di Provinsi Riau pada tahun 2013 saja sudah sangat memprihatinkan karena merusak vegetasi hutan (Gambar 2) dan mencemari lingkungan tidak hanya Indonesia tetapi juga negeri tetangga, terutama Malaysia dan Singapura dalam hal ini.

54 Emily Matthews, 2002, The State of the Forest: Indonesia, Bogor, Forest Watch

(6)

Gambar 2. Perubahan Vegetasi Sebelum (a) dan Sesudah (b) Kebakaran Juni 2013 di Provinsi Riau55

Lebih jauh lagi, kabut asap yang terjadi selama Juni 2013 di Asia Tenggara telah dianalisis menggunakan satelit penginderaan jarak jauh. Secara umum, sebagian besar angin selama bulan Juni di wilayah ini bertiup ke barat, namun, selama Juni 2013 angin bertiup timur, akibatnya kabut asap dari kebakaran hutan di Provinsi Riau, Indonesia bertiup ke Malaysia selatan dan Singapura menyebabkan polusi yang sangat pekat (Gambar 3). Apabila melihat dari fakta tersebut, faktor alam juga sangat mempengaruhi polusi asap, karena pola badai dan angin mampu membawa

55 Krishna Prasad Vadrevu et all, “Analysis of Southeast Asian ollution Episode uring

June 2013 sing Satellite Remote Sensing Datasets”, Environmental Pollution (July, 2014), hlm. 249

(7)

polusi asap dari satu lokasi ke daerah yang lebih luas, bahkan melewati batas-batas Negara56.

Gambar 3. Lintasan Massa Udara dari Lokasi Kebakaran di Provinsi Riau, Indonesia

Massa udara berpindah menuju timur berdampak terhadap tingkat polusi kabut asap di Singapura, Malaysia dan Thailand selatan. Garis Warna menunjukkan paket udara dirilis pada ketinggian yang berbeda (m) di atas permukaan tanah (Hijau-1100 m; biru-1000 m; merah-900 m).

Disisi lain, berdasarkan pemantauan sejumlah titik api (hot spot) mulai sepanjang tahun 2014 khusus bagi wilayah Asia Tenggara terdapat total hotspot sebanyak

56 Jerger, David B. Jr. "Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement

on Transboundary Haze Pollution", Sustainable Development Law & Policy (2014), hlm.35

(8)

130.331 titik. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa total hotspot di Indonesia tercatat 24.898 titik. Sementara itu, untuk periode yang sama, jumlah hotspot yang terjadi di negara ASEAN yang lain menunjukkan jumlah yang jauh lebih tinggi, yaitu: Myanmar 37.926 titik, Thailand 19.120 titik, Kamboja 17.349 titik, Vietnam 13.225 titik, Laos 11.540 titik, Malaysia 4327 titik, dan Filipina 1.946 titik. Untuk Indonesia sendiri hotspot yang berhasil dipantau, yaitu di pulau Kalimantan 15.170 titik dan Sumatra dengan 9.728 titik57

Bahkan, pada tanggal 1 Januari s/d 30 Juli 2015 jumlah titip api di Indonesia tercatat 5.248 titik58. Data tersebut didapat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang melakukan pencatatan secara berkala jumlah titik api di daerah menggunakan dua satelit utama, yaitu Satelit NOAA-18 dan Satelit Terra & Aqua yang secara publik dapat diakses menggunakan aplikasi

57

Lihat, http://www.weather.gov.sg/wip/c/portal/layout?p_l_id=PUB.1003.613 diakses tanggal 5 April 2016

58Anonym, 2015, “Asap dan Residu Hak Asasi: Jauhnya Pertanggungjawaban Negara

untuk Menghukum Perusahaan Pembakar Hutan dan Melindungi Hak-hak Dasar Warga Indonesia”, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, hlm. 3

(9)

SiPongi pada laman daring Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan.

Bahkan, Kebakaran hutan selanjutnya tidak hanya terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatera saja, pada bulan Oktober kondisi Kebakaran hutan semakin mengkhawatirkan yang ditunjukkan pada satelit Terra Aqua, wilayah Pulau Sulawesi dan Papua juga ikut terbakar dengan jumlah 1.545 titik api di seluruh Indonesia. Total 801 titik api di Pulau Sulawesi berasal dari lahan pertanian dan perkebunan. Jumlah sebenarnya sesungguhnya lebih banyak karena satelit tidak mampu menembus pekatnya asap di Sumatera dan Kalimantan59.

Titik api yang semakin meluas dan tidak bisa ditanggulangi oleh pemerintah kemudian menyebabkan meningkat pesatnya luas kebakaran hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan angka 10.531 hektare sebagai luasan lahan dan hutan yang terbakar hingga 20 Oktober 2015. Jika diperhatikan pada Agustus 2015 hingga Oktober 2015 terjadi peningkatan luas Kebakaran hutan mencapai lebih dari 3 kali lipat.

59 ibid

(10)

Panjangnya masa El-Nino pada tahun 2015 juga ikut memperparah kondisi dan sebaran titik api. Fenomena ini memberikan efek pada tingkat intensitas dan frekuensi curah hujan yang semakin berkurang dan mundurnya periode musim penghujan 2015/2016 di beberapa wilayah. Sayangnya ElNino tidak menjadi fenomena yang dianggap cukup serius dimana Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah memprediksi bahwa dalam bulan Juli - November 2015 akan terjadi El Nino moderat sampai kuat menghampiri Indonesia. Ditambah lagi, pemerintah sebenarnya telah mempunyai pengalaman kebakaran hutan yang diperparah oleh El-Nino pada kasus kebakaran tahun 1997.

4.1.2. Penyebab dan Dampak Polusi Asap Lintas batas di Asia Tenggara

Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari pemanfaatan sumber daya alam, khususnya hutan yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, sosial, dan ekonomi tanpa memperhatikan pengelolaan secara berkelanjutan dan memperhatikan hak maupun kearifan

(11)

adat lokal penduduk setempat. Lebih lanjut lagi, deforestasi tersebut secara langsung berimbas kepada kebakaran hutan yang menjadikan Indonesia secara luas dianggap sebagai penyumbang polusi kabut asap terbesar di Asia Tenggara.

Kebakaran di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dari industri perkebunan, hal ini dikarenakan, Indonesia memiliki kondisi yang ideal untuk dijadikan sebagai lahan kelapa sawit dan berbagai tumbuhan tropis yang berharga. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak lahan gambut yang sengaja dibiarkan kering untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit dan lahan lainnya. Lahan gambut yang kering tersebut sangat rentan dan sangat mudah untuk terbakar, dan api yang membakar tersebut tidak hanya berhenti dipermukaan tetapi juga sampai keakar-akarnya 60

Meskipun beberapa kebakaran terjadi sebagai akibat dari sambaran petir di lahan gambut kering, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar kebakaran di Indonesia adalah hasil dari pembabatan dan pembakaran lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa

60 Jerger, David B, op cit, hlm.36

(12)

sawit dan industri lainnya. Metode babat-bakar adalah praktik tradisional yang digunakan untuk membersihkan lahan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Pemilik perkebunan dan petani memilih metode pembakaran ini karena murah, mudah61, dan efektif dengan hanya bermodal korek api mereka mampu membersihkan lahan tersebut. Meskipun banyak petani skala kecil menggunakan metode ini, namun dampak yang mereka hasilkan tidak seberapa apabila dibandingkan dengan dampak yang dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit dan perusahaan lainnya yang menggunakan metode yang sama untuk membersihkan lahan yang akan dijadikan sebagai lahan perkebunan62.

Faktanya, pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan pelarangan penggunaan api untuk membersihkan lahan pada tahun 1995, tetapi larangan ini belum efektif diberlakukan karena banyak faktor, salah satunya adalah fakta bahwa pembukaan lahan dengan metode slash-and-burn diyakini membuat tanah lebih subur.

