• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satus piksel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah atau lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR.

Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km).

Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan.

Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hotspot yaitu JICA (Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center).

Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hotspot (fire exist). Ambang batas (threshold) yang menjadi acuan adalah (Hidayat et al. 2003): (i) LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum)

9

sebesar 322oK, (ii) JICA menggabungkan ambang batas suhu maksimum 315oK pada siang hari dan 310oK pada malam, dan (iii) ASMC yang memakai threshold sebesar 320oK pada siang hari dan 314oK pada malam hari.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2012, diawali dengan tahap pengumpulan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan laporan. Penelitian ini adalah analisis data sekunder dengan lokasi penelitian Provinsi Riau.

Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan April 2012.

3.2 Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah satu unit komputer yang dilengkapi dengan software ArcView GIS Versi 3.2. dan MS. Office 2007. Data yang digunakan sebagai bahan di dalam penelitian adalah data sekunder tentang persebaran hotspot dari tahun 2009 hingga 2011 (PHKA Kemenhut) dan sebaran lahan gambut tahun 2011 di Provinsi Riau (BBPPLP Kementan).

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengumpulan data

Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud meliputi: (i) data sebaran hotspot di Provinsi Riau tahun 2009 hingga 2011, (ii) peta sebaran lahan gambut Provinsi Riau tahun 2011, dan (iii) berbagai literatur yang mendukung penelitian.

3.3.2 Pengolahan data

Pengolahan data terbagi menjadi dua, yaitu: 1) pengolahan data hotspot, dan 2) pengolahan data sebaran lahan gambut dan tutupan lahan. Pengolahan data hotspot dengan menggunakan perangkat software MS. Excel dengan mengguna-kan add ins Descriptive Statistics. Pengolahan sebaran lahan gambut dengan menggunakan software ArcView GIS Ver 3.2.

Langkah awal dalam pengolahan data yaitu pengklasifikasian data hotspot menurut waktu (tahun dan bulan) serta sebaran menurut kabupaten. Selanjutnya data hotspot digabungkan (overlay) pada peta sebaran lahan gambut.

10

3.4 Analisis Data

Data hasil pengukuran dianalisis menggunakan Microsoft Office Excel dengan menggunakan add ins Descriptive Statistics. Analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan atau member gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya. Sugiyono (2010) menyebutkan analisis deskriptif sebagai statistik deskriptif tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis

Provinsi Riau terletak antara 01°05’00”LS–02°25’00”LU atau antara 100°00’00”BT–105°05’00”BT. Luas daerah lebih kurang 8.915.016 ha (89.150 km2) daratan dan perairan. Provinsi Riau terdiri dari 10 (sepuluh) kabupaten dan 2 (dua) kota, yaitu: Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, Kepulauan Meranti, Pekanbaru, dan Dumai. Adapun batas-batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya dengan negara tetangga dan provinsi lainnya adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka, dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1).

Gambar 1 Peta Provinsi Riau (BPS Riau 2010)

4.2 Keadaan Iklim

Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1000–3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Kota

12

Pekanbaru 193 hari, Kabupaten Indragiri Hulu 178 hari, Kabupaten Pelalawan 147 hari, Kabupaten Rokan Hulu 136 hari, dan Kabupaten Kampar dengan jumlah hari hujan 110 hari. Jumlah Curah Hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kabupaten Kampar dengan curah hujan sebesar 3.349,0 mm, disusul Kota Pekanbaru sebesar 3.214,4 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kota Dumai sebesar 635,0 mm. Selanjutnya menurut catatan Stasiun Meteorologi Simpang Tiga, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru tahun 2009 menunjukkan 28oC dengan suhu maksimum 36oC dan suhu minimum 21oC (BPS Riau 2010).

4.3 Topografi

Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di Wilayah Provinsi Riau antara 2–91 m dpl. Kabupaten Bengkalis merupakan kota yang paling rendah, yaitu berada 2 m dpl. Kebanyakan kota di Provinsi Riau berada dibawah 10 mdpl, seperti Rengat, Tembilahan, Siak, Bengkalis, Bagan Siapi-api dan Dumai.

