• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Komparasi Keseluruhan Kelembagaan Eksisting Setelah Penguatan

A.2 Deskripsi Sebaran Kategori Efektifitas untuk Keseluruhan Jenis Kelembagaan

B.1.7 Kelembagaan Monitoring dan Evaluasi Setelah Penguatan di Waduk Jatiluhur

3.2. Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan

3.2.2 Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik Nelayan di Waduk Jatiluhur

Waduk Jatiluhur (Ir. H. Jatiluhur) merupakan salah satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan tujuan utama sebagai pembangkit Listrik yang terletak di Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Waduk Jatiluhur memiliki luas 8.300 Ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 Milyar m3 dan duga muka air maksimum mencapai ± 107 meter dpl. Selain digunakan sebagai PLTA dan penyediaan air minum, waduk ini juga berfungsi sebagai lahan untuk perikanan tangkap dan budidaya ikan. Pola penangkapan ikan di Waduk Jatiluhur menggunakan jaring insang, jala, anco dan pancing dimana hasil tangkapan rata-rata sebesar 118.875 Kg/tahun atau sebesar 1.359,439 ton/tahun (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, 2004-2007).

Waduk Ir. H. Jatiluhur atau yang lebih dikenal dengan nama Waduk Jatiluhur dibangun pada awal tahun 1957 dan dinyatakan selesai pada tahun 1967 serta kemudian dikelola oleh

Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 139

Perusahaan Negara (PN) Jatiluhur (1967 – 1970). Waduk Jatiluhur terletak pada Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 1999 tentang pengelolaan, perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan waduk Jatiluhur membentuk badan otorita pengelola yaitu Perum Jasa Tirta II (PJT II). Berdasarkan PP tersebut kewenangan PJT II yaitu sebagai BUMN pengelola air dan atau sumber air.

Waduk Jatiluhur mempunyai luas 8.300 Ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 Milyar m3 dan duga muka air maksimum mencapai ± 107 meter dpl. Waduk ini merupakan waduk serbaguna dengan peruntukkan bagi PLTA, penyediaan baku air minum dan industri, penyediaan air irigasi, perikanan, pariwisata dan pengendalian banjir. Sumber air waduk Jatiluhur berasal dari DAS Citarum yaitu, daerah pengaliran waduk saguling dan Cirata (Tabel 48).

Tabel 57. Karakteristik Perairan Waduk Jatiluhur

Lokasi pada DAS Di bagian bawah/ hilir

Ketinggian dari muka laut (m) 111

Volume air x 1000 m3 2.970.000

Luas permukaan (A), ha 8.300

Kedalaman rata-rata (m) 35,8

Kedalaman maksimum (Zmaks), m 90

Status kesuburan Mesotrophic –Eutrophic

Pola percampuran massa air Oligomictic (rare)

Rasio A/Zmaks 0,92

Kondisi tanpa oksigen dimulai pada lapisan kedalaman (m)

11-20 (anoxic) Sumber : Prihadi (2004)

Waduk Jatiluhur mempunyai luas 8.300 Ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 Milyar m3 dan duga muka air maksimum mencapai ± 107 meter dpl. Karakteristik perairan waduk Jatiluhur disajikan pada Tabel 21. Namun kondisi tersebut banyak berubah seperti kedalaman rata-rata sepanjang tahun 2003 menurun menjadi 26,2 m, terlebih lagi pada bulan Agustus – September kedalaman rata rata mencapai 23,7 m hal ini disebabkan kemarau yang berkepanjangan, sehingga volume air berkurang hingga 30%, dari keadaan normal sebelumnya (Prihadi, 2004).

Jenis sumberdaya ikan di perairan waduk beragam dan termasuk dalam jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun dengan adanya usaha KJA menyebabkan perubahan

Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 140

komposisi ikan dan ada beberapa jenis ikan yang mengalami kepunahan (Krismono, et al., 1983 dalam Purnamaningtyas, et al., 2008). Dugaan sementara bahwa ikan-ikan yang mengalami kepunahan disebabkan karena perubahan lingkungan perairan yang terjadi dan persaingan dalam memperebutkan makanan.

