• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU ADI DZIKRULLOH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU ADI DZIKRULLOH"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU

ADI DZIKRULLOH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

iii

RINGKASAN

ADI DZIKRULLOH. Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau. Dibimbing oleh LAILAN SYAUFINA dan ATI DWI NURHAYATI.

Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai tingkat kebakaran hutan dan lahan yang tinggi. Kondisi ini dapat dilihat dari tingginya sebaran hotspot dan kejadian kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya. Dengan demikian, penyediaan informasi yang memadai mengenai sebaran potensi kebakaran hutan dan lahan melalui sebaran hotspot menjadi hal yang terpenting dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, khususnya untuk lahan gambut di Provinsi Riau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sebaran hotspot sebagai indikator kebakaran di lahan gambut di Provinsi Riau. Identifikasi hotspot bermanfaat memberikan informasi/gambaran fluktuasi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Sehingga, dapat digunakan dalam penentuan daerah rawan kebakaran yang berguna dalam kegiatan manajemen kebakaran hutan di Provinsi Riau.

Hasil penelitian terbentuk sebuah pola sebaran hotspot dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011). Jumlah hotspot yang ditemukan dalam tiga tahun adalah 12.987 hotspot. Pola sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009 sebanyak 7.734 hotspot, tahun 2010 terjadi penurunan jumlah hotspot menjadi 1.715 hotspot.

Namun jumlah hotspot kembali meningkat menjadi 3.538 hotpsot pada tahun 2011. Sebaran hotspot tertinggi setiap tahun dimulai pada bulan Mei hingga Agustus.

Luasan lahan gambut di Provinsi Riau adalah 45% dari luas total provinsi.

Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011), sejumlah 7.149 hotspot atau 55%

ditemukan di tanah bergambut, dan 5.838 hotspot atau 45% pada tanah selain gambut. Penyebab tingginya hotspot di Provinsi Riau adalah tingginya praktek alih guna dan fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit serta praktek pembukaan lahan dengan pembakaran, selanjutnya faktor iklim yang mendukung tingginya sebaran hotspot adalah panjangnya hari kering dan rendahnya curah hujan di Provinsi Riau.

Kata kunci: hotspot, kebakaran hutan, lahan gambut

(3)

iv

SUMMARY

ADI DZIKRULLOH. Distribution Patterns of Hotspot as an Indicator of Fire on Peatland in Riau Province. Supervised by LAILAN SYAUFINA and ATI DWI NURHAYATI.

Riau Province is one of the regions in Indonesia with a high rate of fire on forest and land. This condition can be seen from the high distribution of hotspots and occurrences of land and forest fires every year. Thus, adequate information about the potential distribution of land and forest fires based on the distribution of hotspots is the most important in the prevention of land and forest fires, particularly the fire on peatlands in Riau Province.

This study was aimed to identify hotspots as an indicator of fire distribution on peatlands in Riau Province. This hotspot identification is useful for providing information/description of the fluctuating distribution of hotspots in Riau Province. It can be used to determine which area is prone to fire, and this is useful in the management of forest fires in Riau province.

The study result is the form of a distribution pattern of hotspot in the period of three years (2009-2011). The number of hotspots was found in the three years to reach 12.987 hotspots. The highest distribution of hotspots was in 2009 with 7.734 hotspots. In 2010 the number of hotspots dropped to 1715 hotspots.

However, the figure increased again to 3.538 hotspots in 2011. The highest distribution of hotspot every year began in May to August.

The area of peatland in Riau province is 45% of the total area of the province. In the period of three years (2009-2011), 7.149 hotspots or 55% were found on the peatland and 5838 hotspots or 45% on other types of land. The causes of the high number of hotspots in Riau Province are the high frequency of change in land use to oil palm plantations and the practice of land clearing by burning, whereas the climatic factors that lead to the high distribution of hotspots are the length of dry days and the low rainfall in Riau Province.

Keywords: hotspot, forest fires, and peatland

(4)

v

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2012

Adi Dzikrulloh NIM E44070050

(5)

vi

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau

Nama : Adi Dzikrulloh

NIM : E44070050

Menyetujui:

Komisi Pembimbing Ketua,

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc NIP. 19640613 198903 2 001

Anggota,

Ati Dwi Nurhayati, SHut., MSi NIP. 19770622 200701 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009

Tanggal Lulus:

(6)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Pulorejo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 16 November 1988, sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari ayah K. Saiful Bahri dan Ibu Siti Rahmah. Penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1 Jombang tahun 2007.

Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007 dan mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan tahun 2012.

Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Leuweng Sancang dan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang Jawa Barat tahun 2009, Praktek Pembinaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) tahun 2010. Ketertarikannya dalam mendalami Small Scale Forestry menjadikan penulis melakukan studi Praktek Kerja Profesi (PKP) di Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) Kabupaten Kulon Progo, DIY Yogyakarta.

Pada tahun 2008-2010 penulis dipercaya untuk menjadi Ketua Umum Jombang Agristudent Community (JAC) dan Ketua Pelaksana Masa Pengenalan Mahasiswa (MPF) dan Bina Corps Rimbawan (BCR) di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tahun 2010. Sejak tahun 2008 penulis aktif dalam sebuah lembaga unit kerja dan Center of Excellence (CoE), FORCI Dev (Center for Forestry Organization Capacity and Institution Development) yang berada di lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Di FORCI Dev inilah penulis belajar banyak tentang kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sektor kehutanan.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) sebagai Indikator Kebakaran di Lahan Gambut di Provinsi Riau di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Ati Dwi Nurhayati, S.Hut., M.Si.

(7)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan mengucap asma Allah, Gusting Kang Maha Murbeng, atas pemberian kesehatan dan ruang-Nya sehingga penulis mampu berfikir dan bertindak untuk menuntaskan skripsi ini dengan judul “Pola Sebaran Titik Panas (Hotspot) Sebagai Indikator Kebakaran Hutan di Lahan Gambut di Provinsi Riau”. Skripsi ini penulis persembahkan kepada semua pihak yang memperjuangkan pengelolaan sumberdaya hutan untuk keberlangsungan lingkungan, keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan.

