• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC

4.4.1 Penawaran dan Permintaan Ekowisata

4.4.2.2 Kondisi Permintaan Agroforestri

Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Kuningan, pada tahun 2007 laju pertumbuhan di sektor pertanian mengalami peningkatan sebesar 2,84% setelah pada tahun sebelumnya mengalami penurunan laju pertumbuhan sebesar 1,46%. Pada tahun 2003-2008 rata-rata peranan sektor pertanian sebesar 39%, dan jika dibandingkan setiap tahun peranan sektor pertanian mengalami penurunan, namun peranannya masih dikisaran di atas 30%. Banyaknya pembangunan rumah dan gedung (fisik) menyebabkan berkurangnya lahan pertanian sehingga walaupun kontribusi sektor pertanian paling dominan namun dilihat dari peningkatan produksi cenderung menunjukkan penurunan, terutama tanaman bahan makanan.

Produksi tanaman pertanian dan kehutanan yang dihasilkan oleh petani agroforestri diharapkan dapat seluruhnya terserap oleh pasar. Hal ini ditentukan oleh tingkat permintaan konsumen yang menggunakan hasil tanaman tersebut.

Sebagian besar hasil tanaman pertanian yang dihasilkan oleh masyarakat desa penyangga dijual kepada pengepul setempat, kemudian oleh para pengepul diangkut ke pasar grosir untuk dijual, sedangkan konsumen produk hasil tanaman kehutanan adalah industri kayu (panglong), industri batu bata, dan masyarakat pengguna kayu bakar. Berikut akan diuraikan bagaimana permintaan dari konsumen tersebut.

1) Pasar Grosir Komoditas Pertanian

Pasar grosir komoditas pertanian merupakan tempat dimana berbagai jenis komoditas pertanian diperdagangkan dalam partai besar. Komoditas pertanian ini berasal dari seluruh wilayah kabupaten Kuningan yang hanya memiliki satu pasar grosir. Aktifitas transaksi pasar hampir 24 jam berjalan, terutama pada musim panen. Pembeli yang datang umumnya adalah para pedagang bronjong (semacam agen) yang nantinya akan menjual kembali kepada pedagang eceran. Selain untuk memenuhi kebutuhan sayuran di

Kabupaten Kuningan, beberapa permintaan dari kota Cirebon dan Indramayu juga dipenuhi dari pasar grosir ini. Komoditas pertanian yang diperjualbelikan biasanya tergantung musim. Dengan adanya pasar grosir yang cukup besar ini, maka hampir seluruh komoditas pertanian masyarakat melalui pola agroforestri dapat terserap oleh pasar. Kegiatan pada pasar grosir sayuran terlihat pada Gambar 32.

Gambar 32 Pasar grosir sayuran 2) Kayu Bakar untuk Kebutuhan Rumah Tangga

Permintaan masyarakat desa terhadap kayu bakar cukup tinggi. Sekitar 20% dari masyarakat desa Pajambon menggunakan kayu bakar untuk memasak, desa Karangsari 30% dan desa Seda 30%. Berdasarkan hasil wawancara, kebutuhan kayu bakar per rumah tangga (KK) per bulan (dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang) adalah 2 (dua) m3, dengan harga 1 (satu) m3 sekitar Rp 25.000,-. Dari informasi tersebut dapat diperkirakan jumlah kayu bakar yang dibutuhkan masyarakat dan biaya pengadaan kayu bakar dalam satu bulan, seperti disajikan pada Tabel 48.

Tabel 48 Kebutuhan kayu bakar masyarakat Desa contoh

No Desa Jumlah KK Pengguna Kayu bakar* Jumlah Pengguna (KK/ Rumah Tangga) Jumlah Penggunaan kayu Bakar per

