• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC

4.4.1 Penawaran dan Permintaan Ekowisata

4.4.2.1 Kondisi Penawaran Agroforestri

Komponen tempat tumbuh serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat sangat menentukan keberhasilan pengembangan agroforestri dan akan mempengaruhi produksi tanaman pertanian dan kehutanan. Oleh karena itu kajian terhadap potensi sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat dilakukan untuk melihat potensi pengembangan agroforestri bagi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat.

a) Potensi Sumber Daya Alam

Daerah penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan memiliki jenis tanah Andosol, Aluvial, Podsolik, Grumosol, Mediteran, Latosal dan Regosol, dengan kedalaman efektif tanah berkisar 30 cm–90 cm, serta curah hujan antara 3.000–4.000 mm/tahun menjadikan wilayah ini subur dan memiliki iklim yang kondusif bagi tumbuhnya berbagai macam flora. Potensi sumberdaya air yang telah dimanfaatkan yaitu 43 sungai yang mengalir ke daerah penyangga TNGC, yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri, rumah tangga kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan produksi tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan utama di Kabupaten Kuningan yang cenderung mengalami peningkatan, seperti diperlihatkan pada Gambar 24.

Gambar 24 Produksi tanaman hortikultura utama

Gambar 25 Produksi tanaman perkebunan

Jenis kayu yang berasal dari kebun-kebun milik masyarakat di Kabupaten Kuningan sebagian besar terdiri dari jenis jati, sonokeling, mahoni, pinus dan kayu sengon, pisuk, mindi, suren an kayu afrika. Perkembangan produksi kayu rakyat ini berfluktuasi dari tahun ke tahun, sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 karena adanya penjarangan sehingga kayu yang diproduksi berukuran kecil, seperti dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26 Produksi kayu utama di Kabupaten Kuningan

Produksi (ton)

Produksi (m3) Produksi (ton)

128

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani agroforestri dan industri pengolahan kayu, pada kawasan daerah penyangga TNGC sebagian besar kayu yang dihasilkan adalah dari jenis kayu sengon, pisuk dan afrika (dengan istilah setempat disebut kayu rawa) karena masa panen yang relatif lebih cepat. Penurunan produksi kayu pada tahun 2008 dikarenakan kayu yang dipanen hanya bersifat penjarangan, sehingga kayu yang dihasilkan berkualitas rendah. b) Potensi Sosial Ekonomi dan Budaya

Desa penyangga yang potensial untuk pengembangan agroforestri, yaitu desa Karangsari, Seda dan Pejambon. Kebiasaan masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu serta pola tanamnya dipengaruhi budaya atau kebiasaan masyarakat yang sudah dilaksanakan turun temurun.

Di Desa Karangsari, budaya masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1972. Pada saat itu masyarakat desa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sawah dan petani lahan kering banyak yang ikut serta dalam kegiatan penanaman di hutan produksi Perhutani dengan sistem tumpangsari. Kegiatan ini lambat laun membuat masyarakat memiliki ketrampilan dalam menanam tanaman kehutanan, khusunya pinus.

Kebutuhan masyarakat akan kayu yang digunakan untuk membangun rumah dan fasilitas umum lainnya, seperti mesjid, dll, membuat masyarakat berfikir untuk menanam kayu dilahan milik yang selama ini diperoleh dengan cara membeli. Pada awalnya masyarakat memperoleh bibit kayu dengan cara “mencuri” di persemaian Perhutani. Namun oleh pihak petugas Perhutani (Mandor dan Mantri) kegiatan itu dibiarkan saja, dengan satu alasan, jika masyarakat dapat menghasilkan kayu di lahan milik, maka akan mengurangi tingkat pencurian kayu di kawasan hutan Perhutani (hasil wawancara dengan Kepala Desa Karangsari, yang pernah bertugas sebagai Mandor dan Mantri di desa Karangsari 2011). Budaya menanam kayu ini kemudian berkembang hingga saat ini, dan mengalami perbedaan kepentingan. Jika dahulu 95% hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat, namun dengan meningkatnya berbagai kebutuhan masyarakat saat ini sudah mengarah kepada kepentingan ekonomis. Masyarakat sudah mulai menjual pohon kayunya untuk memenuhi kebutuhan seperti hajatan dan biaya sekolah. Namun demikian, budaya masyarakat untuk membangun rumah bagi keluarga dengan menggunakan kayu dari lahan milik sampai saat ini masih terus dilakukan dan menjadi prioritas

utama tujuan menanam pohon. Hal ini terlihat dari masih tingginya keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kayu-kayuan meskipun membutuhkan masa panen lebih lama dibandingkan hasil sayuran, palawija dan kopi yang menjadi komoditas unggulan masyarakat Karangsari.

