• Tidak ada hasil yang ditemukan

18

AN KOMNAS PEREMPU

18

KOMNAS PEREMPUANAN KOMNAS PEREMPU Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010

18

diskriminatif tersebar di 77 kota/kabupaten di 22 provinsi, dimana Jawa Barat adalah yang ter- banyak (35 kebijakan), disusul berturut-turut, Sumatera Barat (26 kebijakan), Kalimantan Selatan (17 kebijakan), Sulawesi Selatan (16 kebijakan) dan Nusa Tenggara Barat (13 kebijakan). Di tahun 2010 ini Komnas Perempuan mencatat ada 5 wilayah baru yang mengeluarkan kebijakan diskriminatif, diantaranya adalah Sulawesi Barat (1 kebijakan), Kalimantan Barat (1 kebijakan), Jambi (1 kebijakan), Sulawesi Tengah (1 kebijakan) dan Nasional (7 kebijakan).

Salah satu contoh kebijakan daerah diskriminatif yang hadir di tahun 2010 ini adalah Peraturan Bupati Aceh Barat No. 5 Tahun 2010 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Mei 2010. Peraturan Bupati ini melarang perempuan memakai pakaian dan celana ketat. Untuk implementasinya, Bupati Aceh Barat menyediakan setidaknya 12.000 rok panjang yang diperuntukkan bagi setiap perempuan yang terkena razia di Aceh Barat. Anggaran untuk rok panjang ini dinilai terbuang percuma karena sejumlah banyak dari rok tersebut hanya menumpuk, tidak dapat digunakan.2 Dalam implementasi,

perempuan yang menggenakan kulot atau celana longgar juga dianggap melanggar kebijakan tersebut dan diminta untuk mengganti celananya itu dengan rok. Situasi ini sungguh merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara untuk berekspresi (untuk memilih pakaiannya) sesuai dengan hati nurani.

Mengutip laporan Kontas Aceh, sepanjang tahun 2010, setidaknya telah terjadi 4 kali pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh, 3 diantaranya untuk kasus Judi dan Minuman Keras, sementara 1 hukuman cambuk lainnya diberlakukan terhadap dua perempuan yang ditangkap karena berjualan makanan pada siang hari bulan Ramadhan. Masih dari Provinsi Aceh, menurut data Wilayatul Hisbah (WH) Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, ada 301 orang perempuan Aceh yang ditangkap untuk kasus khalwat (mesum) sebagai diatur Qanun (perda) No. 14 Tahun 2003 dan 1375 orang perempuan Aceh yang terjaring razia wajib busana muslim sebagaimana diatur dalam Qanun No.

11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam.

Larangan khalwat yang multitafsir dan mengkriminalkan relasi sosial antar jenis kelamin merupakan pelanggaran hak konstitusional atas kepastian hukum dan aturan busana melanggar hak konstitusional atas kebebasan berekspresi sesuai hati nurani. Kedua aturan ini menyebabkan hilangnya hak konstitusional untuk tidak takut berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.

Sementara untuk kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan di tingkat nasional, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 7 kebijakan diskriminatif. Ke-7 kebijakan tersebut terdiri dari: Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi, 2 Putusan Uji Materil Mahkamah Konstitusi terhadap dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan 2 Putusan Uji Materil (Judicial Review) Mahkamah Agung terhadap Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 dan Perda Bantul No.5 Tahun 2007 yang keduanya mengatur tentang Pelarangan Pelacuran. Selain itu ada juga 2 kebijakan diskriminatif kategori landasan moralitas dan agama yang juga hadir di tingkat nasional berupa SKB 3 Meteri tentang Peringatan, dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat serta UU No. 38 Tahun 1999 tentang Zakat.

19

KOMNAS PEREMPUAN

Catatan tahunan Tentang Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010 KOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUANKOMNAS PEREMPUAN

19 19 19

Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materil UU Pornografi, dengan satu pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi, merupakan kegagalan Mahkamah Konstitusi di dalam menjaga mandat Konstitusi untuk merawat landasan berbangsa-negara Indonesia yang menghargai kebhinekaan Indonesia. UU Pornografi jelas mempertaruhkan kewibawaan hukum, demokrasi substantif dan keutuhan bangsa, sebagai mana terlihat dalam berbagai reaksi menolak kebijakan itu sejak masa penyusunannya; bahkan ada daerah-daerah yang tidak akan mengakui hukum nasional itu dan mengancam berpisah dari Indonesia. Selain daripada itu, UU Pornografi ini juga memiliki karakter yang sama dengan 52 dari ke-189 kebijakan diskriminatif yang mengkriminalisasi perempuan dan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Pada pengajuan uji materil terhadap UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, meskipun ada pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Maria Farida. Komnas Perempuan menganggap bahwa keputusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan kebijakan diskriminatif karena telah melanggengkan praktek diskriminasi yang terjadi

kepada kelompok penganut agama di luar enam agama yang “diakui” oleh pemerintah tersebut.

Komnas Perempuan mencatat bahwa ada banyak perempuan dan anak yang menganut agama di

luar enam agama yang “diakui” negara tersebut seringkali mengalami diskriminasi dan kekerasan

berlapis akibat kebijakan tersebut, sebagaimana juga yang dijelaskan oleh Hakim Konstitusi, Maria Farida:

”Walaupun dalam undang-undang a quo tidak menyebutkan adanya enam agama yang “diakui” oleh negara, namun di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan telah terbukti bahwa yang diberikan jaminan dan perlindungan serta bantuan-bantuan hanya keenam agama tersebut, hal ini terjadi misalnya dalam penerbitan kartu tanda penduduk, penerbitan kartu kematian, atau dalam pelaksanaan dan pencatatan perkawinan.” 3

Diskriminasi dan kekerasan berlapis ini terjadi karena kesulitan para penganut agama di luar enam

agama yang “diakui” pemerintah tersebut untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang

seyogyanya dimiliki oleh seluruh warga negara Indonesia. Perempuan yang tidak memiliki KTP kehilangan hak-hak dasarnya dalam politik dan akses pada layanan publik, termasuk layanan hukum dan layanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi yang sangat ia butuhkan. Ia juga tidak bisa mencatatkan perkawinannya. Ketika perceraian terjadi ataupun suami meninggal dunia, perempuan kehilangan hak atas harta bersama maupun warisan, dan demikian juga anak-anak hasil perkawinan tersebut. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan distigma sebagai anak di luar nikah atau anak haram. Akibatnya anak tersebut tidak dapat menikmati haknya untuk tumbuh dan berkembang dalam situasi yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Hak ini sesungguhnya dijamin Pasal 28B (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 dan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kewenangan pembatalan kebijakan daerah yang diskriminatif khususnya perda yang dimiliki oleh Mahkamah Agung ternyata tidak dapat di laksanakan dengan baik. Pada tahun 2010, Komnas Perempuan mencatat Mahkamah Agung telah menolak pengajuan Judicial Review (JR) yang dilakukan oleh masyarakat Bantul terkait penerapan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2007 tentang Pelarangan Prostitusi. Penolakan Mahkamah Agung ini hanya didasari oleh alasan tekhnis semata, dimana

3. Pendapat Berbeda Hakim Konstitusi Maria Farida, Putusan No.140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Mahkamah Konstitusi, 2009

Dokumen terkait