Bulan (m3) Total Kebutuhan Kayu Bakar per Bulan (m3) Biaya Pengadaan Kayu Bakar (Rp/Bulan) 1. Pajambon 686 20% 137 2 274 13.700.000 2. Karangsari 588 30% 176 2 352 17.600.000 3. Seda 651 30% 195 2 390 19.500.000 Jumlah Total 1925 80% 508 6 1016 50.800.000

keterangan : (*) wawancara dengan Perangkat Desa, 2011

Berdasarkan tabel 48 konsumsi kayu bakar masyarakat per bulan ternyata cukup tinggi yaitu 1016 m3, dengan perkiraan biaya pengadaan sebesar Rp. 50.800.000,-. Kebutuhan masyarakat terhadap kayu bakar sepertinya tidak akan berakhir, bukan saja karena harga minyak tanah dan gas elpiji yang kurang

144

terjangkau oleh masyarakat kurang mampu, namun berdasarkan pengamatan di lapangan, bagi masyarakat yang mampu, memasak dengan dengan kayu bakar sudah menjadi budaya. Alasan pertama adalah kekhawatiran akan terjadinya ledakan pada tabung elpiji seperti yang seringkali mereka dengar melalui media, dan kedua menurut responden rasa masakan relatif lebih enak jika dibandingkan memasak dengan kompor. Jumlah pengguna pada Tabel 48 merupakan estimasi berdasarkan wawancara dengan perangkat desa dan masyarakat pengguna kayu bakar, mungkin saja jumlah pengguna lebih banyak karena sejumlah masyarakat memasak menggunakan kompor gas dan kayu bakar secara bergantian.

Kebutuhan kayu bakar per bulan pada perhitungan di atas hanya ditujukan bagi Desa contoh, dan estimasi kebutuhan kayu bakar untuk seluruh rumah tangga di 27 desa penyangga Kabupaten Kuningan (24.197 KK/RT) dapat dihitung dengan menggunakan asumsi tertentu. Jika diperkirakan 20% dari jumlah rumah tangga desa penyangga menggunakan kayu bakar (4.839 KK), maka kebutuhan kayu bakar per bulan mencapai 9.679 m3 atau 116.146 m3 per tahun, dengan besarnya biaya pengadaan sebesar Rp. 483.940.000 per bulan atau Rp. 5.807.280.000 per tahun. Cernea (1998) menyatakan bahwa sesungguhnya agroforestri dapat memenuhi konsumsi kayu bakar masyarakat yang meliputi 80% konsumsi kayu di negara berkembang.

Estimasi konsumsi masyarakat terhadap kayu bakar tersebut membuktikan bahwa, permintaan/kebutuhan kayu dari lahan agroforestri akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu pengembangan agroforestri menjadi salah satu solusi untuk menekan biaya pengadaan kayu bakar untuk masyarakat dan paling penting adalah menjaga agar hutan lindung dan hutan di kawasan TNGC aman dari tekanan.

3) Industri Pengolahan Kayu (Panglong)

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha industri pengolahan kayu, kebutuhan masyarakat akan kayu dari kebun-kebun masyarakat semakin meningkat. Konsumsi kayu bulat dalam satu tahun mencapai 85% hingga 90%. Hal ini karena kayu Kalimantan harganya sudah sangat mahal, dan pemakaian sudah ketat karena maraknya illegal logging, akhirnya konsumen beralih ke kayu masyarakat karena lebih murah. Meskipun sudah banyak yang beralih ke rangka baja, namun harganya cukup mahal, sehingga hanya orang tertentu yang mampu menggunakan.

Banyaknya industri pengolahan kayu di Kabupaten Kuningan sekitar 100 buah, dengan kebutuhan kayu bulat per bulan sekitar 200 m3 hingga 300 m3 dan produksi kayu sekitar 10 m3 per hari, sehingga kebutuhan industri secara keseluruhan adalah sekitar 20.000 m3 hingga 30.000 m3 kayu bulat per bulan. Konsumen yang secara rutin membutuhkan kayu olahan adalah proyek-proyek (perumahan, sekolahan, bangunan kantor), industri mebeler (kursi, meja, bufet, dll) serta industri makau/kusen (lemari, kusen, pintu, dll). Satu industri palet di kabupaten Cirebon juga secara rutin membutuhkan bahan baku kayu, khususnya sengon, serta pabrik plywoodyang baru beroperasi pada tahun 2010 di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan.

