• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN WILAYAH JAWA-BALI

3.1 Kondisi Saat Ini

Wilayah Jawa Bali relatif maju dan berkembang dibanding wilayah lainnya. Berbagai prasarana dan sarana, peluang usaha dan ketersediaan sumberdaya manusia tersedia secara cukup memadai. Wilayah Jawa Bali diharapkan menjadi penopang utama dalam menghadapi persaingan global terutama dengan terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Namun, dalam 20 tahun ke depan wilayah Jawa Bali akan menghadapi berbagai isu strategis. Pertama, peningkatan jumlah penduduk perkotaan. Kedua, perubahan struktur ekonomi yang mengarah pada peningkatan sektor jasa. Ketiga, menurunnyya daya dukung sumber daya alam dan lingkungan. Keempat, meningkatnya klas menengah yang disertai dengan menguatnya kesadaran tentang hak-hak dasar. Kelima, pergeseran cara pandang, nilai dan gaya hidup yang lebih mengglobal. Berbagai isu strategis tersebut akan mempunyai implikasi pada perubahan tatanan sosial, ekonomi, sumberdaya, tata ruang, budaya dan politik.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diimbangi dengan daya dukung sumberdaya yang memadai. Pasokan energi listrik yang sangat dibutuhkan untuk mendukung dinamika ekonomi di Jakarta ternyata tidak diimbangi dengan pasokan bahan bakar (minyak dan batubara) yang memadai untuk pembangkit yang dikembangkan di Pulau Jawa dan Bali. Tekanan atas sumberdaya alam akibat aktivitas penduduk yang semakin meningkat tanpa pengaturan ruang yang tepat telah menyebabkan kerusakan alam yang cukup berat. Namun dengan daya tarik infrastruktur yang lebih memadai dan posisi sebagai pusat pemerintahan membuat Jawa-Bali tetap pling diminati untuk investasi dan datangnya penduduk.

Pulau Jawa dan Bali juga memiliki persoalan klasik akibat sumberdaya yang tidak menyebar merata dan kondisi geografis yang bervariasi. Pertumbuhan dan perkembangan yang tidak seimbang antara wilayah utara dengan selatan, inefisiensi alokasi sumberdaya dalam mendukung pembangunan pulau dan kerusakan sumberdaya pada beberapa wilayah muncul sebagai akibat program-program pembangunan sektoral yang berdiri sendiri maupun ego daerah otonomi dalam mengekploitasi sumberdaya yang dimiliki. Keterpaduan program pembangunan tidak berlangsung dengan baik meskipun wilayahnya relatif lebih kecil. Ekspansi industri dan perkembangan kota yang membutuhkan ruang telah menyebabkan lahan pertanian produktif semakin berkurang dan menimbulkan ancaman terhadap ketahanan pangan. Ketidaksiapan sumberdaya manusia dalam mengikuti perkembangan ekonomi yang terjadi menimbulkan persoalan pengangguran dan kantong-kantong kemiskinan baru.

Pulau Jawa dan Bali sebagai pusat kegiatan ekonomi dan kepadatan penduduk tertinggi dalam pengembangannya juga harus dilakukan dengan keterpaduan program untuk mendukung alokasi sumberdaya yang efisien dan pertumbuhan yang lebih seimbang. Pengembangan pulau Jawa selain harus merupakan satu kesatuan dalam konsepsi pembangunan Indonesia juga harus memiliki sinergi dan pengembangan pulau-pulau besar terdekat (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) terutama dalam menjaga ketersediaan sumberdaya pendukung pertumbuhan ekonomi di Jawa. Oleh karena itu, pengembangan pulau Jawa dan Bali juga selayaknya dilakukan dengan kerangka pengembangan yang

III.3-2

memiliki keterpaduan program pulau Jawa dan Bali sebagai satu kesatuan tata ruang wilayah. Dengan demikian, pengembangan pulau Jawa dan Bali harus dilandaskan peran dan fungsi yang jelas dari masing-masing daerah didalamnya berdasatrkan potensi yang dimiliki dan tidak semata persoalan yang dihadapi daerah namun juga permasalahan yang dihadapi pulau sebagai satu kesatuan.

Pulau Jawa dan Bali sendiri memiliki karakteristik yang khas dengan posisinya sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pariwisata Indonesia dan lokasi pusat pemerintahan. Perkembangan kegiatan ekonomi khususnya industri dan jasa ditengah keterbatasan ruang (lahan) menjadikan ruang menjadi isu yang sangat krusial disamping ketersediaan energi. Konversi lahan pertanian dan hutan sulit dihindarkan sementara bencana alam juga terus mengancam akibat kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. Perkembangan Jawa dan Bali harus mulau memikirkan dukungan dari pulau besar disekitarnya baik untuk dukungan sumber energi dan pangan maupun untuk penyebaran pertumbuhan ekoniomi agar tidak terpusat di Jawa. Pada saat yang sama, jawa dan Bali juga harus mampu mengatasi persoalan ketimpangan dan degradasi lingkungan yang terjadi melalui penataan ruang yang lebih baik dalam pengembangan ekonomi.

Peningkatan daya saing ekonomi wilayah Jawa Bali dalam 20 tahun ke depan akan ditentukan oleh rekayasa, pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang produksi, informasi, dan komunikasi. Oleh sebab itu, pengembangan pengetahuan dan teknologi sebagai basis penguatan daya saing wilayah menjadi kian penting dan mendesak. Tantangan yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan dan perluasan jangkauan sarana dan prasarana yang menghubungkan rakyat di pelosok daerah ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan pemerintahan; pengembangan wilayah dan penataan ruang secara cermat, disiplin, dan terpadu dengan memperhatikan tata guna lahan, zonasi, serta pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjamin pembangunan berkelanjutan. Dalam kehidupan sosial, budaya dan politik, kita juga dituntut untuk meningkatkan kualitas, proses dan kinerja politik dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar rakyat; menciptakan ketertiban dan rasa aman bagi rakyat; menegakan hukum secara adil dan tanpa diskmrinasi, serta meningkatkan kapasitas dan integritas aparat dalam memberikan layanan kepada rakyat.

(1) Bidang Sosial dan Budaya

Wilayah Jawa-Bali merupakan wilayah terpadat dan ditempati 60 persen penduduk Indonesia. Hal ini juga diikuti dengan jumlah pengangguran terbuka dan penduduk miskin sebagian besar berada di wilayah di Jawa-Bali. Tingginya angka kemiskinan dan belum memadainya jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan dan pendidikan merupakan permasalahan utama yang terjadi di wilayah Jawa Bali. Penyebaran penduduk miskin sebagian besar berada di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat yakni masing-masing sebanyak 6.7 juta jwa, 6,2 juta jiwa, dan 5,3 juta jiwa. Penyebaran terendah berada di Provinsi Bali dan DKI Jakarta masing-masning sebanyak 215,7 ribu jiwa dan 379,6 ribu jiwa. Sementara berdasarkan persentase penduduk miskin, 3 provinsi tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Tengah (19,2 persen), Jawa Timur (18,5 persen), dan DI. Yogyakarta (18,3 persen). Persentase terendah terdapat di Provinsi DKI Jakarta dan Bali, masing-masing sebesar 4,29 persen, dan 6,17 persen.

Permasalahan kemiskinan berkaitan dengan berbagai isu strategis yang perlu diatasi melalui prorgam dan kegiatan pembangunan antara lain, pertama, ketersediaan dan

III.3-3

ketahanan pangan terutama di daerah pegunungan, daerah pedalaman, daerah yang terkena bencana alam, dan daerah rawan pangan. Kedua, kenaikan harga barang kebutuhan pokok selain beras seperti kedelai, minyak tanah, minyak goreng dan terigu. Ketiga, kenaikan biaya transportasi sebagai akibat rusaknya infrastruktur transportasi dan terjadinya hambatan gelombang laut yang tinggi.

Kondisi yang sama untuk penyebaran pengangguran terbuka sebanyak 65,9 persen (tahun 2000) berada di wilayah Jawa Bali, dan sedikit berkurang menjadi 64,4 persen pada tahun 2008. Sementara itu, berdasarkan ukuran persentase pengangguran terbuka, di wilayah Jawa Bali sebesar 6,4 persen (tahun 2000), meningkat menjadi 10 persen (tahun 2004), dan menurun menjadi 8,8 persen pada tahun 2008. Kondisi tersebut masih lebih tinggi dibanding dengan tingkat pengangguran terbuka di luar Jawa Bali. Penyebaran pengangguran terbuka pada dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 sebagian besar berada di provinsi Jawa Barat, dengan kondisi terakhir (tahun 2008) adalah sebanyak 2,26 juta, dan di Jawa Timur sebanyak 1,26 juta jiwa.

Parameter keberhasilan pendidikan adalah terwujudnya masyarakat yang cerdas serta semakin rendahnya persentase masyarakat buta huruf. Secara keseluruhan, terjadi peningkatan persentase angka melek huruf di wilayah Jawa dan Bali sejak tahun 1996 hingga tahun 2006, sebesar 1,6 - 9,4 persen. Peningkatan terendah terjadi di DKI Jakarta, karena telah mencapai Angka Melek Huruf yang tinggi, sementara peningkatan tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur.

Baik atau buruknya tingkat pendidikan di suatu wilayah ditentukan oleh lamanya masa sekolah yang ditempuh oleh masyarakat di wilayah tersebut. Perkembangan rata-rata lama sekolah yang ditempuh masyarakat di Pulau Jawa dan Bali menunjukkan bahwa terjadi perbaikan tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Jawa dan Bali sejak tahun 1996 hingga tahun 2006 yang ditunjukkan dengan kenaikan rata-rata lama sekolah secara bertahap sejak tahun 1996 hingga tahun 2006. Pada Tahun 1996, Provinsi DKI Jakarta menjadi wilayah yang memiliki tingkat pendidikan terbaik dengan rata-rata lama sekolah 9.5 tahun, sementara wilayah yang memiliki tingkat pendidikan terendah di tahun yang sama adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan rata-rata lama sekolah 5.5 tahun. Gencarnya program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, telah meningkatkan rata-rata lama sekolah pada tahun 2006 menjadi 10,8 tahun di DKI Jakarta dan terendah di Provinsi Jawa tengah 6,8 tahun.

Dari sisi rasio murid terhadap guru, terdapat perkembangan yang berarti untuk beberapa daerah dan level, yang ditandai dengan semakin rendahnya rasio tersebut dari tahun ke tahun. Untuk level SMP, SMA, dan SM kejuruan, setiap provinsi mengalami penurunan rasio dalam kurun tahun 2004-2006. Akan tetapi, hal yang sama tidak diikuti oleh tingkat SD dimana beberapa provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali mengalami pertambahan rasio. Artinya, kenaikan partisipasi penduduk untuk bersekolah di tingkat SD tidak diimbangi oleh pertambahan tenaga pengajar yang seimbang.

Di bidang kesehatan, tampaknya fasilitas kesehatan yang dimilliki oleh wilayah Jawa-Bali semakin bertambah. Dari tiga parameter fasilitas kesehatan, hampir seluruh provinsi mengalami kecenderungan adanya pertambahan fasilitas. Keberadaan fasilitas kesehatan menjadi salah satu kunci penting dalam meningkatkan harapan hidup penduduk.

III.3-4

Meningkatnya jumlah fasilitas dan tenaga pelayanan kesehatan di beberapa provinsi Jawa-Bali menyebabkan meningkatnya tingkat harapan hidup penduduknya. Gambar 2.10. menunjukkan bahwa terjadi peningkatan harapan hidup masyarakat Jawa-Bali, dari kisaran 62,9-70,2 tahun (tahun 1996) menjadi 64,3-73 tahun pada tahun 2006. Persentase kenaikan tertinggi pada kurun 1996-2006 terjadi di Jawa Tengah, yakni sebesar 6 tahun, sedangkan peningkatan terendah terjadi di DKI Jakarta dan Bali sebesar 2,4 tahun

Meskipun telah memiliki jumlah dan mutu fasilitas kesehatan yang relative baik dibandingkan wilayah yang lain, namun di bidang kesehatan wilayah Jawa-Bali masih memiliki permasalahan khususnya dalam hal keterbatasan akses layanan kesehatan, khususnya keluarga miskin, munculnya berbagai penyakit menular seperti HIV/AIDS, flu burung, demam berdarah, dan penyakit menular lainnya. Selain itu, permasalahan kesehatan berkaitan dengan rendahnya pemenuhan gizi terutama Ibu, bayi, dan balita dari keluarga miskin, serta rendahnya kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat.

Di bidang kebudayaan, dengan kondisi yang relatif lebih maju dan berkembang dibandingkan wilayah lainnya, kualitas pengelolaan seni dan budaya relatif lebih baik karena tingginya pemahaman, apresiasi, dan komitmen pemerintah daerah dan masyarakat. Hal ini tercermin dari berbagai upaya pengelolaan, perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan berbagai Benda Cagar Budaya (BCB)/Situs yang tersebar di seluruh daerah Jawa dan Bali mencapai jumlah 4,28 buah dan 4 warisan dunia (Taman Nasional Ujung Kulon, Candi Borubudur, Candi Prambanan, serta Situs Sangiran), 2 kawasan yang dinominasikan sebagai warisan dunia (Kawasan Bekas Perkotaan Majapahit di Trowulan dan Kawasan Lanskep Budaya di Bali), serta banyak kawasan dan benda peninggalan lainnya yang kaya akan nilai luhur budaya. Namun kemajuan kawasan teknologi komunikasi dan informasi sebagai akibat dari globalisasi telah menciptakan interaksi budaya yang disatu sisi berpengaruh positif terhadap perkembangan orientasi tata nilai dan prilaku masyarakat Jawa-Bali, namun di sisi lain dapat menimbulkan pengaruh pengaruh negatif, seperti munculnya identitas dan perilaku baru yang tidak sesuai dengan nilai, tradisi dan budaya lokal-tradisional. Selain itu, berbagai kasus pencurian dan penyeludupan berbagai benda sejarah (purbakala) yang semakin marak perlu mendapatkan perhatian yang serius dari seluruh stakeholder terkait.

Terkait dengan pemuda, dari total jumlah penduduk muda di Indonesia, persebaran yang paling banyak tinggal di Pulau Jawa-Bali sebesar 57,3 persen, banyaknya jumlah pemuda di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan pemuda di pulau tersebut menjadi sangat tinggi yaitu sebanyak 363 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan pemuda tertinggi di DKI Jakarta mencapai 5.949 pemuda per kilometer persegi. Tingkat pengangguran terbuka pemuda du Pulau Jawa masih cukup tinggi, seperti terlihat pada Propinsi Banten sebesar 27.71 persen dan Propinsi Jawa Barat sebesar 24.24 persen, sementara tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan pemuda yang besar berada pada posisi tingkat sekolah dasar dan menengah, sedangkan tingkat perguruan tinggi masih kecil. Selain itu pemuda di Pulau Jawa-Bali dihadapkan pada masalah sosial pemuda seperti krisis mental, krisis eksistensi dan lunturnya jatidiri bangsa. Hal ini terlihat dari maraknya pemakaian narkoba, pergaulan bebas dan kriminalitas di kalangan pemuda, utamanya pemuda di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya.

Di bidang olahraga, prestasi olahraga di Pulau Jawa-Bali menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pulau Jawa-Bali memiliki unggulan hampir pada semua cabang

III.3-5

olahraga, seperti atletik, pencak silat, karate, taekwondo, balap sepeda, balap motor, basket, senam, loncat indah, menembak, biliar, renang dan bulutangkis. Pulau Jawa-Bali memiliki keunggulan pada ketersediaan bibit dan atlet unggulan, serta pelatih dan wasit handal. Meskipun demikian, olahraga di Pulau Jawa-Bali masih menghadapi beberapa kendala yaitu semakin berkurangnya ruang terbuka dan sarana dan prasarana olahraga akibat tergusur oleh kepentingan ekonomi.

(2) Bidang Ekonomi

Antarprovinsi di wilayah Jawa Bali masing-masing memiliki keunggulan komparatif dalam pengembangan sektor ekonomi. Sektor industri pengolahan memiliki kontribusi terbesar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi sektor yang memiliki kontribusi terbesar di Provinsi Bali. Provinsi D.I Yogyakarta memiliki kontribusi terbesar di sektor Bangunan. DKI Jakarta bercirikan provinsi dengan basis sektor tersier. Sedangkan Banten sebagai provinsi baru mengalami pertumbuhan paling pesat pada sektor-sektor sekunder seperti bangunan, pengangkutan dan komunikasi, serta keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan.

Dari berbagai keunggulan sektor di masing-masing provinsi, maka prioritas pengembangan sektor disetiap provinsi adalah sebagai berikut yaitu: (a) industri makanan dan minuman di hampir setiap provinsi, kecuali DKI; (b) industri tekstil dan produk tekstil, kecuali DKI dan Jatim; (c) industri barang kayu, rotan dan bambu, kecuali DKI dan Jabar; (d) industri mesin listrik dan peralatan listrik di Jabar dan Banten; dan (e) industri alat angkutan dan perbaikannya di DKI dan Jabar.

Wilayah Jawa Bali merupakan lumbung pangan nasional dengan kontribusi produksi pangan tertinggi (padi sebesar 56,6 persen, kedele sebesar 70,8 persen, dan jagung sebesar 58,3 persen). Namun selama rentang waktu tahun 2002-2006 menunjukkan kecenderungan menurun. Sedangkan, produksi tanaman perkebunan dominan di wilayah Jawa-Bali dilihat pada empat jenis tanaman yaitu Kakao, Karet, Kopi dan Kelapa Sawit.

Isu strategis bidang ekonomi antara lain terhambatnya investasi sebagai akibat ketidapastian dalam memperoleh ijin usaha, rusaknya infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi, dan terbatasnya pasokan energi dan listrik. Permasalahan tersebut menyebabkan kurang optimalnya pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi dan rendahnya penyerapan tenaga kerja. Masalah lain yang terjadi di daerah adalah rendahnya keterampilan tenaga kerja dan terbatasnya lapangan pekerjaan. Untuk pengembangan ekonomi daerah perlu dilakukan berbagai upaya (1) revitalisasi pertanian secara terpadu, sistematik, dan konsisten; (2) pengembangan sektor dan komoditas keunggulan; (3) diversifikasi kegiatan ekonomi; (3) optimalisasi kinerja UMKM dengan memperluas akses faktor produksi, modal, teknologi, dan pasar terutama pelaku UMKM. Pulau Jawa-Bali merupakan wilayah yang padat penduduk dan potensial karena terdapat berbagai macam kegiatan sektor industri. Untuk membantu percepatan investasi pada skala usaha besar, dapat dikembangkan skim inti-plasma dengan menumbuhkan UMKM yang diharapkan dapat meningkatkan usaha UKM karena secara langsung dapat berdampingan dengan jaringan usaha formal dan bernilai tambah. Isu yang tidak kalah penting adalah dalam keuangan daerah, terutama dalam efektifitas dan efisiensi anggaran daerah, belum optimalnya anggaran berbasis kinerja, serta monitoring dan evaluasi penggunaan anggaran di daerah. Selain perluasan akses pada faktor produksi, modal, teknologi, dan pasar diperlukan juga

III.3-6

akses terhadap sumber pembiayaan yang kontinu. Dalam hal ini, dapat dikembangkan kelembagaan koperasi sebagai salah satu alternatif pembiayaan.

Di bidang keuangan daerah, Provinsi DKI menjadi provinsi dengan kapasitas fiskal terbesar yaitu 30 persen atau hampir 5-9 kali lipat dibandingkan provinsi lain. Di lain pihak, provinsi Jawa Tengah memiliki kapasitas fiskal terendah sebesar 3.78 persen. Secara umum, derajat desentralisasi fiskal berdasarkan kontribusi PAD terhadap total penerimaan di wilayah Jawa-Bali dengan nilai lebih dari 60 persen mengindikasikan tingkat kemandirian yang cukup baik. Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan daerah yang memiliki derajat desentralisasi fiskal tertinggi.

(3) Bidang Prasarana

Isu dan permasalahan dalam bidang sarana dan prasarana di sebagian besar daerah menyangkut rendahnya kualitas dan kuantitas ketersediaan sarana dan prasarana, khususnya untuk jalan dan jembatan, serta sarana transportasi. kurangnya keterpaduan transportasi antarmoda menjadi permasalahan utama, khususnya ketersediaan transportasi darat, laut, sungai, dan udara yang belum memadai. Sedangkan provinsi yang memiliki permasalahan tentang prasarana listrik, air minum, dan telekomunikasi. Untuk permasalahan yang menyangkut prasarana pengairan dan irigasi, diantaranya termasuk pengendalian masalah banjir dan daerah aliran sungai (DAS).

Kerapatan jalan berdasarkan rasio panjang jalan per luas wilayah antarprovinsi, tertinggi di Provinsi DKI Jakarta sebesar 1,68 km/km2, D.I. Yogyakarta sebesar 1,47 km/km2, dan Jawa Tengah sebesar 0,72 km/km2. Namun sebagian jalan di wilayah Jawa mengalami kerusakan. Pulau Jawa, Madura dan Bali telah terinterkoneksi, sehingga kebutuhan kelistrikan pada sistem ini disuplai dari pembangkit se JAMALI dengan beban puncak yang telah dicapai adalah sebesar 15.896 MW pada tahun 2007. Hampir 70 persen pasokan energi listrik nasional didistribusikan di Pulau Jawa.

Tersedia potensi pengembangan sumber ketersediaan sumber energi listrik, khususnya panas bumi masih potensial untuk dikembangkan. Sistem kelistrikan di Jawa-Madura-Bali dan Sumatera merupakan sistem yang telah berkembang dan merupakan sistem kelistrikan yang terinterkoneksi melalui jaringan transmisi tegangan tinggi dan jaringan transmisi tegangan ekstra tinggi. Keberlangsungan penyediaan suplai listrik melalui Pembangkit se JAMALI belum dapat mengantisipasi kerusakan/perbaikan dari sistem pembangkit. Untuk itu, perlu optimalisasi sumber daya energi alternatif sebagai penyedia listrik untuk menyokong pengembangan berbagai pusat industri pengolahan.

(4) Bidang SDA dan LH

Isu dan permasalahan yang paling penting dan perlu untuk segera ditangani adalah kecenderungan terjadinya beberapa bencana alam seperti banjir, longsor dan kekeringan akibat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dan juga terjadinya perubahan iklim global. Sedangkan eksploitasi terhadap sumber daya alam seperti eksploitasi sumberdaya laut dan pantai, serta buruknya manajemen daerah aliran sungai juga menyebabkan masalah.

Tingginya konversi lahan sawah juga berhubungan dengan lokasi yang lebih tinggi dari nilai kualitasnya, yaitu lahan sawah dengan kesuburan tinggi, di daerah yang dekat dengan konsentrasi penduduk akan kalah bersaing dengan keuntungan lokasinya. Selain itu

III.3-7

perbedaan tingkat upah di sektor pertanian dan industri, jumlah pemilikan aset lahan serta luas pemilikan lahan sawah yang semakin kecil cenderung menjadi faktor pendorong proses konversi lahan sawah. Wilayah Jawa Bali merupakan wilayah yang memiliki lahan tersempit untuk perluasan areal pertanian.Pada periode tahun 1999-2002 telah terjadi alih fungsi lahan sawah produktif menjadi peruntukan lainnya rata-rata 16.715 ha/tahun

Masalah air ditandai dengan kondisi lingkungan yang makin tidak kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis semakin bertambah. Penyedotan air tanah terutama yang melebihi kemampuan alami untuk mengisinya kembali makin tidak terkendali sejalan dengan perkembangan permukiman dan pertumbuhan kegiatan ekonomi penduduk yang pada akhirnya menyebabkan permukaan tanah turun, muka air tanah menurun, dan terjadinya intrusi air laut. Penurunan muka air tanah tersebut telah menyebabkan turunnya permukaan tanah dengan laju 2,3 sampai dengan 34 centimeter per tahun sehingga meningkatkan kerentanan wilayah-wilayah tersebut terhadap banjir.

Isu yang mundul dari bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup adalah (1) Semakin berkurangnya kawasan lindung dengan penggunaan lahan sebagai hutan akibat meluasnya kegiatan budidaya, khususnya di Pulau Jawa bagian Selatan dan Pulau Bali bagian Tengah. (2) Semakin meningkatnya kebutuhan ruang untuk kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan yang berdampak pada konversi lahan di kawasan lindung dan kawasan produksi pangan. (3) Lahan terbuka hijau yang terus turun seiring dengan bertambahnya aktivitas ekonomi; (4) Belum optimalnya pemanfaatan sumber energi yang tersedia di wilayah Jawa Bali; (5) Belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya lahan untuk pengembangan intensifikasi pertanian; (6) Terancamnya kelestarian sumber-sumber air dan daerah resapan air, sehingga berdampak pada berkurangnya ketersedian air. (7) Tingginya kerusakan lingkungan yang berdampak pada peningkatan kejadian bencana alam (banjir, longsor, kekeringan); (8) Tidak terkendalinya pengembangan industri hingga ambang batas toleransi lingkungan yang aman bagi keberlanjutan pembangunan; (9) Belum terintegrasinya pengembangan kawasan konservasi; (10) Terancamnya kelestarian kawasan cagar budaya.

(5) Bidang Politik, Hukum dan Keamanan

Isu dan permasalahan yang timbul dalam bidang politik adalah pelaksanaan pilkada kabupaten/kota di wilayah Jawa-Bali, kecuali DKI Jakarta. Dengan demikian, agar dapat menghasilkan kepemimpinan politik yang berkualitas, dan angka partisipasi politik dalam pilkada cukup tinggi, peningkatan kapasitas lembaga KPU Kabupaten/Kota dan pendidikan