• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Asap Batas Lintas Negara Melalui Mahkamah Arbitrase Internasional

4.5 Penyelesaian Sengketa Asap Batas Lintas Negara di Masa Datang

4.5.2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Asap Batas Lintas Negara Melalui Mahkamah Arbitrase Internasional

(Permanent Court of Arbitration)

Mekanisme penyelesaian sengketa arbitrase melalui Mahkamah Arbitrase Internasional diatur pertama kali pada 1899 Convention for the Pacific Settlement of International

Disputes. Namun dalam pengaturan lebih jauh, Mahkamah

Arbitrase Internasional mengeluarkan Optional Rules for

Arbitration of Disputes Relating to Natural Resources and/or the Environment yang menjadi pedoman bagi

penyelesaian sengketa lingkungan hidup dan sumber daya alam yang dibawa ke Mahkamah Arbitrase. Sehingga, penyelesaian sengketa asap batas lintas negara yang melibatkan Indonesia ini bisa menggunakan prosedur arbitrase khususnya, mengenai sengketa lingkungan hidup, yang pada dasarnya mengikuti UNCITRAL Arbitration

Rules dengan perubahan dalam beberapa hal untuk dapat

disesuaikan dengan karakteristik sengketa yang terkait dengan sumber daya alam, konservasi dan komponen perlindungan lingkungan. Dalam proses pelaksanaan Arbitrase ini setidaknya ada tiga tahapan dalam

penyelesaian sengketa lingkungan internasional yang dapat digunakan oleh Indonesia apabila dikemudian terjadi kembali masalah sengketa pencemaran asap lintas batas di Asia Tenggara:

4.5.2.1. Pembentukan Majelis Arbitrase

Setiap proses arbitrase mensyaratkan adanya perjanjian/kompromis penggunaan arbitrase terlebih dahulu yang disetujui oleh para pihak sebelum penyelesaian melalui Mahkamah Arbitrase Internasional. Dalam pasal 2 Optional

Rules for Arbitration of Disputes Relating to Natural Resources and/or the Environment

dijelaskan bahwa, setiap kompromis harus mencantumkan jenis sengketa dan cakupan kewenangan para arbitrator. Sehingga para pihak bersengketa dapat menentukan sejauh mana kewenangan para arbitrator.

Komposisi dari arbitrator juga merupakan kewenangan para pihak itu sendiri, dimana para pihak mempunyai kekuasaan menentukan jumlah arbitrator yang menangani kasus para pihak baik

satu, tiga ataupun lima arbitrator. Akan tetapi, dalam suatu kondisi para pihak tidak menyetujui komposisi arbitrator yang ada, sesuai dengan pasal 6-8, para pihak dapat menunjuk orang atau lembaga yang mereka percaya untuk menentukan arbitratornya. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan pihak yang ditunjuk tidak dapat dan menolak untuk menunjuk arbitrator, maka Sekretaris Jenderal Mahkamah Arbitrase akan menjadi pihak yang ditunjuk untuk memilih arbitrator sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pembentukan majelas arbitrase ini para pihak dapat melakukan keberatan terhadap arbitrator yang ditunjuk oleh pihak lain, dan apabila dibutuhkan arbitrator tersebut dapat diganti dengan prosedur yang ada.

4.5.2.2. Prosedur Arbitrase

Proses penyelesaian sengketa lingkungan akan dilaksanakan di Mahkamah Arbitrase Internasional, dalam hal ini adalah Mahkamah Arbitrase Internasional, namun para pihak juga

mempunyai kebebasan untuk menentukan tempat dilaksanakannya arbitrase diluar lokasi yang telah ditentukan. Proses pertama dalam proses ini adalah Statement of Claim, dimana pihak penggugat wajib mencantumkan sengketa, fakta dan pertanggungjawaban yang diminta. Setelah pembacaan statement of claim, pihak tergugat akan membacakan statement of defence, dimana dalam dokumen tersebut, harus menjawab poin-poin yang dimintakan oleh pihak penggugat.

Dalam praktiknya, selama proses arbitrase para pihak dapat mengajukan amandemen ataupun penambahan dalam statement of claim dan statement of defence mereka, namun majelis arbitrase dapat mempertimbangkan bahwa penambahan atau perubahan tersebut tidak tepat dilakukan dengan berbagai pertimbangan arbitrator. Setelah proses tersebut, para pihak akan diminta untuk dapat menghadirkan bukti dan juga saksi. Didalam proses arbitrase tersebut, majelis arbitrase dapat memberikan putusan sela

apabila dianggap perlu untuk melindungi hak-hak para pihak atau untuk mencegah kerusakan serius pada lingkungan yang termasuk dalam objek yang disengketakan. Dalam proses selanjutnya, majelis arbitrase dapat meminta para pihak pihak untuk mengajukan bukti dan saksi tambahan apabila diperlukan, dan jika tidak ada penambahan bukti maka majelis arbitrase akan menyudahi proses pemeriksaan.

4.5.2.3. Putusan Arbitrase

Setelah berakhirnya tahap pemeriksaan, majelis akan melakukan musyawarah secara tertutup dan memutuskan hasil tersebut berdasarkan suara mayoritas majelis arbitrase dan dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan tertulis dan ditandatangani oleh setiap pihak dalam majelis. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, sehingga para pihak wajb melaksanakan ketentuan yang sudah diputuskan dalam majelis tersebut dan apabila diperlukan,

pembacaan putusan dapat diumumkan terbuka dengan persetujuan para pihak bersengketa.