Sebuah harapan dari karya tulis ini adalah dapat member manfaat seluas- luasnya dan pembaca bersedia member masukan dan komentarnya untuk perbaikan bagi penulis pada khususnya serta perkembangan ilmu pengetahuan kehutanan. Penulis mengakhiri dengan sebuah kutipan yang mencerminkan harapan akan perubahan positif.

Bernard (1941) dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2005) Anda melihat sesuatu sebagaimana apa adanya dan anda bertanya mengapa. Tetapi saya bermimpi tentang hal-hal yang tidak pernah ada dan saya bertanya mengapa tidak?

Bogor, Juni 2012

Adi Dzikrulloh Bahri

(8)

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah dengan mengucap asma Allah, Gusting Kang Maha Murbeng, atas pemberian kesehatan dan ruang-Nya sehingga penulis mampu berfikir dan bertindak untuk menuntaskan karya ilmiah ini. Terima kasih disampaikan juga kepada:

1. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Ati Dwi Nurhayati, S.Hut., M.Si. sebagai pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan arahan dan ilmunya dengan penuh kesabaran.

2. Ir. Dones Rinaldi, MScF. sebagai dosen penguji dan Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut, MSi. sebagai ketua sidang atas segala ilmu yang telah diberikan.

3. Kedua orang tua penulis (Abah K. Saiful Bahri dan Umi Siti Rahmah) serta Mbak Amhilhum Ruwaida beserta Mas Hadi, Mas Anang Hudallah Bahri, Mas Rikza Saifullah Bahri beserta Mbak Hadiyatul Fitriah, dan Yunda tercinta Imas Rubaiyah atas ilmu dan dukungannya kepada penulis.

4. Keluarga Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang senantiasa memberikan ruang ilmu kepada penulis.

5. Keluarga besar Departemen Silvikultur, khususnya teruntuk Dr. Erianto Indra Putra, S.Hut., M.Si. dan Dadan Mulyana, S.Hut., M.Si. yang ikhlas menjadi teman diskusi penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.

Sahabat-sahabat Silvikultur angkatan 44 khususnya Rizki Mohfar Laleur, Dikdik Pasang Sodiikin, Hariadi Propantoko dan Izzudin yang seringkali memberi wejangan kepada penulis.

6. Teman-teman di Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Renato, Djayus, Syamsi, Topik, Indra Prima, Hansen, Muhran, Lembong, Soni, Mas Agung, Andrie R, Bayu P, Akrom, Yasser, Hilman, Dewi Kartika-Ika dan Mas/Mbak serta Adek tingkat semua atas canda ria selama ini.

7. Teruntuk kawan Wira Ary Ardana dan Alex Yungan Harahap yang sering kali meluangkan waktunya untuk mendiskusikan apapun dengan penulis.

8. Saudara-saudara penulis di Asrama Sylvalestari atas riungannya.

9. Kawan-kawan Futsal dan Sepakbola Fahutan atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis.

(9)

x

10. Saudara-saudara penulis Arifin Busi, Rusdi Indra S, Singgih MW, Bergas CB, Rizki HS, Ari S, Anggiana GA dan Noval H. yang bersama-sama menghidupkan “Langau Institute” dalam suasana keilmuan. Khususnya untuk Anggiana dan Mas Handian yang selalu menyediakan ruang diskusi kepada penulis.

11. Sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Institut Pertanian Bogor, yang mengajarkan kesabaran dan keikhlasan dalam sebuah pergerakan.

12. Kawan-kawan di FORCI Dev (Center for Forestry Organization Capacity and Institution Development) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mencintai ilmu.

13. Setiap waktu dan tempat adalah ruang belajar, setiap orang adalah guru penulis. Terimakasih untuk semuanya.

(10)

POLA SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN DI LAHAN GAMBUT DI PROVINSI RIAU

ADI DZIKRULLOH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kebakaran Hutan ... 3

2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan ... 3

2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan ... 4

2.1.3 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan ... 7

2.1.4 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ... 8

2.2 Titik Panas (Hotspot) ... 8

BAB III METODE PENELITIAN... 9

3.1 Waktu dan Tempat ... 9

3.2 Bahan dan Alat ... 9

3.3 Metode Penelitian ... 9

3.3.1 Pengumpulan Data ... 9

3.3.2 Pengolahan Data ... 9

3.4 Analisis Data ... 10

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 11

4.1 Keadaan Geografis ... 11

4.2 Keadaan Iklim ... 11

4.3 Topografi ... 12

4.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi... 13

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

5.1 Sebaran Hotspot Tahunan ... 15

5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009 ... 17

(12)

xii

5.1.2 Sebaran Hotspot Tahun 2010 ... 18

5.1.3 Sebaran Hotspot Tahun 2011 ... 19

5.2 Sebaran Hotspot Bulanan ... 19

5.3 Sebaran Hotspot Pada Tipe lahan Gambut ... 22

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 25

6.1 Kesimpulan ... 25

6.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

LAMPIRAN ... 30

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta Provinsi Riau (BPS Riau 2010) ... 11

2 Luas lahan gambut di Provinsi Riau (BBPPLP 2011) ... 12

3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ... 15

4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau ... 16

5 Sebaran hotspot bulanan pada tahun 2009 (a) 2010 (b) dan 2011 (c) di Provinsi Riau ... 20

6 Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah pada tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ... 22

7 Sebaran hotspot berdasarkan jenis tanah di Provinsi Riau tahun 2009-2011 ... 22

8 Sebaran hotspot pada lahan gambut: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010; dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau ... 23

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ... 30 2 Sebaran bulan kering tahun 2009-2011 ... 31 3 Curah hujan Provinsi Riau pada tahun 2009-2011 ... 31 4 Sebaran hotspot di lahan gambut dan non gambut tahun 2009-2011

di Provinsi Riau ... 31 5 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 ... 32

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan telah memberikan dampak negatif yang besar.

