• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi perikanan tangkap di PPI Muara Angke 1) Armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke

PANGKALAN PENDARATAN IKAN MUARA ANGKE, JAKARTA

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

1.4 Manfaat penelitian

4.2.2 Kondisi perikanan tangkap di PPI Muara Angke 1) Armada penangkapan ikan di PPI Muara Angke

Armada penangkapan ikan yang berbasis di PPI Muara Angke mencakup tiga jenis yakni perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor. Perahu tanpa motor yang digunakan sebagai armada perikanan memiliki ukuran sedang sampai berukuran besar. Jumlah armada yang paling banyak digunakan di Muara Angke adalah kapal motor. Kapal motor digolongkan berdasarkan ukuran volume kapal menjadi 6 kelompok yakni 5 GT, 10 GT, 20 GT, 30 GT, 50 GT dan diatas 50 GT (Novri 2006).

Saat ini armada kapal perikanan yang ada di Mura Angke didominasi oleh kapal motor yang berukuran 30 GT dan di atas 50 GT. Pada awalnya, perahu layar dan perahu motor tempel melakukan bongkar muat di PPI Muara Angke, tetapi sekarang ini kapal-kapal tersebut melakukan bongkar muat di daerah Kali Adem. Pendaratan hasil tangkapan perahu nelayan kecil dan tradisional di sekitar kali

54

Adem menyebabkan hasil penjualan hasil tangkapan nelayan tidak melalui proses lelang di TPI Muara Angke dan secara otomatis mengurangi pendapatan retribusi lelang (Faubianny 2008).

Armada perikanan yang melakukan aktivitas tambah labuh maupun bongkar muat di PPI Muara Angke terdiri atas kapal berukuran ≤30 GT dan >30 GT. Selain dua jenis ukuran kapal tersebut, armada perikanan di PPI Muara Angke juga dibagi menjadi dua jenis yakni kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut. Kapal-kapal ikan yang melakukan tambat labuh di PPI Muara Angke antara lain adalah: kapal gillnet, jaring cumi (bukoami), purse seine, jaring insang dasar, bubu dan pancing. Berikut disajikan tabel jenis kapal yang melakukan aktivitas tambat labuh di PPI Muara Angke.

Tabel 10 Perkembangan jumlah armada menurut GT dan jenis tambat labuh di PPI Muara Angke, 2003-2008

Tahun Jumlah Armada ≤30 GT (unit) >30 GT (unit)

Jenis Kapal (unit)

Pengangkut Penangkap Ikan

2003 4.842 4.069 773 1.761 3.137 2004 4.934 3.884 1.050 1.407 3.517 2005 5.209 3.873 1.336 1.468 3.137 2006 4.892 3.701 1.191 1.006 3.886 2007 4.305 3.662 643 1.008 3.297 2008 3.849 3.235 614 1.021 2.828

Sumber: UPT PKPP dan PPI Muara Angke, 2009

Jumlah aktivitas tambat pada tahun 2008 yakni sebesar 3.849 unit yang terdiri dari 1.021 unit kapal pengangkut (26,5%) dan 2.828 unit kapal penangkap ikan (73,5%). Berdasarkan ukuran kapal jumlah tersebut terdiri dari 3.235 unit kapal berukuran ≤30 GT dan 614 unit kapal berukuran >30 GT. Jumlah kapal yang melakukan aktivitas tambat tertinggi terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 5.209 unit yang terbagi menjadi 1.468 unit kapal pengangkut dan 3.137 unit kapal penangkap ikan. Berdasarkan ukuran kapal jumlah tersebut dibagi menjadi 3.873 unit kapal berukuran ≤30 GT dan 1.336 unit kapal berukuran >30 GT

Alat tangkap yang terdapat di PPI Muara Angke terdiri dari berbagai jenis. Jenis alat tangkap di PPI Muara Angke didominasi oleh bukoami, jaring cumi, pukat cincin, bubu, cantrang, dan gillnet, selain ada juga alat tangkap dalam

jumlah yang kecil seperti muroami, jaring insang dasar, payang, lampara, pancing dan gillnet cucut (liongbun).