Dalam membuat keputusan, majelis arbitrase akan menggunakan hukum yang disepakati para pihak sesuai dengan substansi sengketanya, dan apabila para pihak gagal tidak menyepakati hukum yang digunakan, majelis arbitrase akan menerapkan hukum nasional atau internasional yang dianggap sesuai dengan sengketa tersebut. Meskipun demikian, kebebasan menentukan hukum mana yang dipakai tidak membatasi majelis arbitrase untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya atau ex

aequo et bono. Seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa keputusan majelis arbitrase bersifat final dan mengikat, akan tetapi keputusan tersebut dikemudian hari dapat dikoreksi ataupun majelis berwenang memberikan putusan tambahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pencemaran asap lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia untuk saat ini memang belum menimbulkan sengketa antara negara-negara ASEAN, terutama antara negara yang di dalam wilayahnya terjadi kebakaran hutan dengan negara yang menderita akibat dampak dari kebakaran hutan dan belum ada dasar hukum internasional yang kuat dan khusus mengatur tentang pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan. Walaupun demikian Indonesia tetap bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan yang terjadi di dalam wilayah yurisdiksinya. Karena tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antar negara, disamping juga bertujuan memberikan perlindungan hukum. Selain itu, prinsip tanggung jawab Negara merupakan salah satu prinsip yang penting dalam hukum internasional.178

ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP) juga menyediakan mekanisme

penyelesaian masalah kabut asap yang akan berjalan dalam

178 Sri Azora Kumala Sari, 2008, Pencemaran Lintas Batas Akibat Kebakaran Hutan: Suatu Perspektif dari Ekologi dan Hukum Lingkungan Internasional, Skripsi, Faklutas Hukum Universitas Sumatera Utara, hlm. 79.

lingkup kerjasama internasional. Berdasarkan pasal 27 AATHP, bahwa pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan negosiasi. Hukum internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan perdamaian. Dalam Pencemaran Lintas Batas Negara upaya penyelesaian secara damai melalui dialog berupa konsultasi dan negosiasi harus tetap diutamakan. Meskipun AATHP yang secara teknis mengikat Negara-negara ASEAN, namun sesungguhnya AATHP tidak mempunyai peran sentral yang dapat memaksakan negara-negara anggota ASEAN patuh terhadap perjanjian-perjanjian tertentu. ASEAN tidak mempunyai lembaga yang dapat memanggil negara anggotanya yang tidak patuh pada perjanjian tertentu. Bisa dikatakan bahwa ASEAN tetap menjunjung tinggi prinsip

non-interference, sehingga berimbas pada tidak ada

mekanisme yang kredibel untuk menyelesaikan sengketa secara objektif dan sifatnya mengikat secara hukum.

Berbagai mekanisme penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional pada awal-awal perkembangan hukum lingkungan internasional menunjukkan belum

adanya suatu aturan yang mengikat dan memberikan kepastian dalam hal proses yang dilalui dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional. Namun, sejalan dengan berkembanya hukum lingkungan internasional, dalam beberapa kasus besar, Majelis Arbitrase telah dijadikan salah satu alternatif utama dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional. Meskipun dalam berbagai kesempatan penyelesaian melalui jalur diplomatis tetap dijalankan, namun terkadang hasil dari mekanisme tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Disamping itu, pemanfaatan Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB, khususnya penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini dengan melalui Mahkamah Internasional dapat digunakan, namun hal ini harus di menjadi catatan bahwasannya pilihan menyelesaikan sengketa melalui mahkamah internasional, harusnya dapat dijadikan pilihan terkahir sepanjang mekanisme-mekanisme yang lain tidak mampu memberikan kepastian dalam upaya penyelesaian sengketa pencemaran asapa lintas batas dikemudian hari.

Dari penjelasan diatas, jelas bahwa penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Arbitrase menawarkan banyak

keuntungan dibandingkan penyelesaian sengketa lainnya. Dimana Terdapat dua perbedaan utama antara penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration) dengan Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Pertama, arbitrase memberikan para pihak kebebasan dalam memilih atau menentukan badan arbitrasenya. Sebaliknya dalam hal pengadilan, komposisi pengadilan berada di luar pengawasan atau kontrol para pihak. Kedua, Arbitrase memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum yang akan diterapkan oleh badan arbitrase. Kebebasan seperti ini tidak ada dalam pengadilan internasional pada umumnya. Misalnya pada Mahkamah Internasional. Mahkamah terikat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum internasional yang ada, meskipun dalam mengeluarkan putusannya diperbolehkan menggunakan prinsip ex aequo et bono. Ditambah lagi, penyelesaian menggunakan Mahkamah Arbitrase Internasional menawarkan putusan yang final dan mengikat, sehingga berbeda dengan hasil penyelesaian sengketa secara diplomatis, dimana keputusan yang dihasilkan baik itu

negosiasi, mediasi dan konsultasi tidak mengikat para pihak. Sehingga tepatlah, apabila dikemudian hari Indonesia dan Negara tetangga memilih Mahkamah Arbitrase Internasional untuk menyelesaikan sengketa pencemaran asap lintas batas. Karena lembaga ini sudah membuktikan pengalamannya dalam memutuskan berbagai sengketa seperti Rhine Chlorides Arbitration (1999),

OSPAR Arbitration (2001), Mox Plant (2003), Ijzeren Rijn (2003), dan Land Reclamation by Singapore in and around the Straits of Johor (2003).