Demikian juga dengan masyarakat desa Seda. Penanaman kayu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendirikan atau merenovasi rumah bagi keluarga, serta untuk fasilitas umum, masih menjadi budaya masyarakat hingga saat ini. Hal ini berdampak pada kegiatan penanaman tanaman kayu-kayuan, khususnya sengon yang berkembang dengan baik. Umumnya warisan orang tua kepada keturunannya diberikan dalam bentuk kebun, sehingga di desa ini terlihat baik tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree System/MPTS) maupun tanaman kehutanan pada lahan agroforestri rata-rata sudah berumur diatas 20 tahun dan dalam tahap regenerasi. Masyarakat sebagian besar sudah menikmati hasil penjualan kayu seperti mahoni dan menggunakannya untuk membeli kebun.

Perkembangan kegiatan agroforestri di lahan milik di desa Pajambon tidak sebaik Karangsari dan Seda, pertama karena luas kepemilikan lahan milik di desa Pajambon relatif lebih rendah (rata-rata 0,2 ha) dan kedua, pada saat ini masyarakat Pajambon lebih senang menanam dengan pola monokultur, seperti jambu biji merah dan jahe yang terlihat berkembang dengan baik, bahkan banyak lahan persawahan yang beralih penggunaan menjadi tegalan untuk ditanami jambu merah. Meskipun demikian, keterbatasan lahan tidak menjadi penghambat bagi masyarakat untuk tetap menerapkan pola agroforestri meski dalam skala kecil.

Dalam hal potensi kayu rakyat, peningkatan luas hutan rakyat dari tahun 2004 hingga tahun 2007 untuk Kecamatan Darma (desa Karangsari) sebesar 14%, dengan jumlah pohon terbanyak albizia, afrika dan suren. Kecamatan Mandirancan (desa Seda) mengalami peningkatan sebesar 10%, dengan jumlah pohon terbanyak mahoni, albizia dan afrika, sedangkan Kecamatan Kramatmulya (desa Pajambon) mengalami kenaikan sebesar 28%, dengan jumlah pohon terbanyak sengon, mahoni dan afrika (Bappeda 2007). Dari data terlihat bahwa albizia dan afrika merupakan dua jenis tanaman kehutanan yang paling banyak dibudidayakan.

Uraian ketiga desa contoh diatas memberikan suatu gambaran bagaimana kegiatan usaha tani sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan

130

dari kegiatan masyarakat di desa penyangga, jauh sebelum mereka menggarap lahan di kawasan Perhutani, setelah kawasan menjadi taman nasional hingga saat ini setelah tidak lagi menggarap di lahan taman nasional. Pekerjaan sebagai petani masih tetap dilakukan meski dengan keterbatasan kepemilikan lahan yang sempit dan rendahnya modal kerja. Hal ini menurut Mubyarto (1991) karena bagi petani, pertanian tidak hanya sebagai mata pencaharian, tetapi sudah menjadi way of lifeyang menyangkut unsur ekonomi, sosial, budaya dan spiritual. Oleh karena itu alternatif mata pencaharian kepada bidang lain hanya bersifat diversifikasi pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Jumlah keseluruhan petani yang pernah menggarap lahan TNGC pada tiga desa contoh adalah sebanyak 433 KK, dengan rincian desa Karangsari sebanyak 50 orang, Seda 363 orang dan desa Pajambon 20 orang. Setelah tidak lagi menggarap di kawasan TNGC, sebagian besar masyarakat masih tetap bertani pada lahan milik, dengan pekerjaan sampingan sebagai buruh tani, pengepul, suplier kayu, peternak, tukang bangunan, ojek, pedagang dan bekerja di kota. Pada saat menggarap dalam kawasan TNGC lahan milik ini tidak dikelola secara intensif, bahkan ada yang dibiarkan begitu saja dengan alasan kurang subur serta keterbatasan modal.

Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki petani Desa pajambon, Seda dan Karangsari (86% hanya tamat SD) berpengaruh terhadap kemampuannya dalam bertani. Kemampuan dalam pengelolaan agroforestri diperoleh mereka secara otodidak berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Pengetahuan mengenai ilmu-ilmu pertanian dan kehutanan kurang mereka miliki secara benar. Berbagai masalah yang muncul seperti serangan hama dan penyakit tidak dapat diatasi secara maksimal. Hal ini mengakibatkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan menjadi tidak maksimal. Selain pengaruh- pengaruh di atas, keterbatasan pendidikan juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat desa, sebagian besar pemuda desa memiliki pandangan sempit terhadap pekerjaan pertanian. Mereka tidak berminat mengembangkan usaha pertanian dan cenderung memilih usaha di luar bidang pertanian karena mereka berpikiran bahwa petani merupakan pekerjaan yang tidak akan mengangkat mereka dari garis kemiskinan. Oleh karena itu petani agroforestri di ketiga Desa contoh didominasi oleh petani yang berusia diatas 40 tahun, yaitu 57% berusia antara 40 sampai 60 tahun dan 25%

berusia diatas 61 tahun. Kondisi ini akan mempengaruhi keberlanjutan agroforestri dimasa mendatang jika tidak ada regenerasi. Oleh karena itu pengembangan agroforestri harus ditujukan bagi peningkatan nilai ekonomisnya agar menjadi pekerjaan yang diminati generasi muda, serta peningkatan pendidikan/ pengetahuan pada para pemuda desa mengenai manfaat agroforestri. Dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan, Von Maydell (1986) dalam Hairiah, dkk, (2003) menyatakan bahwa agroforestri bertujuan mengusahakan peningkatan pendapatan dan ketersediaan pekerjaan yang menarik serta mempertahankan orang-orang muda di pedesaan. Hasil penelitian Afifudin (2006) menyatakan bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam membangun dan mempertahankan agroforestri tembawang pada masyarakat melayu Sintang dan Sanggau.

Kesempatan kerja pada agroforestri terbuka melalui pengembangan produksinya. Semakin meningkatnya produksi agroforestri akan membuka lapangan kerja melalui kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Dari hasil analisis, persentase responden petani yang bertanam kopi di desa Karangsari sebanyak 53%, di desa Seda 45% dan di desa Pajambon sebanyak 60%. Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam budidaya kopi adalah 12 HOK untuk lahan seluas 0,1428 hektar, dengan produksi = 2,5 kwintal (1,75 ton/hektar), sedangkan untuk budidaya sayuran dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 50 HOK untuk lahan seluas 0,1428 hektar, dengan produksi = 54,70 kwintal. Untuk dua komoditas ini penyerapan tenaga kerja mencapai 62 HOK. Sebanyak 35% dari keseluruhan HOK tersebut adalah pada pekerjaan pemanenan hasil (hasil FGD dengan petani agroforestri 2011). Sebagai gambaran, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Smits untuk mengetahui lamanya kerja per hektar untuk kegiatan penanaman dan pemanenan pertanian pada musim hujan, yaitu kegiatan menanam di Cirebon lamanya 289 jam per ha dan di Banten 151 jam per ha, sedangkan kegiatan pemanenan di Cirebon 946 jam per ha (36%) dan di Banten 1104 jam per ha (31%). Berdasarkan hasil penelitian di Desa contoh dapat dikatakan bahwa pekerjaan pemanenan hasil merupakan pekerjaan yang potensial menyerap tenaga kerja lebih banyak pada kegiatan agroforestri.

Sebagai perbandingan dalam hal produktifitas petani, hasil kerja petani untuk tanaman jagung adalah 3,7 kg per jam, padi ladang 1,4 kg per jam, kopi 0,4 kg per jam dan lada 0,2 kg per jam (Sajogyo 1982). Pembagian kerja

132

sepanjang tahun adalah yang paling penting bagi seorang petani. Hanya pembagian kerja yang baik akan menjamin hasil kerja keluarga terbesar.

Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian McReynolds (1998) yang mengungkapkan bahwa pada kegiatan pertanian, tenaga kerja dengan porsi pengeluaran terbesar adalah pada saat pemanenan, kedua saat pembersihan lahan dan ketiga saat penanaman, seperti dilihat pada Gambar 27.

