• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPOSISI SEDIMEN

Dalam dokumen SEDIMENTOLOGI DAN STRAIGRAFI (Halaman 48-52)

Batuan sedimen berbeda dengan batuan beku karena batuan sedimen memiliki komposisi yang lebih bervariasi, meskipun ada beberapa diantaranya yang memiliki komposisi sangat sederhana. Konsentrasi unsur-unsur kimia di kerak bumi terutama ditemukan dalam batuan sedimen. Sebagian konsentrat itu merupakan produk pembersihan dan penggabungan residu pelapukan batuan tua, misalnya saja pasir kuarsa yang dapat mengandung silika > 99%. Sebagian lain merupakan produk proses-proses kimia dan biokimia selektif, jika kondisinya memungkinkan.

Contohnya adalah batugamping kalsium-tinggi (mengandung CaCO3 > 99%), garam

batu, dan gipsum. Tidak ada batuan beku yang memiliki karakter seperti batuan-batuan yang disebut terakhir ini.

Mineral-mineral yang terbentuk pada suatu tempat, kemudian terangkut dan diendapkan secara mekanik sebagai komponen endapan sedimen, disebut mineral alogen (allogenic minerals). Mineral-mineral yang terbentuk secara in situ pada tempat pengakumulasian sedimen disebut mineral autigen (authigenic minerals). Karena itu, dalam menganalisis sedimen, kita jangan hanya mengidentifikasi jenis mineral atau hanya menghitung proporsinya, namun kita juga harus menentukan apakah suatu mineral merupakan mineral alogen atau mineral autigen. Lebih jauh lagi, kita harus menentukan apakah suatu mineral autigen merupakan syndepositional authigenic mineral atau postdepositional authigenic mineral. Dengan kata lain, kita harus membedakan mineral mana yang merupakan hasil presipitasi dalam ruang pori batuan dan mineral mana yang merupakan hasil replacement. Untuk dapat menentukan hal itu, kita harus melakukan penelitian terhadap tekstur partikel penyusun sedimen dengan cara mengamati sayatan tipisnya.

Berbeda dengan mineral batuan beku dan batuan metamorf, mineral penyusun batuan klastika bukan merupakan kumpulan setimbang. Mineral-mineral itu tidak dipresipitasikan dalam kesetimbangan satu terhadap yang lain atau terhadap fluidanya. Meskipun tidak berada dalam kondisi kesetimbangan, reaksi-reaksi kimia yang dapat menjadikan sistem itu menjadi setimbang umumnya tidak terjadi karena temperatur dan tekanannya terlalu rendah sehingga kurang mendukung terjadinya reaksi-reaksi tersebut. Komposisi mineral endapan sedimen dapat terubah jika temperaturnya bertambah dan faktor-faktor yang menghambat reaksi dapat teratasi.

Hal inilah yang menyebabkan mengapa batuan sedimen dapat termetamorfosa bila terletak jauh di dalam bumi. Walau demikian, sebenarnya ada reaksi-reaksi yang masih mungkin terjadi di bawah kondisi tekanan dan temperatur yang rendah. Reaksi-reaksi yang disebut Reaksi-reaksi diagenetik (diagenetic reactions) itu terutama terjadi antara komponen detritus dengan fluida ruang pori. Dalam sedimen yang terbentuk melalui presipitasi larutan atau akumulasi biokimia, banyak diantara komponennya bersifat metastabil dan relatif mudah terubah akibat bereaksi. Tipe transformasi diagenetik yang terjadi pada komponen seperti itu adalah pembentukan garam. Pembentukan garam itu pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ruah sedimen tersebut.

Dalam sebagian besar sedimen non-klastika, mineral berada dalam kondisi setimbang. Zen (1959) menunjukkan bahwa kesetimbangan seperti itu terlihat pada sedimen di Peruvian Trench karena adanya reaksi-reaksi diagenetik di dasar laut. Kesetimbangan lain juga ditemukan dalam batuan karbonat Cumberlain Plateau di Tennessee (Peterson, 1962). Tidak diragukan bahwa kesetimbangan seperti itu juga akan ditemukan dalam garam-garam evaporit.

