• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SURIAH DAN PEMBERITAANNYA

B. Konflik Suriah

Adanya faktor nasionalisme yang dihembuskan negara-negara kafir di tengah-tengah umat mendorong etnis Arab untuk melepaskan diri dari pemerintahan Turki. Revolusi Arab Raya yang menuntut berdirinya negara Arab (Jazirah Arab, Syam dan Irak) yang merdeka dari Khilafah Utsmani pun mulai dipersiapkan dan Sharif Husain bin Ali, emir Makkah kala itu terlibat dalam revolusi ini. Kontak antara Sharif Husain bin Ali dengan pihak Inggris mencapai kesepakatan bahwa bangsa Arab harus berpihak pada Inggris pada Perang Dunia I. Sebagai kompensasinya, Inggris akan mengakui kemerdekaan wilayah Timur Arab dan Sharif Husain sebagai penguasanya. Tanpa disangka, bangsa Arab dikejutkan dengan konspirasi

antara Inggris dan Perancis dengan perjanjian rahasia Sykes-Pyco (1916)

beberapawilayah. Suriah dan Libanon di bawah kekuasaan Prancis (France Mandate), sementara Irak, Yordania, dan Palestina di bawah

kekuasaan Inggris (British Mandate). Semua simbol Arab diturunkan dari

pemerintahan, dan bangsa Arab marah karena telah dikhianati.

Meskipun Daulah Khilafah Utsmaniyah belum runtuh, tapi di bawah Mandat Perancis (1922-1936) serta berdasarkan perjanian Sykes-Pyco, Suriah ditetapkan sebagai kerajaan, penguasa boneka pilihan Perancis pun silih berganti memimpin Suriah.

Kemerdekaan Suriah dari Perancis dideklarasikan pertama kali pada September 1936 M, dan diikuti deklarasi kedua 1 Januari 1944 M. Namun, tanggal 17 April 1946 ditetapkan sebagai Hari Kemerdekaan

Suriah, dan Suriah menganut sistem Republik Arab Suriah (Jumhuriyyah

al-„Arabiyyah as-Suriah).

Kemudian antara periode 1958-1961, Suriah bergabung dengan Mesir membentuk perserikatan yang dikenal dengan RPA (Republik Persatuan Arab). Perserikatan itu berakhir karena terjadinya kudeta militer di Suriah. Sejak tahun 1963 hingga 2011, Suriah terus memberlakukan UU Darurat Militer, sehingga dengan demikian sistem pemerintahannya pun

dianggap oleh pihak barat tidak demokratis.12

Hampir seluruh pemimpin Suriah memperoleh kekuasaan melalui kudeta militer. Secara berurutan, selain Hasyim al-Attassi, Suriah pernah dipimpin oleh Syukri al-Qutali, Husni az-Zalim, Sami al- Hanawi, Adib

12

http://luar-negeri.kompasiana.com/2012/02/11/miris-mengapa-arab-ramai-ramai-memusuhi-suriah-438416.html diakses pada 12 April 2014, pkl. 12:46.

Syiksyikli, Faisal Atassi, Syukri Qutali, Nazim Qudsi, Amin al-Hafiz, dan Nuruddin al-Attasi.

Pada masa pemerintahan Nuruddin al- Attasi, Hafiz al-Assad memimpin revolusi menentangnya. Revolusi ini berhasil mengantarkan Hafiz al-Assad menjadi presiden Suriah sejak tahun 1970. Pada tahun 1995, untuk ke-5 kalinya, Hafiz al-Assad memimpin Suriah. Namun, sebelum berakhir masa jabatannya dia meninggal dunia.

Hafiz al-assad dengan rezim Partai Ba‘athnya memerintah Suriah

secara otriter dan totaliter. Pemerintah Suriah paa masa itu bertindak represif terhadap gerakan-gerakan Islam yang dianggap sebagai nacaman utama terhadap kekuasaanya. Ketika terjadi serangan terhadap sekolah

kader militer di Aleppo dan kantor Partai Ba‘ath pada tahun 1979, pihak

yang dituduh melakukannya ialah kelompok Ikhwanul Muslimin. Kelmpok gerakan Islam ini kemudian berdemo besar-besaran dan melakukan aksi boikot di Hamah, Hims, dan Aleppo pada Maret 1980, dengan alasan inilah Assad lebih ketat dalam melaksanakan kebijakan presifnya, terutama terhadap kelompok dakwah Islam seperti Ikhwanul Muslimin juga Hizbut Tahrir. Tindakan represif ini memuncak dalam peristiwa pembantaian Hamah di awal 1980-an.

Saat revolusi meledak di dunia Arab (Arab Spring), rakyat Suriah

yang berada di bawah pemerintahan represif ini mulai menunjukkan geliat

revolusinya. Awal Februari, sejumlah tuntutan ―malu-malu‖ di Damaskus

dibuat, namun para aktivis tidak mendapat respon yang memedai. Hingga pada tanggal 17 Februari, seorang polisi di pusat ibukota bertindak sewenang-wenang kepada seorang pedagang di pasar tua Huraiqah.

Dalam waktu singkat, ribuan orang di pasar berkumpul dan protes untuk pertama kalinya setelah hampir setengah abad lamanya memendam

penderitaan. Rakyat meneriakkan yel-yel, ―Rakyat Suriah tidak Boleh

Dihinakan‖. Melihat situasi ini, Menteri Dalam Negeri beserta ―Shabiba‖, pasukan bersenjata rezim Bashar langsung turun tangan. Mereka menerobos ke tengah dmeonstrasi dan merebut kendali.