Kebakaran terbesar terjadi pada tahun 1982-1983 yang menyebabkan kerugian US$ 9.04 miliar selanjutnya tahun 1997-1998 dengan kerugian US$ 6307 juta (Tacconi 2003). Dengan demikian perlu adanya upaya untuk mengendalikan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Hutan mempunyai peranan yang sangat luas baik dari aspek perlindungan ekosistem, sosial ekonomi, dan budaya. Fungsi yang luas (multiple function) harus mendapatkan perhatian yang serius. Perlindungan dari berbagai bahaya akan sumberdaya hutan, dalam hal ini kebakaran hutan, menjadi penting untuk dilakukan.

Perlindungan sumberdaya hutan terhadap kebakaran hutan dan lahan dilakukan melalui dua instrumen, yaitu pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan di lapangan. Dua hal tersebut saling berhubungan dan mempunyai keterikatan yang kuat dalam keberhasilan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Anderson dan Bowen (2001) menyebutkan bahwa di Sumatera teridentifikasi 7 kawasan utama rawan kebakaran. Kawasan tersebut adalah (i) Sumatera Utara (perbatasan Riau), (ii) lahan basah Sungai Kampar di Riau, (iii) lahan basah di pesisir Sumatera Barat (perbatasan Sumatera Utara), (iv) Sumatera Barat (lahan basah dipesisir Bengkulu), (v) lahan basah Sungai Batanghari di Jambi berbatasan dengan taman Nasional Berbak, (vi) rawa di pedalaman Sumatera Selatan, dan (vii) lahan basah di pesisir Sumatera Selatan. Sebanyak enam dari tujuh zona rawan kebakaran tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama yaitu berada dalam lahan basah yang kaya gambut.

Upaya pencegahan menjadi prioritas utama dalam penanggulangan kebakaran hutan khususnya untuk daerah-daerah berlahan gambut Provinsi Riau.

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha (10,8%) dari luas daratan Indonesia, dimana sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau Sumatera.

Luas lahan gambut di Propinsi Riau adalah 3.867.413 ha (43,61%) dari luas

(16)

2

keseluruhan Provinsi Riau) (BBPPLP 2011). Dengan demikian, penyediaan informasi yang memadai mengenai sebaran potensi kebakaran hutan dan lahan melalui sebaran hotspot menjadi hal yang terpenting dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, khususnya untuk lahan gambut di Provinsi Riau.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengidentifikasi sebaran hotspot sebagai indikator kebakaran di lahan gambut di Provinsi Riau.

1.3 Manfaat Penelitian

Identifikasi hotspot bermanfaat memberikan informasi/gambaran fluktuasi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Informasi tersebut dapat digunakan dalam penentuan daerah rawan kebakaran yang berguna dalam kegiatan manajemen kebakaran hutan di Provinsi Riau.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan

2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak terkendali. Syaufina (2008) mengemukakan bahwa kebakaran hutan adalah suatu kejadian di mana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali.

Vegetasi menjadi bahan bakar utama dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Bahan bakar tersebut merupakan hasil fotosintesis vegetasi hutan.

Sehingga kebakaran hutan tidak lain adalah pelepasan panas secara cepat pada vegetasi dengan kapasitas besar. Hubungan fotosintesis dan pembakaran vegetasi adalah terjadinya reaksi kimia antara CO2 dan H2O yang dibantu oleh energi cahaya. Hasil dari reaksi kimia tersebut adalah C6H12O6, O2, dan H2O.

Pembakaran adalah terjadinya reaksi kimia antara CO2 dan C6H12O6 dengan adanya suhu penyalaan yang cukup sehingga menghasilkan CO2, H20 dan panas (Syaufina 2008).

Reaksi kimia di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga komponen yang penting dalam terjadinya proses pembakaran, yaitu; (i) bahan bakar yang ditun- jukkan oleh senyawa glukosa (C6H12O6), (ii) oksigen (O2), dan (iii) panas.

DeBano et al. (1998) menyatakan bahwa ada tiga komponen penting yang diperlukan agar terjadi proses pembakaran, yaitu; bahan bakar, panas, dan O2. Ketiga komponen tersebut digambarkan dengan segitiga api (The fire triangle) (Brown dan Davis 1979).

Kebakaran hutan dapat dikelompokan pada tiga tipe. Pengelompokkan tersebut didasarkan kepada bahan bakar yang mendominasi kebakaran. Tiga tipe kebakaran (Syaufina 2008), yaitu :

a. Kebakaran bawah (Ground Fire):

Kebakaran bawah yaitu situasi dimana api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah. Penjalaran api yang perlahan dan tidak dipengaruhi

(18)

4

oleh angin menyebabkan tipe kebakaran seperti ini sulit untuk dideteksi dan dikontrol. Kebakaran bawah dicirikan dengan kebakaran lahan gambut.

b. Kebakaran permukaan (Surface fire)

Kebakaran permukaan yaitu situasi dimana api membakar serasah, tum- buhan bawah, bekas limbah pembalakan dan bahan bakar lain yang terdapat di lantai hutan. Kebakaran permukaan permukaan adalah tipe kebakaran yang umum terjadi di tegakan hutan.

c. Kebakaran tajuk

Kebakaran tajuk yaitu situasi dimana api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon yang lain yang saling berdekatan. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin. Kebakaran tajuk sering terjadi di tegakan hutan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan.

2.1.2 Faktor Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan

Adiningsih et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab kebakaran hutan, yaitu aktivitas manusia dalam menggunakan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan. Berdasarkan ketiga faktor tersebut dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh perilaku manusia dan kondisi biofisik lokasi.

a. Aktivitas manusia

Menurut Armi (2001) kebakaran hutan dan lahan rawa yang terjadi akibat pembukaan lahan kehutanan, perkebunan, pertanian, transmigrasi, Pertambangan dan bidang pariwisata. Kesemuanya ini bersumber dari terbatasnya pengetahuan masyarakat akan bahaya/dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran terhadap perubahan ekosistem. Di samping itu penyebab lain adalah akibat kelalaian manusia dalam pelaksanaan kegiatan usaha/pembangunan di tingkat lapangan sehingga terjadi kebakaran baik hutan maupun areal rawa yang ada di Lampung (Suyanto et al. 2003).