Gambar 2 Luas lahan gambut di Provinsi Riau (BBPPLP 2011)

Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta ha (10,8%) dari luas daratan Indonesia, dimana sekitar 7,2 juta ha (35%) terdapat di Pulau Sumatera. Luas lahan gambut di Propinsi Riau adalah 3.867.413 ha (43,61%) dari luas keseluruhan Provinsi Riau) (BBPPLP 2011) (Gambar 2). Sebagian besar tanah daratan daerah Riau terdiri dari daratan yang terjadi dari formasi alluvium

RO K A N H IL IR RO K A N H IL IR

RO K A N H U L U RO K A N H U L U

KAMP AR KAMP AR

INDR AG I RI H ULU INDR AG I RI H ULU

INDR AG I RI H ILI R INDR AG I RI H ILI R PELA LAW A N

PELA LAW A N SIA K SIA K B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS

B E NG K A L IS B E NG K A L IS KO TA DU MA I

KO TA DU MA I

PEKA NBARU PEKA NBARU 100

100

101

101

102

102

103

103

104

104

-1 -1

0 0

1 1

2 2

N

E W

S

Skala 1:250.000 20 0 20 40 Kilometers

Keterangan:

Lahan gambut

Lahan mineral

13

(endapan), di beberapa tempat terdapat selingan neogen, misalnya sepanjang Sungai Kampar, Sungai Indragiri dan anaknya Sungai Cinaku di Kabupaten Indragiri Hulu bagian selatan. Tetapi di daerah perbatasan sepanjang Bukit Barisan sepenuhnya terdiri dari lapisan permikarbon, peleogen dan neogen dari tanah podsolik yang berarti terdiri dari induk batuan endapan.

Keseluruhan daerah tersebut dapat dikatakan tanah tua sedangkan selebihnya membentang ke utara sampai dengan daerah-daerah pantai, merupakan kontruksi dari formasi jenis tanah alluvium (endapan) yang berasal dari zaman Quarter sampai dengan zaman Recen, terlebih pada daerah bencah berawa-rawa sepanjang daerah pantai utara. Provinsi Riau terdapat empat jenis tanah (Zwieryeki dalam BPS Riau 2011), yakni : (i) jenis tanah organosol glei humus, (ii) jenis tanah padsolik merah kuning dari alluvium, (iii) jenis tanah padsolik merah kuning dari batuan endapan, (iv) jenis tanah podsolik merah kuning dari batuan endapan dan batuan beku. Jenis-jenis tanah tersebut terutama didapati di daerah-daerah sepanjang pantai sampai dengan pertengahan daratan yang berformasi sebagai daratan muda tidak bergunung-gunung, bahkan beberapa bagian terdiri dari tanah berawa-rawa.

4.4 Kondisi Sosial dan Ekonomi

Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) dilaksanakan pada bulan Mei 2010.

Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil olah cepat SP 2010 tercatat sebesar 5.543.031 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki 2.854.989 jiwa dan 2.688.042 jiwa penduduk perempuan (BPS Riau 2011).

Angkatan kerja penduduk laki-laki jauh lebih banyak dibanding bukan angkatan kerja. Sementara pada penduduk perempuan, bukan angkatan kerja justru lebih banyak dibanding angkatan kerja, yang sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Dari total angkatan kerja yang bekerja, ternyata sebagian besarnya terserap di sektor pertanian (49,30%), diikuti oleh sektor perdagangan, rumah makan, dan hotel serta jasa-jasa, masing-masing sebesar 17,58% dan 13,50%

(BPS Riau 2010).

Pada sektor pendidikan, tercatat tahun 2009/2010 Taman Kanak-kanak berjumlah 1.406 sekolah, 54.742 murid dan 5.320 guru dengan rasio murid terhadap guru 10,29% dan murid terhadap sekolah 38,93%. Selanjutnya, pada

14

tahun 2009/2010 Sekolah Dasar berjumlah 3.343, murid 647.434 dan guru 41.849, dengan rasio murid terhadap guru 15,47% dan ratio murid terhadap sekolah 19,37%. Data statistik pendidikan menengah terbatas pada SLTP dan SMU di lingkungan Dinas Pendidikan Nasional. Pada tahun 2009/2010 terdapat 845 SLTP umum, 348 SMU, dengan jumlah murid SLTP 216.321. Sedangkan rasio murid terhadap guru SLTP 16,85%.