Beberapa hari menjelang akhir Februari, seorang anak di Dar‘a

membuat coretan di dinding dengan slogan yang mereka contek dari Arab

Spring (Musim Semi Arab) di negeri Arab lainnya, ―Rakyat ingin menurukan pemerintah‖. Belasan anak yang usianya tidak lebih dari 15 tahun diseret dari rumah mereka pada malam hari itu juga. Mereka digiring ke tahanan dan disiksa hingga tewas.orang tua anak-anak yang datang untuk memohon dan memelas agar anak mereka dilepasakan ditanggapi dengan jawaban yang menghinakan, ―Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak lain! Atau bawa kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!‖. Jawaban itulah yang akhirnya mendorong Revolusi Suriah meledak di berbagai penjuru negeri.

Tuntutan demonstrasi terus berlangsung dan tersebar melalui situs-situs jejaring sosial pada hari Selasa (15/3/2011). Para demonstran berteriak, ―Kemana engkau rakyat Suriah?‖ pada aksi demonstrasinya di

Damaskus, Aleppo, Dar‘a dan Dirzur. Esok harinya, sekitar 100 pemuda berdemonstrasi di jantung kota Damaskus. Mereka berkumpul di depan kantor kementrian dalam negeri untuk menuntut kebebasan, reformasi politik, dan agar tawanan politik dibebaskan dari penjara. Ratusan aparat membubarkan aksi ini dan menangkap sebagian aktivis. Para pengunjuk rasa juga menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan pemerintahannya, dan mengakhiri hampir lima dekade pemerintahan Partai Ba'ath dan mengganti dengan sistem Islam yang kaffah di bawah naungan Khilafah.

Mogok massal dan berkumpul di tempat terbuka juga dilakukan

oleh masyarakat di Dar‘a (23/3/2011) dengan berkumpul di mesjid Jamik

al-Amru. Hal ini merupakan ―dosa besar‖ di mata rezim Bashar, hingga tentara loyalis rezim memulai serangannya dengan menembak dan melempar bom. Rakyat yang ingin bergabung ke mesjid Jamik al-amru dihadang dengan tembakan, dan ambulans dilarang masuk. Akibatnya puluhan korban tewas sebagai syuhada dan ratusan lainnya terluka barat pada aksi itu.

Suriah pada hari-hari berikutnya semakin memanas, setiap hari terjadi demonstrasi dan mogok massal nasional. Sementara jawaban yang diberikan rezim Bashar tidak berubah, tetap pada peluru panas dan senjata berat. Walaupun para pejabat tinggi Suriah dan Bashar tampil silih berganti di layar televisi dengan pernyataan kamuflase, tapi itu semua tak membuat rakyat Suriah untuk mundur dan menghentikan tuntutannya.

Rakyat telah sadar bahwa rezim yang ada memilih jalan kekerasan dan darah. Rezim siap membantai rakyatnya sendiri, pasukan keamanan dan aparat intelejen, ratusan ribu loyalis partai Ba‘ats, pemuda partai dan Shabiha (geng bayaran piaraan rezim), tentara dengan semua perlengkapan perangnya telah dikerahkan rezim untuk menghentikan perlawanan rakyat. Bahkan pada waktu terakhir rezim Bashar dikabarkan menggunakan senjata kimia untuk menghabisi rakyatnya secara licik.

Saat konflik ini mulai mengguncang negara-negara yang memiliki kepetingan di kawasan Suriah. Berbagai strategi politik pun digencarkan. Kelompok Hizbullah Libanon turut serta mengirim milisinya untuk memerangi rakyat Suriah. Begitu pula milisi Syiah Iran juga mengirim pasukan, bantuan logistik, dan persenjataan untuk memepertahankan rezim sektarian Bashar. Rusia pun berdiri di samping rezim Suriah dengan mengirim bantuan senjata, teknologi dan dukungan politik dunia. Amerika sebagai negara yang paling sering mengagung-agungkan nilai perdamain dunia di sisi lain tak banyak bertindak karena adanya kepentingan untuk menjaga entitas Yahudi di perbatasan utara. Amerika berusaha untuk menyesatkan dan menghancurkan kelompok revolusi dengan merajut konspirasi keji. Oposisi politik agen yang mencampur konsep sekuler dengan Islam moderat seperti Dewan Nasional Suriah yang berada di bawah kendali Turki dan Badan Koordinasi yang berada di bawah kendali Iran dibentuk.

Tak hanya itu, beberapa pertemuan tingkat dunia juga diselenggarakan oleh negara-negara besar di dunia untuk mencari solusi untuk menghentikan konflik Suriah. Namun, lagi-lagi pertemuan itu hanya usaha yang sia-sia, karena pada faktanya apapun yang direncakan dan dilakukan oleh mereka tak berpengaruh sedikit pun terhadap semangat rakyat Suriah untuk terus melanjutkan dan memenangkan revolusi Islam hingga rezim Bashar jatuh, dan Khilafah berdiri di bumi Syam, ‗Uqru Dar al-Islam.

Sementara, Turki dan bangsa Arab yang semula diharapkan berpihak pada rakyat Suriah dan mencegah rezim Bashar membantai rakyat nyatanya tak memeberikan bantuan apapun.

Hingga awal April 2014, kelompok pemantau HAM Suriah, Syrian

Observatory for Human Rights, seperti yang dilansir Chanel News Asia,

Selasa (1/4/2014) melaporkan bahwa setidaknya 150 ribu orang telah

tewas di perang Ideologi ini. Dari jumlah itu, 51 ribu orang di antaranya

adalah warga sipil, termasuk 7.985 anak-anak.13

Dokumen terkait