Penggunaan api oleh manusia dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu untuk membersihkan lahan dan menjadi senjata konflik lahan. Pembersihan lahan dengan cara pembakaran dianggap sebagai cara pembersihan lahan yang murah.

Pembersihan lahan diperlukan untuk kegiatan perladangan, perkebunan dan hutan tanaman.

(19)

5

Masyarakat juga menggunakan api sebagai senjata dalam konflik lahan.

Peluso (1992) menyatakan bahwa masyarakat seringkali membakar hutan dan infrastruktur dalam menunjukkan perlawanan terhadap ketidaksetujuan terhadap penguasaan lahan atau sumberdaya hutan yang dilakukan oleh negara. Api digunakan sebagai senjata perlawanan karena dianggap mudah dan dengan membakar, sumberdaya lahan dapat lebih mudah untuk dikuasai kembali.

b. Faktor cuaca kebakaran hutan dan lahan

Cuaca mempunyai peranan penting dalam kebakaran hutan dan lahan.

Cuaca juga menentukan panjang dan parahnya musim kebakaran dan bahan bakar di suatu daerah (Chandler et al. 1983). Musim kebakaran erat kaitannya dengan panjang hari di suatu tempat yang berhubungan pada lama penyinaran matahari, sehingga berdampak pada kelembaban di suatu daerah.

Musim kebakaran juga mempunyai peranan dalam menentukan kadar air bahan bakar. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka semakin rendah kemudahan bahan bakar untuk terbakar. Sebaliknya semakin rendah kadar air bahan bakar, maka semakin tinggi kemudahan bahan bakar untuk terbakar.

Kadar air dapat dijadikan indikator bahaya kebakaran hutan (Syaufina 2008). Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan sebagai berikut (Chandler et al. 1983): (i) iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, (ii) iklim menentukan jangka waktu dan keparahan musim kebakaran, (iii) cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar, (iv) cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.

Cuaca terbentuk dari berbagai unsur-unsur pembentuknya, yaitu kelembaban relatif, penguapan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan curah hujan. Sintesis dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca dalam jangka waktu yang panjang dan di suatu tempat itulah membentuk sebuah iklim.

1. Suhu udara

Suhu udara menjadi indikator penting dalam kebakaran hutan dan lahan.

Intensitas matahari akan mempengaruhi kandungan kadar air pada bahan bakar, yang kemudian berpengaruh pada ketersediaan bahan bakar. Tingginya suhu

(20)

6

udara akan mempercepat pengeringan bahan bakar dan memudahkan kebakaran terutama pada musim kemarau yang panjang.

Perbedaan suhu udara dalam satu hari dapat menentukan kecenderungan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pada siang hari suhu udara lebih memungkinkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dibandingkan dengan pagi hari. Menurut Sahardjo (2003), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 200C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada titik. Sementara siang hari dengan suhu 30–350C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.

2. Kelembaban udara

Kelembaban udara di dalam hutan mempengaruhi kadar air lingkungan, yaitu baik pada bahan bakar vegetasi maupun lingkungan abiotik. Kelembaban udara mempengaruhi kadar air bahan bakar, sehingga dapat berpengaruh pada pengeringan dan terbakarnya bahan bakar. Fuller (1991) menyatakan bahwa dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini dikarenakan kelembaban (kadar air udara) dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin kecil kadar air di udara (RH kecil) maka semakin mudah bahan bakar mengering dan bahan bakar lebih mudah terbakar. Begitu juga sebaliknya, semakin tinggi kadar air di udara (RH tinggi) maka semakin besar kandungan air pada bahan bakar, akibatnya bahan bakar semakin basah dan sulit terbakar.

Terdapat perbedaan kelembaban udara pada siang hari dan pagi hari. Siang hari kelembaban udara berkisar antara 80–85%, sebaliknya pada pagi hari kelembaban relatif tinggi yaitu sekitar 90–95% (Susanty 2009). Kondisi ini berpengaruh pada siang hari yang membuat proses kebakaran berlangsung cepat karena kadar air bahan bakar cukup rendah.

3. Curah hujan

Curah hujan berpengaruh pada kelembaban regional hutan, khususnya terhadap bahan bakar. Semakin tinggi curah hujan, maka kelembaban bahan bakar

(21)

7

semakin tinggi pula, dampaknya kadar air bahan tinggi dan potensi kebakaran menjadi rendah.

Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh pada permukaan tanah selama periode tertentu bila tidak terjadi penghilangan oleh proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang diukur dalam satuan tinggi.

Curah hujan adalah unsur iklim yang berpengaruh pada terjadinya kebakaran hutan dan lahan, terutama sebagai pembentuk kelembaban dan penentu kadar air pada bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar tinggi, dan kadar air bahan bakarpun tinggi, sehingga menyulitkan terjadinya pembakaran (Septicorini 2006).

4. Angin

Angin ialah udara yang bergerak secara horizontal dari suatu wilayah yang bertekanan tinggi menuju wilayah yang bertekanan rendah (Arifin et al. 2001).

Angin muncul sebagai hasil dari pemanasan di permukaan bumi, sehingga terjadi perbedaan tekanan udara. Menurut Chandler et al. (1983) angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan.

Angin berperan dalam membantu pengeringan bahan bakar. Air yang berada di alam bahan bakar akan dibawa oleh angin ketika terjadi proses penguapan. Dalam perilaku api angin berperan dalam menentukan kecepatan perambatan api dari satu bahan bakar menuju ke bahan bakar yang lain.

2.1.3 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan mempunyai dampak positif maupun negatif.

Menurut Adinugroho et al. (2005), dampak kebakaran hutan dan lahan yaitu adanya degradasi lingkungan, gangguan kesehatan dan masalah sosial-ekonomi.

Kebakaran yang terjadi dapat menimbulkan dampak yang sangat penting terhadap kerusakan ekosistem seperti (Armi 2001): (i) menurunnya kesuburan tanah yang menyebabkan tingkat produktifitas lahan menurun karena lapisan humus yang hilang dan struktur tanah bagian atas (top-soil) mengalami perubahan sehingga menyebabkan terganggunya kehidupan mikroorganisme dan tanaman yang tumbuh diatasnya, (ii) berkurangnya/musnahnya flora dan fauna yang berada di dalam maupun di atas lahan yang terbakar.