61 James Cotton, “The "Haze" over Southeast Asia: Challenging the ASEAN Mode of

Regional Engagement”, Pacific Affairs (Autumn, 1999), hlm. 334

(13)

Secara garis besar, Kebakaran hutan di Indonesia terjadi oleh faktor manusia dan alam. Dalam konteks Kebakaran hutan yang terjadi oleh faktor manusia, sumber-sumber dari kebakaran hutan di Indonesia sebenarnya dapat segera ditentukan, tetapi ada perdebatan serius tentang seberapa jauh masing-masing kelompok bertanggung jawab atas kebakaran hutan tersebut. setidaknya faktor-faktor ataupun sumber kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Masyarakat yang berkebun secara tradisional (Traditional Cultivator), investor skala kecil, dan investor skala besar63

Salah satu sumber dari pembakaran hutan yang terjadi di Indonesia adalah masyarakat yang melalukan perkebunan secara tradisional. Beberapa pekebun menetap dan membakar lahan kecil mereka setelah masa panen untuk meremajakan tanah dan membunuh hama dan gulma. disisi lain ada pekebun yang berpindah-pindah, yang mempraktikkan kebiasaan metode tebang dan bakar untuk

63 David Seth Jones, “ASEAN Initiatives to combat Haze pollution: An assessment of

regional cooperation in public policy‐ making”, Asian Journal of Political Science (January, 2008), hlm. 62

(14)

membersihkan hamparan hutan sebagai lahan mereka yang dilakukan dengan sistem rotasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, model perkebunan ini meningkat dikarenakan para pekebun tradisional menjual lahan mereka kepada investor kecil dan investor skala besar, dan kemudian membuka lahan baru dengan metode yang sama. lebih lanjut lagi, pekebun tradisional dan masyarakat adat di kawasan hutan Kalimantan juga bertanggung jawab atas pembakaran hutan yang dilakukan sebagai bentuk protes akibat pengambilalihan lahan dari mereka yang biasa digunakan sebagai lahan berkebun, berburu dan berkumpul.64

Sumber lain dari kebakaran hutan adalah pengembang lahan di Kalimantan, yang bergerak sejalan dengan skema transmigrasi yang diperkenalkan pada tahun 1995 oleh Pemerintahan Soeharto, program transmgrasi tersebut sejalan dengan pembukaan lahan baru melalui pembersihan lahan (deforestasi)65, paling tidak pada masa itu sekitar satu juta hektar lahan gambut di Kalimantan

64 Ibid, hlm. 63

65 Christine Padoch and Nancy L. Peluso, eds., 1996, Borneo in Transition: People,

Forests, Conservation and Developmnent , Kuala Lumpur, Oxford University Press, hlm. 13-40

(15)

Selatan dan Kalimanatan Tengah diubah menjadi lahan persawahan produktif dan kebanyakan dari petani migran ini berasal dari wilayah yang padat penduduk dan kekurangan lahan66

Pembakaran hutan yang menghasilkan polusi asap telah mengakibatkan dampak yang berbahaya, dampak-dampak tersebut telah banyak di dokumentasikan baik oleh organisasi lingkungan dan kesehatan internasional. Bahaya yang diakibatkan pembakaran hutan tidak hanya berdampak pada daerah yang terkena kebakaran saja, tetapi juga ke daerah-daerah lain yang terjangkau kabut asap tersebut.

Dampak yang dihasilkan oleh kebakaran hutan tidak hanya sebatas kerusakan lingkungan, tetapi juga dampak-dampak lanjutan yang secara tidak langsung berimbas kepada ekonomi, pariwisata dan sebagainya. Secara garis besar, dampak polusi asap ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian:

66 ibid

(16)

4.1.2.1. Kerusakan Lingkungan

Dampak yang paling jelas dihasilkan oleh Kebakaran hutan dan polusi asap adalah berkurangnya jumlah hutan. Deforestasi juga akan menimbulkan dampak buruk lingkungan lainnya, termasuk erosi, polusi air, penggurunan, pemanasan global dan perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam seperti banjir, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati. Dalam kontek keanakeragaman hayati, sekitar setengah spesies yang dikenal di dunia terdapat di hutan tropis, Bahkan, hutan hujan Indonesia telah diakui sebagai tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna. Perusakan vegetasi dan habitat melalui pembakaran hutan dapat mengancam kelangsungan hidup mereka, dan mendorong flora dan fauna tersebut menuju kepunahan.

Secara spesifik, Lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar pada tahun 2015 – 4,5 kali lebih luas dari Pulau

(17)

Bali. Dampak pada wilayah yang terbakar termasuk hilangnya kayu atau produk non-kayu, serta sebagai habitat satwa. Meski belum dianalisa secara penuh, kerugian lingkungan terkait keanekaragaman hayati diperkirakan bernilai sekitar 295 juta Dollar Amerika pada tahun 2015. Dampak jangka panjang terhadap kehidupan alam bebas dan biodiversitas belum sepenuhnya dikaji. Ribuan hektar habitat orangutan dan hewan yang hampir punah lainnya pun ikut hancur.

Pada tingkat global, kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca. Pada bulan Oktober 2015, emisi per hari kebakaran hutan di Indonesia melebihi emisi perekonomian Amerika Serikat, atau lebih dari 15,95 juta ton emisi CO2 (karbondioksida) per hari. Jika Indonesia bisa menghentikan kebakaran, Indonesia dapat mencapai target

(18)

penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030.67

4.1.2.2. Ketegangan Politik dan Hubungan Luar Negeri Masalah kabut asap telah menyebabkan ketegangan politik antara Indonesia dan negara-negara tetangganya seperti Malaysia dan Singapura. Sebagai contoh, sementara Malaysia dan Singapura berusaha membantu Indonesia menangani masalah kebakaran hutan, Indonesia dalam waktu bersamaan juga dikecam karena sikap yang ditunjukkan oleh Agung Laksono selaku Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang memberikan kritikan pedas kepada pemerintah Singapura yang dianggapnya bersikap kekanak-kanakan68 dalam menghadapi masalah kabut asap pada tahun 2013. Lain hal dengan menterinya, Presiden Susilo Bambang

67 Anonim, Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia, 4 Februari, diakses dari:

http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis, jam 15.39 WIB

68 Egidius Panistik, 4 Februari 2016, Agung Laksono: Singapura Berlaku Anak Kecil

terkait Asap,

http://internasional.kompas.com/read/2013/06/20/1427567/Agung.Laksono.Singapura.Be rlaku.seperti.Anak.Kecil.Terkait.Asap, jam 16.02 WIB

(19)

Yudhoyono ketika itu mengucapkan permintaan maafnya kepada Malasysia dan Singapura terkait dengan polusi asap yang dihasilkan oleh Indonesia69, dengan janji untuk segera menyelesaikan masalah Kebakaran hutan tersebut, diharapkan hubungan antara Negara anggota ASEAN tetap terjaga.

4.1.2.3. Masalah Kesehatan

Dampak yang paling serius dari Kebakaran hutan dan polusi asap adalah terkait dengan kesehatan, Dampak terhadap kesehatan manusia timbul karena zat-zat kimia tertentu masuk ke dalam tubuh manusia, baik yang berasal dari air yang diminum telah tercemar, makanan yang sudah terkontaminasi zat pencemar, maupun udara yang dihirup sudah tidak layak lagi. di tahun 1997 dan 1998 saja ada sekitar 7,5 juta orang di enam negara Asia Tenggara yang melibatkan Indonesia, Singapura,

69 Anonim, 4 Februari 2016, SBY Minta Maaf kepada Singapura dan Malaysia soal

Kabut Asap, diakses dari: http://news.detik.com/berita/2282960/sby-minta-maaf-kepada-singapura-dan-malaysia-soal-kabut-asap, jam 16.35 WIB

(20)

Thailand, Brunei, Filipina dan Malaysia yang terkena dampak polusi asap70, dan secara langsung maupun tidak langsung mereka akan menghirup asap yang mengandung tembaga dan krom yang apabila dihirup dapat meningkatkan resiko terkena kanker71.