Jumlah alat tangkap di PPI Muara Angke pada tahun 2008 adalah sebanyak 2.828 unit. Alat tangkap yang paling banyak dioperasikan oleh nelayan tahun 2008 yang beraktivitas di PPI Muara Angke antara lain bukoami sebanyak 40,7% kemudian disusul oleh alat tangkap jaring cumi sebesar 21,6% selanjutnya pukat cincin sebesar 17,8% dan bubu sebesar 7,5%. Jenis alat tangkap lainnya seperti muroami, jaring insang dasar, payang, lampara, pancing, dan gillnet cucut sebanyak 1,9%. Jumlah alat tangkap terbanyak yang dioperasikan terdapat pada tahun 2006, yaitu sebesar 3.886 unit dan terjadi penurunan pada tahun 2008 sebesar 4,8% dari tahun sebelumnya (UPT PKPP dan PPI Muara Angke 2009). Penurunan jumlah alat tangkap tersebut diduga karena banyak kapal yang berpindah tempat ke pelabuhan lain untuk membongkar hasil tangkapannya karena ketidakcocokan harga pada saat akan melelang hasil tangkapannya.

2) Nelayan

Nelayan yang memanfaatkan PPI Muara Angke sebagai tempat mencari nafkah dan melakukan aktivitas kepelabuhanan meliputi nelayan penetap dan nelayan pendatang. Nelayan penetap adalah nelayan yang berdomisili di wilayah Muara Angke dan nelayan pendatang adalah nelayan yang berasal dari luar wilayah Muara angke. Klasifikasi nelayan tersebut terbagi lagi menjadi nelayan pekerja dan nelayan pemilik unit penangkapan ikan.

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa jumlah nelayan PPI Muara Angke pada tahun 2001 hingga tahun 2003 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002 mengalami kenaikan tetapi pada tahun 2003 mengalami penurunan drastis. Drastisnya penurunan jumlah nelayan pada tahun 2003 diakibatkan oleh makin jauhnya fishing ground, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan mahalnya biaya perawatan kapal. Jika dilihat dari asal nelayan, jumlah nelayan pendatang pada tahun 2001–2003 lebih banyak daripada nelayan penetap. Hal ini disebabkan karena harga ikan yang dilelang di daerah tidak setinggi harga ikan yang dilelang di Jakarta, sehingga sangat mempengaruhi pendapatan nelayan.

56

Tabel 11 Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas bongkar muat dan sandar di PPI Muara Angke, 2001–2003

Status Nelayan Tahun

2001 2002 2003 1. Nelayan penetap (orang) Pemilik 2.277 2.979 1.873 Pekerja 8.862 11.703 790 Sub jumlah 11.139 14.682 2.663 2. Nelayan pendatang (orang) Pemilik 1.324 1.813 1.690 Pekerja 11.478 9.858 9.140 Sub jumlah 12.802 11.671 10.837

Jumlah nelayan (orang) Pemilik 3.601 4.792 9.147

Pekerja 20.340 21.561 4.353

Jumlah 23.941 26.353 13.500

Sumber: UPT PKPP dan PPI Muara Angke (2006)

Menurut pihak UPT PPI Muara Angke, perkembangan jumlah nelayan mulai tahun 2004 sampai 2008 tidak didapatkan datanya karena pihak UPT PPI Muara angke tidak lagi melakukan rekapitulasi data nelayan. Rekapitulasi data nelayan dilakukan oleh pihak Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Muara Angke, sehinnga pihak UPT PPI Muara Angke tidak lagi memiliki data nelayan yang melakukan tambat labuh di PPI Muara Angke.