(22)

8

Kebakaran hutan dan lahan memberikan kerugian ekonomi yang besar.

Kerugian tersebut meliputi sumberdaya hutan itu sendiri dan manfaat hutan tidak langsung. Tacconi (2003) mengklasifikasikan perhitungan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan menjadi dua, yaitu biaya ekonomi akibat kebakaran, dan biaya ekonomi akibat pencemaran.

2.1.4 Pengendalian Kebakaran Hutan

Pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi remote sensing. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam memantau kebakaran secara cepat, tepat dan akurat serta memperkirakan kejadian kebakaran dan pengaruhnya pada waktu mendatang. Informasi yang di dapat dapat membantu dalam kegiatan peringatan dini (early warning system) dalam pencegahan kebakaran hutan.

2.2 Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satus piksel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah atau lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR.

Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km).

Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan.

Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hotspot yaitu JICA (Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center).

Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hotspot (fire exist). Ambang batas (threshold) yang menjadi acuan adalah (Hidayat et al. 2003): (i) LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum)

(23)

9

sebesar 322oK, (ii) JICA menggabungkan ambang batas suhu maksimum 315oK pada siang hari dan 310oK pada malam, dan (iii) ASMC yang memakai threshold sebesar 320oK pada siang hari dan 314oK pada malam hari.

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2012, diawali dengan tahap pengumpulan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan laporan. Penelitian ini adalah analisis data sekunder dengan lokasi penelitian Provinsi Riau.

Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan April 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah satu unit komputer yang dilengkapi dengan software ArcView GIS Versi 3.2. dan MS. Office 2007. Data yang digunakan sebagai bahan di dalam penelitian adalah data sekunder tentang persebaran hotspot dari tahun 2009 hingga 2011 (PHKA Kemenhut) dan sebaran lahan gambut tahun 2011 di Provinsi Riau (BBPPLP Kementan).

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan data

Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud meliputi: (i) data sebaran hotspot di Provinsi Riau tahun 2009 hingga 2011, (ii) peta sebaran lahan gambut Provinsi Riau tahun 2011, dan (iii) berbagai literatur yang mendukung penelitian.

3.3.2 Pengolahan data

Pengolahan data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) pengolahan data hotspot, dan 2) pengolahan data sebaran lahan gambut dan tutupan lahan. Pengolahan data hotspot dengan menggunakan perangkat software MS. Excel dengan mengguna- kan add ins Descriptive Statistics. Pengolahan sebaran lahan gambut dengan menggunakan software ArcView GIS Ver 3.2.

Langkah awal dalam pengolahan data yaitu pengklasifikasian data hotspot menurut waktu (tahun dan bulan) serta sebaran menurut kabupaten. Selanjutnya data hotspot digabungkan (overlay) pada peta sebaran lahan gambut.

(25)

10

3.4 Analisis Data

Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel dengan menggunakan add ins Descriptive Statistics. Analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan atau member gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya. Sugiyono (2010) menyebutkan analisis deskriptif sebagai statistik deskriptif tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

(26)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis

Provinsi Riau terletak antara 01°05’00”LS–02°25’00”LU atau antara 100°00’00”BT–105°05’00”BT. Luas daerah lebih kurang 8.915.016 ha (89.150 km2) daratan dan perairan. Provinsi Riau terdiri dari 10 (sepuluh) kabupaten dan 2 (dua) kota, yaitu: Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Kepulauan Meranti, Pekanbaru, dan Dumai. Adapun batas-batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya dengan negara tetangga dan provinsi lainnya adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1).

Gambar 1 Peta Provinsi Riau (BPS Riau 2010)

4.2 Keadaan Iklim

Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1000–3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Kota

(27)

12

Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari, Kabupaten Pelalawan 147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan Kabupaten Kampar dengan jumlah hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3.349,0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3.214,4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota Dumai sebesar 635,0 mm. Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru tahun 2009 menunjukkan 28oC dengan suhu maksimum 36oC dan suhu minimum 21oC (BPS Riau 2010).

4.3 Topografi

Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di Wilayah Provinsi Riau antara 2–91 m dpl. Kabupaten Bengkalis merupakan kota yang paling rendah, yaitu berada 2 m dpl. Kebanyakan kota di Provinsi Riau berada dibawah 10 mdpl, seperti Rengat, Tembilahan, Siak, Bengkalis, Bagan Siapi-api dan Dumai.

Gambar 2 Luas lahan gambut di Provinsi Riau (BBPPLP 2011)

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha (10,8%) dari luas daratan Indonesia, dimana sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau Sumatera. Luas lahan gambut di Propinsi Riau adalah 3.867.413 ha (43,61%) dari luas keseluruhan Provinsi Riau) (BBPPLP 2011) (Gambar 2). Sebagian besar tanah daratan daerah Riau terdiri dari daratan yang terjadi dari formasi alluvium

RO K A N H IL IR RO K A N H IL IR

RO K A N H U L U RO K A N H U L U

KAMP AR KAMP AR

INDR AG I RI H ULU INDR AG I RI H ULU

INDR AG I RI H ILI R INDR AG I RI H ILI R PELA LAW A N

PELA LAW A N SIA K SIA K B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS KO TA DU MA I

KO TA DU MA I

PEKA NBARU PEKA NBARU 100

100

101

101

102

102

103

103

104

104

-1 -1

0 0

1 1

2 2

N

E W

S

Skala 1:250.000 20 0 20 40 Kilometers

Keterangan:

Lahan gambut

Lahan mineral

(28)

13

(endapan), di beberapa tempat terdapat selingan neogen, misalnya sepanjang Sungai Kampar, Sungai Indragiri dan anaknya Sungai Cinaku di Kabupaten Indragiri Hulu bagian selatan. Tetapi di daerah perbatasan sepanjang Bukit Barisan sepenuhnya terdiri dari lapisan permikarbon, peleogen dan neogen dari tanah podsolik yang berarti terdiri dari induk batuan endapan.