Kualitas udara di desa-desa di sekitar kebakaran lahan seringkali melampaui angka 1.000 pada Indeks Standar Polutan (PSI). Angka ini lebih dari tiga kali lipat tingkat berbahaya. Racun yang dibawa oleh asap menyebabkan gangguan pernafasan, mata dan kulit, serta terutama sangat berbahaya bagi balita dan kaum lanjut usia; udara yang beracun tersebut mengandung karbondioksida, sianida dan amonium. Dampak jangka panjangnya untuk kesehatan belum sepenuhnya diketahui namaun diperkirakan akan sangat signifikan. Ketika asap

70

Wan Fairus Wan Yacob et all, “The Impact of Haze on the Adolescent's Acute Respiratory Disease: A Single Snstitution Study”, Journal of Acute Disease (Januari, 2016), hlm.27

71 Betha, R et all, “Chemical speciation of trace metals emitted from Indonesian peat

(21)

menyebar, kegiatan perdagangan dan sekolah di wilayah terpaksa dihentikan. Hal ini melumpuhkan bagi banyak keluarga berpenghasilan rendah dan membahayakan mereka untuk jatuh miskin. Sekitar 5 juta siswa kehilangan waktu belajar akibat penutupan sekolah pada tahun 201572.

Lebih lanjut lagi, orang yang tinggal atau bekerja di daerah yang terkena kabut asap sangat rentan terhadap risiko kesehatan, bahkan di luar Indonesia, dampak kesehatan dari kabut asap sangat dirasakan. Misalnya, di Singapura saja, pada tahun 1997, polusi asap telah mengakibatkan peningkatan penderita penyakit pernapasan sejumlah 12% dan asma sebanyak 19%. Selama periode yang sama di Malaysia, jumlah pasien gangguan pernapasan meningkat dari 250 per hari menjadi 800 per hari, dan jumlah ini berpotensi meningkat setiap tahunnya,

72Anonim, Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia, 4 Februari,

http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis, 15.39

(22)

dikarenakan kebakaran hutan terus terjadi meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda.73 Lebih lanjut lagi, masalah polusi asap ini sudah mengakibatkan adanya korban jiwa, seperti data yang dihimpun oleh Kontras (Gambar 3).

Tabel 2: Korban Jiwa Bencana Asap 201574 No Nama Usia Provinsi Tanggal Wafat Sebab Keterangan

1 Dimas Aditya Putra

2 tahun Jambi 9 September 2015 Asap menggumpal di punggung Tidak mendapatkan perawatan rumah sakit

2 Wahyuni 15 tahun Jambi 11 September 2015 Lendir pada paru-paru Siswa SMPN 5 Kota Jambi 3 Ramadha ni Luthfi Aerli

9 tahun Riau 21 Oktober 2015 Gumpalan asap pada paru-paru Siswa kelas 3 MIN Pekanbaru 4 Muhanu m Aggriawa ti

12 tahun Riau 10 Oktober 2015 Gagal pernapasan akibat paru-paru disesaki lender Siswi kelas 6 SDN 171 Kulim Kec. Tanayan Raya 5 Nabila Julia Rahmada ni

15 bulan Jambi 29 September 2015 Banyak terdapat dahak di dalam tubuh Tidak mendapat perawatan medis yang mencukupi 6 Ardian 6 tahun Riau 19 oktober

2015 Ada cairan hitam dari paru-paru Keterangan dokter akibat paparan asap 7 M Husen Saputra 28 hari Sumatera Selatan 6 Oktober 2015 Divonis dokter menderita ISPA Masih ada saudara korban yang menderita ISPA

73 Md Saidul Islam et all, “Trans-Boundary Haze Pollution in Southeast Asia:

Sustainability through Plural Environmental Governance”, Sustainability (2016), hlm. 7

(23)

8 Salsabila Nadifa 3 bulan Sumatera barat 21 Oktober 2015 Diduga akibat terpapar asap Mendapat sanggahan dari pihak RSUD Lubuk sikaping 9 Rizal Ahmadan i 9 tahun Kalimant an Selatan 16 Oktober 2015 Luka di bagian kepala atas alis kiri akibat terganggu jarak pandang 10 Intan 9 tahun Kalimant

an Tengah 14 September 2015 Mengalami sesak napas hebat hingga sulit berbicara Siswi SDN 3 Baamang Tengah 11 Agustinus 1 bulan 3 hari Kalimant an Barat 14 Oktober 2015 Kesulitan bernafas karena banyak lender Diduga menderita ISPA 12 Fahmi Ammar 1 tahun Kalimant an Utara 21 Oktober 2015 Kesulitan bernapas dan paru-paru dipenuhi dahak akibat asap Korban juga menderita asma 13 Ratu Anggraini 45 hari Kalimant an Tengah 3 Oktober 2015 Dehidrasi hingga syok akibat diare Diduga akibat terlalu banyak menghirup asap 14 Darent Saputra 18 bulan Sumatera Selatan 13 Oktober 2015 Menderita sesak napas selama hampir 2 jam Diduga akibat menghirup kabut asap 15 Arika Patina Ramadha ni 15 bulan Sumatera Selatan 12 Oktober 2015 Akibat terlalu banyak menghirup asap Diduga menderita ISPA Kategori Dewasa

(24)

16 Nortop edi 77 tahun Kalimanta n Tengah 4 oktober 2015 Lemas setelah banyak menghirup asap Kebakaran Korban juga menderita luka bakar 17 Kamas hi 35 tahun Kalimanta n barat 9 September 2015 Kesulitan bernapas akibat terlalu banyak menghirup asap Penderita Asma 18 Laine m 45 tahun

Riau 21 Juni 2015 Kesulitan bernapas akibat terlalu banyak menghirup asap Ditemukan di ladang milik korban 19 Yunarl is 65 tahun

Riau 23 Juli 2015 Tidak sadarkan diri akibat kesulitan bernapas Korban tewas terpanggang 20 Muha mmad Iqbal Hali 31 tahun Riau 5 Oktober 2015 Kesulitan bernapas akibat terlalu banyak menghirup asap Korban merupakan anggota pns dan menderita asma 21 Sardi Ramad oni 19 tahun Riau 18 September 2015 Korban tewas di lokasi akibat jarak pandang yang terbatas Korban merupakan mahasiswa

(25)

Data yang ditemukan oleh Kontras diatas, hanya sedikit dari jumlah korban jiwa akibat polusi asap, dikarenakan data tersbut hanya sebagian kecil dari banyak jumlah korban jiwa yang belum diketahui lainnya.

4.1.2.4. Kerugian Ekonomi

Kebakaran hutan dan polusi asap yang menimbulkan resiko kesehatan dapat mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya adalah menghambat produktivitas ekonomi di negara-negara Asia Tenggara yang terkena dampak. Perkiraan awal dari kerugian ekonomi untuk Indonesia akibat kebakaran hutan tahun ini melampaui $16 milyar. Jumlah ini dua kali lebih besar dari kerugian dan kerusakan akibat tsunami tahun 2004 di Aceh, setara dengan 1.8% Produk Domestik Brutto (PDB).

Estimasi ini mencakup kerugian pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor-sektor lainnya. Sebagian dari kerugian itu akibat kerusakan dan

(26)

kerugian langsung terhadap hasil panen, kehutanan, perumahan dan infrastruktur, dan biaya yang ditimbulkan untuk menangani api. Banyak kerugian ekonomi disebabkan dampak tidak langsung, seperti terganggunya perjalanan udara, laut dan darat akibat asap. Dampak pada pertumbuhan PDB lokal diperkirakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan di wilayah-wilayah yang paling parah, seperti Kalimantan Tengah75.

