• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Fisik dan Keadaan Perumahan

Dalam dokumen Laporan DAn Praktikum Dan Revisi.docx (Halaman 40-52)

BAB III Status Sosial dan Ekonomi

3.1 Kondisi Fisik dan Keadaan Perumahan

Kondisi fisik dan keadaan perumahan penduduk merupakan salah satu acuan dalam melihat 36.73% 55.10% 8.16%

Tingkat Keadaan rumah penduduk

rendah sedang tinggi

tingkat kemajuan perekonomian di suatu wilayah. Secara umum, tinggi rendahnya tingkat kondisi fisik dan perumahan penduduk, cukup mampu memberikan gambaran umum tentang kehidupan masyarakat di Desa Kemantren.

Diagram diatas menunjukkan perbedaan tingkat keadaan fisik rumah penduduk, dimana lebih dari 50% keadaannya berada pada kategori sedang. Hal ini juga menunjukkan bahwa terjadi pemerataan kondisi rumah di beberapa wilayah desa. Namun disamping itu, sekitar 37% rumah penduduk berada pada kategori rendah. Jumlah tersebut tergolong cukup tinggi mengingat hanya 8% penduduk yang memiliki rumah dalam kategori tinggi. Jika merujuk pada keterangan sekretaris desa, tingkat kesejahteraan penduduk tidak bisa diukur berdasarkan kondisi rumahnya. Peneliti sedikit banyak setuju dengan pendapat tersebut, karena beberapa rumah responden tergolong layak huni meskipun mereka bekerja sebagai buruh atau kuli sekalipun. Ada beberapa indikator yang menjadi pertimbangan peneliti dalam menentukan tingkat kesejahteraan penduduk. Rinciannya terdapat dalam beberapa tabel dan diagram berikut.

Merujuk pada hal tersebut, status

Diagram 3 1 Tingkat Keadaan Rumah Penduduk

4.00%

Status Tempat Tinggal

Kontrakan Milik Saudara Rumah Milik Sendiri

kepemilikan rumah menjadi salah satu perhatian peneliti sebagaimana dalam tabel berikut ini.

Jika mengacu kepada tabel diatas, terlihat bahwa 96 % status tempat tinggal penduduk adalah hak kepemilikan sendiri. Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang tinggak di kontrakan milik saudara yang berjumlah sekitar 4%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Kemantren memiliki rumah hunian sendiri. Meskipun demikian, rumah tersebut umumnya adalah rumah warisan dan bukan rumah baru yang dibangun secara mandiri. Hal ini juga menunjukkan tingkat mobilisasi penduduk dalam hal pembangunan rumah secara mandiri yang cenderung rendah. Beberapa responden mengaku bahwa rumah warisan tersebut adalah hasil peninggalan dari orang tua mereka, sehingga telah menjadi suatu kebiasaan yang turun temurun. Disamping itu, tingginya tingkat kepemilikan rumah sendiri menunjukkan bahwa penduduk Kemantren memiliki tingkat kewajiban membayar pajak yang juga tergolong tinggi.

Diagram 3 2 Status Tempat Tinggal

Adapun komponen lain terdiri dari jenis atap, dinding, dan lantai terluas bangunan. 2.00% 98.00% Jenis Dinding Bambu Tembok 2.00% 12.21% 10.21% 73.57% 2.00%

Jenis Lantai

Tanah Plester Tegel Keramik Marmer 18.82% 81.18% Jenis Atap Asbes Genteng

Tabel diatas menyajikan beberapa data mengenai jenis atap, lantai dan dinding rumah penduduk. Sekitar 2% responden menyatakan bahwa jenis dinding tempat tinggal mereka adalah bambu. Sedangkan 98% sisanya merupakan warga yang pada umumnya sudah memakai bahan dinding berupa tembok. Ini menujukkan bahwa sebagian besar warga Desa Kemantren sudah mampu untuk memiliki bangunan layak huni serta tingkat perekonomian warga Kemantren yang bisa dikatakan cukup baik. Hal tersebut juga terlihat pada jenis atap dan lantai rumah penduduk.

Sekitar 19 % responden menggunakan Asbes sebagai atap rumah mereka. Selanjutnya 81 % responden menyatakan bahwa atap rumah mereka adalah genteng. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar warga Kemantren pada umumnya sudah menggunakan genteng sebagai jenis atap utama yang jauh lebih aman dan nyaman. Hal ini juga mengindikasikan tingkat daya beli penduduk terhadap atap juga tergolong tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada jenis dinding penduduk yang sebagian besar adalah tembok.