Komposisi ikan setelah adanya KJA yang berkembang pesat (diduga adalah jenis ikan yang masuk bersama benih ikan yang dibudidayakan yang selanjutnya terlepas ke perairan dan dapat berkembang dengan baik karena adanya ketersediaan makanan yang ada di perairan waduk).

Kegiatan perikanan di Waduk Jatiluhur merupakan salah satu fungsi waduk yang harus saling mendukung dengan fungsi keserbagunaan lainnya, tidak boleh saling mengalahkan dan tetap mengutamakan kelestarian air atau sumber air serta keamanan waduk atau bendungan. Untuk itu diperlukan koordinasi yang baik antar lembaga atau instansi yang terkait. Dalam pengelolaan KJA di waduk Jatiluhur terdapat beberapa lembaga atau instansi yang terkait yaitu Perum Jasa Tirta II (PJT II) sebagai pengelola badan air Waduk Jatiluhur, Pokja Bidang Perikanan PJT II (dibentuk tahun 1996) sebagai penasihat Direksi PJT II dalam hal perikanan, Pemda Kabupaten Purwakarta, Dinas Perikanan Kab. Purwakarta, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta, Instalasi Penelitian Perikanan Air Tawar (Inlitkanwar/Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur (LRPSI), dan HIMPUJAT (Himpunan Pengusaha Jaring Terapung).

Aspek Legal Pemanfaatan Perairan Waduk untuk Kegiatan Perikanan terdiri dari : 1. Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 39 tahun 2000 tentang Peruntukkan Air dan Baku

Mutu Air pada Sungai Citarum dan Anak-anak Sungainya di Jawa Barat.

2. Keputusan Bupati Kabupaten Purwakarta No. 06 tahun 2000 tentang Pemanfaatan Waduk untuk Kegiatan Perikanan

3. Keputusan Bupati Kabupaten Purwakarta No. 532.32/Kep.234-Diskan/2000 tentang Juklis Pelaksanaan Pemanfaatan Waduk untuk Kegiatan Perikanan

4. Perda Kabupaten Purwakarta No. 6 tahun 1996 tentang Surat Ijin Usaha Perikanan

5. Keputusan Direksi Perum Otorita Jatiluhur No. 1/289/KPTS/1992 tentang Tatacara dan Persyaratan Pemanfaatan Waduk untuk Usaha Perikanan dengan Jaring di daerah Kerja Divisi Waduk POJ

6. Keputusan Direksi Perum Otorita Jatiluhur No. 1/290/KPTS/1992 tentang Tarif Pemanfaatan Waduk Jatiluhur untuk Usaha Perikanan dengan Jaring.

Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 141

Berdasarkan data DKP dan ACIAR (2007) diperoleh bahwa jenis ikan yang tertangkap di Waduk Jatiluhur didominasi oleh ikan nila (79-96%), ikan mas, patin sius dan gabus (Tabel 49). Selain itu juga ditemukan jenis ikan oscar, kongo dan goldsom yang tidak disukai nelayan dan termasuk jenis ikan yang tidak ekonomis. Ikan-ikan tersebut sering disebut hama karena sifat berkembang biak yang sangat tinggi sehingga ikan-ikan ekonomis lainnya semakin terdesak dengan keberadaan ikan hama tersebut. Pengolahan ikan non ekonomis tersebut dilakukan dengan cara dijemur hingga kering, baru kemudian dijual ke konsumen. Hasil tangkapan ikan di Waduk Jatiluhur bervariasi antara 74.674–148.024 kg/bulan dengan rata-rata 118.875 kg/bulan atau total tangkapan ikan sebesar 1.359,439 ton/tahun. Di waduk Cirata hasil tangkapan ikan berfluktuasi antara 25.131–36.805 kg/bulan dengan rata-rata 29.637 kg/bulan atau 344,969 ton/tahun. Pemerintah pusat melalui Departemen Kelautan Perikanan (DKP) telah melakukan kebijakan berupa penebaran benih ikan nila maupun bandeng ke Waduk Jatiluhur dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan.