3) Musim penangkapan

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan, musim penangkapan dibagi menjadi dua musim yakni musim barat dan musim timur. Musim barat berkisar antara bulan November–April. Pada musim ini angin bertiup sangat kuat dan menimbulkan gelombang yang tinggi. Hal ini mengakibatkan banyak nelayan tidak mau melaut karena memiliki resiko yang besar. Pada musim timur angin dan gelombang relatif lebih tenang dan stabil sehingga menjadi musim pilihan nelayan untuk melaut. Musim timur terjadi pada bulan April–November.

Berdasarkan data yang diperoleh, musim pendaratan di PPI Muara Angke cenderung tidak menentu setiap tahunnya. Pada tahun 2008 musim pendaratan ikan terjadi antara bulan April sampai September dan mencapai titik tertinggi pada bulan September. Penurunan atau aktivitas pendaratan terendah terjadi pada

bulan Januari hingga Februari. Penurunan ini diduga sangat dipengaruhi oleh musim barat sehingga membuat nelayan jarang yang melaut ataupun yang akan mendaratkan ikan.

4) Daerah penangkapan ikan

Daerah penangkapan ikan bagi nelayan di Muara Angke adalah Perairan Bangka Belitung, Perairan Sumatera, Selat Karimata, Laut Jawa, Perairan Kalimantan Barat, Kepulauan Natuna, Teluk Jakarta dan Karawang, serta Laut Karimun Jawa. Daerah penangkapan ikan yang jauh, tanpa penanganan ikan yang baik selama di atas kapal, akan mengakibatkan turunnya kualitas ikan hasil tangkapan. Hal terlihat jelas di lapangan dengan banyak hasil tangkapan yang rusak ketika didaratkan.

Bagi nelayan-nelayan kecil yang bersifat one day fishing seperti payang, bubu dan pancing kebanyakan memilih daerah penangkapan disekitar Teluk Jakarta dan Karawang karena jarak yang ditempuh lebih dekat dan tidak memakan biaya terlalu besar. Nelayan-nelayan besar yang memakan waktu melaut bermingu-minggu dan bahkan berbulan-bulan seperti Purse Seine, Buko Ami, dan Jaring Cumi lebih memilih daerah penangkapan di daerah Perairan Bangka Belitung, Perairan Sumatera, Selat Karimata, serta Kepulauan Natuna (UPT PKPP dan PPI Muara Angke 2009).

5) Produksi Hasil Tangkapan

Suatu daerah perikanan dapat dikatakan berkembang apabila perkembangan produksi perikanan daerah tersebut berkembang pula. Pada tahun 2008, PPI Muara Angke adalah penyumbang terbesar kedua bagi produksi perikanan di Provinsi DKI Jakarta. Jumlah produksi perikanan di PPI Muara Angke tahun 2008 adalah sebesar 6.464,71 ton. Jumlah ini menurun sebesar 25% dari tahun 2007. Hal ini dikarenakan oleh semakin menurunnya jumlah kapal perikanan yang melakukan tambat labuh di PPI Muara Angke (Tabel 9). Jumlah dan nilai produksi perikanan di PPI Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 12.

58

Tabel 12 Jumlah dan nilai produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke, 2004–2008

Tahun Jumlah Produksi (Ton) Nilai (Rp)

2004 8.189,19 33.311.092.549

2005 9.392,51 34.539.811.192

2006 10.675,82 35.539.811.192

2007 8.647,29 31.274.813.740

2008 6.464,71 28.972.929.810

Sumber: UPT PKPP dan PPI Muara Angke (2009)

Perkembangan produksi perikanan di PPI Muara Angke cenderung menurun secara jumlah. Jumlah produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 10.675,82 ton dengan nilai produksi sebesar Rp. 35.539.811.192,00. Jumlah ini meningkat sebesar 13,7% dari tahun 2005. Secara umum, pertumbuhan rata-rata jumlah produksi hasil tangkapan di PPI Muara Angke sebesar -3,8% setiap tahunnya atau berkisar antara -25% sampai dengan 14%.