Menurut perencanaan Anggaran dan Belanja Negara, pemerintah menganut prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Jumlah anggaran menurut kewenangannya tahun 2009 berjumlah 3.749,80 milyar rupiah, di mana bidang administrasi umum pemerintah diberikan sebesar 1.480,28 milyar rupiah, disusul bidang pekerjaan umum sebesar 751,73 milyar rupiah dan bidang pendidikan sebesar 372,30 milyar rupiah. Penerimaan Provinsi Riau dari penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), BPHTB, pajak penghasilan, PPn dan PPn BM serta pajak lainnya cukup tinggi, yaitu sebesar 8,21 triliun rupiah pada tahun 2009 (BPS 2011). Secara rinci penerimaan PBB sebesar 1,55 triliun rupiah, BPHTB sebesar 0,13 triliun rupiah, pajak penghasilan sebesar 4,27 triliun rupiah, PPn dan PPn BM sebesar 2,21 triliun rupiah dan pajak lainnya 0,05 triliun rupiah.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Hotspot Tahunan

Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna lahan, jaringan jalan atau akses menuju hutan, tipe tutupan lahan dan vegetasi, ketebalan gambut, dan tingkat kehijauan vegetasi (Adiningsih et al.

2005, Hadi 2005). Tipe tutupan lahan dan vegetasi mempengaruhi sebaran hotspot di Provinsi Riau. Hadi (2006) dalam penelitiannya di Kabupaten Bengkalis, menyatakan hutan alam rawa mempunyai potensi kebakaran hutan yang tinggi.

Adiningsih et al. (2005) menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dicirikan oleh rendahnya respon para pemangku kepentingan terhadap risiko biofisik kebakaran hutan dan lahan padahal risiko tersebut dapat diprediksi.

Kondisi ini dibuktikan dengan tingginya hotspot yang ditemukan oleh satelit di seluruh wilayah Indonesia, khususnya tahun 2006-2010.

Gambar 3 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 di Provinsi Riau

Jumlah hotspot yang ditemukan dalam kurun waktu lima tahun adalah 171.493 hotspot, yaitu: 1) 57.856 hotspot pada tahun 2006; 2) 31.656 hotspot pada tahun 2007; 3) 32.838 hotspot pada tahun 2008; 4) 39.528 hotspot pada tahun 2009; dan 5) 9.615 hotspot pada tahun 2010 (WWF 2011). Sementara berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot terbesar terdapat di Provinsi Kalimantan Barat dan Riau (LAPAN 2011a).

7734

1715

3538

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2009 2010 2011

Jumlah Hotspot

Tahun

16

Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHR ditemukan 12.987 hotspot dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011) di Provinsi Riau (Lampiran 1).

Sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009, yaitu 7.734 hotspot (Gambar 2). Pada tahun 2010 terjadi penurunan hotspot yang signifikan, yaitu 1.715 hotspot.

Sementara pada tahun 2011 terjadi kenaikan jumlah sebaran hotspot, yaitu 3.538.

Gambar 4 Sebaran hotspot tahun 2009-2011 tiap kabupaten di Provinsi Riau

Dalam kurun waktu tiga tahun, yaitu 2009 – 2011, Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah dengan jumlah sebaran hotspot tertinggi, yaitu 3.657 hotspot (Gambar 3). Sebaran hotspot terendah terletak di Kota Dumai, yaitu 10 hotspot.

Rata-rata sebaran hotspot tahunan dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 adalah 4.329,67 hotspot.

Akar permasalahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau 90% oleh aktivitas manusia, dan hanya 10% disebabkan oleh alam (WWF 2010).

Aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama adalah alih guna dan fungsi lahan dan kawasan hutan, khususnya perkebunan dan lahan pertanian. Menurut Dishutbun Riau (2009), kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau diakibatkan oleh perilaku pembukaan lahan dengan cara pembakaran oleh pengusaha HTI dan perkebunan sawit.

Berdasarkan hasil penelitian Jikalahari (2009) pada tahun 2002 hingga 2007 telah terjadi investasi besar-besaran pada usaha perkebunan kelapa sawit.

Pada tahun 2007 luasan perkebunan kelapa sawit adalah 2,157,091 ha. Pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berpengaruh pada berkurangnya

17

luasan hutan di Provinsi Riau. Praktek usaha sawit juga menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengusaha/petani kelapa sawit melakukan pembakaran pada kegiatan pembukaan lahan (Jikalahari 2009).