Tabel 58. Daftar Jenis-jenis Ikan Yang Tertangkap di Waduk Jatiluhur Tahun 2005

No Ikan Introduksi Kelimpahan Ikan Asli Kelimpahan

1 Nila +++ Tawes + 2 Mas + Hampal + 3 Sius ++ Tagih + 4 Bandeng ++ Kebogerang + 5 Betutu + Gabus ++ 6 Oscar ++ 7 Goldsom + 8 Kongo ++ 9 Sepat +

Keterangan: +++ = tinggi; ++ = sedang; + = jarang Sumber : ACIAR (2007)

Sementara berdasarkan data DKP dan ACIAR (2007), jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Waduk Jatiluhur yaitu jaring insang, jala, anco dan pancing. Namun, saat ini nelayan umumnya menggunakan alat tangkap jaring insang dan jala (Tabel 50), dengan perahu kayu yang dilengkapi motor tempel ataupun tanpa motor tempel dan rakit bambu. Alat tangkap gillnet relatif lebih banyak digunakan nelayan karena efisien dalam penangkapan ikan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan hasil tangkapan biasanya berukuran kecil yang sesuai dengan mata jaring gillnet.

Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 142

Tabel 59. Jumlah Nelayan dan Alat Tangkap di Waduk Jatiluhur, Tahun 2004

No Jenis Alat Tangkap Aktif Pasif Jumlah Nelayan

1 Gillnet 2.175 0 665

2 Jala 241 0 242

Jumlah 2.416 0 907

Sumber : DKP dan ACIAR (2007)

Pengelolaan perikanan tangkap meliputi berbagai kegiatan yang ditujukan untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan. Pola pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan perikanan tangkap, umumnya berdasarkan pada tinggi muka air oleh badan otorita dan curah hujan. Pada saat air muka tinggi, nelayan menggunakan alat tangkap berukuran kecil (mata jaring ± 1,5 inci), sehingga ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukurannya kecil dan melimpah. Sedangkan pada saat air muka rendah (air mengumpul di tengah), nelayan menangkap ikan menggunakan alat tangkap berukuran besar (mata jaring ± 3 inci), sehingga ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukurannya besar (> 500 gram). Namun pada saat ini nelayan tidak menghiraukan ukuran alat tangkap yang ideal digunakan sesuai dengan tinggi muka air tersebut, sehingga menyebabkan kepunahan sumberdaya ikan di perairan waduk.

Dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, diperoleh gambaran bahwa hubungan sosial diantara masyarakat (nelayan, bakul, satgas, pengurus lembaga nelayan) dalam wilayah waduk Jatiluhur antara lain didasarkan atas pengorganisasian mereka dalam satu wadah kelompok nelayan dan kelompok pengawas. Kelompok Nelayan dibentuk tidak berdasarkan kepentingan nelayan sebagai pelaku utama usaha perikanan tangkap, tetapi lebih didasarkan pada kepentingan bandar dalam arti bahwa kelompok tersebut berafiliasi terhadap bandar tertentu yang menguasai pemasaran produk perikanan tangkap dan budidaya di perairan Waduk jatiluhur. Kelompok tersebut tidak terbentuk sebagaimana kelompok nelayan pada umumnya yang didasarkan pada azas musyawarah, tetapi lebih didasarkan pada hubungan patron-client antara bandar dan nelayan. Kepengurusan kelompok tidak dibentuk atas kesepakatan dalam rapat anggota, tetapi langsung dipimpin oleh bandar. Posisi anggota tidak lebih sebagai ikatan kebutuhan ekonomi dimana nelayan menjual produk tangkapannya kepada bandar. Kelompok Nelayan yang berada di Perairan Waduk Jatiluhur bernama kelompok Matahari yang diketuai oleh Warisdi, Kelompok Acon (bandar), dan Kelompok Kodir.

Selain kelompok Nelayan terdapat kelompok pengawas (POKMASWAS) Mandiri Jaya yang lebih berperan dalam pengawasan usaha penangkapan ikan oleh nelayan. Walaupun

Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 143

demikian, anggota kelompok pengawas ini juga berprofesi sebagai nelayan sehingga ada kepentingan usaha panangkapan selain kepentingan pengawasan. Kelompok Mandiri jaya berlokasi di desa Cibinong, kecamatan Jatiluhur, dan diketuai oleh Pak Dadeng.

