• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kongsi Industri Rokok

Dalam dokumen A Giant Pack of Lies INA (Halaman 113-118)

Mereka saling bersaing ketat, jika perlu saling sikut. Tapi, untuk beberapa kondisi krusial, industri rokok tidak segan berkongsi. Mereka merapatkan barisan demi tujuan bersama: mengukuhkan posisi pasar.

Pada 1992, Departemen Kesehatan menyiapkan draft Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang akan menempatkan perusahaan rokok layaknya perusahaan makanan dan minuman; wajib mengumumkan kompoisi dan bahan yang digunakan, di setiap kemasan rokok -- lengkap dengan pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa. ”Demi melindungi konsumen dari mengkonsumsi substansi adiktif yang tak memenuhi standar kesehatan,” begitu tulis draft tersebut.

Draft Rancangan Undang-Undang Kesehatan 1992 ini mengekor aturan serupa di sejumlah negara, seperti Kanada, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Thailand. Kendati model pengawasan dan jenis informasi yang harus dipublikasikan berbeda di setiap negara, tapi kewajiban ini tetap menjadi mimpi buruk perusahaan rokok. Andrew Yeung, salah seorang eksekutif BAT di Thailand, menyebut regulasi semacam ini berpotensi

menghadirkan ”dampak memukul bagi bisnis kita (sic) untuk waktu yang

lama.”

Kecemasan itu bisa dimengerti. Publikasi akan melapangkan jalan pemerintah memonitor seluruh zat kimia yang digunakan produsen rokok. Sementara itu, di sisi lain, tak satupun perusahaan rokok yang bisa menjamin komposisi setiap produk mereka memenuhi standar kesehatan. ”Dalam ukuran yang paling sederhana dan jamak diyakini orang, rokok pemicu sejumlah penyakit serius,” kata Adrian Payne, salah seorang petinggi British American Tobacco di London, dalam sebuah makalahnya

berjudul ”Smoking & Cigarette Technology. ”Tidak ada itu yang namanya

rokok aman.”

Mereka dapat membayangkan apa yang bakal mendera sekiranya pemerintah menemukan satu saja di antara zat kimia yang digunakan --apalagi jika itu aroma buatan yang membuat rokok laris, misalnya-- tidak lolos standar kesehatan. Mereka dapat diharuskan untuk menarik produk dari pasar atau mengganti formula. Ini bisa berakibat pada kempisnya keuntungan bisnis. Kiamat kecil.

Bayang-bayang kecemasan seperti itu jelas terbaca dalam korespondensi BAT Indonesia, produsen Dunhill, Lucky Strike, Ardath, Commfil, dan Kansas, dengan induk perusahaan di London. Sebuah surat bertanggal 5 Agustus 1992, satu bulan menjelang keluarnya Undang-Undang Kesehatan, merekam itu semua:

Situasi saat ini sangat genting mengingat Departemen Kesehatan ingin menerbitkan legislasi itu pada 19 September … Dalam bab tentang farmasi, salah satu pokok bahasannya adalah obat-obatan yang menggunakan substansi adiktif.

Saat pembahasan, seorang anggota parlemen menyatakan nikotin adalah substansi adiktif kendati tak merinci apakah klaim itu akan tercantum dalam undang-undang yang baru nanti. Klaim ini bakal sangat mendorong lembaga anti-merokok untuk berpikiran bahwa nikotin adalah zat adiktif dan ini pasti bakal merujuk ke pasar tembakau/rokok (berlaku untuk seluruh jenis rokok) sehingga penjualan rokok kemungkinan akan dikontrol pemerintah seperti susbstansi adiktif lainnya, termasuk obat-obatan.

Inisiatif Departemen Kesehatan tersebut menempatkan produsen rokok untuk merapatkan barisan dan melupakan seluruh perbedaan mereka. Di Thailand, Philip Morris dan BAT berkongsi untuk mengganjal aturan itu dengan menyorong Kedutaan Amerika, Inggris, dan Jepang sekaligus. Momen yang sama mendekatkan industri rokok di Indonesia. Produsen rokok putih sekelas BAT dan Philip Morris bergabung dengan raksasa kretek seperti HM Sampoerna, Gudang Garam dan Bentoel. ”Industri rokok,” kata Dahlia Sardjono dalam sebuah suratnya ke London menyebut Rothmans, Djarum, HM Sampoerna, RJR, Bentoel, Philip Morris and GAPPRI/GAPPRINDO, ”akan mendekati pemerintah guna mencari peluang untuk mempengaruhi draft legislasi itu.”

Sehari kemudian, dari London Sharon Boyse merinci kiat melobi pemerintah. Berikut ini penggalan wejangan Boyse jika pemerintah menghendaki setiap perusahaan rokok membuka bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan:

Beri mereka tawaran sebuah daftar yang berisi semua jenis bahan yang diizinkan penggunaannya di sejumlah negara … Negara yang punya daftar seperti itu adalah Inggris, Jerman, Perancis, Belgia dan Swiss. Setiap perusahaan rokok kemudian akan memberi jaminan ke pemerintah bahwa semua bahan yang mereka gunakan ada dalam daftar itu. Pendekatan ini telah kita coba di New Zealand dan di Thailand … Sebelum memberikan jaminan seperti itu ke pemerintah, kita perlu mengecek lagi ke Divisi Riset dan Pengembangan (BAT Co.) di Souththompson adakah semua rokok kita di Indonesia sejalan dengan daftar itu.

