• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Pendukung Family Matters Partisipan 1. Self Understanding - Reflected Appraisal

METODE PENELITIAN

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

A.4. Hasil Wawancara

A.4.3. Kondisi Pendukung Family Matters Partisipan 1. Self Understanding - Reflected Appraisal

Menjalani kehidupan dengan keterbatasan fisik yang ada tentunya menimbulkan reaksi dari lingkungan, dalam hal ini diluar keluarga, dan juga reaksi dari diri partisipan sendiri ketika memasuki lingkungan sosial. Partisipan tidak merasa minder apabila bergabung dengan teman-teman partisipan yang memiliki kondisi fisik yang normal.

Gak minder lagi kak” (P1.W1.b.123.h.4) “Percaya diri” (P1.W1.b.377.h.9)

Munculnya perasaan minder dalam diri partisipan hanya ketika bertemu dengan orang – orang baru, ataupun ketika hendak mendekati lawan jenis, dengan alasan takut apabila lingkungan tersebut tidak menerima kondisi partisipan.

Ya karena liat keadaan gini kak, takut ada yang gak nerima.” (P1.W2.b.215-217.h.15)

Situasi kayak mendekati cewek gitu kak (sambil tersenyum),gitu lah paling yang hambatannya kak.”

(P1.W3.b.34-37.h.20)

Kalo sama temen-temen biasa-biasa sih percaya diri. Tapi kalo sama temen baru, kenalan gitu, itu rasanya kurang gitu, kayak gak diterima aja gitu.” (P1.W2.b.234-238.h.15)

Pengalaman negatif tentunya pernah dialami oleh partisipan terkait dengan kondisi fisiknya. Reaksi partisipan ketika mengalami hal tersebut bermacam – macam. Disatu sisi partisipan merasa sakit hati, dan disisi lain partisipan menerima apa adanya tanpa melawan atau membela diri. Meskipun pernah mengalami pengalaman negatif, partisipan tidak pernah mengatakan bahwa partisipan malu dilahirkan dalam ketidaksempurnaan fisik yang dimilikinya.

Ya,(diam sejenak),gak taulah bilangnya gimana kak,(diam),bisa dibilang sakit hatilah kalo bisa dibilang,gitulah kak.”

(P1.W1.b.358-362.h.9)

Menerima apa adanya lah kak.Terima aja apa yang dibilang.” P1.W2.b.14-16.h.10

Sebaliknya, penerimaan yang baik dari lingkungan partisipan, salah satunya dari teman sebaya partisipan serta dukungan yang diberikan oleh lingkungan, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepercayaan diri partisipan. Selain itu, penerimaan dari lingkungan juga berperan penting dalam proses penerimaan diri partisipan.

Ya karena support-support dari kawan juga. Ya gitulah kak.” (P1.W.3.b.66-68.h.20)

Baik sih kak, sejauh ini mereka bisa menerima. Baik sih. Hmm ngerti keadaan, gak saling ejek gitu kak. Itu sih.”

Bisa percaya diri?Hmm apa ya,ya itu tadi kawan-kawan bisa nerima dengan keadaan seperti ini. Hmm,itu sih yang paling penting.

(P1.W3.b.113-117.h.21)

Partisipan memiliki pandangan terhadap dirinya sendiri. Partisipan menilai dirinya sebagai orang yang berguna bagi orang lain. Selain itu partisipan juga menilai karakteristik personal dirinya sebagai individu yang pemalu, sabar, pendiam, serta sulit bersosialisasi. Prestasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi partisipan dalam memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri.

“Pernah, sering pun kak berpikir bahwa Lanang berguna bagi orang lain. Lanang bisa membantu keluarga meskipun dengan kondisi fisik seperti ini.” (P1.W2.b.145-149.h.13)

Saya ini orangnya pemalu, sabar, sejauh itu aja sih kak. Pendiam, susah bersosialisasi gitu sih kak.