Gambar 8 Perkembangan jumlah produksi perikanan di PPI Muara Angke, 2004–2008

Gambar 8 dan Gambar 9 menunjukkan penurunan jumlah produksi hasil tangkapan pada tahun 2006 hinga tahun 2008 diikuti dengan penurunan nilai produksinya. Penurunan nilai produksi tertinggi terjadi pada tahun 2006 ke 2007 sebesar 12% atau sebesar Rp. 4.264.997.452,00. Perkembangan pertumbuhan rata-rata nilai produksi hasil tangkapan di PPI Muara Angke sebesar -3,2% setiap tahunnya atau berkisar antara -12% sampai dengan 3,7%.

Gambar 9 Perkembangan nilai produksi hasil tangkapan di PPI Muara Angke, 2004–2008

5 PELELANGAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA

ANGKE

5.1 Proses pelelangan aktual di PPI Muara Angke

Proses pelelangan ikan adalah salah satu mata rantai rangkaian kegiatan usaha perikanan tangkap yang secara harus terjadi di setiap pelabuhan perikanan. Prinsipnya kegiatan pelelangan ikan diberlakukan agar tercipta harga yang bersaing/kompetitif dan layak sehingga tidak memberatkan bagi pembeli namun menguntungkan bagi penjual. Secara ekonomis, kegiatan pelelangan sangat berpengaruh terhadap jumlah dan besarnya pendapatan usaha yang diperoleh oleh para pelaku usaha perikanan tangkap. Agar pendapatan usaha yang diperoleh tetap baik dan menguntungkan, maka proses pelelangan seharusnya dilakukan dengan baik pula. Pelaku usaha yang paling merasakan manfaat dari pelelangan ikan adalah nelayan baik itu nelayan pemilik ataupun nelayan pekerja.

Nelayan bertindak sebagai penjual dalam proses pelelangan ikan. Nelayan telah mengeluarkan modal untuk keperluan melaut berharap agar hasil tangkapan yang diperoleh mendapatkan nilai jual yang baik dan menguntungkan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan. Melihat pentingnya nilai dan kelebihan kegiatan pelelangan, kegiatan ini harus terlaksana dengan prosedur dan mekanisme yang baik di setiap pelabuhan perikanan, tidak terkecuali di Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Muara Angke.

Menurut hasil wawancara dengan Kepala seksi pelelangan ikan UPT PKPP dan PPI Muara Angke, proses pelelangan ikan di PPI Muara Angke telah terlaksana sejak pelabuhan ini dibangun dan sampai saat ini pelelangan berjalan dengan baik walaupun masih terdapat banyak kekurangan dalam pelaksanaanya. Proses pelelangan ikan di PPI Muara Angke masih belum maksimal dalam pelaksanaannya terutama untuk kontrol mutu dan kehigienisan ikan, serta modal dari pelaksana lelang yang dalam hal ini adalah Koperasi Mina Jaya dan seksi pelelangan ikan UPT PKPP dan PPI Muara Angke.

Skema pelelangan hasil tangkapan di PPI Muara Angke digambarkan pada Gambar 10 berikut:

5.1.1 Persiapan pelelangan

Proses bongkar hasil tangkapan di kolam pelabuhan berlangsung setelah kapal masuk ke pelabuhan dan petugas TPI telah datang mengawasi jalannya pembongkaran hasil tangkapan. Pembongkaran hasil tangkapan di PPI Muara Angke dilakukan oleh ABK dan dibantu oleh buruh bongkar yang disediakan oleh TPI dan pengurus kapal (Gambar 11). Lama pembongkaran hasil tangkapan sangat dipengaruhi oleh jumlah ABK yang terlibat, jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan. Semakin banyak jumlah ABK yang turut serta dalam proses pembongkaran, maka akan semakin cepat waktu yang dibutuhkan selam proses pembongkaran. Biasanya jumlah ABK yang melakukan proses pembongkaran berjumlah 2-10 orang dengan pembagian tugas yaitu 1-2 orang ABK berada di dalam palkah kapal dan sisanya berada di atas dek kapal. Pembongkaran dimulai dengan memindahkan ikan-ikan dari palkah dengan menggunakan sekop, kemudian dimasukkan kedalam ember. Ikan kemudian akan diangkat ke atas dek kapal dari dalam palkah dengan menggunakan serok panjang dan tali. Setelah terangkat, ikan akan diletakkan dia atas dek kapal untuk disortir ke dalam masing-masing trays. Ikan yang telah disortir dan tersusun dalam trays kemudian diturunkan ke dermaga dengan bantuan para kuli angkut. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ABK dan petugas yang melakukan bongkar tidak memperhatikan mutu ikan. Petugas bongkar sering terlihat menginjak ikan dan berdiri di keranjang ikan. Hal ini jelas dapat meyebabkan kemunduran mutu ikan.

