• Tidak ada hasil yang ditemukan

20

AN KOMNAS PEREMPU

20

KOMNAS PEREMPUANAN KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010

20

pengajuan JR ini telah lewat batas waktu 180 hari pengajuan JR sejak peraturan daerah ditetapkan. Aturan tentang Batas waktu ini tertuang di dalam PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 1 Tahun 1999. Kebijakan batas waktu pengajuan JR serupa ini berpotensi menghalangi hak warga negara untuk mendapatkan keadilan. Tidak saja PERMA ini jarang diketahui masyarakat, namun juga karena banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa ada kebijakan baru di daerahnya kecuali sampai, dan ini bisa jadi lewat dari 180 hari sejak peraturan dikeluarkan, ketika ia diimplementasikan dan menimbulkan dampak merugikan di masyarakat. Penolakan pengajuan uji materil ini dilakukan juga tanpa ada uji materi yang jelas terhadap Perda No.5 Tahun 2007.

Serangan Kepada Komunitas Minoritas Agama

Penambahan jumlah kebijakan diskriminatif dari 154 pada tahun 2009 menjadi 189 pada tahun 2010, serta penambahan 6 kebijakan diskriminatif baru terkait pelarangan Ahmadiyah di awal tahun 2011 ini, sungguh sangat memperihatinkan, apalagi harmonisasi kebijakan telah menjadi salah satu agenda prioritas dalam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Langgeng dan tumbuh kembang kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas ini berkontribusi pada peningkatan sikap intoleransi dan tindak kekerasan atas nama agama dan moralitas, termasuk penyerangan terhadap jemaah komunitas HKBP Ciketing dan intimidasi bagi komunitas Budha di Tanjung Balai. Pada kasus serangan ke komunitas HKBP Ciketing, seorang perempuan pendeta menjadi korban penganiayaan dan dalam kasus di Tanjung Balai isu kerusuhan Mei 1998 dijadikan salah satu cara mengintimidasi komunitas Budha.

Serangan atas nama agama yang juga menjadi keprihatinan bersama adalah serangan terhadap komunitas Ahmadiyah. Terkait dengan kebijakan tentang Pelarangan Ahmadiyah, selain SKB 3 Menteri yang dikeluarkan pada tahun 2008 lalu, sampai dengan awal Maret 2011 ini Komnas Perempuan mencatat sudah ada 6 kebijakan baru yang berisi tentang larangan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kebijakan diskriminatif yang baru keluar ini berupa Surat Keputusan (SK), Peraturan Bupati/Walikota/Gubernur. Daerah yang mengeluarkan kebijakan tersebut di antaranya: Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Jawa Barat dan yang terakhir adalah Kota Bogor. Kebijakan tentang pelarangan Ahmadiyah ini berpotensi menghadirkan kekerasan tidak hanya kepada komunitas Ahmadiyah secara umum, melainkan kepada perempuan dan anak dari komunitas tersebut. Komnas Perempuan mencatat setidaknya telah terjadi 276 kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam setiap peristiwa penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Komnas Perempuan melihat intensitas kekerasan yang dialami komunitas Ahmadiyah semakin meningkat justru setelah diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat tahun 2008. Peningkatan intensitas kekerasan tersebut berarti pelipatgandaan kerentanan perempuan dan anak atas kekerasan dan diskriminasi. 4

4. Saran dan pertimbangan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan disampaikan secara tertulis kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM, Penyikapan Pelanggaran Konstitusi atas Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Kelompok Ahmadiyah, Komnas Perempuan, 2011

21

KOMNAS PEREMPUAN

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010 KOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN

21 21 21

Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan rentan mengalami ancaman perkosaan, pelecehan seksual, dan intimidasi bernuansa seksual lainnya pada saat serangan terjadi. Stigmatisasi pada komunitas Ahmadiyah di Cikeusik menyebabkan kerentanan ini juga dialami perempuan Ahmadiyah di berbagai wilayah pada masa sebelum dan sesudah serangan itu. Trauma akibat serangan dapat menyebabkan perempuan mengalami depresi berkepanjangan dan gangguan kesehatan reproduksi hingga keguguran. Perempuan juga menanggung beban psikologis karena menyaksikan anak-anak mereka mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di tengah masyarakat. Sejumlah anak perempuan kemudian dihadapkan pada ketiadaan pilihan kecuali putus sekolah dan menikah pada usia dini sebagai cara untuk melanjutkan kehidupannya di tengah intimidasi dan keterbatasan di tempat pengungsian. Dalam kasus Cikeusik, isteri korban meninggal harus menjadi orang tua tunggal yang menanggung sendiri beban hidup anak-anak mereka.

Kriminalisasi Akibat Penerapan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Selama kurun 2010, Komnas Perempuan mencatat setidaknya terdapat empat kasus dengan penerapan UU pornografi yang semakin menunjukkan persoalan intrinsik dari UU No. 44 tahun 2008, yaitu definisi pornografi dan pengaturan yang multitafsir menyebabkan kriminalisasi terhadap warga negara, khususnya perempuan. Dalam keempat kasus itu, perempuan sebagai korban kekerasan pun tidak terlepas dari kriminalisasi akibat penafsiran hukum yang bias gender dalam kerangka moralitas. Kasus pertama adalah penghukuman empat penari yang ditangkap Polsek Taman Sari Jakarta Barat. Mereka dikenakan Pasal 82 UU Pornografi dengan ancaman hukuman pidana paling singkat 18 bulan dan paling lama tujuh tahun dan denda paling sedikit Rp. 150 juta dan paling banyak Rp. 750 juta.5

Kasus kedua adalah enam penari Bel Air Cafe and Music Lounge yang divonis dua bulan 15 hari dan denda Rp. 1 juta atau diganti kurungan dua bulan oleh Pengadilan Negeri Bandung dengan menggunakan Pasal 34 dan 36 UU Pornografi. 6

Kasus ketiga adalah vonis kepada DW selama tujuh bulan penjara berdasarkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karang Anyar Nomor 172/Pid.B/2009/PN.Kray. Hakim menilai DW dengan sengaja menjadikan dirinya objek pornografi. DW dianggap bersalah karena bersedia merekam hubungan seksual dengan pacarnya, meski karena untuk kenang-kenangan pribadi serta dicetak untuk diserahkan pada orang tua DW agar ia dan pacarnya segera dinikahi. Namun oleh pacar DW rekaman tersebut justru pada akhirnya ditonton beramai-ramai dengan para pemuda kampung. Tentu DW sangat depresi. DW tidak dapat membuktikan dirinya tidak bersalah, seorang korban eksploitasi seksual, karena aturan di dalam UU Pornografi sistem hukum telah memposisikannya sebagai pelaku pornografi.

Sama halnya dengan kasus DW, para penari di Bandung yang divonis bersalah juga sebetulnya berada dalam posisi sebagai korban kekerasan. Jika ditelusuri dengan baik, maka indikasi terjadinya trafiking nyata ada. Para penari pada awalnya dipindahkan dari desa asalnya di daerah Cianjur dan sekitar menuju Bandung (unsur pemindahan proses). Mereka dijanjikan bekerja di sebuah cafe sebagai pelayan makanan dan minuman layaknya sebuah restaurant, tetapi ternyata dijadikan penari erotis

5. “10 Penari Terjerat UU Pornografi”, Seputar Indonesia, 3 November 2010

Dokumen terkait