Jikalahari (2009) menyebutkan, sekitar 1.570.700 ha izin hutan tanaman industri berada pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, 1.060.000 ha hutan tanaman industri berada dalam kawasan lindung dan 510.700 ha pada kawasan hutan produksi terbatas. Ketidaksesuaian perizinan ini terjadi karena adanya program pembangunan Provinsi Riau yang hanya mengedepankan nilai ekonomi semata.

Luas HTI tahun 2007 telah mencapai angka 1,935,607 ha. HTI di Provinsi Riau bertujuan untuk memenuhi kapasitas produksi industri pulp dan kertas. Kelas tanaman perusahaan berupa monokultur tanaman akasia. Kaitannya dalam besarnya tingkat sebaran hotspot dan kerawanan kabakaran hutan adalah adanya praktek pembukaan lahan dengan pembakaran di HTI di Provinsi Riau (Jikalahari 2009).

Faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau utamanya adalah iklim. Pada kurun waktu bulan Januari hingga Februari, unsur iklim yang menonjol dalam mendukung terjadinya kebakaran hutan di Provinsi Riau adalah arah angin dan curah hujan. Berdasarkan hasil laporan Bapedal Provinsi Riau (2009), pada bulan Januari hingga Februari nilai curah hujan di Provinsi Riau rendah. Hal ini dikarenakan awan yang mempunyai kandungan air terbawa angin menuju daerah timur. Kondisi ini berakibat pada hari kering yang cukup panjang di Provinsi Riau.

Pada beberapa kasus, sebaran dan jumlah hotspot yang ditemukan berbanding terbalik dengan curah hujan di suatu daerah pada waktu tertentu. Pada saat curah hujan mengalami peningkatan, jumlah hotspot berkurang. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, jumlah hotspot yang ditemukan meningkat. Dapat disimpulkan bahwa sebaran hotspot dipengaruhi oleh curah hujan di suatu daerah dan pada waktu tertentu (Syaufina 2008).

5.1.1 Sebaran Hotspot Tahun 2009

Tahun 2009 merupakan periode jumlah sebaran hotspot tertinggi di Provinsi Riau dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011. Sebaran hotspot yang

18

tinggi mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang tinggi pula.

Tingginya kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2009 terjadi karena adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja (Jikalahari 2010). Kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut. Disebutkan dalam laporan Jikalahari (2009) bahwa selama periode Januari-Februari 2009 telah terjadi kebakaran hutan 2.153 ha, yaitu 1.450 ha pada bulan Januari dan 702 ha pada bulan Februari.

Sepanjang tahun 2009, jumlah hotspot yang ditemukan di Provinsi Riau sebanyak 7.734 hotspot. Jumlah hotspot yang tinggi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (Jikalahari 2009): 1) adanya sulutan sumber api yang dilakukan oleh aktivitas manusia baik sengaja ataupun tidak disengaja, dan 2) kondisi alam hanya menjadi faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan daerah tersebut.

5.1.2 Sebaran Hotspot Tahun 2010

Jumlah sebaran hotspot pada tahun 2010 turun dikarenakan terdapat kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Riau (Pemprov Riau) melalui Badan Penanggulangan Bencana Provinsi Riau (BNPB 2009). Kebijakan yang diterapkan adalah (BNPB 2009): 1) koordinasi antara Satlak PB, Satkorlak PB, Manggala Agni Dinas Kehutanan, Kepolisian dan instansi/sektor dengan menyiagakan petugas untuk memantau perkembangan kondisi hotspot yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di masing-masing wilayahnya, dan 2) pemadaman hotspot di wilayah Provinsi Riau.

Berdasarkan areal konsesinya, pada tahun 2010 hotspot terdistribusi pada perkebunan kelapa sawit (20%), konsesi hutan (39%), dan areal lainnya termasuk lahan masyarakat (41%) (Jikalahari 2010). Sebaran hotspot di perkebunan kelapa sawit disebabkan adanya aktivitas pembakaran yang dilakukan secara sengaja (Jikalahari 2010).