Keseluruhan daerah tersebut dapat dikatakan tanah tua sedangkan selebihnya membentang ke utara sampai dengan daerah-daerah pantai, merupakan kontruksi dari formasi jenis tanah alluvium (endapan) yang berasal dari zaman Quarter sampai dengan zaman Recen, terlebih pada daerah bencah berawa-rawa sepanjang daerah pantai utara. Provinsi Riau terdapat empat jenis tanah (Zwieryeki dalam BPS Riau 2011), yakni : (i) jenis tanah organosol glei humus, (ii) jenis tanah padsolik merah kuning dari alluvium, (iii) jenis tanah padsolik merah kuning dari batuan endapan, (iv) jenis tanah podsolik merah kuning dari batuan endapan dan batuan beku. Jenis-jenis tanah tersebut terutama didapati di daerah-daerah sepanjang pantai sampai dengan pertengahan daratan yang berformasi sebagai daratan muda tidak bergunung-gunung, bahkan beberapa bagian terdiri dari tanah berawa-rawa.

4.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi

Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) dilaksanakan pada bulan Mei 2010.

Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil olah cepat SP 2010 tercatat sebesar 5.543.031 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki 2.854.989 jiwa dan 2.688.042 jiwa penduduk perempuan (BPS Riau 2011).

Angkatan kerja penduduk laki-laki jauh lebih banyak dibanding bukan angkatan kerja. Sementara pada penduduk perempuan, bukan angkatan kerja justru lebih banyak dibanding angkatan kerja, yang sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Dari total angkatan kerja yang bekerja, ternyata sebagian besarnya terserap di sektor pertanian (49,30%), diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 17,58% dan 13,50%

(BPS Riau 2010).

Pada sektor pendidikan, tercatat tahun 2009/2010 Taman Kanak-kanak berjumlah 1.406 sekolah, 54.742 murid dan 5.320 guru dengan rasio murid terhadap guru 10,29% dan murid terhadap sekolah 38,93%. Selanjutnya, pada

(29)

14

tahun 2009/2010 Sekolah Dasar berjumlah 3.343, murid 647.434 dan guru 41.849, dengan rasio murid terhadap guru 15,47% dan ratio murid terhadap sekolah 19,37%. Data statistik pendidikan menengah terbatas pada SLTP dan SMU di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional. Pada tahun 2009/2010 terdapat 845 SLTP umum, 348 SMU, dengan jumlah murid SLTP 216.321. Sedangkan rasio murid terhadap guru SLTP 16,85%.

Menurut perencanaan Anggaran dan Belanja Negara, pemerintah menganut prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Jumlah anggaran menurut kewenangannya tahun 2009 berjumlah 3.749,80 milyar rupiah, di mana bidang administrasi umum pemerintah diberikan sebesar 1.480,28 milyar rupiah, disusul bidang pekerjaan umum sebesar 751,73 milyar rupiah dan bidang pendidikan sebesar 372,30 milyar rupiah. Penerimaan Provinsi Riau dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), BPHTB, pajak penghasilan, PPn dan PPn BM serta pajak lainnya cukup tinggi, yaitu sebesar 8,21 triliun rupiah pada tahun 2009 (BPS 2011). Secara rinci penerimaan PBB sebesar 1,55 triliun rupiah, BPHTB sebesar 0,13 triliun rupiah, pajak penghasilan sebesar 4,27 triliun rupiah, PPn dan PPn BM sebesar 2,21 triliun rupiah dan pajak lainnya 0,05 triliun rupiah.

(30)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Hotspot Tahunan

Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan, jaringan jalan atau akses menuju hutan, tipe tutupan lahan dan vegetasi, ketebalan gambut, dan tingkat kehijauan vegetasi (Adiningsih et al.

2005, Hadi 2005). Tipe tutupan lahan dan vegetasi mempengaruhi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Hadi (2006) dalam penelitiannya di Kabupaten Bengkalis, menyatakan hutan alam rawa mempunyai potensi kebakaran hutan yang tinggi.

Adiningsih et al. (2005) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dicirikan oleh rendahnya respon para pemangku kepentingan terhadap risiko biofisik kebakaran hutan dan lahan padahal risiko tersebut dapat diprediksi.

Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya hotspot yang ditemukan oleh satelit di seluruh wilayah Indonesia, khususnya tahun 2006-2010.

Gambar 3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau

Jumlah hotspot yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun adalah 171.493 hotspot, yaitu: 1) 57.856 hotspot pada tahun 2006; 2) 31.656 hotspot pada tahun 2007; 3) 32.838 hotspot pada tahun 2008; 4) 39.528 hotspot pada tahun 2009; dan 5) 9.615 hotspot pada tahun 2010 (WWF 2011). Sementara berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan Riau (LAPAN 2011a).

7734

1715

3538

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2009 2010 2011

Jumlah Hotspot

Tahun

(31)

16

Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHR ditemukan 12.987 hotspot dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011) di Provinsi Riau (Lampiran 1).

Sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009, yaitu 7.734 hotspot (Gambar 2). Pada tahun 2010 terjadi penurunan hotspot yang signifikan, yaitu 1.715 hotspot.

Sementara pada tahun 2011 terjadi kenaikan jumlah sebaran hotspot, yaitu 3.538.

Gambar 4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau

Dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu 2009 – 2011, Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah dengan jumlah sebaran hotspot tertinggi, yaitu 3.657 hotspot (Gambar 3). Sebaran hotspot terendah terletak di Kota Dumai, yaitu 10 hotspot.

Rata-rata sebaran hotspot tahunan dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 adalah 4.329,67 hotspot.

Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau 90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam (WWF 2010).

Aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama adalah alih guna dan fungsi lahan dan kawasan hutan, khususnya perkebunan dan lahan pertanian. Menurut Dishutbun Riau (2009), kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan oleh perilaku pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan sawit.

Berdasarkan hasil penelitian Jikalahari (2009) pada tahun 2002 hingga 2007 telah terjadi investasi besar-besaran pada usaha perkebunan kelapa sawit.