Sistem sosial masing-masing kelompok masyarakat pada setiap kelompok masyarakat nelayan juga berpengaruh terhadap hubungan sosial yang terjadi. Hubungan sosial antar masyarakat nelayan di perairan Waduk jatiluhur dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat di wilayah tersebut. Hubungan tersebut terlihat hampir di seluruh wilayah desa dimana nelayan bertempat tinggal, dimana pedagang pengumpul

Berdasarkan hubungan sosial yang terbentuk antara masyarakat nelayan dan bakul di perairan Waduk Jatiluhur terlihat bahwa status sosial antara nelayan lebih rendah daripada bakul, jika dilihat berdasarkan dimensi sosial dan ekonomi. Akibatnya, yang terjadi saat ini antara lain jaminan sosial dan jaminan ekonomi masyarakat nelayan di perairan waduk Jatiluhur terbentuk dengan adanya kelembagaan nelayan tersebut. Bakul (pedagang pengumpul ikan) pada masing-masing blok atau sub kelompok menjadi tumpuan jaminan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan tersebut, meskipun tidak terdapat ketentuan tersebut dalam aturan main kelembagaan nelayan.

Jaminan sosial yang ada dan terjadi saat ini di perairan waduk Jatiluhur berupa pinjaman uang yang diperlukan masyarakat nelayan jika terjadi musibah atau keperluan berobat jika sakit. Sementara, jaminan ekonomi yang diharapkan nelayan diberikan bakul antara lain berupa pinjaman uang jika diperlukan untuk pembelian dan atau pengadaan alat dan sarana penangkapan ikan (terutama alat tangkap dan perahu), dan kebutuhan sehari-hari keluarga, terutama biaya untuk membeli bahan pangan. Jaringan sosial diantara masyarakat nelayan antar blok (sub kelompok) terlihat pula terbentuk antara lain sebagai akibat adanya sistem kekerabatan yang berasal dari hubungan kekerabatan keluarga.

Jaringan sosial adalah hubungan-hubungan yang terbentuk diantara rumah tangga atau para anggota kelompok atau komunitas yang diamati (Rudito dan Famiola, 2008). Pemetaan jaringan sosial penting untuk melihat hubungan yang ada dan juga akan terdeteksi kekuatan dari masing-masing hubungan antar-individu yang berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kemudian, juga dikumpulkan data tentang relasi antara nelayan dengan aktor lainnya yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Jatiluhur. Relasi antara nelayan dengan aktor lainnya tersebut dapat diartikan sebagai relasi antar aktor. Relasi antar aktor ditentukan oleh orientasi para aktor dalam pengambilan

Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 144

keputusan tertentu. Orientasi sosial4 merupakan dasar masing-masing aktor dalam mengevaluasi dan mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu atau menentukan suatu pilihan dalam berinteraksi (Burns, 1987).

Orientasi sosial tersebut dapat bersifat individualisme, altruisme, permusuhan, atau kerja sama. Hubungan sosial dan jaringan sosial yang diteliti terdapat dalam cakupan wilayah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan waduk Jatiluhur, terutama yang terdapat pada kelompok-kelompok nelayan dan kelompok pengawas. Sementara, relasi nelayan terhadap aktor lainnya adalah berupa; a). Relasi antara nelayan dan nelayan lainnya; b). Relasi antara nelayan dan pedagang ikan di tingkat perairan; c). Relasi antara nelayan dan pengawas perairan (satgas);

Relasi antara nelayan dan nelayan lainnya lebih berorientasi pada kepentingan diri pribadi masing-masing nelayan. Hal ini tercermin dari dihapuskannya kearifan lokal pernah terbentuk di masyarakat nelayan di perairan waduk jatiluhur. Masyarakat nelayan tidak lagi berfikir untuk menjaga keberlanjutan usaha mereka di perairan ini, tetapi lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari sebagai individu nelayan. Kelembagaan kelompok nelayan bersifat semu karena tidak dibentuk berdasarkan kepentingan mereka sebagai nelayan sebagai pemanfaat sumberdaya, tetapi lebih pada kepentingan penjualan produk tangkapan mereka.