63

Menurut Departemen Pertanian (1997) vide Rusmali (2004), selama proses pengangkutan ikan sebaiknya ikan diangkut melalui tempat yang teduh agar terhindar dari sinar matahari langsung. Pengaruh sinar matahari langsung dapat menyebabkan penurunan mutu ikan lebih cepat. Sesuai dengan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa proses pengangkutan ikan dari kapal ke TPI tidak dilengkapi dengan pelindung (atap) atau kanopi untuk membantu melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari langsung mulai dari dermaga bongkar sampai ke TPI.

Proses pembongkaran ikan di PPI Muara Angke dapat dijelaskan sebagai berikut (Malik 2006):

(1) Nelayan melaporkan kedatangan kapal kepada petugas pos pelayanan terpadu. Pelaporan kedatangan kapal tersebut dilakukan dengan menyerahkan dokumen-dokumen kapal yaitu pas biru, surat izin usaha penangkapan, Surat Izin Pelayaran dan Surat Kelayakan Kapal. Kemudian petugas memeriksa dokumen-dokumen tersebut dan mencatat identitas kapal ke dalam buku kedatangan kapal;

(2) Nelayan melakukan pembongkaran hasil tangkapan. Pembongkaran hasil tangkapan dilakukan bersamaan dengan penyortiran ikan berdasarkan jenis, ukuran kecil, ukuran sedang, dan ukuran besar. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terkadang terlihat ikan bermutu rendah dicampur denagn ikan yang mempunyai mutu baik; dan

(3) Penimbangan berat ikan dilakukan oleh nelayan atau pengurus kapal dengan disaksikan oleh pihak dari pelelangan dan dicatat hasilnya dengan menyertakan data nama kapal dan jenis ikan. Catatan berupa slip disertakan pada keranjang ikan agar diketahui oleh para peserta pelelangan. Pengangkutan keranjang ikan dari penimbangan ke tempat pelelangan biasanya menggunakan gerobak atau lori.

Setelah proses bongkar selesai, petugas catat menimbang dan mencatat berat hasil tangkapan (Gambar 12). Proses pencatatan hasil tangkapan di PPI Muara Angke diragukan keakuratannya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terjadi perbedaan data hasil pencatatan antara pemilik kapal dan petugas pencatat.

Diduga terdapat kemungkinan untuk menguntungkan kepentingan-kepentingan tertentu dalam perbedaan hasil pencatatan tersebut.

Hasil tangkapan disortir berdasarkan jenis ikan dan pemilik/nama kapal. Hasil tangkapan kualitas ekspor tidak dipasarkan langsung lewat proses lelang tetapi melalui sistem ‘opouw’. Sistem ini adalah sistem yang diberlakukan terhadap hasil tangkapan yang memiliki nilai ekonomis dan kualitas tinggi untuk tidak diikutsertakan dalam proses pelelangan agar menjaga mutu ikan tetap terjaga namun tetap dikenakan retribusi sebesar 5%. Retribusi tersebut dikenakan karena pemilik kapal adalah penjual dan pembeli hasil tangkapan itu sendiri.

