• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komponen Model

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 115-126)

PSMP Masukan dar

PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN

E. Model yang Direkomendasikan 1 Rasional

2. Komponen Model

Unsur-unsur komponen model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Peningkatan kemandirian anak tunalaras dikembangkan setelah melalui revisi dan penyempurnaan, selanjutnya dijadikan sebagai konsep model akhir atau disebut model empirik.

a. Perencanaan

Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon peserta, pekerja sosial (peksos), dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai hal yang terkait dengan perencanaan program.

Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam

suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya.

Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (2003), sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada anak tunalaras secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial.

Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung, terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat (Depsos dan Depdiknas) menyatakan kesediannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan lanjutan. Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan yaitu perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif.

Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis kecakapan ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu yang bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi teknis atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan acara penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan pengembangan program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut.

b. Tujuan Pelatihan

Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di pusat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Secara khusus, program ini bertujuan untuk:

1) Meningkatkan kecakapan hidup anak tunalaras yang dapat dijadikan sarana untuk pengembangan diri dan memenuhi mata pencaharian.

2) Menyebarluaskan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial melalui peningkatan kecakapan hidup.

3) Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kelembagaan masyarakat.

4) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang

secara wajar di masyarakat sertamenjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan berkualitas, serta berakhlak mulia.

c. Kelompok Sasaran

Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria sebagai berikut :

1) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) umum.

2) Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bagi mereka diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan kerja.

3) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi : a) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.

b) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum. c) Menjalani putusan hakim.

d) Setelah selesai menjalani pidana anak.

d. Sumber Belajar/Fasilitator

Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar (SB) yang direkrut untuk program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut:

1) Berusia 20-50 tahun

3) Alumni PSMP Handayani Jakarta.

4) Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik 5) Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih

6) Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan

e. Kurikulum

Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 (tiga) aspek yang perlu dilakukan penguatan yaitu: (a) aspek personal, berupa ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) aspek sosial, berupa keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya; dan (c) aspek vokasional, berupa keinginan anak tunalaras untuk menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu menjadi manusia yang produktif dan mandiri.

Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan mempertimbangkan kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang difokuskan pada pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional. Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi kurikulum pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut:

1) Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan selalu diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat. 2) Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan pokok

pengembangan kurikulum.

3) Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan penekanan pada pengembangan kemandirian.

4) Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar.

Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: (1) Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; (2) Kecakapan vokasional tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; (3) Kecakapan vokasional tentang pengelolaan/proses perbengkelan dan jasa; (4) Kecakapan vokasional tentang pemasaran; (5) Kecakapan akademik tentang pengelolaan keuangan; (6) Kecakapan personal tentang pengelolaan organisasi/kelompok yang terlibat dalam kegiatan usaha; dan (7) Kecakapan sosial tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha bersama.

f. Bahan Ajar dan Latihan

Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya dituangkan dalam bentuk diktat/modul yang mencakup bahan ajar kegiatan kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini mencakup :

1) Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan

service dan jasa.

2) Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan, Sumberdaya Manusia (SDM) dan Pengelolaan Keuangan.

3) Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan (las, teknik pendingin, dan otomotif).

g. Media pelatihan keterampilan

Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan- bahan praktik.

h. Metode pelatihan keterampilan

Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hiudp adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik.

i. Waktu dan tempat pelatihan

Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh dari tgl 14 sampai 26 Februari 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6 hari. Kegiatan pelatihan dipusatkan di PSMP Handayani Jakarta, dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 96 jam @ 45 menit.

j. Evaluasi akhir pelatihan

Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan (a) evaluasi pra-pelatihan; (b) evaluasi proses pelatihan keterampilan; dan (c) evaluasi akhir pelatihan keterampilan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek (a) kemampuan memahami materi dan (b) kemampuan mempraktikkan.

k. Pelaksanaan

Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah daerah melalui dinas/instansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial,

Disnakertrans, sumber belajar/fasilitator, tokoh masyarakat dan para kader organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan kecakapan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan satu program pelatihan kecakapan hidup.

Dalam banyak hal pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau terbatasnya sumber daya manusia (sumber belajar dan atau tenaga pendamping) yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang menganut sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga belajar sehingga kemampuan dalam penguasaan materi selama proses dan setelah kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar sendiri.

l. Evaluasi

Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar, terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam proses pelatihan. Bagi sumber belajar/fasilitator evaluasi tersebut bermanfaat

untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja (performance) sebagai pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi, penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitas/sarana pelatihan, serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar (teori dan praktik).

Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber belajar sekaligus melakukan pemantauan (monitoring). Kegiatan para petugas tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan pelatihan kecakapan hidup dalam menguasai kecakapan vokasional (vocational skills) dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras (warga belajar), kesejahteran, dan taraf hidup mereka.

Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa (adult learning) ini, dalam perspektif pendidikan luar sekolah program pelatihan tersebut diimplementasikan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini juga berlaku dalam program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki kecakapan vokasional dan usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan model pada program pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya kepercayaan yang melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-

hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan vokasional lebih menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak mengabaikan aspek kecakapan akademik secara teoretis. Dalam pelatihan kecakapan hidup orang dewasa, kegiatan belajar kecakapan vokasional praktis akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dengan metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan "learning by doing" dan metode pemecahan masalah (problem solving methods) adalah motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu, metode pelatihan kecakapan vokasional juga akan menarik dan bermakna bagi warga belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program (calon warga belajar) melalui kesepakatan bersama.

Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai penguatan untuk kemandirian anak tunalaras. Selain itu, dipaparkan juga mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan menggunakan sistem penghantaran secara terintegrasi.

Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat (SDA, SDM dan nilai-nilai budaya), yang menjadi basis dan sumber pelatihan warga belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan. Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan- keunggulan komparatif dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan perkotaan yang diarahkan kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah.

Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan pelayanan di bidang jasa.

Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga memperhatikan karakteristik warga belajar (anak tunalaras) sebagai kelompok sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran (produk) yang dihasilkan. Kelima, proses kemandirian anak tunalaras melalui model pelatihan kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input,

environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan

kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif.

Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan pengembangan model, baik yang bersifat internal (bersumber dari diri peneliti sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman, antara lain: menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal (bersumber dari peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan). Oleh karena itu, perlu langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi, sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 115-126)