Sedangkan, Singapura sebagai Negara yang tercemar asap menderita kerugian ekonomi yang sangat signifikan. Pasalnya banyaknya jumlah warga yang sakit akibat polusi asap berbanding lurus dengan jumlah biaya yang mereka harus keluarkan, ditambah lagi menurunnya produktivitas ekonomi yang diakibatkan ketidakhadiran ketika bekerja. Dampak yang lebih serius adalah penuruan

(27)

pendapatan pariwisata di negara-negara tercemar, hal ini diakibatkan matinya roda kehidupan selama polusi asap berlangusng, sekolah, bisnis dan bahkan penerbanganpun dihentikan. Sebagai contoh (Gambar 6).

Tabel 3: Kerugian Ekonomi Singapura Akibat Polusi Asap 199776

Pada tahun 1977, kerugian singapura akibat kabut asap berkisar antara 163,5- 286.2 Juta Dollar Amerika. kerugian terbesar terjadi di sektor pariwisata, sebesar 136,6- 210.5 Juta Dollar Amerika. Sektor hiburan mengalami kerugian sebesar 23,2-71.2 Juta Dollar Amerika dikarenakan buruknya jarak pandang ketika terjadi polusi asap. kerugian kesehatan sebesar 3,8-4,5 juta Dollar Amerika. Ditambah lagi dari

76 Md Saidul Islam et all, op cit, hlm. 8

(28)

sektor bisnis, terutama bisnis ritel dan perdagangan makanan dan minuman yang kemudian menyebabkan pneduduk sekitar tidak keluar dari rumah mereka dan memilih menetap selama polusi asap berlangsung. Jumlah ini dihitung ketika polusi asap terjadi pada Tahun 1997, dan potensi kerugian semakin meningkat tiap tahunnya.

4.1.3. Penjelasan Umum ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution dan Peratifikasian oleh Indonesia

ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan stabilitas keamanan, ekonomi, sosial, politik dan hubungan diantara sesama anggotanya. Sejak ditandatanganinya deklarasi Bangkok atau deklarasi ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Malaysia dan para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Filipina, Singapura dan Thailand.

(29)

ASEAN lahir sebagai sebuah organisasi regional yang mengusung tema kepercayaan dan meningkatkan kerjasama dalam pembangunan bersama masyarakat ASEAN dalam berbagai aspek kerjasama yang meliputi aspek ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.

Seiring dengan perkembangan konstelasi internasional, ASEAN mengalami perkembangan pesat. Pada awal berdirinya, ASEAN menaruh perhatian yang besar untuk membangun rasa saling percaya (confidence

building measures), itikad baik dan mengembangkan asas

untuk bekerjasama secara terbuka diantara sesama anggotanya. Kini dengan segala kematangan dan pencapaian yang telah diraih, kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh ASEAN mulai menyentuh kerjasama di bidang-bidang yang sebelumnya dianggap sensitif.

Setelah peristiwa terbakarnya lahan dan hutan pada 1997, para Menteri Lingkugan Hidup negara-negara ASEAN menyusun rencana regional untuk mengatasi masalah kebakaran hutan tersebut. Rencana Aksi Regional (Regional Action Plan) ini dibagi menjadi tiga bagian.

(30)

Bagian pertama yang mengharuskan negara-negara anggota untuk menyusun rencana nasional mereka, dan untuk menunjukkan langkah-langkah khusus mereka yang "harus ada" untuk memantau, mencegah, menghalangi, dan mengurangi pembakaran hutan77, yang kemudian menjadi cikal bakal dari ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution.

ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution adalah bentuk insiatif dan upaya dari ASEAN

untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional dan sub-regional secara terkoordinir yang berupa kesepakatan negara anggota ASEAN untuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas. Perjanjian polusi asap lintas batas ini ditandatangani sejak tahun 2002 dan berlaku sejak tahun 2003 setelah enam negara meratifikasi yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar dan Singapura.

77 Ayyappan Palanissamy, “Haze Free Air in Singapore and Malaysia-The Spirit of the

Law in Southeast Asia”, International Journal of Education and Research (Agustus, 2013)

(31)

Pencemaran lingkungan lintas batas yang disebabkan oleh kabut asap memberikan dampak yang serius terhadap keselamatan dan keamanan warga negara dan kepentingan setiap negara yang tercemar. Oleh karena itu, Negara anggota ASEAN menyadari untuk memperkuat kebijakan nasional dan strategi sebagai bentuk upaya serta kebutuhan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tentunya akan memberikan dampak terciptanya kabut dan asap.

Permasalahan pencemaran lingkungan lintas batas yang disebabkan oleh kabut dan asap ke beberapa negara anggota, menjadi fokus dari beberapa instrumen lingkungan ASEAN. Maka, ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution (ACPTP) pada tahun 1995,

menganggap serta menjadikan Polusi atau pencemaran yang disebabkan oleh Asap Lintas Batas sebagai salah satu perhatian umum ASEAN yang harus ditangani secara bersama.

Pada tanggal 10 Juni 2002, masing-masing perwakilan Menteri Lingkungan Hidup dari tiap negara anggota ASEAN menandatangani ASEAN Agreement on

(32)

Transboundary Haze Pollution di Kuala Lupur, Malaysia. ASEAN Agreement Tranboundary Haze Pollution mulai

berlaku pada hari ke-60 setelah negara anggota meratifikasi, menerima serta menyetujiu perjanjian tersebut.78 Namun Indonesia baru meratifikasi Agreement

Tranboundary Haze Pollution pada tahun 2015.

Adapun pengertian perjanjian Internasional terdapat dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan demikian, perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan – ketentuan yang mempunyai akibat hukum.

Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis yang dibuat dengan wajar menimbulkan kewajiban – kewajiban yang mengikat bagi negara- negara peserta(para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium

(33)

Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara –negara untuk melaksanakan dengan itikad baik kewajiban – kewajibannya.79

Pada dasarnya, AATHP terdiri dari 32 pasal, dan berikut akan dibahas bagian-bagian terpenting dari kesepakatan tersebut yang memiliki pengaruh terhadap Indonesia.

4.1.3.1. Pasal 2: Tujuan

Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk mencegah dan memonitor transboundary haze

pollution yang diakibatkan oleh kebakaran hutan

yang sebaiknya dilakukan dengan upaya-upaya nasional dan dengan kerjasama regional dan internasional.

4.1.3.2. Pasal 3 : Prinsip

4.1.3.2.1. Prinsip tanggung jawab Negara 4.1.3.2.2. Prinsip pencegahan

4.1.3.2.3. Prinsip precautionary.

4.1.3.2.4. Prinsip pembangunan yang aman

(34)

4.1.3.2.5. Prinsip kerjasama dengan semua pihak termasuk masyarakat lokal, NGO, petani dan perusahaan swasta 4.1.3.3. Pasal 4 : Kewajiban Umum

4.1.3.3.1. Bekerjasama dalam upaya pencegahan polusi udara lintas batas akibat kebakaran hutan termasuk didalamnya pengembangan upaya monitor, adanya sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan teknologi dan saling memberi bantuan,

4.1.3.3.2. Ketika terjadi transboundary haze

pollution dari suatu negara, segera

merespon dan menginformasikan negara atau negara-negara yang terkena atau akan terkena polusi udara tersebut untuk meminimalisir akibatnya.