(a) (b)

Gambar 12 Proses Penimbangan (a) dan Pencatatan data (b) Hasil Tangkapan di PPI Muara Angke

Hasil tangkapan yang memiliki nilai ekonomis dan mutu rendah kemudian langsung diangkut ke TPI oleh petugas angkut. Petugas yang melakukan proses pengangkutan dilakukan oleh buruh atau kuli angkut yang disediakan oleh TPI dengan sistem upah berdasarkan jumlah trays yang berhasil diangkut. Hasil tangkapan yang diangkut kemudian diletakkan di lantai lelang untuk proses pelelangan selanjutnya. Bahkan terkadang sering terjadi keranjang dibanting ketika diturunkan dari troli ke lantai TPI. Selain itu, ada juga yang masih melakukan pengangkutan hasil tangkapan ke lantai TPI dengan cara menyeret keranjang (trays).

65

Pengangkutan hasil tangkapan ke lantai TPI juga kurang memperhatikan mutu ikan. Hal ini terlihat dari alat angkut (troli ataupun lori) yang digunakan tidak higienis. Troli yang digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan terbuat dari kayu dan sudah kelihatan membusuk karena telah digunakan sejak lama. Kondisi troli ini juga dapat menurunkan mutu hasil tangkapan yang akan dilelang. Selama pengangkutan ikan ke TPI dan berada di dalam TPI untuk menunggu proses pelelangan, hasil tangkapan tidak diberikan penanganan yang baik untuk mempertahankan mutu. Pemberian es tambahan dan pencucian hasil tangkapan dengan menggunakan air bersih sangat jarang terlihat. Kondisi lantai TPI juga terlihat kotor dengan ceceran darah ikan, lendir, potongan-potongan ikan dan genangan air yang dapat mempercepat proses penurunan mutu ikan, terlebih ikan berada di dalam TPI untuk waktu yang cukup lama.

5.1.2Pelaksanaan pelelangan

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, proses pelelangan ikan yang terjadi di PPI Muara Angke secara teknis berjalan dengan lancar. Transaksi pelelangan berlangsung antara pukul 8.00–10.00 WIB tergantung pada waktu kedatangan kapal dan jumlah peserta lelang. Jika peserta lelang telah memenuhi jumlah yang ditentukan maka transaksi pelelangan dapat dimulai. Para peserta lelang di PPI Muara Angke adalah para pedagang, baik pedagang pengumpul maupun pedagang eceran, perwakilan dari pemilik kapal atau yang sering disebut ‘agen’ atau ‘pengurus’. Para pedagang yang ingin ikut proses pelelangan harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada penyelenggara lelang dan akan diberi karcis atau tanda pengenal peserta lelang. Pedagang kemudian harus menyimpan uang deposit di kasir lelang baru dapat mengikuti proses lelang.

Proses transaksi pelelangan harus dilengkapi dengan prosedur yang jelas. Prosedur pelelangan hasil tangkapan di PPI Muara Angke adalah sebagai berikut (UPT PKPP dan PPI Muara Angke 2008):

(1) Kapal melaporkan kedatangannya ke pengawas perikanan (WASKI), dicatat dokumen dan mendapatkan nomor urut lelang;

(2) Proses pembongkaran ikan dengan menyortir ikan berdasarkan jenis dan mutu lalu ditempatkan di dalam keranjang (trays);

(3) Penimbangan hasil tangkapan di dermaga dan diawasi oleh juru timbang dari Koperasi Perikanan Mina Jaya kemudian diberi label volume ikan dan nama kapal;

(4) Ikan disusun di lantai TPI berdasarkan nomor urut lelang yang didapatkan oleh setiap kapal;

(5) Juru lelang mengumumkan dan memanggil peserta lelang untuk memulai proses pelelangan;

(6) Ikan dilelang oleh juru lelang dimana jumlah peserta lelang sebanyak 70 orang dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Penawaran yang dilakukan bersifat meningkat sampai tercapai harga penawaran tertinggi; (7) Seluruh hasil transaksi dicatat oleh juru bakul. Pencatatan hasil transaksi

pelelangan meliputi: jenis, ukuran, berat dan harga ikan, nama nelayan dan nama pemenang lelang. Setelah proses pelelangan selesai, maka data diserahkan kepada petugas operator pelelangan;