Hubungan antara nelayan dengan pedagang (bakul) lebih bersifat pada hubungan Patron-Client dimana posisi bandar sebagai patron berada lebih tinggi dari nelayan, baik secara sosial maupun ekonomi. Nelayan memiliki ikatan yang kuat dengan bandar tertentu dalam bentuk ikatan ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, nelayan merasa mendapat kemudahan dengan menjual produknya pada satu bandar tertentu dengan pertimbangan jarak dan dalam pengadaan sarana usaha. Bandar juga berperan memberikan pinjaman untuk pengadaan sarana usaha (alat tangkap, perahu) dengan syarat nelayan harus menjual

4

Masing-masing orientasi sosial tersebut (Burns, 1987) dapat dijelaskan sebagai berikut; a). Individualisme yaitu orientasi sosial yang bersandarkan kepada kepentingan diri pribadi; Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap alternatif-alternatif tindakan dan akibatnya dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan dan nilai-nilai hanya didasarkan kepada kepentingan pribadinya. b). Altruisme yaitu seseorang mengadakan evaluasi terhadap pilihan dan akibatnya untuk memenuhi pencapaian tujuan dan nilai-nilai aktor lainnya. Kepentingan pribadi disini tidak merupakan prioritas dalam pemenuhan kebutuhan terhadap alternatif pilihan untuk mencapai tujuan dan nilai-nilainya. c).Permusuhan yaitu orientasi sosial yang bersandarkan pada orientasi pemikiran negatif terhadap kepentingan orang lain; Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi dan memilih tindakan-tindakan alternatif yang dapat menimbulkan kekecewaan (kehilangan atau kerugian) terhadap tujuan dan nilai-nilai bagi seorang aktor lainnya. d).Kerja sama yaitu orientasi sosial yang bersandarkan kepentingan pribadi sekaligus juga berdasarkan kepada kepentingan orang lain. Dalam hal ini, seseorang mengadakan evaluasi terhadap tindakan-tindakan dan akibatnya berdasarkan maksud dan nilai-nilainya sendiri dan juga berdasarkan tujuan dan nilai aktor lainnya.

Model Pengembangan Inovasi Kelembagaan Waduk dan Situ 145

produknya kepada bandar tersebut. Secara sosial, sebagian nelayan juga menggantungkan kebutuhan jaminan sosialnya kepada bandar dimana mereka berafiliasi.

Hubungan antara nelayan dan kelompok pengawas juga relatif lemah, karena kelompok pengawas yang juga berprofesi sebagai nelayan memiliki keterbatasan jangkauan operasionalnya. Hal ini terjadi karena kelompok pengawas tidak dibentuk berdasarkan zonasi tempat tinggal nelayan. Satu-satunya kelompok pengawas, yaitu kelompok mandiri jaya berlokasi di desa Cibinong, Kecamatan Jatiluhur. Sedangkan waduk Jatiluhur sendiri mencakup beberapa kecamatan. Selain itu wilayah konservasi (reservat) yang pernah dibetuk dahulu sudah tidak berfungsi lagi sejak tahun 2000. Hal ini semakin mempersempit fungsi kelompok pengawas yang tidak lagi mengawasi operasi penangkapan di wilayah-wilayah yang sempat menjadi zona konservasi. Tugas pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan ukuran mata jaring yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebesar 2,5 inch. Akan tetapi wewenang yang dimiliki oleh kelompok pengawas juga tidak didukung oleh perangkat peraturan daerah yang memberikan wewenang kepada Pokmaswas dalam upaya penindakan. Upaya yang dilakukan terbatas pada upaya penyadaran masyarakat untuk menjaga keberlanjutan usaha perikanan tangkap oleh nelayan. Walaupun demikian upaya tersebut tidak banyak mendapatkan respon positif dari nelayan lain dengan alasan ekonomi sesaat.