(35)

4.1.3.3.3. Melakukan upaya legislatif dan administratif untuk melaksanakan kewajiban dalam kesepakan ini.80 4.1.3.4. Pasal 5: adanya ASEAN center yang dibuat

untuk memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar pihak dalam mengelola dampak polusiasap. Ketika suatu negara menyatakan keadaan darurat, dapat meminta bantuan kepada ASEAN center. 4.1.3.5. Pasal 16: Kerjasama secara teknis dan penelitian

termasuk pertukaran informasi, para ahli, teknologi dan alat. Memberikan pelatihan, pendidikan dan kampanye pengembangan kesadaran tentang dampak polusi udara terhadap kesehatan dan lingkungan.

4.1.3.6. Pasal 27 : Penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi

(36)

Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara – Negara dalam bentuk tertulis. Hasil studi menyimpulkan bahwa terdapat 7 (tujuh) bentuk implikasi kelembagaan atas AATHP sebagai berikut 81:

4.1.3.1. AATHP berimplikasi terhadap peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peralatan dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui mekanisme perbantuan dan kerjasama teknis;

4.1.3.2. AATHP berimplikasi terhadap perbaikan pengelolaaan informasi dan data kebakaran hutan dan lahan yang lebih efektif di Indonesia melalui mekanisme pemantauan, pelaporan dan komunikasi dengan ASEAN Centre;

4.1.3.3. AATHP berimplikasi terhadap kejelasan tugas dan fungsi institusi dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia melalui penunjukan dan pembentukan NFP

81 Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum

(37)

(National Focal Point), NMC (National

Monitoring Centre) and CA (Competent

Authorities);

4.1.3.4. AATHP berimplikasi dalam memacu pembuatan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia;

4.1.3.5. AATHP berimplikasi terhadap pembangunan ASEAN Centre yang dapat memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar para Pihak dalam upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia;

4.1.3.6. AATHP berimplikasi terhadap peningkatan pengembangan penerapan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di Indonesia melalui adanya penjaminan bahwa langkah legislatif, administratif dan langkah relevan lainnya akan diambil untuk mencegah pembukaan lahan dengan membakar serta adanya kerjasama teknis antar para Pihak untuk lebih mempromosikan PLTB; dan

(38)

4.1.3.7. AATHP berimplikasi dalam memacu alokasi dana yang lebih memadai dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Dilain sisi, Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke Negara-negara ASEAN justru merupakan negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut (Gambar 7)

Tabel 4: Negara-negara Peratifikasi AATHP82

(39)

Menurut beberapa pihak, isu politik di Indonesia menjadi salah satu hambatan untuk proses ratifikasi, hal ini didasarkan bahwa, ketika ratifikasi dilakukan akan mengakibatkan banyak kewajiban yang ditekankan oleh Negara-negara anggote kepada Indonesia.83

Selain itu, melalui upaya penanggulangan dengan merupakan perwujudan solidaritas ASEAN, Indonesia akan didesak secara perlahan untuk bersikap lebih tegas dalam penegakan hukumnya, bila meratifikasi AATHP tersebut. Memang dalam perjanjian itu tidak secara tegas dijelaskan hukuman apa yang bakal dijatuhkan kepada Indonesia jika hutannya terus terbakar dan melakukan ekspor asap. Tetapi dengan perjanjian tersebut, selain Indonesia mendapat bantuan teknis, negara ini juga bakal mendapatkan tekanan politis dari negara negara tetangga untuk lebih serius terhadap masalah kebakaran hutan tersebut.

Lambatnya respon yang diambil oleh pemerintah Indonesia terkait dengan ratifikasi AATHP ini maka pada tanggal 5 Agustus 2014 lalu, parlemen Singapura mengesahkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act

83 Jerger, David B, op cit, hlm.42

(40)

2014 (No. 24 of 2014) yang kemudian disingkat STHP.

Melalui aturan ini, pemerintah Singapura mampu untuk menuntut individu ataupun perusahaan di Negara tetangga yang menyebabkan polusi asap yang berdampak kepada Singapura84. Menanggapi hal tersebut, Prof. Sigit Riyanto85 beranggapan bahwa, dengan diterapkannya aturan tersebut, singapura berupaya untuk menerapkan extraterritorial

jurisdiction atau keadaan dimana suatu Negara dapat

menerapkan yurisdiknya di wilayah negera lain. Lebih lanjut lagi, Prof. Sigit menambahkan bahwa secara teoritis aturan tersebut sangat mungkin untuk tetap ada, namun secara praktis banyak kajian dan pengalaman yang menunjukkan bahwa penerapan extraterritorial jurisdiction akan menemui beberapa kendala, apalagi hubungannya dengan pencemaran asap di wilayah Asia Tenggara. Dilain sisi, pengesahan THPA oleh Singapura adalah bagian dari

84

Anonim, Singapore Passes Trans-Boundary Haze Act, 8 Februari, http://www.thejakartapost.com/news/2014/08/07/singapore-passes-trans-boundary-haze-act.html, 14.45

85 Professor Sigit Riyanto adalah Guru Besar dan Pakar Hukum Internasional dari

(41)

upayanya untuk “menggertak” Indonesia yang ketika itu belum meratifikasi AATHP.86

Namun, disisi lain salah satu kasus yang terkenal mengenai penerapan yurisdiksi ekstrateritorial ini adalah

Lotus Case, pada 2 Agustus 1926 terjadi tabrakan antara SS

Lotus (kebangsaan Prancis) dengan SS Boz Kourt (kebangsaan Turki) di daerah utara Perairan Yunani. Sebagai akibat dari kecelakaan itu, delapan warga Turki didalam SS Bozkourt tenggelam ketika kapal itu ditabrak oleh Kapal Lotus. M. Demons (kapten SS Bozkourt) ditahan dan diadili oleh Turki dengan alasan telah melakukan tindakan kejahatan pidana pembunuhan yang menimbulkan korban dan menyebabkan kerugian terhadap kapal tambang Turki. Dalam putusannya, Permanent Court

of International Justice (PCIJ) menegaskan bahwa tindakan

yang dilakukan Turki adalah benar sesuai dengan yurisdiksi negaranya. Tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindakan pidana yang terjadi diluar

86 Wawancara dilakukan di Gedung IV, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

(42)

negeri dan merugikan negara tersebut87. Merujuk pada kasus diatas, jelas kiranya bahwa hukum nasional tetap bisa diterapkan sepanjang tidak ada hukum kebiasaan yang melarangnya.

4.2 Kebijakan ASEAN dan Pemerintah Indonesia terhadap Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara

4.2.1 Tantangan Pengaturan Pencemaran Asap Lintas Batas Malaysia dan Singapura telah berhasil menghilangkan polusi asap yang diakibatkan pembakaran terbuka dan mengendalikan sumber polusi udara lainnya hal tersebut bisa dicapai dikarenakan pemerintah Malaysia dan Singapura meberikan perhatian penuh dalam upaya penanggulan masalah lingkungan yang mengancam kesehatan dan keamanan88. Sedangkan, Indonesia masih menghadapi banyak masalah dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan polusi asap, yang dikarenakan beberapa faktor:

87 https://en.wikipedia.org/wiki/Lotus_case 88 Judith Mayer, op cit, hlm. 217

(43)

4.2.1.1. Kapasitas Institusi

Seperti yang kita tahu bahwa, terus berlangsungnya bencana asap salah satunya disebabkan oleh terbatasnya kewenangan ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, terbatasnya kewenangan tersebut dibarengi juga dengan kurangnya inisiatif Indonesia dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan tersebut. Kendala utama yang dihadapi adalah kurang tanggapnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyikapi potensi kebakaran lahan, bahkan ketika kebakaran terjadi pemerintah terkesan lamban dalam menangani meluasnya kebakaran hutan.