Dalam surat yang sama, Boyse menyarankan BAT Indonesia menawarkan kepada pemerintah metode pengawasan ala Amerika jika tawaran pertama mentah. Di Amerika, katanya, setiap perusahaan rokok menunjuk dan menyerahkan daftar lengkap bahan mereka ke kantor hukum tertentu. Daftar dari setiap perusahaan itu kemudian digabungkan sehingga terciptalah daftar keseluruhan bahan yang digunakan industri rokok. ”Semoga saja sampai di sini pemerintah Indonesia puas. Jika ini gagal, mereka mungkin akan meminta daftar komposisi rokok per perusahaan, atau lebih parah, per merek. Lobi atas dua pilihan di awal tadi karenanya sangat penting,” katanya.

dalam korespondensi ini: kongsi rokok hendak mengajari pemerintah mana yang boleh diatur dan mana yang tidak -- meski mereka sendiri tak dapat menjamin keamanan setiap produk komersil mereka. Tapi begitulah kenyataannya. Ironinya: mereka berhasil dengan lobi itu.

Dalam sebuah surat ke London pada 24 September 1992, Dahlia menulis:

Saya punya satu kabar baik untuk Anda terkait draft Undang-Undang Kesehatan tempo hari. Draft itu sudah resmi disahkan … Pasal 14 berisi aturan pengamanan zat-zat adiktif tanpa menyebut jenis tertentu seperti nikotin. Terima kasih telah memberi pengarahan ke sejumlah anggota parlemen tempo hari di Jakarta. Kami tak akan berhenti di sini, kami masih harus melobi lagi ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Kementrian Kesehatan … Direktorat Bea dan Cukai dan pihak-pihak lain yang terkait dengan keberadaan industri kita.

Tak hanya soal intervensi RUU Kesehatan 1992, penelusuran dokumen menunjukkan lobi kongsi rokok di Indonesia merambah jangkauan yang lebih jauh. Dalam urusan cukai misalnya, lobi mereka menembus dinding Istana dan menyusup ke Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Berbagai departemen terkait, dari Departemen Perindustrian hingga Direktorat Jenderal Bea & Cukai Departemen Keuangan RI, telah pula digarap.

Hanya saja, untuk urusan cukai ini, kongsi industri terpecah dalam berbagai agenda.

Salah satu pemicunya adalah keputusan menteri

keuangan mengganti

sistem cukai per batang menjadi cukai berdasarkan volume produksi dan harga eceran yang ditetapkan pemerintah per 1 April 1999. Dengan aturan baru ini, sebagian perusahaan rokok, terutama produsen kretek, mendapat keleluasaan karena hanya membayar cukai dalam jumlah relatif kecil bahkan berkurang dari era Soeharto. Sebaliknya, sistem cukai ini menjadikan perusahaan seperti BAT Indonesia harus menanggung cukai dalam jumlah yang membengkak. Dalam sebuah surat, Direktur BAT Indonesia, Mark Jennings, menyebut, jika tak diubah sistem cukai ini berpotensi menghancurkan ”80 tahun investasi” perusahaan di Indonesia:

”Kami perlu enam bulan untuk membalik rezim cukai ini,” kata Mark Jennings dalam sebuah surat elektronik ke sejawatnya di Jerman dan Inggris pada 10 Oktober 1999. Dalam surat itu, dia menyebut keberhasilan itu tak lain berkat bantuan ”banyak teman” di Kantor Menteri Ekonomi dan Keuangan. Dia menyebut kontak yang paling dia andalkan adalah Dipo Alam, staf Ahli Menko Perekonomian kala itu. ”Mereka lah yang belakangan sukses memaksakan revisi sistem cukai itu ke Direkrotat Jenderal Bea & Cukai,” katanya seraya memadankan Bea & Cukai sebagai Tochtergesellescharft (anak perusahaan) Gudang Garam.

Dalam surat yang sama, Jenning menuliskan bahwa Dipo Alam ingin mengunjungi pabrik salah satu laboratorium pengujian kadar tar dan nikotin BAT di Jerman dan satu laboratorium pemerintah. ”Tentu saja kita yang membayar semua biaya perjalanannya,” katanya. Dipo Alam menolak diwawancarai soal ini. Dalam sebuah percakapan singkat di telepon, pertengahan 2006, dia menyebut ”telah banyak lupa” soal aktivitasnya semasa menjabat staf ahli Menteri Koordinator Perekonomian.

Dokumen BAT menyebutkan konteks di balik keinginan Dipo Alam berkunjung ke Jerman: munculnya Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Merokok tepat sepekan sebelum Jennings menuliskan surat elektroniknya. ”Selain merevisi regulasi cukai,” kata Jennings dalam suratnya, ”pemerintah juga mengeluarkan aturan baru perlindungan merokok, mengharuskan produsen rokok kretek mengurangi kadar tar dan nikotin hingga separuhnya, menjadi 20 mg tar dan 1,5 mg nikotin. Sekarang mereka yang dalam posisi defensif.”

Soal aturan baru pem batasan tar dan nikotin, dia bilang pemerintah Indo nesia ”goblok”, sama sekali tak tahu cara mengu kur tar dan nikotin. ”Rekan kita … staf Menko Perekonomian yang paling senior berharap bisa mengunjungi salah satu laboratorium BAT dan jika memungkinkan laboratoriun pemerintah untuk melihat langsung proses pengukuran tar dan nikotin,” katanya. ”Tentu saja kita yang menanggung semua biaya perjalanannya.”

Dalam dokumen A Giant Pack of Lies INA (Halaman 113-118)