Pada tahun 2007 luasan perkebunan kelapa sawit adalah 2,157,091 ha. Pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada berkurangnya

(32)

17

luasan hutan di Provinsi Riau. Praktek usaha sawit juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengusaha/petani kelapa sawit melakukan pembakaran pada kegiatan pembukaan lahan (Jikalahari 2009).

Jikalahari (2009) menyebutkan, sekitar 1.570.700 ha izin hutan tanaman industri berada pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, 1.060.000 ha hutan tanaman industri berada dalam kawasan lindung dan 510.700 ha pada kawasan hutan produksi terbatas. Ketidaksesuaian perizinan ini terjadi karena adanya program pembangunan Provinsi Riau yang hanya mengedepankan nilai ekonomi semata.

Luas HTI tahun 2007 telah mencapai angka 1,935,607 ha. HTI di Provinsi Riau bertujuan untuk memenuhi kapasitas produksi industri pulp dan kertas. Kelas tanaman perusahaan berupa monokultur tanaman akasia. Kaitannya dalam besarnya tingkat sebaran hotspot dan kerawanan kabakaran hutan adalah adanya praktek pembukaan lahan dengan pembakaran di HTI di Provinsi Riau (Jikalahari 2009).

Faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau utamanya adalah iklim. Pada kurun waktu bulan Januari hingga Februari, unsur iklim yang menonjol dalam mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau adalah arah angin dan curah hujan. Berdasarkan hasil laporan Bapedal Provinsi Riau (2009), pada bulan Januari hingga Februari nilai curah hujan di Provinsi Riau rendah. Hal ini dikarenakan awan yang mempunyai kandungan air terbawa angin menuju daerah timur. Kondisi ini berakibat pada hari kering yang cukup panjang di Provinsi Riau.

Pada beberapa kasus, sebaran dan jumlah hotspot yang ditemukan berbanding terbalik dengan curah hujan di suatu daerah pada waktu tertentu. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, jumlah hotspot yang ditemukan meningkat. Dapat disimpulkan bahwa sebaran hotspot dipengaruhi oleh curah hujan di suatu daerah dan pada waktu tertentu (Syaufina 2008).

5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009

Tahun 2009 merupakan periode jumlah sebaran hotspot tertinggi di Provinsi Riau dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011. Sebaran hotspot yang

(33)

18

tinggi mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tinggi pula.

Tingginya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2009 terjadi karena adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja (Jikalahari 2010). Kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. Disebutkan dalam laporan Jikalahari (2009) bahwa selama periode Januari-Februari 2009 telah terjadi kebakaran hutan 2.153 ha, yaitu 1.450 ha pada bulan Januari dan 702 ha pada bulan Februari.

Sepanjang tahun 2009, jumlah hotspot yang ditemukan di Provinsi Riau sebanyak 7.734 hotspot. Jumlah hotspot yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (Jikalahari 2009): 1) adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja, dan 2) kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut.

5.1.2 Sebaran Hotspot Tahun 2010

Jumlah sebaran hotspot pada tahun 2010 turun dikarenakan terdapat kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Riau (Pemprov Riau) melalui Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Riau (BNPB 2009). Kebijakan yang diterapkan adalah (BNPB 2009): 1) koordinasi antara Satlak PB, Satkorlak PB, Manggala Agni Dinas Kehutanan, Kepolisian dan instansi/sektor dengan menyiagakan petugas untuk memantau perkembangan kondisi hotspot yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di masing-masing wilayahnya, dan 2) pemadaman hotspot di wilayah Provinsi Riau.

Berdasarkan areal konsesinya, pada tahun 2010 hotspot terdistribusi pada perkebunan kelapa sawit (20%), konsesi hutan (39%), dan areal lainnya termasuk lahan masyarakat (41%) (Jikalahari 2010). Sebaran hotspot di perkebunan kelapa sawit disebabkan adanya aktivitas pembakaran yang dilakukan secara sengaja (Jikalahari 2010).

Berdasarkan laporan WWF (2011) kebakaran hutan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu; 1) kebakaran di lahan peruntukan perkebunan kelapa sawit, dan 2) kebakaran di kawasan hutan yang dikonversi baik secara legal atau illegal untuk menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran terjadi karena adanya pembakaran pada saat pembukaan

(34)

19

lahan. Pembakaran dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat/petani kelapa sawit.

Kebakaran hutan di area konsesi hutan terjadi karena aktivitas HTI dalam pembukaan lahan. Di Provinsi Riau terdapat 21 HTI. Pada tahun 2009-2010 diidentifikasi terdapat 10 perusahaan HTI telah melakukan pelanggaran terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau (WWF 2010). Praktek pembakaran dilakukan ketika perusahaan melakukan pembukaan lahan.

Kebakaran di lahan masyarakat terjadi akibat praktek penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit (Jikalahari 2011).

5.1.3 Sebaran Hotspot Tahun 2011

Pada tahun 2011 terjadi kenaikan sebaran hotspot menjadi 3.538 hotspot.

Kenaikan jumlah hotspot tahun 2011 karena adanya hari kering yang lebih panjang dibandingkan dengan tahun 2010 (LAPAN 2012) (Lampiran 2). Syaufina (2008) menyampaikan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat di bumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun. Selanjutnya, kekurangan kadar air yang panjang dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran menjadi tinggi.

Jumlah sebaran hotspot yang tinggi berdampak pada tingginya tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian LAPAN (2012), di Provinsi Riau mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penanganan secara hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

5.2 Sebaran Hotspot Bulanan

Berdasarkan Gambar 4a, sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009 terjadi pada bulan Juli, yaitu sebanyak 2.395 hotspot. Sebaran terendah terjadi pada bulan Desember, yaitu sebanyak 25 hotspot. Rata-rata sebaran hotspot bulanan tahun 2009 adalah sebanyak 644,5 hotspot. Sebaran hotspot terbanyak terjadi pada bulan Mei hingga Agustus yang diakibatkan oleh dua faktor, yaitu 1) praktek pembakaran dalam proses pembersihan lahan, baik di lahan pertanian masyarakat maupun konsesi perkebunan, dan 2) faktor lingkungan sebagai pendukung dalam

(35)

20

tingginya hotspot dan kebakaran hutan di Provinsi Riau. Kebakaran hutan pada terjadi karena praktek pembakaran di lahan hutan terlantar (eks HPH/HTI) untuk dijadikan lahan garapan/perkebunan (WWF 2010). Faktor ini didukung oleh curah hujan yang rendah pada bulan Mei hingga Agustus pada tahun 2009 di Provinsi Riau (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran 3).