Faktanya, sejak tahun 1985 sudah ada puluhan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hutan, sayangnya peraturan tersebut belum terlaksana dengan baik dengan melihat fakta bahwa kebakaran hutan dan polusi asap masih terjadi sampai sekarang ini. Hal ini terjadi salah satu sebabnya dikarenakan

(44)

tidak adanya kapasitas kelembagaan yang menangani masalah kebakaran hutan secara khusus. Kapasitas kelembagaan dalam konteks ini mengacu pada berbagai hal, yaitu tujuan yang jelas, peran dan tanggung jawab, perencanaan yang efektif, struktur manajemen yang tepat, tenaga kerja dan dana yang memadai, pengetahuan tentang pengelolaan hutan dan perlindungan, peraturan dan prosedur operasional yang relevan, sumber daya fisik yang diperlukan seperti peralatan pemadam kebakaran. Padahal hal tersebut sangat dibutuhkan dalam upaya penanggulangan masalah kebakaran hutan di Indonesia89. Hal tersebut menggambarkan adanya kelemahan dari model command and control di Indonesia dalam upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan di Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan tidak adanya konsistensi dari substansi yang terdapat dalam

89 David Seth Jones, “ASEAN and transboundary haze pollution in Southeast Asia”,

(45)

suatu sistem hukum90, sebagaimana yang disampaikan Lawrence M. Friedman suatu sistem hukum dapat berjalan optimal apabila ditunjang oleh Struktur, Substansi dan Budaya Hukum di dalamnya. Substansi diartikan sebagai aturan, norma dan pola perilaku nyata dalam sebuah sistem hukum.91

4.2.1.2. Kurangnya Koordinasi dan Desentralisasi

Faktor lain yang menghambat penanganan masalah kebakaran hutan adalah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintahan. Adanya kebijakan megenai otonomi daerah yang terus menyebabkan terjadinya benturan kebijakan antar pemeritah pusat dan daerah telah mengakibatkan masalah serius terkait koordinasi, hal ini dikarenakan kecenderungan setiap lembaga memiliki agenda yang berbeda dan bahkan kebijakannya terkadang saling berbenturan92. Hal

90

Deni Bram, “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Transnasional”, Jurnal Hukum (April, 2011), hlm. 207

91 Lawrence M Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tatanusa, Jakarta, 2001,

hlm. 7

(46)

tersebut menyebabkan masalah dalam upaya penanganan pengendalian polusi asap di Asia Tenggara.

4.2.1.3. Kendala Tenaga Kerja dan Luasnya Wilayah Indonesia

Kendala lain yang dihadapi dalam pengendalian kebakaran hutan adalah kurangnya jumlah personil yang dipekerjakan dalam sektor kehutanan apalagi terkait perlindungan dan pengendalian kebakaran hutan93. Hal ini berbanding terbalik dengan ukuran dan geografi Indonesia yang menyulitkan pemerintah untuk secara memadai mencegah kebakaran hutan. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau, 6.000 di antaranya adalah pulau berpenghuni. Geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas ditambah dengan kurangnya infrastruktur

93 Ibid

(47)

menyebabkan keterlambatan respon pemerintah dalam menangani kebakaran hutan.94

4.2.1.4. Lemahnya Penegakan Hukum

Lemahnya penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atas Kebakaran hutan polusi asap, disinyalir menjadi salah satu faktor tetap berlangsungnya deforestasi hutan saat ini95. Seperti yang kita tahu, tujuan dari pemberian sanksi itu sendiri adalah sebagai upaya pencegahan perbuatan buruk dan menghukum pelakunya96. Pemberian sanksi ini selanjutnya diharapkan mampu memberikan efek jera, bentuk sanksinya pun dapat berbeda-beda diantaranya adalah sanksi administratif seperti pencabutan izin dan sanksi pidana97

94

Jerger, David B. Jr., op cit, hlm.37

95 Anonim, Kabut Asap Timbul Karena Lemahnya Penegakan Hukum, 9 Februari,

http://sp.beritasatu.com/home/kabut-asap-timbul-karena-lemahnya-penegakan-hukum/61524, 21.56

96

Samaha, Joel, 1999, Criminal Law: 6th Edition, United States, Wadsworth Publishing Company, hlm.3

97 M. Sidik Permana, Kebakaran Hutan Menteri Siti Akui Lemahnya Penegakan Hukum,

9 Februari, https://m.tempo.co/read/news/2015/09/14/063700536/kebakaran-hutan-menteri-siti-akui-lemahnya-penegakan-hukum, 21.34

(48)

4.2.2 Kebijakan Indonesia terhadap Pencemaran Asap Lintas Batas

Dalam upaya pengendalaian kebakaran hutan, pemerintah Indonesia telah melakukan pelarangan penggunaan api untuk membersihkan lahan pada tahun 1995, bahkan aru-baru ini, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan Indonesian Sustainable Palm Oil98

Schme, yang mempertegas pelarangan penggunaan api

dalam pembangunan perkebunan, dan wajib bagi semua perusahaan kelapa sawit di Indonesia pada akhir tahun 2014.

Dilain pihak, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan telah melakukan beberapa upaya pengendalian kebakaran hutan, diantaranya: menyebarkan peta kebakaran hutan di tingkat provinsi yang rawan; mendesak Gubernur di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi agar siap menghadapi kebakaran lahan dan hutan pada tahun 2014 dan upaya untuk mengantisipasi El Nino; dan melakukan

98

Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.

(49)

simulasi, bimbingan teknis dan patroli pemadam kebakaran hutan di provinsi rawan kebakaran99.

Dalam konteks peraturan perundang-undangan, beberapa langkah telah diambil oleh pemerintah Indonesia diantaranya adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang memberlakukan denda maksimal Rp 10 miliar dan sampai sepuluh tahun penjara bagi individu atau perusahaan terlibat dalam kegiatan pembakaran lahan.

Dalam kasus penegakan hukum telah terjadi peningkatan upaya hukum yang diambil untuk mengurangi jumlah pelanggaran kebakaran hutan. Dalam laporan KLH, pada 2012 ada dua kasus yang telah ditangani, yaitu PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur. Sementara pada tahun 2013, ada 7 file kasus pidana yang telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan satu file kasus perdata yang masih dalam proses penyusunan

99 Teddy Prasetiawan, Implikasi Ratifikasi AATHP Terhadap Pengendalian Kebakaran

Hutan dan Lahan di Indonesia, Info Singkat, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, Vol. VI, 2014

(50)

gugatan.100 Sejak 2013 sampai sekarang, polisi telah melakukan 41 penuntutan terhadap pelaku, terutama untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dari 41 penuntutan, 25 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan bahkan sudah dihukum mulai dari 8 bulan sampai 8 tahun.

Dari sisi pelaksanaan teknis yang diamanatkan oleh

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution

(AATHP), pemerintah Indonesia telah melakukan serangkaian kegiatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan antara lain101:

4.2.2.1. Melakukan kegiatan sosialisasi AATHP dan peningkatan kapasitas secara masif dan berkelanjutan kepada kementerian/lembaga terkait, kalangan dunia usaha, masyarakat, LSM, dan pemerintah daerah di daerah rawan kebakaran lahan dan/atau hutan.