Kayu-kayu hasil olahan sebagian besar (90%) dikirim keluar daerah Kuningan seperti Indramayu, Cirebon, Jakarta, Bandung, Semarang, bahkan hingga Surabaya, dan hanya sekitar 10% saja yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten Kuningan, itupun sebagian besar untuk kebutuhan proyek perkantoran, sekolah dan perumahan. Hal ini karena masyarakat Kuningan sebagian besar menanam sendiri pohon-pohonan untuk kebutuhan rumah tangganya. Ada juga industri yang melakukan pemasaran tetap berjumlah 10 toko, yaitu toko material Indramayu dan Cirebon dalam bentuk kayu bangunan (kusen, kaso, balok), proyek sekolahan Jakarta dan Bekasi, serta industri furnitur Plered Cirebon.

Bahan baku rutin dari supplier per minggu, 50% bahan baku kayu berasal dari hutan rakyat dan 50% dari kebun rakyat dari daerah penyangga TNGC. Bahan baku kayu tersebut berasal dari Kec. Kadugede (5 desa), Kec Cigugur (Desa Cisantana) serta Kec Jalaksana (Sukamukti, Babakan mulya, Sayana dan Sangkan Herang). Jenis kayu yang banyak diminati konsumen adalah jenis kayu berkelas seperti jati, pinus dan mahoni, sedangkan kayu yang banyak ditanam masyarakat adalah kayu rawa seperti sengon, afrika, alpuket, mindi. Namun untuk industri pengolahan jenis kayu rawa paling banyak digunakan. Gambaran industri pengolahan kayu di Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada Gambar 33

146

Gambar 33 Industri pengolahan kayu (panglong) di Kabupaten Kuningan 4) Industri Batu Bata

Industri batu bata menggunakan kayu sebagai bahan baku dalam proses pembakaran batu bata sampai siap digunakan. Kayu yang digunakan untuk membakar adalah kwalitas tiga atau jenis kayu seberan dengan harga satu mobil sebesar Rp 200.000 atau sekitar Rp 30.000 per m3. Kayu ini diperoleh dari industri pengolahan kayu. Proses pembakaran sejumlah 20.000 sampai 25.000 batu bata memerlukan waktu sekitar 50 hari jika cuaca terang, dan membutuhkan tiga mobil pick upkayu, dengan volume satu mobil adalah 7 m3. Ini berarti bahwa setiap tahun industri ini melakukan proses pembakaran sebanyak 7,3 kali, dan setiap kali proses pembakaran memerlukan 21 m3 kayu, sehingga jumlah kayu yang diperlukan dalam satu tahun sekitar 153,3 m3 untuk setiap industri batu bata. Kabupaten Kuningan memiliki sekitar 500 industri batu bata, sehingga dalam satu tahun jumlah kayu yang diperlukan sebanyak 76.650 m3, dan jika dinilai dengan uang, setara dengan biaya sebesar Rp. 2.299.500.000 per tahun.

Kayu kwalitas tiga yang dibutuhkan oleh industri batu bata cukup terbatas jumlahnya karena keterbatasan produksi yang dihasilkan oleh industri pengolahan kayu. Oleh karena itu jika tidak mencukupi, maka kayu yang dihasilkan oleh industri pengolahan kayu dibagi secara merata kepada industri batu bata yang membutuhkan. Keterbatasan banyaknya kayu untuk proses pembakaran disiasati oleh industri batu bata dengan cara mengganti kayu dengan bambu. Namun ternyata selain batu bata yang dihasilkan kurang bagus, juga proses pembakaran dengan bahan bakar bambu relatif lebih lama. Oleh karena itu harapan dari pemilik industri batu bata adalah tersedianya bahan baku kayu untuk proses pembakaran secara kontinyu dalam jumlah yang cukup. Penggunaan kayu bakar untuk industri batu bata dapat dilihat pada Gambar 34.