Analisis berikutnya, merupakan jenis lantai yang digunakan di rumah penduduk. Sebagian besar warga menggunakan jenis lantai berupa keramik Diagram 3 3 Jenis Bahan Rumah

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

Luas Bangunan

dengan persentase sebesar 74%. Lalu 12 % penduduk menggunakan plester sebagai alas rumah mereka. Selanjutnya bahan bangunan lantai berupa tegel masih digunakan oleh beberapa rumah di dengan presentase hanya mencapai 10%. Sedangkan jumlah penduduk yang menggunakan jenis lantai yang dapat dikategorikan mahal seperti marmer hanya berkisar 2 %. Persentase dengan jumlah yang sama terlihat pada responden yang masih menggunakan tanah sebagai alas rumah mereka sebesar 2 %.

Diagram diatas menunjukkan tingkat variasi luas bangunan rumah responden. Merujuk pada data tersebut, rumah penduduk dengan luas terkecil adalah seluas 28 m2 dengan frekuensi berjumlah 1 orang. Sedangkan jumlah luas

rumah penduduk terluas adalah seluas 1000 m2 dengan frekuensi yang sama.

Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara penduduk dengan luas bangunan terkecil dan terluas. Peneliti melihat bahwa terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara penduduk yang kaya dan yang miskin berdasarkan luas bangunan rumah. Berdasarkan informasi aparatur desa setempat, umumnya masyarakat banyak mendapatkan warisan dari orang tua mereka, sehingga sangat jarang terjadi pemberdayaan terhadap penduduk yang miskin oleh penduduk yang kaya. Namun disamping itu, luas wilayah rumah penduduk di Desa Kemantren berada pada kisaran 60 hingga 150 m2. Hal tersebut juga diperkuat melalui observasi langsung

peneliti terhadap luas bangunan rumah penduduk yang hampir merata di setiap tempat.

Selain mempertimbangkan luas bangunan, peneliti juga membandingkan hasil tersebut dengan luas tanah yang dimiliki oleh penduduk.

Keadaan rumah penduduk juga dapat dilihat pada perbandingan luas antara bangunan rumah dan luas tanah. Peneliti telah membandingkan antara kedua indikator tersebut dan menemukan bahwa sebagian besar wilayah rumah penduduk memiliki luas yang hampir sama dengan luas tanah tempat bangunan

Tabel 3 2 Luas Tanah

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

Luas Tanah

berdiri. Disamping itu, perbandingan antara jumlah luas lahan dapat dikategorikan berbanding lurus dengan luas tanah,

dimana luas tanah terkecil adalah 32 m2 dan luas tanah terluas adalah 1500 m2.

Adanya jarak yang terlalu dekat antara luas wilayah rumah dan wilayah tanah, menyebabkan sebagian besar penduduk memiliki teras rumah yang sangat kecil. Bahkan di beberapa rumah responden, luas bangunan memiliki luas yang sama dengan dengan luas tanah. Namun secara umum, luas tanah penduduk berada pada kisaran 90 hingga 150 m2.

Lebih lanjut,

akses penduduk

terhadap sumber air utama juga menjadi salah satu instrumen penting penelitian ini.

Diagram pie tersebut menjadi patokan peneliti dalam melihat akses air penduduk. Sebesar 59% penduduk menggunakan sumur pribadi sebagai sumber air utama. Terlebih untuk kegiatan seperti memasak, mandi dan bentuk pemanfaatan lainnya. Disamping itu, sebanyak 21% responden menggunakan sumur secara komunal. Dalam pranatanya, pemanfaatan sumur tersebut umumnya digunakan oleh masyarakat yang memiliki kekerabatan yang dekat. Hal tersebut

Diagram 3 4 Sumber Air

sumur komunal; 20.41% sumur pribadi; 59.18% PDAM; 18.37% lainnya; 2.04% Sumber air

sumur komunal sumur pribadi PDAM lainnya

<10; 59.18% >10; 40.82%

JARAK SUMBER AIR KE TEMPAT PENAMPUNGAN

<10 >10

juga ditunjang dengan struktur perumahan penduduk yang mengelompok berdasarkan kekerabatan mereka. Lebih jauh, sebanyak 18% responden menggunakan aliran air dari PDAM. Namun distribusi penggunan air belum merata di seluruh desa. Umumnya penduduk yang dekat dengan pusat perekonomian desa seperti di wilayah Krajan dan Alas Kulak. Lebih lanjut, hanya 2% penduduk yang memanfaatkan sumber air lainnya.

Peneliti membandingkan antara jarak sumber air dengan tempat penampungan tinja, untuk mengetahui akses penduduk terhadap kebersihan dan ketersediaan air bersih. Sekitar 59 % responden membuat penampungan tinja mereka kurang dari 10 m dari sumber air. Masyarakat Kemantren belum begitu sadar tentang pentingnya jarak antara sumber air dan tempat penampungan. Umumnya mereka hanya mempertimbangkan efektifitas akses terhadap air tanpa mempertimbangkan kebersihannya. Sedangkan 41 % sisanya telah memberikan jarak lebih dari 10 m antara sumber air dengan tempat pembuangan tinja.

