• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Negara Indonesia atas Pencemeran Asap Lintas Batas dalam Perspektif Hukum

4.3 Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencemaran Asap Lintas Batas

4.3.1 Tanggung Jawab Negara Indonesia atas Pencemeran Asap Lintas Batas dalam Perspektif Hukum

Internasional

Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana yang selalu dikaitkan dengan isu lingkungan. Terkait dengan isu lingkungan, selain berkurangnya keanekaragaman hayati, pencemaran udara akibat kebakaran hutan tersebut tidak hanya memberikan dampak bagi masyarakat sekitar, bahkan juga ke provinsi lain maupun lintas batas Negara.

Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain : Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan. Ketiga, terganggunya transportasi di darat, laut maupun udara. Keempat, timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian materiil dan imateriil pada masyarakat setempat dan sering

kali menyebabkan pencemaran asap lintas batas (transboundary haze pollution) ke wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Asap dari kebakaran hutan dan lahan itu ternyata telah menurunkan kualitas udara dan jarak pandang di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan, termasuk Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand.

Karena polusi asap yang terus terjadi di Asia Tenggara dan belum dapat tertangani secara maksimal, konsep tanggung jawab negara menjadi isu penting yang dibahas di tingkat global, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan negara merupakan subyek hukum utama dalam hukum internasional. Atas alasan itulah mengapa komisi hukum internasional (International Law Commission/ILC) mencoba melakukan studi dan kodifikasi

perihal tanggung jawab negara. Upaya tersebut pada akhirnya berbuah sebuah draft konvensi yaitu draft Articles

on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, yang diadopsi pada tahun 2001.

Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara diartikan sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh negara kepada negara lain berdasarkan perintah hukum internasional.103 Sederhananya, apabila suatu negara tidak memenuhi kewajiban yang dibebabkan kepadanya berdasarkan hukum internasional maka Negara tersebut dapat dimintakan tanggung jawab. Akan tetapi faktanya tidak semudah itu sebab sulit untuk menilai apakah negara telah lalai atau tidak melaksanakan kewajibanya.

Untuk dapat menilai, maka yang perlu diperhatikan adalah soal tindakan sebuah negara. Dalam hukum internasional, tindakan negara dapat dibedakan antara tindakan negara dalam kapasitas publik (iure imperium) dan privat (iure gestiones). Konsep tanggung jawab negara pun sebenarnya lahir sebagai upaya untuk membedakan tindakan negara yang bersifat publik atau perdata.104 Hal inilah yang kemudian diadopsi dalam draf konvensi tanggung jawab negara, berdasarkan Draft Articles on

Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts,

103 Rebecca M.M. Wallace, International Law, Fourth Edition, Sweet&Maxwell, London, 2002, hlm. 175

104 Chia Lehnardt, Private Military Companies and State Responsibility, International Law and Justice Working Papers, NYU Law School, New York, 2007, hlm.5.

dijelaskan bahwa “every internationally wrongful act of a

State entails the international responsibility of that State”105

"setiap tindakan salah secara internasional suatu Negara memerlukan tanggung jawab internasional Negara tersebut".

Kategorisasi tindakan negara yang salah sehingga dapat menimbulkan tanggung jawab adalah ketika suatu tindakan atau pembiaran (action or omission) itu melekat pada negara berdasarkan hukum internasional dan melanggar kewajiban internasional negara. 106 Unsur atribusi menjadi bagian penting untuk menilai apakah tindakan negara yang salah itu dilakukan dalam kapasitas publik atau perdata. Sebab salah satu tujuan dibuatnya rancangan konvensi tanggung jawab negara adalah untuk menyoroti tindakan negara dalam ruang publik.