Berdasarkan laporan WWF (2011) kebakaran hutan yang terjadi di perkebunan kelapa sawit dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu; 1) kebakaran di lahan peruntukan perkebunan kelapa sawit, dan 2) kebakaran di kawasan hutan yang dikonversi baik secara legal atau illegal untuk menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Kebakaran terjadi karena adanya pembakaran pada saat pembukaan

19

lahan. Pembakaran dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat/petani kelapa sawit.

Kebakaran hutan di area konsesi hutan terjadi karena aktivitas HTI dalam pembukaan lahan. Di Provinsi Riau terdapat 21 HTI. Pada tahun 2009-2010 diidentifikasi terdapat 10 perusahaan HTI telah melakukan pelanggaran terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau (WWF 2010). Praktek pembakaran dilakukan ketika perusahaan melakukan pembukaan lahan.

Kebakaran di lahan masyarakat terjadi akibat praktek penyiapan lahan perkebunan kelapa sawit (Jikalahari 2011).

5.1.3 Sebaran Hotspot Tahun 2011

Pada tahun 2011 terjadi kenaikan sebaran hotspot menjadi 3.538 hotspot.

Kenaikan jumlah hotspot tahun 2011 karena adanya hari kering yang lebih panjang dibandingkan dengan tahun 2010 (LAPAN 2012) (Lampiran 2). Syaufina (2008) menyampaikan bahwa kekeringan berhubungan erat dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di beberapa tempat di bumi. Kekeringan menyebabkan kadar air vegetasi turun. Selanjutnya, kekurangan kadar air yang panjang dapat menyebabkan tanaman mati, kayu besar kehilangan kadar air dan potensi kebakaran menjadi tinggi.

Jumlah sebaran hotspot yang tinggi berdampak pada tingginya tingkat bahaya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Berdasarkan hasil penelitian LAPAN (2012), di Provinsi Riau mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penanganan secara hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

5.2 Sebaran Hotspot Bulanan

Berdasarkan Gambar 4a, sebaran hotspot tertinggi pada tahun 2009 terjadi pada bulan Juli, yaitu sebanyak 2.395 hotspot. Sebaran terendah terjadi pada bulan Desember, yaitu sebanyak 25 hotspot. Rata-rata sebaran hotspot bulanan tahun 2009 adalah sebanyak 644,5 hotspot. Sebaran hotspot terbanyak terjadi pada bulan Mei hingga Agustus yang diakibatkan oleh dua faktor, yaitu 1) praktek pembakaran dalam proses pembersihan lahan, baik di lahan pertanian masyarakat maupun konsesi perkebunan, dan 2) faktor lingkungan sebagai pendukung dalam

20

tingginya hotspot dan kebakaran hutan di Provinsi Riau. Kebakaran hutan pada terjadi karena praktek pembakaran di lahan hutan terlantar (eks HPH/HTI) untuk dijadikan lahan garapan/perkebunan (WWF 2010). Faktor ini didukung oleh curah hujan yang rendah pada bulan Mei hingga Agustus pada tahun 2009 di Provinsi Riau (lebih jelasnya dapat dilihat di lampiran 3).

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Sebaran hotspot bulanan: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010;

dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau

21

Berdasarkan sebaran hotspot bulanan pada tahun 2010 (Gambar 4b), dapat dilihat bahwa pada bulan Januari jumlah hotspot yang berhasil ditangkap oleh pantauan satelit sebanyak 93 hotspot. Jumlah sebaran hotspot mengalami kenaikan pada bulan Februari, yaitu 145 hotspot. Jumlah hotspot pada bulan Maret hingga bulan April cenderung menurun dari sebanyak 92 hotspot hingga 39 hotspot.

Pada bulan Mei tahun 2010 jumlah hotspot mengalami kenaikan sebanyak 146 hotspot dan kembali turun menjadi 98 hotspot pada bulan Juni dan 79 hotspot pada bulan Juli. Kenaikan jumlah hotspot kembali terjadi, dari sebanyak 122 hotspot pada bulan Agustus, 182 hotspot pada bulan September hingga titik maksimum sebanyak 554 hotspot pada bulan Oktober. Jumlah hotspot mengalami penurunan pada bulan Desember, yaitu menjadi 53 hotspot.

