• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman Responden terhadap Dampak Kerusakan Hutan

4.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC

4.2.1 Pemahaman Responden terhadap Dampak Kerusakan Hutan

Secara umum masyarakat telah memahami dengan baik bahwa kerusakan hutan akan berdampak secara nyata terhadap manusia, satwa, tumbuhan, air, udara, tanah dan hasil pertanian, seperti tersaji pada Tabel 28.

64

Tabel 31 Pemahaman responden terhadap dampak kerusakan hutan No.

Dampak Kerusakan Hutan Terhadap Komponen

Pemahaman Responden Nyata (%) Tidak nyata (%)

1 Manusia 74 26 2 Satwa 82 18 3 Tumbuhan 81 19 4 Air 80 20 5 Udara 79 21 6 Tanah 65 35 7 Hasil Pertanian 81 19 Rata-rata 77 23

Tabel 31 memperlihatkan sebanyak 77% responden masyarakat menganggap bahwa kerusakan hutan berdampak nyata terhadap ketujuh komponen tersebut, dengan persentase tertinggi adalah dampak kerusakan hutan terhadap satwaliar (82%). Nilai ini mengandung makna bahwa menurut pandangan masyarakat, dampak kerusakan hutan yang paling terlihat jelas dan merugikan adalah terhadap satwaliar. Sedangkan dampak kerusakan hutan terhadap tanah, menurut 35% pendapat masyarakat dianggap tidak nyata. Persepsi ini kemungkinan disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi ekologis dari kawasan hutan, padahal seringkali informasi mengenai kejadian erosi dan longsor yang diakibatkan rusaknya kawasan hutan disiarkan melalui berbagai media ataupun menjadi materi penyuluhan oleh berbagai pihak. Pemahaman ini belum dimiliki masyarakat, salah satunya karena belum mengetahui atau mengalami kondisi tersebut. Siagian (2004) menyebutkan bahwa pengetahuan dan pengalaman merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Pengalaman yang dialami sendiri oleh masyarakat akan lebih kuat dan sulit dilupakan dibandingkan dengan melihat pengalaman orang lain.

Namun secara umum masyarakat telah memahami dampak yang akan terjadi jika hutan mengalami kerusakan. Pemahaman ini cukup penting dimiliki masyarakat, sebagai bagian dari proses pembelajaran untuk lebih berhati-hati dalam menjaga lingkungannya dan respek terhadap segala kegiatan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan. Davidoff menyatakan bahwa dengan persepsi, individu dapat menyadari dan mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya, dan juga tentang keadaan individu yang bersangkutan (Walgito 2003) dan persepsi seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya (Siagian 2004).

4.2.2 Pemahaman Responden terhadap Fungsi dan Manfaat TNGC

Pemahaman responden terhadap tujuan dibentuknya taman nasional untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari direspon oleh sebagian besar responden dengan pernyataan sangat tidak setuju (34%) dan tidak setuju (18%), sedangkan respon setuju dan sangat setuju dilakukan oleh 23% dan 15% responden. Sebagian besar responden menyatakan sangat setuju (21%) dan setuju (19%) bahwa fungsi taman nasional adalah menjamin ketersediaan air, namun responden yang tidak sependapat juga cukup banyak (tidak setuju 31% dan sangat tidak setuju 7%). Hal ini karena dalam hal mendapatkan air untuk berbagai kebutuhan, responden menyatakan tidak merasa kesulitan sebelum kawasan menjadi TN. Pemahaman ini mungkin karena sejumlah masyarakat daerah penyangga memperoleh air bukan berasal dari kawasan TNGC, namun dari mata air yang ada di wilayah desa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejak timbulnya kerusakan pada kawasan TNGC karena semakin menyebarnya kebun kopi, sebagian masyarakat desa Seda sudah merasakan kesulitan air pada awal musim hujan karena keringnya mata air pada kawasan TNGC bagian atas (hasil wawancara dengan perangkat desa Seda 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian LIPI (2006) yang menyatakan bahwa mata air kawasan TNGC sudah berkurang sebesar 36,28% (dari 430 titik menjadi 156 titik).