4.2.2.2. Melakukan koordinasi baik antar-kementerian/lembaga, pemerintah daerah

100 Anonim, KLH Selidiki 29 Kasus Kebakaran Hutan,, 1 Maret,

http://news.okezone.com/read/2014/08/07/337/1021369/klh-selidiki-29-kasus-kebakaran-hutan-di-riau, 12.44

101

http://www.menlh.go.id/indonesia-meratifikasi-undang-undang-tentang-pengesahan- asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution-persetujuan-asean-tentang-pencemaran-asap-lintas-batas/

(51)

maupun dengan masyarakat yang didasarkan pada Indonesia Comprehensive Plan of Action on

Transboundary Haze Pollution seperti:

4.2.2.2.1. pemetaan daerah rawan kebakaran lahan dan/atau hutan;

4.2.2.2.2. penguatan data dan informasi terkait dengan hot-spot, persebaran asap, pemetaan daerah terbakar, fire danger rating system (FDRS), pengembangan SOP dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan, dan pengelolaan lahan gambut. Bahkan LAPAN telah memberikan pelatihan kepada Malaysia dalam pengembangan FDRS melalui sistem remote sensing;

4.2.2.2.3. penguatan dan peningkatan kapasitas masyarakat peduli api yang dilakukan melalui sosialisasi,

(52)

kegiatan pencegahan dini maupun pelatihan;

4.2.2.2.4. penanggulangan bencana asap yang terkoordinir dalam rangka tanggap darurat bencana, antara lain melalui gelar pasukan pemadaman api, operasi modifikasi cuaca, dll;

4.2.2.2.5. Melakukan penegakan hukum (pidana dan perdata) terhadap pelaku (individu dan korporasi) pembakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap lintas batas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Penegakan hukum pidana dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi oleh PPNS KLH bersama-sama Penyidik POLRI maupun melalui mekanisme multi-doors (kerja sama UKP4, Kehutanan, Kejaksaan, KPK, POLRI, dan KLH). Penegakan

(53)

hukum perdata dilakukan melalui gugatan ganti kerugian untuk pemulihan kualitas lingkungan terhadap pelaku pembakaran lahan dan/atau hutan.

4.2.2.2.6. Memperkuat kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero

burning policy) dan pencegahan dan

penanggulangan kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap lintas batas.

Upaya penguatan Kebijakan Indonesia tidak hanya berjalan di level nasional saja, Jambi sebagai salah satu daerah rawan Kebakaran hutan telah melakukan kerjasama dengan Singapura sebagai upaya pencegahan Kebakaran hutan dan polusi asap. Selama rentang waktu dua tahun, para petugas provinsi Jambi bekerja erat dengan tim proyek Singapura untuk memastikan keberhasilan implementasi Program Kerja sesuai dengan Master Plan. Selain itu,

(54)

Singapura menyediakan sejumlah S$1 juta untuk mengimplementasikan Program Kerja yang dipilih sesuai dukungan teknisnya kepada Indonesia. Tujuh Program Kerja yang dipilih tersebut adalah sebagai berikut102:

4.2.2.1. Lokakarya untuk mengembangkan kapasitas para petugas Jambi menganalisa dan membaca gambar satelit untuk informasi dan titik panas; 4.2.2.2. Lokakarya sosialisasi mengenai pertanian

berkelanjutan dan praktek tanpa bakar;

4.2.2.3. Pembinaan peta pemanfaatan lahan bagi Kabupaten Muaro Jambi;

4.2.2.4. Pemasangan Sistem Informasi Geografi (Geographical Information System atau GIS) untuk membantu pemantauan dan penilaian kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap.; 4.2.2.5. Membangun stasiun-stasiun pemantauan kualitas

udara dan cuaca termasuk pengembangan Sistem

102 Anonym, 2009, Kerjasama Indonesia-Singapura di Provinsi Jambi Untuk Menangani

(55)

Pengukuran indeks Kebakaran (Fire Danger

Rating System, atau FDRS);

4.2.2.6. Pengulasan kepasitas dan kemampuan menghalang dan menanggulangi kebakaran di kalangan industri pertanian dan pihak-pihak terkait di Kabupaten Muaro Jambi;

4.2.2.7. Lokakarya pelatihan kesanggupan pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

Jambi dan Singapura telah berhasil mengimplementasikan ketujuh progam tersebut ke dalam ruang lingkup kerjasama Indonesia-Singapura. Sementara itu, Singapura juga telah mengembangkan du program kerja baru tambahan “program penanganan lahan gambut berasaskan pengetahuan dan pelatihan” bersama Singapore

Delft Water Alliance (SDWA) dan “Peningkatan keahlian

budidaya air tawar di Jambi” bersama Singapore Food

(56)

4.3 Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencemaran Asap Lintas Batas

4.3.1 Tanggung Jawab Negara Indonesia atas Pencemeran Asap Lintas Batas dalam Perspektif Hukum Internasional

Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang selalu dikaitkan dengan isu lingkungan. Terkait dengan isu lingkungan, selain berkurangnya keanekaragaman hayati, pencemaran udara akibat kebakaran hutan tersebut tidak hanya memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, bahkan juga ke provinsi lain maupun lintas batas Negara.

Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain : Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga, terganggunya transportasi di darat, laut maupun udara. Keempat, timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian materiil dan imateriil pada masyarakat setempat dan sering

(57)

kali menyebabkan pencemaran asap lintas batas (transboundary haze pollution) ke wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Asap dari kebakaran hutan dan lahan itu ternyata telah menurunkan kualitas udara dan jarak pandang di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand.

Karena polusi asap yang terus terjadi di Asia Tenggara dan belum dapat tertangani secara maksimal, konsep tanggung jawab negara menjadi isu penting yang dibahas di tingkat global, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan negara merupakan subyek hukum utama dalam hukum internasional. Atas alasan itulah mengapa komisi hukum internasional (International Law Commission/ILC) mencoba melakukan studi dan kodifikasi

perihal tanggung jawab negara. Upaya tersebut pada akhirnya berbuah sebuah draft konvensi yaitu draft Articles

on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, yang diadopsi pada tahun 2001.

(58)

Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara diartikan sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah hukum internasional.103 Sederhananya, apabila suatu negara tidak memenuhi kewajiban yang dibebabkan kepadanya berdasarkan hukum internasional maka Negara tersebut dapat dimintakan tanggung jawab. Akan tetapi faktanya tidak semudah itu sebab sulit untuk menilai apakah negara telah lalai atau tidak melaksanakan kewajibanya.

Untuk dapat menilai, maka yang perlu diperhatikan adalah soal tindakan sebuah negara. Dalam hukum internasional, tindakan negara dapat dibedakan antara tindakan negara dalam kapasitas publik (iure imperium) dan privat (iure gestiones). Konsep tanggung jawab negara pun sebenarnya lahir sebagai upaya untuk membedakan tindakan negara yang bersifat publik atau perdata.104 Hal inilah yang kemudian diadopsi dalam draf konvensi tanggung jawab negara, berdasarkan Draft Articles on

Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts,

103 Rebecca M.M. Wallace, International Law, Fourth Edition, Sweet&Maxwell, London,

2002, hlm. 175

104 Chia Lehnardt, Private Military Companies and State Responsibility, International

(59)

dijelaskan bahwa “every internationally wrongful act of a

State entails the international responsibility of that State”105

"setiap tindakan salah secara internasional suatu Negara memerlukan tanggung jawab internasional Negara tersebut".

Kategorisasi tindakan negara yang salah sehingga dapat menimbulkan tanggung jawab adalah ketika suatu tindakan atau pembiaran (action or omission) itu melekat pada negara berdasarkan hukum internasional dan melanggar kewajiban internasional negara. 106 Unsur atribusi menjadi bagian penting untuk menilai apakah tindakan negara yang salah itu dilakukan dalam kapasitas publik atau perdata. Sebab salah satu tujuan dibuatnya rancangan konvensi tanggung jawab negara adalah untuk menyoroti tindakan negara dalam ruang publik.

Unsur atribusi sulit untuk dibuktikan karena tindakan atau pembiaran negara dilakukan oleh agen atau aparatusnya. Hal ini dikarenakan negara adalah entitas abstrak. Jika demikian apakah tanggung jawab atas

105 Pasal 1 Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 106 Alan Khee-Jin TAN, 2015, The „Haze‟ Crisis in Southeast Asia: Assessing

Singapore‟s Transboundary Haze Pollution Act 2014, Singapore, NUS Law Working Paper 2015/002, hlm. 6

(60)

kesalahan secara internasional tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada sesuatu yang abstrak? Perihal inilah yang kemudian diatur dalam Pasal 4 -11 Draft Konvensi Tanggung Jawab Negara. Pada pokoknya, tindakan atau pembiaran yang dilakukan aparatus negara dalam kapasitasnya menjalankan kebijakan negara yang menyalahi hukum internasional maka negara dapat dimintakan tanggung jawab.