Gambar 27 Persentase dari total biaya untuk tenaga kerja (Sumber : MAG-OSPA-PERA 1987 dalam McReynolds 1998)

Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani terutama pada saat panen. Seperti contoh yang disajikan pada Gambar 28, yang terjadi di Desa Karangsari, tiga orang anak dipekerjakan oleh Pengepul (Bandar) untuk membantu menjadi tenaga panen dan angkut singkong dengan upah Rp. 100 per kilogram jika jarak antara lokasi panen dengan tempat pengumpulan dekat (kurang dari 100 meter) dan Rp. 200 jika jauh (lebih dari 100 m). Dalam satu hari bekerja rata-rata setiap anak berhasil mengumpulkan uang antara Rp 10.000 hingga Rp 15.000.

Gambar 28 Tenaga kerja anak dalam pemanenan hasil agroforestri Hasil penelitian McReynolds (1998) juga menyimpulkan bahwa, hubungan antara ukuran kepemilikan lahan dengan tenaga kerja yang diperkerjakan adalah banyaknya tenaga kerja per hektar meningkat sebanding dengan menurunnya ukuran luas kepemilikan lahan. Hal ini karena tenaga kerja lebih murah daripada teknologi yang tidak mampu diinvestasikan oleh petani kecil, yang biasanya memiliki pendidikan yang rendah dan memiliki akses yang rendah terhadap orang yang dapat membantu untuk mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi tersebut serta biasanya lahan-lahan petani kecil terdapat di lereng- lereng bukit yang sulit untuk dicapai oleh teknologi traktor atau bajak.

Tanah dan modal merupakan sumberdaya yang terbatas, sedangkan tenaga kerja paling penting digunakan dalam pertanian kecil. Stevens dan Jabara (1988) dalam Wijayanto (2002) mempunyai pendugaan bahwa tenaga kerja hampir 80%-85% dari total nilai sumberdaya yang digunakan dalam sistem pertanian tradisional. Untuk pertanian dengan sistem keluarga seperti yang dilakukan oleh petani di Desa contoh, juga memperkerjakan petani-petani lain di sekitarnya, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi petani lain untuk dapat bekerja di bidang pertanian

c) Potensi Ekonomi Agroforestri

Sebagian besar (90%) hasil dari tanaman pertanian pada lahan agroforestri di tiga desa dijual kepada Bandar (Pengepul). Sedangkan untuk tanaman kehutanan sekitar 60% tanaman yang berupa kayu-kayuan digunakan untuk kebutuhan sendiri, dan jika telah terpenuhi maka sisanya dijual kepada suplier kayu yang akan datang ke lokasi untuk membeli dalam bentuk tegakan pohon. Harga sebatang pohon dihitung berdasarkan besar diameter dan jarak dari jalan mobil. Potensi pengembangan agroforestri di tiga Desa contoh dengan pemilihan jenis komoditas yang paling disukai dan bernilai ekonomis dapat dilihat

134

pada Tabel 43, sedangkan potensi untuk masing-masing desa dijelaskan sebagai berikut;

Tabel 43 Potensi komoditas pertanian desa-desa agroforestri

Desa No Komoditas Pertanian Keuntungan Rata- rata Per tahun

Persentase Petani yang Menanam

Karangsari 1 Cabe rawit 1.893.800 67%

2 Jagung 3.111.250 53% 3 Kopi 2.504.625 53% Seda 1 Melinjo 1.350.000 82% 2 Cengkeh 5.280.000 45% 3 Kopi 3.381.500 45% Pajambon 1 Kopi 1.245.000 60% 2 Kunyit 960.000 25% 3 Bawang daun 300.000 24%

Tabel 44 Potensi komoditas tanaman kehutanan desa-desa agroforestri

Desa No

Komoditas Tanaman Kehutanan

Keuntungan Rata- rata Per tahun

Persentase Petani yang Menanam

Karangsari 1 Kayu Afrika 3.462.852 67%

2 Sengon 19.929.421 60%

Seda 1 Mahoni 1.777.143 88%

2 Sengon 5.666.667 38%

Pajambon 1 Kayu Afrika 180.000 60%

2 Sengon 240.000 40%

(1) Desa Karangsari

Penanaman tanaman palawija dengan tanaman kehutanan sudah dilakukan sejak masyarakat desa Karangsari menggarap di lahan kawasan Perhutani melalui PHBM. Jenis tanaman pertanian cabe rawit, jagung, singkong dan kopi mendominasi hampir sebagian besar tanaman pertanian masyarakat, sedangkan untuk jenis tanaman kehutanan didominasi oleh tanaman sengon, kayu afrika dan pinus. Keuntungan rata-rata dari tanaman pertanian dan kehutanan per tahun serta persentase petani yang menanam jenis tanaman pertanian dan kehutanan dilihat pada Tabel 45.