Pemahaman reponden terhadap penyebab kerusakan kawasan TNGC yang sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia dan karena adanya penggarapan lahan pertanian dalam kawasan, belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar responden menyatakan tidak setuju (34%) pada pernyataan pertama, dan pada pernyataan kedua sebagian besar responden (50%) menyatakan tidak setuju. Namun demikian sebagian besar responden telah memahami dan menyatakan setuju (42%) dan sangat setuju (14%) bahwa keberadaan tumbuhan dan satwa liar dalam kawasan TNGC berguna bagi manusia oleh karena itu harus dilestarikan, didukung oleh pernyataan sebagian besar responden (63%) bahwa sebelum menjadi taman nasionalpun menurut mereka perburuan terhadap satwaliar tidak sering terjadi. Dalam hal perlindungan terhadap tumbuhan dan satwaliar dalam kawasan, pada kenyataannya responden cukup memahami, bahkan masyarakat desa Karangsari pernah melaporkan kepada petugas ketika ada macan kumbang yang masuk ke ladang mereka. Demikian juga masyarakat desa Karangsari, Seda dan Pajambon tidak berusaha membunuh sekawanan babi hutan dan monyet

66

yang sering menjadi hama pada tanaman pertanian mereka. Cara mereka mengatasi hanya dengan mengadakan ronda malam pada ladang masing- masing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arjunan et al. (2005) yang membuktikan bahwa sekelompok masyarakat miskin, apakah menerima manfaat atau tidak, cenderung untuk mendukung konservasi harimau karena mengkonservasi satwa liar tidak berdampak terhadap mata pencahariannya. Baik masyarakat yang mampu atau miskin, hanya memiliki rasa khawatir terhadap konservasi hutan dalam kaitannya dengan ketergantungan mereka terhadap produk-produk hutan.

Sebagian besar responden (50%) belum memahami mengenai manfaat taman nasional bagi pengembangan wisata, namun 40% responden dapat memahami bahwa udara sejuk dan bersih yang mereka rasakan merupakan salah 1 manfaat adanya hutan TNGC, serta 54% responden memahami bahwa hutan TNGC yang lestari juga dapat mencegah terjadinya erosi dan banjir.

Tujuan dibuatnya peraturan perlindungan TNGC agar tidak menyebabkan meluasnya kerusakan kawasan TNGC belum secara baik dipahami masyarakat. Sebagian besar responden (61%) menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Demikian juga dengan pernyataan jika hutan lestari maka kehidupan masyarakat akan sejahtera, 80% responden menyatakan ketidaksetujuannya. Pernyataan ketidaksetujuan ini dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi serta manfaat ekologis dan sosial dari TNGC. Berdasarkan pengalaman masyarakat dalam menggarap kawasan sebelum menjadi taman nasional, keberadaan kawasan hutan selalu dikaitkan dengan manfaat ekonomis yang dapat diperoleh secara langsung melalui kegiatan budidaya tanaman di dalam kawasan hutan. Aturan pengelolaan taman nasional yang berbeda dengan Perhutani yang menerapkan sistim Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dipandang merugikan masyarakat karena tertutupnya akses untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Pembentukan TNGC sudah enam tahun berjalan, dan masyarakat masih belum dapat memahami dengan baik perbedaan fungsi dan aturan tersebut. Meskipun, terlepas dari siapa yang bersalah, fakta di lapangan membuktikan bahwa pengelolaan hutan dengan sistem PHBM pada kawasan lindung Gunung Ciremai selama lebih dari 11 tahun (sejak ditetapkan pada tahun 2000, berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor 1061/Kpts/Dir/2000, Perhutani menerapkan program baru pengelolaan hutan yang diberi nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),

telah menyisakan kerusakan hutan yang mencapai luas 3.799,27 atau sebesar 42,54%.

Secara umum responden ternyata kurang memahami fungsi dan manfaat TNGC (53,18%), dan hanya 34,64% responden dalam kategori memahami fungsi dan manfaat TNGC, sedangkan 13,08% sisanya ragu-ragu dalam memahami fungsi dan manfaat TNGC. Gambaran persepsi responden terhadap fungsi dan manfaat TNGC secara lengkap disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9 Persepsi responden terhadap fungsi dan manfaat TNGC Keterangan Notasi :

1. Tujuan dibentuknya taman nasional adalah untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari 2. Keberadaan taman nasional menjamin ketersediaan air yang terus menerus

3. Tumbuhan dan satwa liar yang ada dalam taman nasional berguna bagi umat manusia 4. Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah penggarapan lahan menjadi lahan pertanian 5. Salah satu manfaat taman nasional adalah pengembangan wisata

6. Satwa dan tumbuhan yang berada dalam taman nasional dilindungi 7. Udara sejuk yang dirasakan adalah karena hutan yang lestari

8. Kerusakan yang dialami taman nasional sebagian besar akibat perbuatan manusia 9. Jika hutan lestari maka kehidupan masyarakat akan sejahtera

10. Bertanam sayur di lahan taman nasional tidak akan menyebabkan kerusakan hutan

4.2.3 Sikap Responden terhadap Konservasi TNGC

Sikap (attitude) dapat dinyatakan melalui perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju terhadap suatu benda/obyek/kejadian/ fenomena tertentu (Rosenberg 1960). Pernyataan responden terhadap pembentukan taman nasional sebagian besar (61%) menyatakan sangat tidak setuju dan tidak setuju, dan hanya 28% responden yang menyatakan sangat setuju dan setuju. Pendapat ini muncul karena setelah menjadi taman nasional, menurut sebagian besar responden (47%) mereka tidak mudah lagi dalam memperoleh kayu bakar dan pakan ternak, dan 58% tidak merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional.