Gambar 34 Penggunaan kayu bakar untuk industri batu bata 4.4.2.3 Potensi Kesempatan Kerja

Berdasarkan hasil wawancara, pengembangan agroforestri ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor ketersediaan modal, terutama untuk kegiatan budidaya tanaman pertanian (30%), faktor kurangnya pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknik budidaya tanaman yang benar, terutama penanganan hama dan penyakit tanaman (60%), serta sistim pemasaran hasil pertanian dan kayu (10%). Menurut Vink dalam Sajogyo (1982) pekerjaan dalam suatu kegiatan yang dekat dengan alam seperti pertanian, tidak memiliki faktor yang mendekati kepastian matematis, seperti yang kebanyakan terdapat dalam industri. Banyak faktor alam seperti hujan, cahaya matahari, dingin dan panas, persediaan air, keadaan tanah, tumbuhnya semak, keadaan anaman, angin, mencegah kerusakan hama dan penyakit, dan lainnya. Selain itu terdapat pula faktor tenaga pribadi, kecenderungan, pandangan dan kecocokan, tersedianya tenaga kerja yang banyak atau sedikit dalam keluarga dan banyak atau sedikitnya kesanggupan untuk menyewa tenaga kerja dari luar, sehingga umumnya prestasi kerja ditentukan oleh tiga faktor, yaitu alam, kerja dan modal.

Penurunan hasil panen tanaman pertanian agroforestri sebagian besar disebabkan oleh tiga hal, yaitu angin, hama babi dan monyet serta akibat penyakit tanaman. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, untuk desa Karangsari yang menyebabkan penurunan produktifitas tanaman pertanian adalah iklim (angin) sebesar 10 %, hama babi 20 % serta karena penyakit (busuk akar) sebesar 10 %. Untuk desa Seda disebabkan karena faktor hama babi dan monyet untuk tanaman ketela pohon, pisang dan kelapa (20%), serta faktor penyakit tanaman (30%) yang mengakibatkan bunga cengkeh dan melinjo tidak berkembang menjadi buah. Sedangkan di desa Pajambon, lebih banyak karena faktor penyakit (10%). Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petani

148

terhadap perkembangan teknik budidaya tanaman, khususnya dalam pencegahan hama dan penyakit merupakan faktor utama yang mempengaruhi penurunan produktifitas. Padahal menurut Vink, G.J dalam Sajogyo (1982) sifat, tenaga dan ketrampilan pekerja adalah hal yang penting bagi semua pekerjaan. Oleh karena itu pengetahuan dan ketrampilan petani perlu ditingkatkan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, petani masih mengandalkan para penyuluh pertanian atau pihak pendamping dalam mengatasi masalah tersebut karena dipandang lebih efektif, dibandingkan jika petani mengikuti pendidikan dan latihan yang sangat terbatas jumlahnya.

Hasil analisis terhadap produktifitas tanaman pertanian dan kehutanan yang paling banyak dibudidayakan petani (yang memiliki produksi relatif tinggi), didapatkan beberapa komoditas yang perlu dikembangkan seperti disajikan pada Tabel 49.

Tabel 49 Komoditas tanaman pertanian yang disukai masyarakat

No Desa Jumlah petani Agro forestri** Tanaman pertanian

Luas lahan (ha) Produksi (kg) Harga/kg* (Rp.) Total Rata -rata Total Rata- rata 1 Karangsari 687 1. Jagung 2. Cabe rawit 3. Kopi 0,877 1,097 0,921 0,11 0,11 0,11 19.400 1.296 2.323 2425 129,60 290,38 2.800 14.000 8.000 2 Seda 327 1. Melinjo 2. Cengkeh 1,16 0,67 0,13 0,11 6075 570,5 675 95,08 2.000 55.000

3 Pajambon 130 1. Cabe rawit

2. Kopi 0,0328 0,0328 0,02 0,02 8,24 415 4,12 207.50 17.000 6.000 *Harga berlaku saat penelitian

**Hasil wawancara dengan perangkat Desa

Tabel 49 memperlihatkan bahwa cabe rawit merupakan komoditas tanaman pertanian yang menjadi unggulan di desa Karangsari dan Seda, hal ini dikarenakan harga cabe rawit meningkat tajam pada saat penelitian dilakukan dari harga rata-rata Rp 8.000, menjadi sekitar Rp 14.000 sampai Rp 17.000. Di desa Seda komoditas perkebunan cengkeh dan melinjo sejak dahulu tetap menjadi unggulan, bahkan menjadi unggulan Kabupaten Kuningan. Oleh karena itu penurunan produktifitas akibat penyakit tanaman pada kedua komoditas ini harus menjadi fokus perhatian stakeholder.