Diagram 3 5 Jarak Sumber air ke

tidak ada;

2.04% bersama; 2.04%

sendiri; 95.92%

Fasilitas BAB

Statistik menunjukkan bahwa 96% masyarakat Kemantren telah memiliki fasilitas BAB sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk Kemantren sangat mempertimbangkan masalah kebersihan kamar mandi. Hal ini juga sangat berkaitan dengan berbagai jenis penyakit yang mungkin muncul jika kebersihan kurang dijaga. Namun demikian terdapat sebagian kecil responden yaitu sebesar 2% belum memiliki fasilitas BAB sendiri. Umumnya mereka menggunakan sungai. Sedangkan 2 % penduduk lainnya menggunakan sistem kamar mandi bersama.

44

Diagram 3 6 Fasilitas

Diagram 3 7 Jenis Kloset cemplung; 2.04% plengsengan; 6.12% kloset jongkok; 79.59% kloset duduk; 12.24% jenis kloset LAUT/PANTAI/ SUNGAI/DANAU; 6.12% KOLAM/ SAWAH/ TEGAL; 2.04% LAINYA; 4.08%

Masyarakat Desa Kemantren mengalami perubahan sosial dalam bentuk modernisasi fasilitas BAB. Dahulu, mereka memanfaatkan aliran sungai untuk buang air ke besar. Namun perubahan dalam peremajaan teknologi mendorong masyarakat untuk beralih dari kamar mandi umum menuju kamar mandi yang bersifat private. Penduduk yang belum mampu melakukan peremajaan fasilitas dianggap sebagai penduduk yang memiliki tingkat perekonomian yang masih rendah. Merujuk pada data yang ada, sekitar 80 % penduduk sudah memiliki kamar mandi pribadi dengan jenis kloset jongkok, 12 % kloset duduk, 6 % memanfaatkan plengsengan sebagai tempat buang air besar, dan 2% sisanya di cemplung. Stratifikasi juga dapat dilihat dari jenis kloset yang digunakan untuk buang air besar. Namun secara garis besar masyarakat Kemantren sudah memiliki tempat untuk buang air besar secara pribadi.

Diagram diatas menunjukkan ada sekitar 88% responden yang menggunakan tangki sebagai tempat pembuangan akhir. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh tingginya jumlah penduduk yang memiliki tempat buang air besar secara pribadi.

PELITA/SENTIR/

OBOR; 4.08% LISTRIK NON PLN; 2.04%

LISTRIK PLN; 93.88% SUMBER PENERANGAN PELITA/SENTIR/OBOR LISTRIK NON PLN LISTRIK PLN

Sebagian kecil sisanya yaitu sekitar 6 % menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir. 2 % memanfaatkan tegalan di dekat desa, dan 4 % sisanya memanfaatkan tempat-tempat umum lainnya.

Dari penelitian di Desa Kemantren, hampir seluruhnya memanfaatkan listrik PLN dengan persentase sebesar 94%. Namun demikian, tidak semua responden menggunakan listrik dari PLN, dimana terdapat 2% responden menggunakan listrik non PLN seperti genset, dan 4% sisanya menggunakan obor. Hal ini dapat dilihat sebagai indikasi adanya penyaluran listrik yang tidak merata. Jumlah tersebut juga memberikan gambaran bahwa masih ada penduduk yang tidak mampu untuk mendapatkan akses listrik yang layak. Masyarakat yang tidak mendapatkan akses terhadap ketersediaan listrik menunjukkan bahwa di Desa Kemantren masih terdapat penduduk yang memiliki struktur ekonomi yang sangat rendah. Diagram 3 9 Sumber KAYU BAKAR; 16.33% ELPIJI/GAS; 83.67%

bahan bakar untuk memasak

Pemanfaatan bahan bakar untuk memasak akan memberikan gambaran tentang akses penduduk terhadap ketersediaan sumber daya yang ada. Diagram tersebut menyajikan bahwa sebesar 84% responden menggunakan gas/elpiji untuk sebagai bahan bakar utama untuk keperluan memasak. Jumlah tersebut tergolong tinggi, yang menunjukkan tingkat konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan gas/elpiji juga tinggi. Disamping itu, terdapat sekitar 16% sisanya masih memanfaatkan kayu bakar. Masyarakat sudah melakukan perubahan dari kayu bakar ke gas/elpiji. Dahulu kayu bakar masih menjadi bahan bakar utama, namun sekarang masyarakat lebih cenderung menggunakan gas elpiji. Meskipun terkadang masyarakat juga menggunakan keduanya untuk kebutuhan sehari-hari.

Dalam dokumen Laporan DAn Praktikum Dan Revisi.docx (Halaman 40-52)

Dokumen terkait