(8) Peserta pemenang lelang umumnya melakukan pencatatan hasil transaksi dan pemenang langsung mengemasi ikannya. Setelah mencatat hasil transaksi ikan, pemilik kapal menerima uang dari petugas kasir;

(9) Proses pembayaran oleh pemenang lelang dan penerimaan hasil penjualan oleh pemilik kapal dilakukan sebagai berikut:

a. Setelah operator menerima seluruh hasil transaksi pelelangan dari juru bakul, kemudian membuat faktur lelang dengan cara melengkapi data dan menetapkan besarnya retribusi jasa pelelangan. Retribusi jasa pelelangan ikan yang dibebankan kepada nelayan pemilik kapal ditetapkan sebesar 3% dari nilai lelang dan yang dibebankan kepada pemenang lelang sebesar 2%. Setelah itu, faktur lelang tersebut diserahkan kepada petugas kasir;

b. Selanjutnya petugas faktur lelang memanggil pemenang transaksi dengan pengeras suara agar membayar nilai transaksi penjualan ikan ditambah biaya jasa pelelangan ikan 2% dan memanggil nelayan pemilik kapal untuk mengambil hasil transaksi sebesar harga penawaran setelah dipotong biaya jasa retribusi 3%;

67

c. Setelah uang hasil retribusi diserakan oleh kasir bendaharawan penerima UPT PKPP dan PPI (Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pendaratan Ikan) Muara Angke.

Selama proses pelelangan berlangsung, pihak TPI tidak membatasi jumlah orang yang boleh masuk ke area pelelangan sehingga setiap orang dapat saja memasuki dan berlalu lalang area pelelangan. Keranjang yang berisi hasil tangkapan diletakkan secara berhimpitan sehingga tidak ada celah antar keranjang untuk dilewati selama proses pelelangan. Hal ini yang menyebabkan ketika proses transaksi lelang berlangsung, pemilik ikan (agen) berdiri bebas di atas keranjang-keranjang ikan. Kejadian ini dapat menyebabkan kemunduran mutu ikan, karena kotoran di sepatu agen-agen pemilik ikan akan mencemari ikan. Pada saat lelang, juru lelang menggunakan sebatang kayu untuk menunjuk ikan yang selanjutnya akan ditentukan harganya. Penggunaan kayu ini akan menurunkan mutu ikan karena dapat melukai tubuh ikan yang dilelang.

Berdasarkan pengamatan, pada saat proses transaksi pelelangan berlangsung terdapat ‘ketidaklaziman’ dalam pelaksanaannya. Agen atau penjual ikut terlibat langsung dalam proses tawar menawar ikan. Ketika juru lelang melelang ikan, maka agen atau penjual akan ikut memberikan penawaran sampai ada penawaran yang lebih tinggi terhadap ikan tersebut. Apabila tidak ada penawaran yang lebih tinggi dari penawaran agen maka agen tersebut adalah pemenang lelang dan akan dikenakan biaya retribusi sebesar 5% dengan rincian 3% untuk penjual dan 2% untuk pembeli. Proses pelelangan seperti ini disebut juga dengan sistem pelelangan “opouw”. Wistati (1997) vide Rusmali (2004) mengemukakan bahwa pelelangan ikan dengan sistem “opouw” akan merugikan pembeli karena mereka tidak dapat bersaing untuk mendapatkan harga ikan yang sesuai seperti pada sistem lelang murni. Hasil wawancara dengan beberapa agen (penjual) menyebutkan bahwa mereka memilih untuk meng-”opouw” ikan tersebut agar ikan mendapat penawaran yang tinggi. Agen-agen tidak mempermasalahkan beban biaya retribusi yang harus dibayarkan daripada ikan mereka mendapatkan harga yang tidak cocok. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi pada saat proses pelelangan di TPI Muara Angke. Proses pelelangan di PPI Muara Angke dapat