Unsur atribusi sulit untuk dibuktikan karena tindakan atau pembiaran negara dilakukan oleh agen atau aparatusnya. Hal ini dikarenakan negara adalah entitas abstrak. Jika demikian apakah tanggung jawab atas

105 Pasal 1 Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts

106 Alan Khee-Jin TAN, 2015, The „Haze‟ Crisis in Southeast Asia: Assessing Singapore‟s Transboundary Haze Pollution Act 2014, Singapore, NUS Law Working Paper 2015/002, hlm. 6

kesalahan secara internasional tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada sesuatu yang abstrak? Perihal inilah yang kemudian diatur dalam Pasal 4 -11 Draft Konvensi Tanggung Jawab Negara. Pada pokoknya, tindakan atau pembiaran yang dilakukan aparatus negara dalam kapasitasnya menjalankan kebijakan negara yang menyalahi hukum internasional maka negara dapat dimintakan tanggung jawab.

Munculnya konsep tanggung jawab negara ini bisa dilacak dari adanya prinsip persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, suatu negara yang hak-nya dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggungjawaban atau reparasi107. Menurut Shaw, karakteristik penting timbulnya tanggung jawab negara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu108:

4.3.1.1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu;

107 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997. hlm. 54

4.3.1.2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara;

4.3.1.3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian;

Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh ILC tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft artikel tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara timbul, yaitu saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara internasional (internationally wrongful act). Tindakan salah secara internasional dapat berupa melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang memenuhi dua elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu :

4.3.1.1. Distribusikan kepada negara melalui hukum internasional;

4.3.1.2. Melakukan pelanggaran (breach) kewajiban internasional;

Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12). Dengan demikian, menurut Bodansky dan Crook, tindakan yang tidak sesuai kewajiban internasional dan diatribusikan kepada negara merupakan tindakan salah secara internasional yang menghasilkan tanggung jawab negara.109

Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19 yang meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan (coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah secara internasional.

Lebih lanjut lagi, Pasal 2 (a) Draf Artikel tanggung jawab negara di atas telah menyebutkan bahwa tindakan salah secara internasional dapat menimbulkan tanggung jawab negara apabila tindakan atau pembiaran tersebut dapat diatribusikan kepada negara berdasarkan hukum internasional. Unsur atribusi ini menjadi penting sebab

109 Daniel Bodansky dan John R. Crook, Symposium: “The ILC‟s State Responsibility Article”, The American Journal of International Law (2002), hlm. 782

negara merupakan entitas yang abstrak sehingga tindakan negara otomatis dilakukan oleh aparatus Negara.

Untuk itu perlu ditentukan secara rinci tindakan apa dan oleh siapa yang dapat diatribusi menjadi tindakan negara yang dapat melahirkan tanggung jawab negara. Penjelasan soal atribusi ini dijelaskan melalui Pasal 4-11. Pasal 4 menjelaskan bahwa tindakan organisasi negara baik pada level ekekutif, legislatif dan yudikatif merupakan tindakan negara menurut hukum internasional. Tidak masalah jika organisasi tersebut berkedudukan di pusat maupun daerah, termasuk di dalamnya individu ataupun entitas lain yang ditentukan melalui hukum nasional.

Individu ataupun entitas lain yang tidak termasuk organisasi negara namun diberikan kewenangan berdasarkan hukum nasional untuk melaksakan beberapa elemen kewenangan negara, dapat diatribusi sebagai tindakan negara (Pasal 5). Tindakan organisasi negara maupun individu dan entitas yang diberikan kewenangan melaksanakan elemen kewenangan negara masih dianggap melakukan tindakan negara menurut hukum internasional

apabila melakukan tindakan dalam kapasitas yang diberikan meskipun melampaui kewenanganya (Pasal 7).

Soal atribusi tindakan negara ini juga mengatur bahwa apabila ada individu dan kelompok di luar ketentuan Pasal 4 dan 5 melakukan suatu tindakan yang merupakan perintah, kontrol dan arahan dari negara, maka tindakan individu dan kelompok tersebut diatribusikan sebagai tindakan negara.(Pasal 8). Kekurangan pasal ini adalah tidak menjelaskan batasan perintah dan kontrol negara terhadap individu atau kelompok yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara.

