• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Hotspot Tahunan

Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan, jaringan jalan atau akses menuju hutan, tipe tutupan lahan dan vegetasi, ketebalan gambut, dan tingkat kehijauan vegetasi (Adiningsih et al.

2005, Hadi 2005). Tipe tutupan lahan dan vegetasi mempengaruhi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Hadi (2006) dalam penelitiannya di Kabupaten Bengkalis, menyatakan hutan alam rawa mempunyai potensi kebakaran hutan yang tinggi.

Adiningsih et al. (2005) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dicirikan oleh rendahnya respon para pemangku kepentingan terhadap risiko biofisik kebakaran hutan dan lahan padahal risiko tersebut dapat diprediksi.

Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya hotspot yang ditemukan oleh satelit di seluruh wilayah Indonesia, khususnya tahun 2006-2010.

Gambar 3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau

Jumlah hotspot yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun adalah 171.493 hotspot, yaitu: 1) 57.856 hotspot pada tahun 2006; 2) 31.656 hotspot pada tahun 2007; 3) 32.838 hotspot pada tahun 2008; 4) 39.528 hotspot pada tahun 2009; dan 5) 9.615 hotspot pada tahun 2010 (WWF 2011). Sementara berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan Riau (LAPAN 2011a).

7734

1715

3538

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2009 2010 2011

Jumlah Hotspot

Tahun

16

Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHR ditemukan 12.987 hotspot dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011) di Provinsi Riau (Lampiran 1).

Sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009, yaitu 7.734 hotspot (Gambar 2). Pada tahun 2010 terjadi penurunan hotspot yang signifikan, yaitu 1.715 hotspot.

Sementara pada tahun 2011 terjadi kenaikan jumlah sebaran hotspot, yaitu 3.538.

Gambar 4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau

Dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu 2009 – 2011, Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah dengan jumlah sebaran hotspot tertinggi, yaitu 3.657 hotspot (Gambar 3). Sebaran hotspot terendah terletak di Kota Dumai, yaitu 10 hotspot.

Rata-rata sebaran hotspot tahunan dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 adalah 4.329,67 hotspot.

Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau 90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam (WWF 2010).

Aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama adalah alih guna dan fungsi lahan dan kawasan hutan, khususnya perkebunan dan lahan pertanian. Menurut Dishutbun Riau (2009), kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan oleh perilaku pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan sawit.

Berdasarkan hasil penelitian Jikalahari (2009) pada tahun 2002 hingga 2007 telah terjadi investasi besar-besaran pada usaha perkebunan kelapa sawit.

Pada tahun 2007 luasan perkebunan kelapa sawit adalah 2,157,091 ha. Pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada berkurangnya

17

luasan hutan di Provinsi Riau. Praktek usaha sawit juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengusaha/petani kelapa sawit melakukan pembakaran pada kegiatan pembukaan lahan (Jikalahari 2009).

Jikalahari (2009) menyebutkan, sekitar 1.570.700 ha izin hutan tanaman industri berada pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, 1.060.000 ha hutan tanaman industri berada dalam kawasan lindung dan 510.700 ha pada kawasan hutan produksi terbatas. Ketidaksesuaian perizinan ini terjadi karena adanya program pembangunan Provinsi Riau yang hanya mengedepankan nilai ekonomi semata.

Luas HTI tahun 2007 telah mencapai angka 1,935,607 ha. HTI di Provinsi Riau bertujuan untuk memenuhi kapasitas produksi industri pulp dan kertas. Kelas tanaman perusahaan berupa monokultur tanaman akasia. Kaitannya dalam besarnya tingkat sebaran hotspot dan kerawanan kabakaran hutan adalah adanya praktek pembukaan lahan dengan pembakaran di HTI di Provinsi Riau (Jikalahari 2009).

Faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau utamanya adalah iklim. Pada kurun waktu bulan Januari hingga Februari, unsur iklim yang menonjol dalam mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau adalah arah angin dan curah hujan. Berdasarkan hasil laporan Bapedal Provinsi Riau (2009), pada bulan Januari hingga Februari nilai curah hujan di Provinsi Riau rendah. Hal ini dikarenakan awan yang mempunyai kandungan air terbawa angin menuju daerah timur. Kondisi ini berakibat pada hari kering yang cukup panjang di Provinsi Riau.

Pada beberapa kasus, sebaran dan jumlah hotspot yang ditemukan berbanding terbalik dengan curah hujan di suatu daerah pada waktu tertentu. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, jumlah hotspot yang ditemukan meningkat. Dapat disimpulkan bahwa sebaran hotspot dipengaruhi oleh curah hujan di suatu daerah dan pada waktu tertentu (Syaufina 2008).

5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009

Tahun 2009 merupakan periode jumlah sebaran hotspot tertinggi di Provinsi Riau dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011. Sebaran hotspot yang

18

tinggi mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tinggi pula.

Tingginya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2009 terjadi karena adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja (Jikalahari 2010). Kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. Disebutkan dalam laporan Jikalahari (2009) bahwa selama periode Januari-Februari 2009 telah terjadi kebakaran hutan 2.153 ha, yaitu 1.450 ha pada bulan Januari dan 702 ha pada bulan Februari.

Sepanjang tahun 2009, jumlah hotspot yang ditemukan di Provinsi Riau sebanyak 7.734 hotspot. Jumlah hotspot yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (Jikalahari 2009): 1) adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja, dan 2) kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut.

5.1.2 Sebaran Hotspot Tahun 2010

Jumlah sebaran hotspot pada tahun 2010 turun dikarenakan terdapat kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Riau (Pemprov Riau) melalui Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Riau (BNPB 2009). Kebijakan yang diterapkan adalah (BNPB 2009): 1) koordinasi antara Satlak PB, Satkorlak PB, Manggala Agni Dinas Kehutanan, Kepolisian dan instansi/sektor dengan menyiagakan petugas untuk memantau perkembangan kondisi hotspot yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di masing-masing wilayahnya, dan 2) pemadaman hotspot di wilayah Provinsi Riau.

Berdasarkan areal konsesinya, pada tahun 2010 hotspot terdistribusi pada perkebunan kelapa sawit (20%), konsesi hutan (39%), dan areal lainnya termasuk lahan masyarakat (41%) (Jikalahari 2010). Sebaran hotspot di perkebunan kelapa sawit disebabkan adanya aktivitas pembakaran yang dilakukan secara sengaja (Jikalahari 2010).

Berdasarkan laporan WWF (2011) kebakaran hutan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu; 1) kebakaran di lahan peruntukan perkebunan kelapa sawit, dan 2) kebakaran di kawasan hutan yang dikonversi baik secara legal atau illegal untuk menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran terjadi karena adanya pembakaran pada saat pembukaan

19

lahan. Pembakaran dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat/petani kelapa sawit.

Kebakaran hutan di area konsesi hutan terjadi karena aktivitas HTI dalam pembukaan lahan. Di Provinsi Riau terdapat 21 HTI. Pada tahun 2009-2010 diidentifikasi terdapat 10 perusahaan HTI telah melakukan pelanggaran terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau (WWF 2010). Praktek pembakaran dilakukan ketika perusahaan melakukan pembukaan lahan.

Kebakaran di lahan masyarakat terjadi akibat praktek penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit (Jikalahari 2011).

5.1.3 Sebaran Hotspot Tahun 2011

Pada tahun 2011 terjadi kenaikan sebaran hotspot menjadi 3.538 hotspot.

Kenaikan jumlah hotspot tahun 2011 karena adanya hari kering yang lebih panjang dibandingkan dengan tahun 2010 (LAPAN 2012) (Lampiran 2). Syaufina (2008) menyampaikan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat di bumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun. Selanjutnya, kekurangan kadar air yang panjang dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran menjadi tinggi.

Jumlah sebaran hotspot yang tinggi berdampak pada tingginya tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian LAPAN (2012), di Provinsi Riau mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penanganan secara hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

Dokumen terkait