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Sebaran hotspot bulanan: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010;

dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau

(36)

21

Berdasarkan sebaran hotspot bulanan pada tahun 2010 (Gambar 4b), dapat dilihat bahwa pada bulan Januari jumlah hotspot yang berhasil ditangkap oleh pantauan satelit sebanyak 93 hotspot. Jumlah sebaran hotspot mengalami kenaikan pada bulan Februari, yaitu 145 hotspot. Jumlah hotspot pada bulan Maret hingga bulan April cenderung menurun dari sebanyak 92 hotspot hingga 39 hotspot.

Pada bulan Mei tahun 2010 jumlah hotspot mengalami kenaikan sebanyak 146 hotspot dan kembali turun menjadi 98 hotspot pada bulan Juni dan 79 hotspot pada bulan Juli. Kenaikan jumlah hotspot kembali terjadi, dari sebanyak 122 hotspot pada bulan Agustus, 182 hotspot pada bulan September hingga titik maksimum sebanyak 554 hotspot pada bulan Oktober. Jumlah hotspot mengalami penurunan pada bulan Desember, yaitu menjadi 53 hotspot.

Pada sekitar pertengahan Oktober 2010, terjadi perubahan suhu yang ekstrem yang mencapai 35,6oC (suhu rata-rata 32–34oC). Meskipun didominasi oleh musim basah, ada beberapa hari tidak terjadi hujan. Pada situasi seperti itulah kebakaran lahan dan hutan terjadi. Intensitas kebakaran ini semakin tinggi karena dukungan suhu yang ekstrem (sangat panas) di siang hari.

Jumlah sebaran hotspot di Provinsi Riau kembali meningkat menjadi 3.538 hotspot di tahun 2011. Berdasarkan Gambar 4c, ditemukan 26 hotspot pada bulan Januari. Pada bulan Februari sebaran hotspot mengalami peningkatan menjadi 250 hotspot dan mengalami penurunan kembali menjadi 123 hotspot pada bulan Maret. Peningkatan jumlah hotspot diawali pada bulan April yaitu sebanyak 221 hotspot, diikuti bulan Mei menjadi 397 hotspot. Sebaran hotspot kembali naik menjadi 383 hotspot pada bulan Juni. Selanjutnya, sebaran hotspot mencapai titik maksimum menjadi 708 hotspot pada bulan Juli.

Tingginya peningkatan sebaran hotspot dipengaruhi oleh aktivitas pembakaran dan didukung oleh kondisi alam. Pada bulan Maret hingga Agustus 2011, curah hujan di Provinsi Riau masuk dalam kategori rendah, yaitu 50–150 mm/bulan. Tingkat kekeringan pada bulan Maret hingga Agustus 2011 masuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya bulan kering yang panjang, sehingga tingkat kemudahan penyulutan api di Provinsi Riau ekstrem (LAPAN 2011b, 2011c, 2011d, 2011e, 2011f ).

(37)

22

5.3 Sebaran Hotspot Tipe Tanah Gambut

Hotspot tersebar pada dua tipe tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011 terpantau 12.987 hotspot (Lampiran 4). Sejumlah 7.149 hotspot ditemukan pada tanah bergambut atau 55%

sedangkan 5.838 atau 45% lainnya dijumpai pada tanah mineral (Gambar 5).

Gambar 6 Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah pada tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ( lahan gambut;  lahan non gambut)

Syaufina (2008) menyebutkan bahwa gambut merupakan bahan bakar yang baik dengan nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat mencapai 27,7 KJ/g dengan kadar abu yang rendah (sekitar 13%). Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut didukung oleh karakteristik gambut itu sendiri.

Gambar 7 Sebaran hotspot berdasarkan jenis tanah di Provinsi Riau tahun 2009-2011

Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa distribusi hotspot pada gambut paling banyak terdapat pada bulan Juli, yaitu sebanyak 1.925 hotspot. Sedangkan pada bulan Desember sebaran hotspot mencapai titik minimum, yaitu sebanyak 56

Gambar

Gambar 1  Peta Provinsi Riau (BPS Riau 2010)
Gambar 5   Sebaran hotspot bulanan: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010;
Gambar 6   Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah  pada tahun 2009-2011   di Provinsi Riau ( lahan gambut;  lahan non gambut)
Gambar 8  Sebaran hotspot pada lahan gambut: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010; dan (c) tahun 2011     di Provinsi Riau ( lahan gambut,  lahan mineral,  titik panas (hotspot))

Referensi

Dokumen terkait

Contemporary English Version.

Gurit Prananjaya (2010) Pengunaan realistic mathematics education dengan pemberian tugas terstruktur merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan aktivitas belajar

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bentuk partisipasi politik yang terjadi di Kecamatan Bajeng yaitu bentuk Partisipasi Politik Konvensional, yaitu meliputi Ikut Serta

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif tersebut penulis melakukan penelitian untuk menghasilkan data deskriptif terkait dengan strategi rekrutmen kader yang diterapkan

Iklan Baris Iklan Baris PERLNGKPN MOBIL PENGUMUMAN PENGOBATAN PANTI PIJAT NOMOR CANTIK Serba Serbi PARABOLA/TV BODETABEK Rumah Dijual JAKARTA BARAT CITRA GARDEN I, 4x15, 2Lt, 2 + 1KT,

LHA sebuah benda angkasa adalah sebagian busur dari katulistiwa angkasa, Dihitung dari derajah atas, kearah Barat, sampai titik potong lingkaran Zawal Benda angkasa itu di

Demikianlah pengumuman ini kami sampaikan atas per hatiannya kami ucapkan t er

Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Penyelesaian utang piutang mura&gt;bah}ah pada pembiayaan mikro di BRI Syariah Kantor Cabang Induk Gubeng Surabaya yaitu dengan