(P1.W2.b.213-217.h.15)

2. Self-Understanding - Social Comparison

Menjalani kehidupan dengan keterbatasan fisik membuat partisipan mengalami dimana partisipan membandingkan dirinya dengan individu yang memiliki fisik yang normal. Perbandingan ini menimbulkan reaksi psikologis dalam diri partisipan yaitu iri, gengsi, pasrah ketika menyadari kondisi fisik diri yang berbeda dengan orang lain serta patah semangat ketika melihat kondisi diri yang berbeda dari orang lain.

Ya ada rasa gengsi gitu sama orang yang sempurna, ada rasa,ee apa iri gitu lihat orang itu begitu..gitu lah kak.

(P1.W1.b.53-57.h.2)

Ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini,ya udah apalagi mau dibilang

Sempat juga sih patah semangat (nada suara rendah), ya kenapa aku berbeda dari orang itu, kenapa aku begini.”

(P1.W2.b.29-32.h.11)

Meskipun pernah mengalami reaksi psikologis didalam diri partisipan terkait kondisi fisiknya, namun dilain sisi, partisipan menerima kondisi fisik yang dialaminya sebagai pemberian Tuhan. Penerimaan itu juga dipengaruhi ketika partisipan membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki kondisi fisik yang sama atau kondisi fisik yang lebih buruk dari diri partisipan.

Ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini,ya udah apalagi mau dibilang.”

(P1.W1.b.101-104.h.3)

Yang membuat yakin, liat-liat orang disekitar juga lah kak, ada yang lebih dari Lanang gini, ada yang lebih kurang dari Lanang gitu

(P1.W2.b.283-292.h.16)

Berkaitan dengan kehidupan sosialnya, partisipan menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki sahabat, hanya teman biasa saja. Ketika berada disekolah, partisipan lebih banyak menghabiskan waktu sendiri ketika jam istirahat sekolah.

Enggak punya kak. Teman biasa-biasa ajalah kak.” (P1.W2.b.327-332.h.17)

Ya gitu tadi kak susah bersosialisasi jadi disekolah itu paling tidur, dikelas itu diem, main handphone. Kadang-kadang sih gabung. Kumpul-kumpul gitu aja sih kak.

(P1.W2.b.346-356.h.17-18)

Partisipan sebenarnya adalah orang yang memiliki kemampuan dalam bersosialisasi. Meskipun tidak memiliki sahabat, namun partisipan memiliki sekelompok teman yang merupakan temannya ketika kecil. Partisipan dan

teman-temannya aktif untuk berkumpul setiap hari minggu. Secara umum, partisipan memiliki hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya.

Tiap hari online dirumah, kadang ke Teladan nongkrong disana, kumpul-kumpul karena disitu rumah dulu kan,jadi main-main kesitu. Disitulah paling banyak kawan, soalnya dari kecil disana ka, 3 SMP lah kak baru pindah kemari. Hari minggulah kak, kumpul-kumpul. […]ya dirumah kawan gitu, nongkrong-nongkrong. Sebenarnya sih tiap minggu ada acara gitu dirumah kawan, patungan buat manggang-manggang apa gitu. Gitu sih kak.

(P1.W3.b.224-260.h.24-25) 3. Self Understanding- Self Attribution)

Partisipan adalah orang yang pandai untuk bersosialisasi, namun tidaklah demikian ketika bertemu dengan orang – orang baru. Partisipan menyatakan kondisi fisik yang dimiliki menjadi hambatan untuk maksimal dalam bersosialisasi.

Suka bercanda orangnya kak. Suka bersosialisasi” (P1.W2.b.385-390.h.18)

Karena keadaan. Karena malu juga dengan keadaan, jadi susah bersosialisasi kak.

(P1.W3.b.5-7.h.19)

Keterbatasan fisik yang dialami partisipan tidak membuatnya patah semangat untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya. Sebaliknya, partisipan memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu untuk meraih kesuksesan bahkan lebih daripada individu dengan fisik yang normal. Hal ini karena keyakinan dan sikap pantang menyerah yang dimiliki partisipan.