Pasal 9 dan 10 mengatur tentang tindakan individu, kelompok atau pemberontak yang dapat diatribusikan sebagai tindakan negara menurut hukum internasional. Apabila individu dan kelompok melakukan tindakan-tindakan kenegaraan karena otoritas resmi tidak dapat melaksakannya, maka tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan negara. Begitu pun bagi tindakan pemberontak yang berhasil membentuk pemerintahan baru dianggap sebagai tindakan negara.

Dalam konteks pencemaran asap lintas batas, Ketika negara menyebabkan kerugian kepada negara lain dikarenakan polusi asap, negara indonesia secara hukum internasional berkewajiban untuk melakukan reparasi penuh terhadap negara yang terkena dampak berupa restitusi, kompensasi dan pemuasaan110:

4.3.1.1. Restitusi (Restitution) yaitu suatu tindakan pemulihan, mengembalikan keadaan dengan segala cara yang dapat dilakukan, sehingga tercapai keadaan seperti semula seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pemulihan ini dapat digunakan dengan penggantian materiil dan tidak menjadi beban serta harus bermanfaat 111

4.3.1.2. Kompensasi (Compensation), yaitu pembayaran uang sebesar jumlah kerugian yang diderita.112 Kompensasi meliputi semua kerugian yang ditimbulkan, termasuk kerugian tidak langsung dan tidak spekulatif.

110 Ademola Abass, 2012, International Law: Text, Cases, and Materials, New York, United States, Oxford University Press, hlm.295

111Pasal 35 Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act

4.3.1.3. Pemuasan (Satisfaction), yaitu merupakan pelunasan kerugian yang tidak dibayar dalam bentuk uang, seperti kehormatan individu/prestige negara. Pemuasan dapat dilakukan dengan meminta maaf secara resmi, pengakuan bersalah secara resmi, janji tidak mengulangi, serta menghukum pejabat yang melanggar.113

Berdasarkan teori tanggung jawab diatas pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas pencemaran asap lintas batas. Tanggung jawab pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan konsep tanggung jawab negara adalah restitusi. Indonesia harus melakukan pemulihan situasi kepada negara-negara yang terkena dampak dari asap lintas batas kepada kondisi semual sebelum terkena dampak polusi asap, baik itu dari kerugian material dan immateril sebagai bentuk tanggung jawab negara pada tingkat tertinggi.

Indonesia juga harus membayar kompensasi kepada negara-negara yang terkena dampak dengan mengganti kerugian yang disebabkan oleh polusi asap dan meyakinkan negara-negara tetangga bahwa polusi yang disebabkan oleh kabut asap tersebut tidak akan terulang lagi. Kemudian, dalam kondisi di mana penggantian ekonomi, baik restitusi atau kompensasi tidak memungkinkan untuk dilakukan, pengakuan kesalahan dan permintaan maaf secara resmi menjadi bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan oleh negara yang menyebabkan polusi asap lintas batas.

Dalam praktiknya, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu, telah menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf secara formal kepada Negara-negara tetangga di Asia Tenggara, sekaligus berjanji untuk menghentikan dan mengendalikan Kebakaran hutan, sehingga polusi asap tidak akan terjadi lagi114. Menanggapi hal tersebut, Perdana Menteri

114 Anonim, Soal Asap SBY Minta Maaf ke Negara Tetangga, 4 April, https://m.tempo.co/read/news/2013/06/24/078490894/soal-asap-sby-minta-maaf-ke-negara-tetangga, 16.34

Singapura115 dan Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia116 menyambut baik permintaan maaf Indonesia dan menawarkan bantuan untuk mengendalikan polusi asap yang berasal dari Indonesia. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya kedua Negara untuk menjaga hubungan baik dengan Indonesia, dan disisi lain, kedua negera tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena Kebakaran hutan dan masalah polusi asap tidak berada dalam yurisdiksi kedua Negara tersebut.