Tabel 45 Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Karangsari Komoditas No Jenis Tanaman Keuntungan rata-rata per tahun (Rp) Persentase Petani yang Menanam

Tanaman Pertanian 1. Jagung 3.111.250 53%

2. Petsay 5.743.333 40% 3. Cabe rawit 1.893.800 67% 4. Singkong 440.000 53% 5. Lada 6.379.400 27% 6. Kopi 2.504.625 53% 7. Alpuket 3.207.143 47% 8. Pisang 2.721.364 73% 9. Petai 4.125.001 27%

Tanaman Kehutanan 1 Sengon 19.929.421 60%

2 Suren 1.871.893 40% 3 Mahoni 1.211.070 20% 4 Kayu afrika 3.462.852 67% 5 Pinus 319.370 60% 6 Waru 1.846.628 53% 7 Manglid 397.953 20% 8 Jati 4.977.000 7%

Hasil perhitungan pada Tabel 45 memperlihatkan bahwa keuntungan rata- rata responden dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman lada, petsay, petai, alpuket, jagung, pisang, kopi, cabe rawit, dan singkong. Meskipun lada dan petsay memberikan keuntungan yang relatif besar, namun hanya 27% saja responden yang menanam lada dan 40% menanam petsay. Hal ini karena diperlukan modal yang relatif besar untuk menanam kedua komoditas tersebut, terutama untuk pembelian bibit (lada) dan pupuk (petsay). Sebagian besar responen (73%) menanam pisang, karena mudah tumbuh dan tidak memerlukan modal, serta hasilnya cukup menguntungkan.

Tiga tanaman pertanian yang paling banyak ditanam masyarakat adalah cabe rawit, jagung dan kopi. Pemilihan ketiga komoditas pertanian ini didasarkan pada hasil yang relatif menguntungkan, modal yang tidak begitu besar serta kemudahan dalam penanaman. Luas areal penanaman jagung di Kecamatan Darma seluas 1.703 ha, dengan luas panen 1.472 ha, dengan produksi 5.298 ha, sehingga menghasilkan produktivitas sebesar 41,54 kwintal per ha. Faktor iklim terutama angin, hama babi dan penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang dapat mengurangi produktifitas tanaman pertanian ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, penurunan hasil panen tanaman pertanian akan terjadi 10% diakibatkan oleh angin, 20% karena hama babi dan 10% karena adanya penyakit. Oleh karena itu pengembangan tanaman pertanian sebaiknya di utamakan pada ketiga komoditas ini, baik dalam hal peningkatan pengetahuan

136

dan ketrampilan budidayanya, termasuk penanggulangan akibat hama dan penyakit, maupun pengembangan modal serta pemasaran.

Tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata relatif besar di desa Karangsari adalah sengon (Paraserianthes falcataria) sebesar Rp 19.929.421 per tahun, jati (Tectona grandis) sebesar Rp 4.977.000 per tahun serta kayu afrika (Maesopsis eminii) sebesar Rp 3.462.852 per tahun. Meskipun dari sisi keuntungan tanaman jati relatif besar, namun hanya sekitar 7% saja masyarakat yang menanam. Hal ini dikarenakan jati memiliki masa panen yang cukup lama, dibanding tanaman lainnya. Kayu afrika dan sengon menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam, karena memiliki masa panen relatif singkat, untuk Sengon berumur lima hingga enam tahun, memiliki harga yang berlaku di tempat yaitu sekitar Rp 500.000 per pohon (dalam kondisi berdiri), sedangkan untuk kayu afrika dengan dengan umur 10 tahun, memiliki harga sekitar Rp. 800.000 per pohon.

Beberapa contoh pola tanam agroforestri masyarakat dan kegiatan pemanenan di desa Karangsari disajikan pada Gambar 29.

Gambar 29 Pola tanam agroforestri di Desa Karangsari (2) Desa Seda

Penanaman tanaman dengan pola agroforestri sudah dikembangkan selama puluhan tahun oleh 70% masyarakat desa Seda. Campuran antara tanaman cengkeh dan melinjo dengan tanaman sengon, kayu afrika dan mahoni paling banyak dibudidayakan. Dari hasil perhitungan, keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman cengkeh sebesar Rp. 5.280.000, kopi Rp. 3.381.500, dan melinjo Rp. 1.350.000. Oleh karena itu ketiga jenis tanaman banyak dipilih masyarakat untuk ditanam, yaitu 82% menanam melinjo, 45% menanam cengkeh, dan 45% menanam kopi.