68

Dalam menyatakan sikapnya terhadap konservasi TNGC, responden sebagian besar tidak setuju bahwa semua gangguan seperti perburuan satwa, pencurian kayu/tanaman serta kebakaran hutan banyak terjadi sebelum kawasan menjadi TN, mereka tidak setuju bahwa saat ini hutan di taman nasional mengalami kerusakan yang parah dan semua itu diakibatkan oleh ulah manusia. Makna dari pernyataan sikap responden adalah bahwa meskipun kawasan hutan tidak menjadi TN, semua gangguan dan kerusakan tersebut tidak banyak terjadi.

Sebagian besar responden (64%) setuju bahwa pendapatan mereka menurun setelah kawasan hutan dijadikan taman nasional. Hal ini karena sebagian besar responden pernah menggarap di dalam kawasan TNGC rata-rata lebih dari 10 tahun. Mata pencaharian masyarakat yang berasal dari aktivitas yang pertanian dalam kawasan, mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat dari hasil bertani, buruh tani, ojek, pengepul, dan pekerjaan lainnya. Sehingga ketika masyarakat pada November 2010 tidak diperkenankan lagi menggarap di kawasan, cukup banyak masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya (terutama yang tidak memiliki lahan). Hal ini dipertegas dengan pernyataan responden yang sebagian besar (80%) sangat tidak setuju dan tidak setuju hukuman diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani, namun sebagian besar (50%) sangat setuju dan setuju jika hukuman diberlakukan pada orang yang mencuri kayu/satwa di kawasan TN. Dalam hal mata pencaharian, ada satu sistim nilai yang dianut masyarakat. Mereka menyatakan bahwa ‘orang yang hidup dekat laut, akan bekerja dan mencari penghasilan di laut, dan orang yang hidup dan tinggal dekat hutan, bekerja dan mencari penghasilan dari hutan”. Kalimat ini mencerminkan ketergantungan yang besar terhadap kawasan hutan sebagai sumber mata pencaharian.

Responden yang mengatakan bahwa kondisi hutan tidak mengalami kerusakan, tidak selalu bermakna bahwa fungsi hutan tersebut masih baik, namun dapat berarti bahwa masyarakat setempat masih dapat menggantungkan kehidupan sosial ekonominya akibat keberadaan hutan. Selama kegiatan tersebut masih dapat berlangsung tanpa hambatan, maka selama itu pula masyarakat akan menganggap kondisi hutan masih baik, terlepas dari seberapa besar penurunan fungsi tersebut dirasakan masyarakat. Masalahnya adalah tidak selalu masyarakat yang menyebabkan menurunnya fungsi hutan tersebut merasakan akibatnya. Seperti kasus di desa Cipulus (Majalengka), dimana kondisi hutannya sudah banyak terbuka karena menjadi lahan sayuran kentang

hingga ketinggian di atas 1.000 m dpl, masyarakat desa tidak merasakan kekurangan air, tapi justru desa-desa yang berada dibawahnya yang seringkali mengalami kesulitan air, padahal tidak ada 1pun penggarap kawasan TN berasal dari desa yang berada di bawah tersebut.

Sikap positif masyarakat ditunjukkan dari respon sebagian besar responden (76%) yang merasa senang jika mendapatkan penyuluhan tentang manfaat dan fungsi taman nasional. Demikian juga 61% responden merasa yakin bahwa masyarakat mampu menjaga taman nasional dari gangguan pihak manapun. Hal ini dipertegas dengan sikap 36% responden yang setuju bahwa kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu manfaat taman nasional.