Pada sekitar pertengahan Oktober 2010, terjadi perubahan suhu yang ekstrem yang mencapai 35,6oC (suhu rata-rata 32–34oC). Meskipun didominasi oleh musim basah, ada beberapa hari tidak terjadi hujan. Pada situasi seperti itulah kebakaran lahan dan hutan terjadi. Intensitas kebakaran ini semakin tinggi karena dukungan suhu yang ekstrem (sangat panas) di siang hari.

Jumlah sebaran hotspot di Provinsi Riau kembali meningkat menjadi 3.538 hotspot di tahun 2011. Berdasarkan Gambar 4c, ditemukan 26 hotspot pada bulan Januari. Pada bulan Februari sebaran hotspot mengalami peningkatan menjadi 250 hotspot dan mengalami penurunan kembali menjadi 123 hotspot pada bulan Maret. Peningkatan jumlah hotspot diawali pada bulan April yaitu sebanyak 221 hotspot, diikuti bulan Mei menjadi 397 hotspot. Sebaran hotspot kembali naik menjadi 383 hotspot pada bulan Juni. Selanjutnya, sebaran hotspot mencapai titik maksimum menjadi 708 hotspot pada bulan Juli.

Tingginya peningkatan sebaran hotspot dipengaruhi oleh aktivitas pembakaran dan didukung oleh kondisi alam. Pada bulan Maret hingga Agustus 2011, curah hujan di Provinsi Riau masuk dalam kategori rendah, yaitu 50–150 mm/bulan. Tingkat kekeringan pada bulan Maret hingga Agustus 2011 masuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya bulan kering yang panjang, sehingga tingkat kemudahan penyulutan api di Provinsi Riau ekstrem (LAPAN 2011b, 2011c, 2011d, 2011e, 2011f ).

22

5.3 Sebaran Hotspot Tipe Tanah Gambut

Hotspot tersebar pada dua tipe tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kurun waktu tiga tahun, 2009-2011 terpantau 12.987 hotspot (Lampiran 4). Sejumlah 7.149 hotspot ditemukan pada tanah bergambut atau 55%

sedangkan 5.838 atau 45% lainnya dijumpai pada tanah mineral (Gambar 5).

Gambar 6 Persentase sebaran hotspot berdasarkan tipe tanah pada tahun 2009-2011 di Provinsi Riau ( lahan gambut;  lahan non gambut)

Syaufina (2008) menyebutkan bahwa gambut merupakan bahan bakar yang baik dengan nilai kalor lebih besar daripada kayu yang dapat mencapai 27,7 KJ/g dengan kadar abu yang rendah (sekitar 13%). Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut didukung oleh karakteristik gambut itu sendiri.

Gambar 7 Sebaran hotspot berdasarkan jenis tanah di Provinsi Riau tahun 2009-2011

Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa distribusi hotspot pada gambut paling banyak terdapat pada bulan Juli, yaitu sebanyak 1.925 hotspot. Sedangkan pada bulan Desember sebaran hotspot mencapai titik minimum, yaitu sebanyak 56

hotspot. Hal ini disebabkan oleh panjangnya bulan kering yang terjadi. Dalam kurun waktu tiga tahun (2009-2011), bulan kering terjadi pada bulan Mei hingga Oktober. Panjangnya bulan kering berpengaruh terhadap jumlah sebaran hotspot di lahan gambut. Dengan demikian, terdapat hubungan antara panjang bulan kering dengan jumlah hotspot yang ditemukan di lahan gambut.

Tingginya sebaran hotspot di lahan gambut di Provinsi Riau diawali pada tahun 2000 (Muslim dan Kurniawan 2008). Pada tahun 2000 investasi terhadap perkebunan sawit meningkat secara signifikan di Provinsi Riau. Dengan demikian, pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan perkebunan kelapa sawit meningkat. Dengan kata lain, alih fungsi lahan gambut menjadi lahan perkebunan berakibat pada meningkatnya sebaran hotspot yang diikuti dengan meningkatnya potensi kebakaran lahan gambut.

(a) (b) (c)

Gambar 8 Sebaran hotspot pada lahan gambut: (a) tahun 2009; (b) tahun 2010; dan (c) tahun 2011 di Provinsi Riau ( lahan gambut,  lahan mineral,  titik panas (hotspot))

Kebakaran pada lahan gambut ini selalu berulang setiap tahun pada lokasi

Kebakaran pada lahan gambut ini selalu berulang setiap tahun pada lokasi

Dokumen terkait