Budidaya jenis tanaman ini sudah dilakukan selama puluhan tahun. Para orang tua di desa ini mewariskan tanah yang berupa kebun kepada keturunannya secara turun temurun. Karena tanaman ini berkembang dengan baik, maka sebagian besar masyarakat tidak berusaha untuk merubah jenis tanaman. Beberapa petani pernah mencoba untuk menanam coklat, namun mengalami kegagalan karena tidak dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara, hama babi dan monyet serta penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang mengurangi produksi tanaman pertanian di desa Seda.

Penurunan hasil panen tanaman pertanian seperti pisang, ketela pohon dan kelapa terjadi sebesar 20% karena adanya hama babi dan monyet, serta 20 % karena adanya penyakit, untuk tanaman cengkeh dan melinjo. Oleh karena itu pengembangan tanaman pertanian sebaiknya di utamakan pada ketiga komoditas tersebut, dengan cara peningkatan pengetahuan dan ketrampilan budidaya tanaman khususnya penanggulangan penyakit, pengembangan modal serta pemasaran.

Sebagian besar daerah pertanian dan kebun/ladang penduduk di daerah penyangga sangat berdekatan dengan batas taman nasional, sedangkan jarak pemukiman dengan batas kawasan rata-rata sekitar satu hingga dua km. Dalam beberapa kasus, dekatnya jarak ini menjadi permasalahan, karena gangguan hama seperti babi hutan dan monyet yang menyerang tanaman pertanian dan kebun masyarakat seringkali terjadi. Rombongan babi hutan biasanya menyerang pada sore atau malam hari dengan jumlah 10 hingga 20 ekor. Ancaman ini berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman dan berdampak terhadap pendapatan masyarakat. Untuk mencegah serangan hama tersebut, masyarakat mengadakan sistim jaga malam di ladangnya masing-masing terutama menjelang panen. Belum ada solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini.

Keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian dan persentase petani yang menanam disajikan pada Tabel 46.

138

Tabel 46 Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Seda Komoditas No Jenis

tanaman

Keuntungan rata- rata per tahun (Rp)

Persentase Petani yang menanam

Tanaman Pertanian 1. Melinjo 1.350.000 82%

2. Cengkeh 5.280.000 55% 3. Duren 316.700 27% 4. Lada 200.000 18% 5. Pisang 372.000 45% 6. Kelapa 412.500 18% 7. Kopi 3.381.500 45%

Tanaman Kehutanan 1 Sengon 5.666.667 38%

2 Kayu afrika 832.143 88%

3 Mahoni 1.777.143 88%

4 Waru 100.000 25%

5 Pinus 450.000 13%

Tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata per tahun relatif besar di desa Seda adalah sengon (Paraserianthes falcataria) sebesar Rp 5.666.667 mahoni (Swietenia mahagoni) sebesar Rp 1.777.143, dan kayu afrika (Maesopsis eminii), sebesar Rp 832.143, Kayu afrika dan mahoni menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam (88%), karena disamping relatif lebih baik dijadikan bahan bangunan untuk keperluan membangun/merenovasi rumah, juga memiliki harga relatif tinggi. Umumnya, untuk mahoni dengan masa panen 20 tahun (diameter sekitar 40 cm) seharga Rp 1.000.000 per ponon dan kayu afrika dengan masa panen 10 tahun seharga Rp 500.000 per pohon. Contoh pola tanam agroforestri masyarakat di desa Seda disajikan pada Gambar 30 berikut ini;

Gambar 30 Pola agroforestri antara tanaman Melinjo, Cengkeh, Kopi, Lada dengan tanaman Mahoni dan Kayu Afrika di Desa Seda.

(3) Desa Pajambon

Penanaman dengan pola agroforestri di lahan milik masyarakat belum dikembangkan dengan baik di desa Pajambon. Hal ini karena kepemilikan lahan

masyarakat yang sangat terbatas, yaitu sekitar 99,75% petani memiliki tanah milik dibawah 0,5 ha, serta budaya masyarakat yang lebih menyukai menanam tanaman sayuran (tomat dan sawi) dan tanaman monokultur jambu biji merah. Dari hasil perhitungan, keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman kopi sebesar Rp 1.245.000, kunyit