Munculnya konsep tanggung jawab negara ini bisa dilacak dari adanya prinsip persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, suatu negara yang hak-nya dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggungjawaban atau reparasi107. Menurut Shaw, karakteristik penting timbulnya tanggung jawab negara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu108:

4.3.1.1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu;

107 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997.

hlm. 54

(61)

4.3.1.2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara;

4.3.1.3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian;

Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh ILC tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft artikel tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara timbul, yaitu saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara internasional (internationally wrongful act). Tindakan salah secara internasional dapat berupa melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang memenuhi dua elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu :

4.3.1.1. Distribusikan kepada negara melalui hukum internasional;

4.3.1.2. Melakukan pelanggaran (breach) kewajiban internasional;

(62)

Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12). Dengan demikian, menurut Bodansky dan Crook, tindakan yang tidak sesuai kewajiban internasional dan diatribusikan kepada negara merupakan tindakan salah secara internasional yang menghasilkan tanggung jawab negara.109

Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19 yang meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan (coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah secara internasional.

Lebih lanjut lagi, Pasal 2 (a) Draf Artikel tanggung jawab negara di atas telah menyebutkan bahwa tindakan salah secara internasional dapat menimbulkan tanggung jawab negara apabila tindakan atau pembiaran tersebut dapat diatribusikan kepada negara berdasarkan hukum internasional. Unsur atribusi ini menjadi penting sebab

109 Daniel Bodansky dan John R. Crook, Symposium: “The ILC‟s State Responsibility

(63)

negara merupakan entitas yang abstrak sehingga tindakan negara otomatis dilakukan oleh aparatus Negara.

Untuk itu perlu ditentukan secara rinci tindakan apa dan oleh siapa yang dapat diatribusi menjadi tindakan negara yang dapat melahirkan tanggung jawab negara. Penjelasan soal atribusi ini dijelaskan melalui Pasal 4-11. Pasal 4 menjelaskan bahwa tindakan organisasi negara baik pada level ekekutif, legislatif dan yudikatif merupakan tindakan negara menurut hukum internasional. Tidak masalah jika organisasi tersebut berkedudukan di pusat maupun daerah, termasuk di dalamnya individu ataupun entitas lain yang ditentukan melalui hukum nasional.

Individu ataupun entitas lain yang tidak termasuk organisasi negara namun diberikan kewenangan berdasarkan hukum nasional untuk melaksakan beberapa elemen kewenangan negara, dapat diatribusi sebagai tindakan negara (Pasal 5). Tindakan organisasi negara maupun individu dan entitas yang diberikan kewenangan melaksanakan elemen kewenangan negara masih dianggap melakukan tindakan negara menurut hukum internasional

(64)

apabila melakukan tindakan dalam kapasitas yang diberikan meskipun melampaui kewenanganya (Pasal 7).

Soal atribusi tindakan negara ini juga mengatur bahwa apabila ada individu dan kelompok di luar ketentuan Pasal 4 dan 5 melakukan suatu tindakan yang merupakan perintah, kontrol dan arahan dari negara, maka tindakan individu dan kelompok tersebut diatribusikan sebagai tindakan negara.(Pasal 8). Kekurangan pasal ini adalah tidak menjelaskan batasan perintah dan kontrol negara terhadap individu atau kelompok yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara.

Pasal 9 dan 10 mengatur tentang tindakan individu, kelompok atau pemberontak yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara menurut hukum internasional. Apabila individu dan kelompok melakukan tindakan-tindakan kenegaraan karena otoritas resmi tidak dapat melaksakannya, maka tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan negara. Begitu pun bagi tindakan pemberontak yang berhasil membentuk pemerintahan baru dianggap sebagai tindakan negara.

(65)

Dalam konteks pencemaran asap lintas batas, Ketika negara menyebabkan kerugian kepada negara lain dikarenakan polusi asap, negara indonesia secara hukum internasional berkewajiban untuk melakukan reparasi penuh terhadap negara yang terkena dampak berupa restitusi, kompensasi dan pemuasaan110:

4.3.1.1. Restitusi (Restitution) yaitu suatu tindakan pemulihan, mengembalikan keadaan dengan segala cara yang dapat dilakukan, sehingga tercapai keadaan seperti semula seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pemulihan ini dapat digunakan dengan penggantian materiil dan tidak menjadi beban serta harus bermanfaat 111

4.3.1.2. Kompensasi (Compensation), yaitu pembayaran uang sebesar jumlah kerugian yang diderita.112 Kompensasi meliputi semua kerugian yang ditimbulkan, termasuk kerugian tidak langsung dan tidak spekulatif.

110 Ademola Abass, 2012, International Law: Text, Cases, and Materials, New York,

United States, Oxford University Press, hlm.295

111Pasal 35 Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act 112 Pasal 36 Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act

(66)

4.3.1.3. Pemuasan (Satisfaction), yaitu merupakan pelunasan kerugian yang tidak dibayar dalam bentuk uang, seperti kehormatan individu/prestige negara. Pemuasan dapat dilakukan dengan meminta maaf secara resmi, pengakuan bersalah secara resmi, janji tidak mengulangi, serta menghukum pejabat yang melanggar.113

Berdasarkan teori tanggung jawab diatas pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas pencemaran asap lintas batas. Tanggung jawab pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan konsep tanggung jawab negara adalah restitusi. Indonesia harus melakukan pemulihan situasi kepada negara-negara yang terkena dampak dari asap lintas batas kepada kondisi semual sebelum terkena dampak polusi asap, baik itu dari kerugian material dan immateril sebagai bentuk tanggung jawab negara pada tingkat tertinggi.

Gambar

Gambar 1. Selimut Asap di Asia Tenggara, 26  September 1997 52
Tabel 1. Taksiran Kebakaran Hutan 1997-2013
Gambar 2. Perubahan Vegetasi Sebelum (a) dan  Sesudah (b) Kebakaran Juni 2013 di Provinsi Riau 55
Gambar 3. Lintasan Massa Udara dari Lokasi  Kebakaran di Provinsi Riau, Indonesia
+4

Referensi

Dokumen terkait

Model analisis yang digunakan untuk membedakan dan melakukan prediksi terhadap perataan laba dengan menggunakan ukuran perusahaan, rasio profitabilitas (yang diukur

Dari pendapat para ahli tersebut, peneliti menggabungkan dan menyuntingnya sebagai landasan teori penelitian, bahwa proses pembentukan kata ragam bahasa coretan pada meja

Penelitian ini menganalisis bentuk tahapan pelayanan, strategi serta fungsi dari setiap tahapan pelayanan anak pada Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) “Turikale”

dunia, dan Allah dalam budaya masyarakat Bantaeng yang telah berakulturasi dengan ajaran agama Islam. Penempatan nisan arca dan atau relief

Definisi Flowchart Bagan alir (flowchart) adalah bagan (chart) yang menunjukkan alir (flow) di dalam program atau prosedur sistem secara.. Dalam siklus ini terdapat dua

Daerah Cimanggu sebagai salah satu wilayah yang merupakan bagian dari Bayah Dome secara geologi sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan kehadiran pertemuan lempeng

Ada dua jenis tegangan yang dapat bekerja pada suatu material, yaitu tegangan normal dan tegangan geser. Keberadaan hanya salah satu di antara keduanya atau

UAN Sket tend prism oran perl