2.4 KLASIFIKASI

Klasifikasi batuan sedimen merupakan masalah yang banyak menguras pemikiran para ahli sedimentologi. Namun, meskipun telah banyak usaha dilakukan, hingga saat ini belum ada satupun bentuk klasifikasi yang memuaskan semua pihak. Karena itu, ada baiknya bila kita mencoba mengangkat masalah itu untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai melalui klasifikasi batuan dan mengetahui prinsip-prinsip penyusunan klasifikasi batuan sedimen. Banyak ahli tidak mengemukakan hal ini secara eksplisit, meskipun ada diantara mereka yang telah membahas filosofi yang melandasi klasifikasi batuan sedimen (Grabau, 1904; Wadell, 1938; Krynine, 1948; Pettijohn, 1948; Lombard, 1949; Rodgers, 1950; Middleton, 1950).

Seperti dikemukakan oleh Rodgers, masalah klasifikasi akan berbuntut panjang karena berkaitan dengan masalah tatanama atau tata istilah. Nama ilmiah menyatakan suatu kelompok atau kategori objek sehingga mengimplikasikan klasifikasi. Klasifikasi pada hakekatnya merupakan usaha untuk mengelompokkan objek ke dalam kategori-kategori tertentu, ke dalam kategori mana kemudian diberikan nama. Jadi, tujuan pertama dari klasifikasi adalah untuk memberikan nama kepada setiap kategori sedemikian rupa sehingga dalam mengemukakan suatu objek kita cukup menyatakan namanya saja; tidak perlu membuat pemerian panjang lebar tentang keseluruhan ciri objek tersebut. Hanya dengan cara seperti inilah maka komunikasi dapat menjadi lebih lancar. Karena itu, agar dapat memenuhi fungsi tersebut, suatu

sistem klasifikasi dan tatanama hendaknya disepakati oleh orang-orang yang memerlukan adanya sistem tersebut.

Di lain pihak, sebagaimana dikemukakan oleh Grabau, presisi dalam penyusunan skema klasifikasi akan memicu peningkatan presisi pemikiran kita dan sangat bermanfaat sebagai sebuah disiplin mental. Klasifikasi merupakan suatu cara khusus untuk mengungkapkan pengetahuan kita mengenai suatu objek. Dengan demikian, penyusunan skema klasifikasi suatu objek pada dasarnya merupakan usaha untuk menyusun pengetahuan kita mengenai objek tersebut. Jadi, tujuan kedua dari klasifikasi adalah menyajikan pengetahuan kita secara sistematis.

Pendefinisian suatu kategori benda memerlukan pemilihan parameter-parameter pembatas. Pemilihan parameter mungkin didasarkan pada konvensi, penggunaan sehari-hari, atau berdasarkan kesepakatan diantara pemakainya. Namun, patut diingat bahwa karena genesis batuan merupakan tujuan akhir dari setiap penelitian batuan, maka parameter-parameter yang dipilih dalam menggolongkan suatu batuan hendaknya memiliki nilai genetik. Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam menggolongkan batuan sedimen muncul karena ketidakberhasilan kita dalam mengenal perbedaan-perbedaan mendasar antara batuan klastika (batuan eksogenetik) dengan batuan kimia (batuan endogenetik). Sifat-sifat penting dari kelompok pertama bukan merupakan sifat-sifat penting dari kelompok kedua. Jadi, untuk menerapkan parameter-parameter tekstur yang sama terhadap semua batuan karbonat, yang pada kenyataannya merupakan endapan poligenetik, justru akan menyebabkan timbulnya kebingungan mengenai sejarah alaminya.

Batuan merupakan benda dengan sifat yang kompleks dan kita tidak mungkin (dan tidak perlu) menyusun skema klasifikasi yang didasarkan pada semua sifat sedimen. Suatu klasifikasi yang berguna cukup mendasarkan diri pada dua atau tiga sifat. Sifat-sifat lainnya diabaikan. Pertimbangan yang dipakai untuk memilih Sifat-sifat-Sifat-sifat yang akan dijadikan variabel klasifikasi tidak hanya sifat yang memiliki arti genetik, namun juga relevan. Memang, tidak diragukan lagi bahwa setiap sifat memiliki kebenaan tersendiri. Namun, tidak setiap sifat relevan dengan tujuan penelitian. Maksudnya, setiap sifat yang dipilih sebagai variabel klasifikasi hendaknya mudah diamati/diukur serta tidak memerlukan metoda dan peralatan yang terlalu rumit untuk mengenal-nya. Sebagai contoh, magnetic susceptibility memiliki arti penting genetik yang sama dengan besar butir, namun sifat kurang relevan dengan tujuan penelitian kita karena untuk mengetahui sifat itu kita perlu melakukan pengukuran-pengukuran yang rumit. Contoh lain, komposisi kimia juga penting dan berguna, namun kurang terpakai dalam klasifikasi batuan sedimen.