Lebih lanjut lagi, Banyak pemerhati lingkungan berpendapat bahwa prinsip polusi lintas batas, sebagaimana dinyatakan dalam Prinsip ke 21 di Deklarasi Stockholm adalah sebuah hukum kebiasaan internasional117, Suatu keadaan yang menyebabkan kerusakan kepada negara lain dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Negara seharusnya menghindari dampak negatif kepada negara lain dan memberikan kompensasi untuk kerusakan yang

115

Anonim, Singapura Terima Pemintaan Maaf SBY dengan Sepenuh Hati, 4 April, http://international.sindonews.com/read/754166/40/singapura-terima-permintaan-maaf-sby-dengan-sepenuh-hati-1372221358, 16.45

116 Anonim, Malaysia Puas dengan Permintaan Maaf SBY, 4 April, http://www.tribunnews.com/internasional/2013/06/26/malaysia-puas-dengan-permintaan-maaf-sby, 17.01

117 Simon S.C. Tay, 1998, South East Asian Forest Fires: Haze Over ASEAN and International Environmental Law, Hoboken, United Kingdom, Blackwell Publishers Ltd, hlm. 202

dibuatnya. Negara seharusnya menghentikan aktivitas yang menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut118 sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Prinsip ke 21 dari Konferensi Stockholm telah menjadi salah satu prinsip yang paling penting yang digunakan dalam hukum lingkungan internasional119. Ini menyatakan bahwa:

“States have, in accordance with the Charter of the

United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”120

Selain itu, dalam hukum internasional, negara tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan atau mengizinkan suatu kegiatan diteritori mereka, atau di ruang umum, tanpa memperhatikan hak-hak negara-negara lain atau dalam upaya perlindungan lingkungan121.. hal ini disebut sebagai

118 Henriette Litta, 2012, Regimes in Southeast Asia: An Analysis of Environmental Cooperation, Germany, Springer Science Business Media,

119 Ademola Abass, 2012, International Law: Text, Cases, and Materials, New York, United States, Oxford University Press

120 Principle 21 of Stockholm Declaration 1972, Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment

121 Mirjam van Harmelen, Matthijs S. van Leeuwen and Tanja de Vette, 2005, International Law of Sustainable Development: Legal Aspects of Environmental Security

prinsip "good neighborliness"122 atau "sic utere tuo, ut

alienum non laedes" dalam Pasal 74 Piagam PBB.

Pada awalnya, prinsip ini mengacu hanya pada isu sosial, ekonomi dan bisnin, namun telah diakui juga sebagai prinsip yang digunakan dalam isu lingkungan dengan adanya pengaturan kerjasama Internasional. Ini berlaku terutama untuk kegiatan yang dilakukan di salah satu negara yang mungkin memiliki efek buruk pada lingkungan negara lain atau di daerah-daerah di luar yurisdiksi negara tersebut. 123

Komitmen kerjasama lingkungan tercermin dalam banyak perjanjian internasional dan didukung oleh praktik beberapa negara. Menurut pengacara internasional Allen Tan, secara hukum Internasional Indonesia sebenarnya dapat dimintakan pertanggungjawaban terkait kebakaran hutan dan polusi asap 1997-1998 hal ini didasari bahwa Indonesia telah gagal untuk mencegah dan menghukum

on the Indonesian Island of Kalimantan, The Hague, Netherlands, Institute for Environmental Security, hlm.35

122

Pasal 74 the United Nations (UN) Charter, http://www.un.org/en/documents/charter/chapter11.shtml

123 Regina S. Axelrod and Stacy D. Van Deveer’s, 2014, The Global Environment: Institutions, Law, and Policy, Fourth Edition, California, CQ Press an Imprint of SAGE Publications, hlm.66

individu ataupun perusahaan yang menyebabkan kebakaran hutan tersebut.124

4.3.2 Tanggung Jawab Indonesia atas Pencemaran Asap