Sikap responden terhadap tujuan peraturan pengelolaan taman nasional bagi kelestarian hutan, memberikan respon yang hampir seimbang antara responden yang setuju (42%) dan tidak setuju (41%). Aturan pengelolaan taman nasional yang berbeda dengan Perhutani yang menerapkan sistim Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dipandang merugikan masyarakat karena tertutupnya akses untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Pembentukan TNGC sudah enam tahun berjalan, dan masyarakat masih belum dapat menerima dengan baik perbedaan fungsi dan aturan tersebut. Hal ini dikarenakan kehadiran petugas TNGC belum mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang taman nasional, yang dibuktikan dengan jawaban responden yang sebagian besar (56%) menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai TNGC, serta tidak setuju (43%) dan sangat tidak setuju (5%) bahwa keberadaan petugas TNGC membantu masyarakat lebih paham taman nasional. Meskipun demikian sebagian besar responden (43%) setuju bahwa perlindungan kawasan taman nasional merupakan tanggung jawab petugas dan masyarakat. Namun dalam hal sikapnya jika diminta untuk berpartisipasi terhadap perlindungan kawasan TNGC, 49% responden menyatakan tidak setuju. Artinya bahwa kepedulian responden dalam melindungi kawasan taman nasional merupakan potensi yang dapat dikembangkan melalui peran aktif petugas dalam mensosialisasikan fungsi dan manfaat taman nasional secara lebih komprehensif, tidak hanya sebatas sosialisasi aturan dan larangan (berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dusun Palutungan desa Cisantana, Januari 2011).

70

Dalam kaitannya dengan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap konservasi TNGC, hasil penelitian Oakley (1991) dalam Daoutopoulos and Pyrovetsy (1999) menemukan bahwa ternyata ada sebuah asumsi umum dari pemerintah yang menyatakan masyarakat desa sama sekali tidak memahami issu yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam dan oleh karena itu tidak dapat dipercayakan terhadap tanggung jawab tersebut.

Asumsi ini tentu saja keliru, keterbukaan terhadap berbagai permasalahan lingkungan, termasuk masalah kerusakan yang terjadi di taman nasional, apalagi menyangkut tempat hidup masyarakat desa harus dikomunikasikan secara adil kepada masyarakat. Adil dalam arti, bahwa semua faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan diungkapkan secara terbuka, tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pihak manapun (seperti yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Desa contoh), dan berupaya mencari akar permasalahan dan solusi pemecahan. Pada dasarnya masyarakat dapat diberikan tanggung jawab untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut bersama-sama dengan pihak manapun. Daoutopoulos, G, and Pyrovetsy, M. (1999) telah membuktikan melalui penelitiannya bahwa untuk mencapai kelestarian lingkungan, penting bagi para pembuat keputusan konservasi dan pegawai untuk mendapatkan informasi kepedulian petani terhadap isu-isu lingkungan, mengembangkannya jika perlu, dan menjadikan petani sebagai kunci penting dalam agenda konservasi. Sesuai dengan apa yang dikemukakan Walgito (2003) bahwa sikap seseorang terhadap obyek sikap, dipengaruhi oleh pengalaman langsung orang tersebut dengan obyek sikap tersebut. Orang akan bersikap negatif atau positif terhadap obyek sikap atas dasar pengalamannya.

Secara umum sikap responden terhadap TNGC dalam kategori kurang mendukung (49,94%), kategori mendukung sebesar 36,19% dan 13,88% dalam kategori ragu-ragu untuk menyatakan apakah mendukung atau tidak mendukung terhadap konservasi TNGC. Gambaran pemetaan sikap responden terhadap konservasi TNGC disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Sikap responden terhadap konservasi TNGC Keterangan Notasi :

1. Saya senang kawasan hutan dijadikan taman nasional

2. Saya menjadi mudah memperoleh kebutuhan kayu bakar dan pakan ternak sejak kawasan hutan menjadi taman nasional

3. Saya merasa kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sebelum kawasan hutan menjadi taman nasional

4. Saya merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional

5. Mengambil kayu atau hasil hutan bukan kayu di dalam hutan tidak akan menimbulkan kerusakan hutan 6. Saya senang kawasan hutan menjadi taman nasional karena satwa liar menjadi terlindungi

7. Pendapatan masyarakat menjadi menurun setelah kawasan hutan menjadi taman nasional 8. Saya senang mendapatkan penyuluhan mengenai fungsi dan manfaat taman nasional

9. Hukuman perlu diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani sayur 10. Perlindungan terhadap taman nasional merupakan kewajiban petugas dan masyarakat

11. Saya yakin masyarakat mampu menjaga agar taman nasional tidak mendapat gangguan dari pihak manapun

12. Peraturan dalam konservasi taman nasional dibuat agar hutan tetap terjaga 13. Saya senang jika diminta partisipasi untuk menjaga dan melindungi taman nasional

14. Pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 15. Keberadaan petugas taman nasional membantu masyarakat lebih paham taman nasional

16. Kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu manfaat taman nasional