Di atas telah dikatakan bahwa setiap klasifikasi batuan didasarkan pada sifat-sifat yang penting. Masalahnya sekarang adalah: Sifat-sifat mana yang hendaknya dianggap penting? Masalah pemilihan sifat yang dipandang penting sebenarnya dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan. Berbagai gagasan dan penemuan baru akan mempengaruhi pemilihan kita sehingga dapat mengubah sistem klasifikasi dan tatanama yang ada. Karena itu, tidak mengherankan apabila ada suatu klasifikasi, setelah suatu selang waktu tertentu, kemudian direvisi atau diubah sama sekali. Ketidakstabilan sistem klasifikasi dan tatanama seperti itu memang dapat mengganggu studi, namun hal itu harus disambut dengan gembira karena merupakan bukti adanya kemajuan. Hal itu juga menyadarkan kita bahwa pada hekekatnya klasifikasi merupakan kodifikasi dari gagasan dan konsep yang kita miliki, sedangkan kita tahu bahwa konsep dan gagasan ilmiah selalu berubah.

Klasifikasi batuan sedimen bersifat tradisional dan boleh dikatakan baru berkembang. Memang telah ada usaha untuk membuat standar kuantitatif: mendefinisikan kembali berbagai peristilahan, membuat batas-batas kuantitatif, serta menghilang-kan istilah-istilah yang keliru dan tidak berguna. Usaha-usaha itu ada yang ditujukan pada sebagian jenis batuan sedimen (lihat misalnya beberapa laporan Committee on Sedimentation; Wentworth & Williams 1932, tentang sedimen piroklastik; Wentworth 1936, tentang batuan klastika kasar; Allen 1936, tentang batuan klastika berbutir sedang; Twenhofel 1937, tentang batuan klastika halus; dan Tarr 1938, tentang batuan sedimen silikaan). Ada juga usaha-usaha lain yang ditujukan untuk menyusun sistem klasifikasi menyeluruh dari batuan sedimen.

Salah satu hal yang menimbulkan kesulitan dalam penyusunan skema klasifikasi menyeluruh dari batuan sedimen sebenar-nya sederhana, yaitu karena endapan sedimen bersifat poligenetik. Jika suatu skema klasifikasi disusun berdasarkan sifat yang memiliki arti genetik penting, biasanya skema itu hanya berguna untuk kerabat sedimen tertentu, namun kurang atau bahkan tidak berguna sama sekali untuk kerabat sedimen yang lain. Sebagai contoh, konsep kematangan (maturity) memang bersifat mendasar, namun hanya dapat diterapkan pada sedimen yang merupakan residu pelapukan batuan sumber dan tidak berarti bila diterapkan pada material piroklastik. Provenansi juga merupakan konsep dasar untuk memahami tekstur dan komposisi batuan klastika, namun hanya sedikit atau tidak berguna bila diterapkan pada sedimen kimia. Dari dua contoh di atas jelas sudah bahwa sukar bagi kita untuk menyusun suatu skema klasifikasi yang menyeluruh pada endapan sedimen.

Namun, masih mungkin bagi kita untuk membentuk skema-skema klasifikasi parsial yang dapat diterapkan pada kerabat endapan sedimen tertentu. Sebagai contoh, banyak ahli telah mencoba menyusun skema klasifikasi batupasir dan batugamping.

Di lain pihak, kita juga melihat adanya skema-skema klasifikasi yang dipandang masih belum memuaskan, sesuai dengan perkembangan geologi masa sekarang, misalnya klasifikasi sedimen argilit.

Dalam buku ini penulis mencoba untuk membedakan batuan sedimen ke dalam kerabat-kerabat seperti yang terlihat pada gambar 2-3. Skema klasifikasi itu disusun hanya berdasarkan konvensi belaka. Untuk mengetahui skema klasifikasi parsial untuk setiap kategori sedimen itu, pembaca dapat melihatnya dalam setiap bab yang khusus membahasnya.

Dalam dokumen SEDIMENTOLOGI DAN STRAIGRAFI (Halaman 48-52)