Komoditas tanaman kehutanan di tiga Desa contoh yang menjadi unggulan adalah sengon. Menurut sebagian besar responden karena tanaman sengon memiliki masa panen yang relatif lebih cepat, sehingga dapat segera menghasilkan kayu. Komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat disajikan pada Tabel 50.

Tabel 50 Komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat

No Desa Tanaman

kehutanan

Luas lahan (ha) Produksi

(batang)

Harga/pohon (Rp.) Total Rata-rata Total Rata-rata

1 Karangsari 1. Sengon 2. Kayu afrika 2,685 1,872 0,298 0,187 1803 446 200,3 44,6 500.000 800.000 2 Seda 1. Sengon 2. Mahoni 0,414 0,977 0,138 0,143 170 362 56,67 52 500.000 1.000.000 3 Pajambon 1. Kayu afrika

2. Sengon 0,0283 0,0283 0,0141 0,0141 113 75 4 3 400.000 400.000 Jenis tanaman sengon, kayu afrika dan mahoni menjadi tiga komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat. Berdasarkan wawancara, permintaan konsumen terhadap jenis tanaman kehutanan ini cenderung meningkat baik dari segi volume maupun harga. Peningkatan produksi jenis tanaman ini akan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani agroforestri, oleh karena itu perhatian terhadap ketiga jenis komoditas tanaman kehutanan ini harus lebih diutamakan oleh stakeholderterkait, terutama penyuluh pertanian dan penyuluh kehutanan.

Kombinasi jenis tanaman pertanian dan kehutanan yang dipilih oleh masyarakat disarankan untuk dikembangkan, hal ini sesuai dengan pendapat Satjapradja (1982) bahwa untuk pengembangan dan keberhasilan sistem agroforestri, jenis tanaman yang dikembangkan harus memenuhi beberapa persyaratan bukan saja meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga aspek sosial, fisik dan biologi. Salah satu persyaratan keberhasilan agroforestri adalah jenis tanaman yang dikembangkan sudah dikenal dan disukai masyarakat, oleh karena itu peningkatan produksi tanaman pertanian dan kehutanan pada ketiga Desa contoh dilakukan terhadap komoditas tanaman pertanian dan kehutanan yang disukai, namun memiliki nilai ekonomis yang dapat memenuhi kebutuhan petani. Suharjito, dkk (2003) menyatakan bahwa di tingkat petani keputusan untuk menerapkan dan mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari sekedar untung rugi. Suatu sistim penggunaan lahan dinilai dari bagaimana sistim tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk pangan, papan dan penghasilan tunai.

Masyarakat desa yang diprioritaskan untuk bekerja pada beberapa jenis usaha yang dikembangkan sebaiknya adalah masyarakat yang pernah menggarap pada lahan kawasan TNGC (berakhir pada bulan November 2010). Hal ini dilakukan untuk memberikan alternatif sumber mata pencaharian dan sumber pendapatan lain melalui kesempatan kerja di sektor ekowisata dan

150

agroforestri. Jumlah masyarakat yang pernah menggarap lahan di kawasan TNGC pada desa-desa contoh berdasarkan data terakhir Balai TNGC November 2010 yaitu; Desa Seda 363 orang, Desa Cisantana 260 orang, Desa Karangsari 50 orang dan desa Pajambon 20 orang. Disamping itu lahan yang mereka miliki juga termasuk dalam kategori sempit (dibawah 0,5 ha), bahkan banyak yang tidak memiliki lahan pertanian. Menurut Heriawan (2006) berdasarkan jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP) di seluruh Indonesia terdapat 13,3 juta RTP yang hanya menguasai (belum tentu memiliki) luas bidang tanah kurang dari 0,5 hektar.

4.5 Model Sistem Dinamik Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat