• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi

Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) dilaksanakan pada bulan Mei 2010.

Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil olah cepat SP 2010 tercatat sebesar 5.543.031 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki 2.854.989 jiwa dan 2.688.042 jiwa penduduk perempuan (BPS Riau 2011).

Angkatan kerja penduduk laki-laki jauh lebih banyak dibanding bukan angkatan kerja. Sementara pada penduduk perempuan, bukan angkatan kerja justru lebih banyak dibanding angkatan kerja, yang sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Dari total angkatan kerja yang bekerja, ternyata sebagian besarnya terserap di sektor pertanian (49,30%), diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 17,58% dan 13,50%

(BPS Riau 2010).

Pada sektor pendidikan, tercatat tahun 2009/2010 Taman Kanak-kanak berjumlah 1.406 sekolah, 54.742 murid dan 5.320 guru dengan rasio murid terhadap guru 10,29% dan murid terhadap sekolah 38,93%. Selanjutnya, pada

14

tahun 2009/2010 Sekolah Dasar berjumlah 3.343, murid 647.434 dan guru 41.849, dengan rasio murid terhadap guru 15,47% dan ratio murid terhadap sekolah 19,37%. Data statistik pendidikan menengah terbatas pada SLTP dan SMU di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional. Pada tahun 2009/2010 terdapat 845 SLTP umum, 348 SMU, dengan jumlah murid SLTP 216.321. Sedangkan rasio murid terhadap guru SLTP 16,85%.

Menurut perencanaan Anggaran dan Belanja Negara, pemerintah menganut prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Jumlah anggaran menurut kewenangannya tahun 2009 berjumlah 3.749,80 milyar rupiah, di mana bidang administrasi umum pemerintah diberikan sebesar 1.480,28 milyar rupiah, disusul bidang pekerjaan umum sebesar 751,73 milyar rupiah dan bidang pendidikan sebesar 372,30 milyar rupiah. Penerimaan Provinsi Riau dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), BPHTB, pajak penghasilan, PPn dan PPn BM serta pajak lainnya cukup tinggi, yaitu sebesar 8,21 triliun rupiah pada tahun 2009 (BPS 2011). Secara rinci penerimaan PBB sebesar 1,55 triliun rupiah, BPHTB sebesar 0,13 triliun rupiah, pajak penghasilan sebesar 4,27 triliun rupiah, PPn dan PPn BM sebesar 2,21 triliun rupiah dan pajak lainnya 0,05 triliun rupiah.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Hotspot Tahunan

Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan, jaringan jalan atau akses menuju hutan, tipe tutupan lahan dan vegetasi, ketebalan gambut, dan tingkat kehijauan vegetasi (Adiningsih et al.

2005, Hadi 2005). Tipe tutupan lahan dan vegetasi mempengaruhi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Hadi (2006) dalam penelitiannya di Kabupaten Bengkalis, menyatakan hutan alam rawa mempunyai potensi kebakaran hutan yang tinggi.

Adiningsih et al. (2005) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dicirikan oleh rendahnya respon para pemangku kepentingan terhadap risiko biofisik kebakaran hutan dan lahan padahal risiko tersebut dapat diprediksi.

Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya hotspot yang ditemukan oleh satelit di seluruh wilayah Indonesia, khususnya tahun 2006-2010.

Gambar 3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau

Jumlah hotspot yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun adalah 171.493 hotspot, yaitu: 1) 57.856 hotspot pada tahun 2006; 2) 31.656 hotspot pada tahun 2007; 3) 32.838 hotspot pada tahun 2008; 4) 39.528 hotspot pada tahun 2009; dan 5) 9.615 hotspot pada tahun 2010 (WWF 2011). Sementara berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan Riau (LAPAN 2011a).

7734

1715

3538

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2009 2010 2011

Jumlah Hotspot

Tahun

16

Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHR ditemukan 12.987 hotspot dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011) di Provinsi Riau (Lampiran 1).

Sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009, yaitu 7.734 hotspot (Gambar 2). Pada tahun 2010 terjadi penurunan hotspot yang signifikan, yaitu 1.715 hotspot.

Sementara pada tahun 2011 terjadi kenaikan jumlah sebaran hotspot, yaitu 3.538.

Gambar 4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau

Dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu 2009 – 2011, Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah dengan jumlah sebaran hotspot tertinggi, yaitu 3.657 hotspot (Gambar 3). Sebaran hotspot terendah terletak di Kota Dumai, yaitu 10 hotspot.

Rata-rata sebaran hotspot tahunan dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 adalah 4.329,67 hotspot.

Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau 90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam (WWF 2010).

Aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama adalah alih guna dan fungsi lahan dan kawasan hutan, khususnya perkebunan dan lahan pertanian. Menurut Dishutbun Riau (2009), kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan oleh perilaku pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan sawit.

Berdasarkan hasil penelitian Jikalahari (2009) pada tahun 2002 hingga 2007 telah terjadi investasi besar-besaran pada usaha perkebunan kelapa sawit.

Pada tahun 2007 luasan perkebunan kelapa sawit adalah 2,157,091 ha. Pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada berkurangnya

17

luasan hutan di Provinsi Riau. Praktek usaha sawit juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengusaha/petani kelapa sawit melakukan pembakaran pada kegiatan pembukaan lahan (Jikalahari 2009).

Jikalahari (2009) menyebutkan, sekitar 1.570.700 ha izin hutan tanaman industri berada pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, 1.060.000 ha hutan tanaman industri berada dalam kawasan lindung dan 510.700 ha pada kawasan hutan produksi terbatas. Ketidaksesuaian perizinan ini terjadi karena adanya program pembangunan Provinsi Riau yang hanya mengedepankan nilai ekonomi semata.

Luas HTI tahun 2007 telah mencapai angka 1,935,607 ha. HTI di Provinsi Riau bertujuan untuk memenuhi kapasitas produksi industri pulp dan kertas. Kelas tanaman perusahaan berupa monokultur tanaman akasia. Kaitannya dalam besarnya tingkat sebaran hotspot dan kerawanan kabakaran hutan adalah adanya praktek pembukaan lahan dengan pembakaran di HTI di Provinsi Riau (Jikalahari 2009).

Faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau utamanya adalah iklim. Pada kurun waktu bulan Januari hingga Februari, unsur iklim yang menonjol dalam mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau adalah arah angin dan curah hujan. Berdasarkan hasil laporan Bapedal Provinsi Riau (2009), pada bulan Januari hingga Februari nilai curah hujan di Provinsi Riau rendah. Hal ini dikarenakan awan yang mempunyai kandungan air terbawa angin menuju daerah timur. Kondisi ini berakibat pada hari kering yang cukup panjang di Provinsi Riau.

Pada beberapa kasus, sebaran dan jumlah hotspot yang ditemukan berbanding terbalik dengan curah hujan di suatu daerah pada waktu tertentu. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, jumlah hotspot yang ditemukan meningkat. Dapat disimpulkan bahwa sebaran hotspot dipengaruhi oleh curah hujan di suatu daerah dan pada waktu tertentu (Syaufina 2008).

5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009

Tahun 2009 merupakan periode jumlah sebaran hotspot tertinggi di Provinsi Riau dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011. Sebaran hotspot yang

18

tinggi mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tinggi pula.

Tingginya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2009 terjadi karena adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja (Jikalahari 2010). Kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. Disebutkan dalam laporan Jikalahari (2009) bahwa selama periode Januari-Februari 2009 telah terjadi kebakaran hutan 2.153 ha, yaitu 1.450 ha pada bulan Januari dan 702 ha pada bulan Februari.

Sepanjang tahun 2009, jumlah hotspot yang ditemukan di Provinsi Riau sebanyak 7.734 hotspot. Jumlah hotspot yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (Jikalahari 2009): 1) adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja, dan 2) kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut.

5.1.2 Sebaran Hotspot Tahun 2010

Jumlah sebaran hotspot pada tahun 2010 turun dikarenakan terdapat kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Riau (Pemprov Riau) melalui Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Riau (BNPB 2009). Kebijakan yang diterapkan adalah (BNPB 2009): 1) koordinasi antara Satlak PB, Satkorlak PB, Manggala Agni Dinas Kehutanan, Kepolisian dan instansi/sektor dengan menyiagakan petugas untuk memantau perkembangan kondisi hotspot yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di masing-masing wilayahnya, dan 2) pemadaman hotspot di wilayah Provinsi Riau.

Berdasarkan areal konsesinya, pada tahun 2010 hotspot terdistribusi pada perkebunan kelapa sawit (20%), konsesi hutan (39%), dan areal lainnya termasuk lahan masyarakat (41%) (Jikalahari 2010). Sebaran hotspot di perkebunan kelapa sawit disebabkan adanya aktivitas pembakaran yang dilakukan secara sengaja (Jikalahari 2010).

Berdasarkan laporan WWF (2011) kebakaran hutan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu; 1) kebakaran di lahan peruntukan perkebunan kelapa sawit, dan 2) kebakaran di kawasan hutan yang dikonversi baik secara legal atau illegal untuk menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran terjadi karena adanya pembakaran pada saat pembukaan

19

lahan. Pembakaran dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat/petani kelapa sawit.

Kebakaran hutan di area konsesi hutan terjadi karena aktivitas HTI dalam pembukaan lahan. Di Provinsi Riau terdapat 21 HTI. Pada tahun 2009-2010 diidentifikasi terdapat 10 perusahaan HTI telah melakukan pelanggaran terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau (WWF 2010). Praktek pembakaran dilakukan ketika perusahaan melakukan pembukaan lahan.

Kebakaran di lahan masyarakat terjadi akibat praktek penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit (Jikalahari 2011).

5.1.3 Sebaran Hotspot Tahun 2011

Pada tahun 2011 terjadi kenaikan sebaran hotspot menjadi 3.538 hotspot.

Kenaikan jumlah hotspot tahun 2011 karena adanya hari kering yang lebih panjang dibandingkan dengan tahun 2010 (LAPAN 2012) (Lampiran 2). Syaufina (2008) menyampaikan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat di bumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun. Selanjutnya, kekurangan kadar air yang panjang dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran menjadi tinggi.

Jumlah sebaran hotspot yang tinggi berdampak pada tingginya tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian LAPAN (2012), di Provinsi Riau mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penanganan secara hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

5.2 Sebaran Hotspot Bulanan

Berdasarkan Gambar 4a, sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009 terjadi pada bulan Juli, yaitu sebanyak 2.395 hotspot. Sebaran terendah terjadi pada bulan Desember, yaitu sebanyak 25 hotspot. Rata-rata sebaran hotspot bulanan tahun 2009 adalah sebanyak 644,5 hotspot. Sebaran hotspot terbanyak terjadi pada bulan Mei hingga Agustus yang diakibatkan oleh dua faktor, yaitu 1) praktek pembakaran dalam proses pembersihan lahan, baik di lahan pertanian masyarakat maupun konsesi perkebunan, dan 2) faktor lingkungan sebagai pendukung dalam

20

tingginya hotspot dan kebakaran hutan di Provinsi Riau. Kebakaran hutan pada terjadi karena praktek pembakaran di lahan hutan terlantar (eks HPH/HTI) untuk dijadikan lahan garapan/perkebunan (WWF 2010). Faktor ini didukung oleh curah hujan yang rendah pada bulan Mei hingga Agustus pada tahun 2009 di Provinsi Riau (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran 3).

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Sebaran hotspot bulanan: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010;

dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau

21

Berdasarkan sebaran hotspot bulanan pada tahun 2010 (Gambar 4b), dapat dilihat bahwa pada bulan Januari jumlah hotspot yang berhasil ditangkap oleh pantauan satelit sebanyak 93 hotspot. Jumlah sebaran hotspot mengalami kenaikan pada bulan Februari, yaitu 145 hotspot. Jumlah hotspot pada bulan Maret hingga bulan April cenderung menurun dari sebanyak 92 hotspot hingga 39 hotspot.

Pada bulan Mei tahun 2010 jumlah hotspot mengalami kenaikan sebanyak 146 hotspot dan kembali turun menjadi 98 hotspot pada bulan Juni dan 79 hotspot pada bulan Juli. Kenaikan jumlah hotspot kembali terjadi, dari sebanyak 122 hotspot pada bulan Agustus, 182 hotspot pada bulan September hingga titik maksimum sebanyak 554 hotspot pada bulan Oktober. Jumlah hotspot mengalami penurunan pada bulan Desember, yaitu menjadi 53 hotspot.

Pada sekitar pertengahan Oktober 2010, terjadi perubahan suhu yang ekstrem yang mencapai 35,6oC (suhu rata-rata 32–34oC). Meskipun didominasi oleh musim basah, ada beberapa hari tidak terjadi hujan. Pada situasi seperti itulah kebakaran lahan dan hutan terjadi. Intensitas kebakaran ini semakin tinggi karena dukungan suhu yang ekstrem (sangat panas) di siang hari.

Jumlah sebaran hotspot di Provinsi Riau kembali meningkat menjadi 3.538 hotspot di tahun 2011. Berdasarkan Gambar 4c, ditemukan 26 hotspot pada bulan Januari. Pada bulan Februari sebaran hotspot mengalami peningkatan menjadi 250 hotspot dan mengalami penurunan kembali menjadi 123 hotspot pada bulan Maret. Peningkatan jumlah hotspot diawali pada bulan April yaitu sebanyak 221 hotspot, diikuti bulan Mei menjadi 397 hotspot. Sebaran hotspot kembali naik menjadi 383 hotspot pada bulan Juni. Selanjutnya, sebaran hotspot mencapai titik maksimum menjadi 708 hotspot pada bulan Juli.

Tingginya peningkatan sebaran hotspot dipengaruhi oleh aktivitas pembakaran dan didukung oleh kondisi alam. Pada bulan Maret hingga Agustus 2011, curah hujan di Provinsi Riau masuk dalam kategori rendah, yaitu 50–150 mm/bulan. Tingkat kekeringan pada bulan Maret hingga Agustus 2011 masuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya bulan kering yang panjang, sehingga tingkat kemudahan penyulutan api di Provinsi Riau ekstrem (LAPAN 2011b, 2011c, 2011d, 2011e, 2011f ).

22

5.3 Sebaran Hotspot Tipe Tanah Gambut

Hotspot tersebar pada dua tipe tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011 terpantau 12.987 hotspot (Lampiran 4). Sejumlah 7.149 hotspot ditemukan pada tanah bergambut atau 55%

sedangkan 5.838 atau 45% lainnya dijumpai pada tanah mineral (Gambar 5).

Gambar 6 Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah pada tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ( lahan gambut;  lahan non gambut)

Syaufina (2008) menyebutkan bahwa gambut merupakan bahan bakar yang baik dengan nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat mencapai 27,7 KJ/g dengan kadar abu yang rendah (sekitar 13%). Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut didukung oleh karakteristik gambut itu sendiri.

Gambar 7 Sebaran hotspot berdasarkan jenis tanah di Provinsi Riau tahun 2009-2011

Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa distribusi hotspot pada gambut paling banyak terdapat pada bulan Juli, yaitu sebanyak 1.925 hotspot. Sedangkan pada bulan Desember sebaran hotspot mencapai titik minimum, yaitu sebanyak 56

hotspot. Hal ini disebabkan oleh panjangnya bulan kering yang terjadi. Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011), bulan kering terjadi pada bulan Mei hingga Oktober. Panjangnya bulan kering berpengaruh terhadap jumlah sebaran hotspot di lahan gambut. Dengan demikian, terdapat hubungan antara panjang bulan kering dengan jumlah hotspot yang ditemukan di lahan gambut.

Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut di Provinsi Riau diawali pada tahun 2000 (Muslim dan Kurniawan 2008). Pada tahun 2000 investasi terhadap perkebunan sawit meningkat secara signifikan di Provinsi Riau. Dengan demikian, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan perkebunan kelapa sawit meningkat. Dengan kata lain, alih fungsi lahan gambut menjadi lahan perkebunan berakibat pada meningkatnya sebaran hotspot yang diikuti dengan meningkatnya potensi kebakaran lahan gambut.

(a) (b) (c)

Gambar 8 Sebaran hotspot pada lahan gambut: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010; dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau ( lahan gambut,  lahan mineral,  titik panas (hotspot))

Kebakaran pada lahan gambut ini selalu berulang setiap tahun pada lokasi yang sama (Gambar 7) (lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5), ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut memiliki resiko yang besar terhadap kebakaran. Hal ini dikarenakan oleh pembuatan kanal-kanal sebagai drainase untuk pengeringan lahan gambut tersebut. Dengan demikian, penurunan muka air tanah pada kawasan bergambut berdampak pada kekeringan yang tinggi dan mudah terbakar baik disengaja maupun tidak.

Tingginya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dipacu dengan adanya kebijakan pemerintah provinsi dalam membuka ruang investasi baik HTI dan perkebunan kelapa sawit. Ruang investasi dibuka luas mulai pada tahun 2002.

Pada tahun 2007, luas HTI telah mencapai angka 1.935.607 ha, 58% berupa lahan gambut (Jikalahari 2009). Perkebunan sawit tahun 2007 telah mencapai luasan 2.157.091 ha, 39% berupa lahan gambut (Jikalahari 2009).

###

KAMP AR KAMP AR

INDR AG I RI H ULU Skala 1:250.000 20 0 20 40 Kilometers

#

KAMP AR KAMP AR

INDR AG I RI H ULU Skala 1:250.000 20 0 20 40 Kilometers

#

KAMP AR KAMP AR

INDR AG I RI H ULU

PEKA NBAR U PEKA NBAR U 100 Skala 1:250.000 20 0 20 40 Kilometers

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

a. Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011), ditemukan 12.987 hotspot di Provinsi Riau. Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2009 sebanyak 7.734 hotspot dan terendah pada tahun 2010 sebanyak 1.715 hotspot. Rataan sebaran hotspot pada tahun 2009-2011 adalah 4.329 hotspot.

b. Pada tahun 2009, sebaran hotspot tertinggi ditemukan pada bulan Juli sebanyak 2395 hotspot, sedangkan jumlah hotspot terendah pada bulan Desember, yaitu 25 hotspot. Pada tahun 2010, jumlah hotspot terbanyak pada bulan Oktober yaitu 554 hotspot dan jumlah hotspot terendah pada bulan Desember sebanyak 53 hotspot. Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2011 pada bulan Juli, yaitu sebanyak 852 hotspot dan pada bulan Januari adalah jumlah hotspot terendah, yaitu sebanyak 26 hotspot

c. Sebaran hotspot pada tahun 2009-2011 terbanyak ditemukan di Kabupaten Rokan Hilir (3657 hotspot) dan Kabupaten Bengkalis (2714 hotspot).

Sedangkan sebaran hotspot terendah ditemukan di Kota Dumai (10 hotspot) dan Pekanbaru (28 Hotspot).

d. Berdasarkan sebaran hotspot di berbagai tipe lahan pada tahun 2009-2011 , 7.149 hotspot atau 55% ditemukan di lahan gambut, sedangkan 5.838 hotspot atau 45% dijumpai pada tanah mineral.

e. Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau adalah perilaku pembakaran baik disengaja ataupun tidak dan didukung oleh kondisi alam. Pembakaran terhadap hutan baik di tanah bertipe gambut atau non gambut dilatarbelakangi oleh pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan HTI/HPH. Faktor alam yang mendukung kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau adalah panjangnya bulan kering, yang pada umumnya dimulai pada bulan Mei hingga Agustus.

6.2 Saran

a. Para pihak yang terkait lebih meningkatkan kinerjanya dalam pengendalian kebakaran hutan.

26

b. Penertiban terhadap praktek pemanfaatan sumberdaya lahan di Provinsi Riau untuk perkebunan kelapa sawit.

c. Menindak pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran hukum terhadap pembakaran hutan di Provinsi Riau, terutama di lahan gambut.

d. Meningkatkan sistem informasi terkait potensi hotspot dan kebakaran hutan sebagai sistem pencegahan secara dini.

e. Meningkatkan sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat/petani terkait pembukaan lahan tanpa bakar.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih ES, Kartodihardjo H, Murdiyarso D. 2005. Analisis kebijakan dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Jurnal Wacana Insist 20:113-132.

Adinugroho WC, Suryadiputra INN, Saharjo BH, Siboro L. 2005. Manual for the Control of Fire in Peatlands and Peatland Forest. Bogor: Wetlands International.

Anderson IP, Bowen MR. 2001. Fire Zones And The Threat To The Wetlands Of Sumatera, Indonesia. Palembang: Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan.

[Anonim]. 2012. Local weather: history for Pekanbaru, Indonesia in 2009-2011.

[terhubung berkala]. http://www.wunderground.com/history/airport/ WIBB/

2012/9/18/DailyHistory.html? [3 September 2012].

Arifin, Bahri S, Sulistiono R, Haryono D, Suminarti NE, Herlina N, Azizah N.

2010. Klimatologi Dasar. Malang: Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.

Armi E. 2001. Penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan areal rawa di Propinsi Lampung. Di dalam: Prosiding Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktivitas Sosial Ekonomi dalam Kaitannya Dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Bandar Lampung, 11 Oktober 2001. Bogor: CIFOR. hlm 126-132.

[Bapedal Provinsi Riau] Badan Pengendalian Lingkungan Provinsi Riau. 2009.

Laporan Tahunan Bencana Provinsi Riau. Riau: Bapedal Provinsi Riau.

[BBPPLP] Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Jakarta:

Kementerian Pertanian.

[BNPB] Badan Nasioanl Penanggulangan Bencana. 2009. Laporan harian PUSDALOPS BNPB. [terhubung berkala] http://www.bnpb.go.id/irw/

file/publikasi/163.pdf [16 Mei 2012].

[BPS Provinsi Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2010. Riau dalam Angka 2010. Pekanbaru: BPS Provinsi Riau.

[BPS Provinsi Riau] Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2011. Riau dalam Angka 2011. Pekanbaru: BPS Provinsi Riau.

Brown AA, Davis KP. 1973. Forest Fire Control and Use. New York, USA:

McGraw-Hill Book Company.

28

Chandler C, Cheney P, Thomas P, Trabaud L, Williams D. 1983. Fire in Forestry: Forest Fire Behavior and Effects. New York, USA: John Wiley and Sons, Inc.

DeBano LF, Neary DG, Ffollot PF. 1998. Fire’s Effect on Ecosystems. New York:

John Willey and Sons, Inc.

[Dishutbun Riau] Dinas Kehutanan dan Perkebunan Riau. 2009. Laporan Perkembangan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau. Pekanbaru: Dishutbun Riau.

Fuller M. 1991. Forest Fire: An Introduction to Wildland Fire Behaviour, Management, Fire Fighting and Prevention. New York: JohnWiley & Sons, Inc.

Hadi M. 2006. Pemodelan spasial kerawanan kebakaran di lahan gambut: studi kasus Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hidayat AD, Kushardono W, Asriningrum, Zubaedah A, Effendy I. 2003.

Laporan Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: LAPAN.

[Jikalahari] Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau. 2009. Fakta Kritis: Analisis Tata Kelola Kehutanan di Provinsi Riau. Pekanbaru: Jikalihari.

Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kerusakan di Indonesia. Jakarta: Aquinox Publishing.

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2010. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi Oktober 2010. Jakarta: LAPAN.

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011a. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi Juni 2011. Jakarta: LAPAN.

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011b. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi Maret 2011. Jakarta: LAPAN.

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011c. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi April 2011. Jakarta: LAPAN.

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011d. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi Mei 2011. Jakarta: LAPAN.

29

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011e. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi Juli 2011. Jakarta: LAPAN.

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2011f. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi Agustus 2011. Jakarta: LAPAN.

[LAPAN] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2012. Hasil Pemantauan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Berdasarkan Data Satelit Penginderaan Jauh. Edisi Januari 2012. Jakarta: LAPAN.

Muslim, Kurniawan S. 2008. Fakta Hutan Dan Kebakaran 2002-2007: Informasi Atas Perubahan Hutan Gambut/Rawa Gambut Riau, Sumatra-Indonesia.

Pekanbaru: Jikalihari.

Peluso NL. 1996. Rich Forest People Poor. Toronto: Toronto University Press.

[PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2012.

Dokumen Sebaran Hotspot di Indonesia tahun 2000-2011. Jakarta: PHKA,

Dokumen Sebaran Hotspot di Indonesia tahun 2000-2011. Jakarta: PHKA,

Dokumen terkait