Percaya kak. Karena apa ya (berpikir),susah jelasinnya kak. Ya semangat itulah kak yang membuat yakin. Tidak pantang menyerah. Dari diri sendiri.” (P1.W2.b.296-318.h.16-17)

Ya karena Lanang yakin, Lanang bisa sukses dari mereka, dengan kekurangan seperti ini kenapa gak bisa sukses.”

(P1.W1.b.369-373.h.9)

Mencapai keberhasilan merupakan salah satu hal yang membuat partisipan bangga dengan dirinya. Karena dengan hal itu partipan dapat membuat orang tua bangga akan dirinya. Partisipan belum merasa bangga dengan dirinya karena belum mencapai sesuatu dalam hidupnya dan secara khusus belum mampu menaikkan orang tuanya haji serta dapat berguna bagi orang lain yang menjadi tujuan hidupnya.

(diam sejenak). Sejauh ini belum sih, belum ada yang bisa dibanggain. (Diam sejenak) belum ada yang bisa dicapai kak. Gitu sih kak.

(P1.W2.b.256-261.h.15-16)

Terutama membahagiakan orang tua sih (diam sejenak), itu sih yang utama. Naikkan orang tua haji. Terus berguna buat orang, itu aja sih kak.

(P1.W2.b.265-276.h.16)

Suatu waktu partisipan juga pernah mengalami putus asa ketika gagal untuk masuk jurusan yang partisipan karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan.

Sempat putus asa juga sih, soalnya dulu pernah kepikiran disitu. Itu aja sih. Ya gimana ya, bisa dibilang,nyesal juga sih karena gak bisa, karena yang di cita-citain gak bisa dijalani, gak bisa untuk mencapainya.”

A.5. Analisa Intrasubjek I

Aspek Hasil Konfirmasi Teoritis

Riwayat Perkembangan Perkembangan fisik partisipan hampir sama dengan individu normal, hanya berbeda ketika sudah bisa berjalan. Partisipan tidak mengalami kendala melewati masa kecilnya. Partisipan menggunakan alat bantu tongkat ketika berusia 5 tahun, sepeda, serta kaki palsu yang digunakan ketika partisipan duduk dibangku kelas III SMP sampai dengan hingga kini

Somantri (2006)

menyatakan bahwa

perkembangan individu tunadaksa hampir sama dengan individu dengan fisik yang normal pada umunya. Hanya saja potensi perkembangan fisik yang dialami tidaklah utuh karena bagian tubuh yang mereka miliki tidaklah sempurna

Kondisi Tunadaksa Partisipan terlahir dengan kondisi lutut kaki sebelah kanan mengalami pembusukan, sehingga harus diamputasi ketika partisipan berusia dua minggu. Penyebab dari pembusukan kaki kanan partisipan adalah diabetes yang diturunkan ayah partisipan ketika partisipan berada didalam kandungan. Bagian anggota tubuh yang mengalami ketidaksempurnaan tidak hanya pada kaki kanan, namun juga berdampak pada tidak adanya jempol kaki kiri partisipan, dan tangan kanan hanya memiliki empat jari saja.

Somantri (2006)

mengklasifikasikan

ketunaan menjadi dua klasifikasi yakni :

1. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau merupakan keturunan. Salah satunya adalah congenital amputation 2. Kerusakan pada waktu

kelahiran 3. Infeksi

4. Kondisi traumatik 5. Tumor

Reaksi Lingkungan Keluarga sepenuhnya menerima keberadaan partisipan. Tidak membedakan partisipan dengan saudara kandungnya yang lain, menomor satukan partisipan didalam keluarga, memberikan pendampingan ketika partisipan

Reaksi yang dimunculkan lingkungan dapat menjadi sumber distress tersendiri bagi remaja yang dampaknya terkadang lebih besar daripada ketunaan itu sendiri (Somantri, 2006)