• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilihan Orang Dewasa

Dalam dokumen A Giant Pack of Lies INA (Halaman 64-71)

Rokok merupakan pilihan orang dewasa. Begitu sering ditekankan oleh industri rokok. Adegan dalam film “Thank You for Smoking...!” dengan bagus menggambarkan hal ini. Kalau Anda bijak, dengan sendirinya Anda bisa memilih mana yang baik untuk diri Anda. Merokok atau tidak sepenuhnya pilihan individu. Tak ada yang memaksa. Ini pilihan bebas.

Butet Kartaredjasa, seniman terkenal dari Yogyakarta, menangkap semangat pilihan bebas itu. Karenanya, Butet lebih menekankan prioritas

pendidikan ketimbang regulasi rokok. Dalam sebuah artikel (http://

www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/408162/), Butet menya takan bahwa regulasi yang mengatur produk tembakau tidak diperlukan. “Yang diperlukan adalah peningkatan pendidikan. Kalau masyarakatnya sudah pintar, mereka bisa menyeleksi sendiri mana yang baik buat dirinya,” tulis Butet.

A r g u m e n seperti itu lazim kita

dengar -- sebuah

argumen yang lemah dan mengabaikan satu hal fundamental: semaju apa

pun pendidikan di sebuah negara, pastilah ada banyak lapisan yang tak berdaya (kaum miskin, bayi, balita, remaja, dan orang tua), yang berisiko menjadi perokok pasif, dan tak kuasa menolak gempuran agresivitas iklan industri rokok. Akankah mereka dibiarkan tak terlindung, seperti halnya bayi yang tak bisa meninggalkan ruangan yang dipenuhi asap rokok?

Lagipula, menunggu kualitas pendidikan membaik di negeri ini merupakan sebuah ajakan yang tak jelas ujungnya. Entah kapan pendidikan berkualitas yang dimaksud Bung Butet bisa tercapai.

Ihwal pilihan orang dewasa ini juga menjadi tidak klop dengan agresivitas industri dalam beriklan. Pagi, siang, malam, di layar kaca, di panggung musik, layar film, riuh digempur iklan rokok. Kemasannya pun

keren dan sangat apik (lihat Bab-5 pada Boks-2: Berderap Memangsa

Kaum Muda). Lalu, bagaimana bisa disebut ini pilihan orang dewasa?

Regulasi = Industri Mati Besok Pagi

Regulasi mematikan industri. Pernyataan ini seperti menjadi mantra kalangan industri. “Banyaknya peraturan membuat penjualan rokok merosot,” kata Muhaimin Moefti, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia, yang dimuat dalam laman Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (www.amti.or.id).

Keberatan industri akan regulasi dikuatkan berbagai kalangan. “Kami tak mau tembakau diatur pemerintah. Kalau penjualan dibatasi, kami bisa terjepit,” kata Imron, 40 tahun, petani tembakau dari Temanggung, Jawa Tengah, yang diwawancarai Koran Tempo (15 Maret 2010). Bersama ratusan petani, Maret 2010, Imron datang ke Jakarta, menuju Gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan.

Migir, 45 tahun, teman sedesa Imron, juga diwawancarai Tempo.

“Ongkos kulo saged mriki, dateng Jakarta, saking adol wedhus (ongkos saya datang ke Jakarta sini dari jual kambing),” kata Migir. Langkah ini ditempuh Migir demi membendung Rancangan Undang Undang

Pengendalian Produk Tembakau yang sedang dibahas parlemen. “Kulo

pingin mbako tetep wonten (saya ingin tembakau tetap ada),” kata Migir. Suara orang kecil seperti Imron dan Migir bergema dengan dahsyat-nya. Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, misalnya, menyambut suara wong cilik ini dengan tang kas. “Saya menghormati hak azasi manusia, tapi saya juga harus menghormati hak azasi para petani dan buruh industri rokok,” katanya saat diwawancarai tim penulis buku ini. Anggota dewan dari daerah pemilihan Kudus, salah satu jantung industri rokok di Jawa Tengah, ini melanjutkan, “Bagaimana pun kepentingan negara kita saat ini adalah agraris, termasuk pertanian tembakau.” Dia menambahkan, “Gila apa? Masak saya mengutamakan WHO yang membela kepentingan negara maju?”

Dengan segala hormat kepada Mbak Eva, satu dari sedikit anggota

dewan yang kritis dan punya keberpihakan pada rakyat, saya

merasa ada yang keliru dalam

pemahaman anggota dewan

tentang tobacco control. Regulasi

produk tembakau tak mungkin

serta-merta membunuh

industri tembakau, seperti yang dirisaukan Eva Kusuma Sundari.

Hakim Sorimuda Pohan, mantan anggota DPR yang aktivis jaringan ITCN, menilai pendapat bahwa industri bakal

ambruk kalau regulasi diterapkan adalah kekhawatiran berlebihan, asumsi yang simplistik, tidak logis, dan menyesatkan. “Itu mitos yang digembar-gemborkan industri,” kata Hakim.

Rokok merupakan produk non-elastis yang tingkat penjualannya hampir-hampir tak terpengaruh harga dan regulasi. Mereka yang sudah

mencandu tak akan begitu saja berhenti merokok hanya karena

harganya tinggi. Itu sebabnya, produksi rokok di Indonesia terus meroket meski cukai dinaikkan. “Tidak ada riwayat konsumsi rokok turun hanya karena regulasi,” kata Hakim. Pengendalian rokok yang superketat di Thailand, misalnya, hanya sanggup menurunkan 1 (satu) persen jumlah

perokok per tahun.

Regulasi ketat yang hanya sanggup menurunkan satu persen perokok ini juga

memicu pertanyaan. Pada sidang judicial

review Undang-Undang Penyiaran di Mahka mah Konstitusi, awal 2009, Ketua MK Mahfud MD bertanya kepada saya: + Mengapa Anda repot-repot mengusulkan pengendalian rokok

kalau pengalaman regulasi di Thailand hanya bisa menurunkan satu persen perokok?

- Langkah kecil harus dimulai, Yang Mulia. Kalau tidak dimulai,

anak-anak dan remaja akan lebih banyak menjadi korban kecanduan nikotin.

Penting bagi kita untuk mendudukkan perkara dengan jernih. Saat ini ada 34 persen penduduk Indonesia (sekitar 80 juta jiwa) yang mencandu rokok. Para pecandu ini tidak akan serta-merta stop total menghisap nikotin hanya karena ada larangan iklan, kenaikan harga, atau penerapan kawasan tanpa rokok. Artinya, industri rokok dan seluruh roda yang terkait tidak akan mendadak bangkrut ketika regulasi diterapkan. Adalah omong kosong jika ada kampanye yang simplistik menyebut: jika undang-undang pengendalian tembakau diberlakukan, maka industri rokok pasti mati seketika.

Fatwa ulama pun tak akan mempan menghalangi mereka yang

tubuhnya sudah sakaw menagih nikotin --kecuali jika yang bersangkutan

punya tekad kuat ingin berhenti mencandu. Yang bisa diharapkan dari regulasi paling banter hanya ini: puluhan juta pencandu nikotin itu terpaksa merokok dengan cara lebih santun (bukan di tempat publik atau orang lain yang tak merokok). Selain itu, iklan dan pemasaran rokok harus diatur, tak bisa lagi semaunya industri, seperti sekarang. Dengan pengaturan iklan dan pemasaran, pertumbuhan pendatang baru, perokok usia muda, bisa direm.

Pengendalian konsumsi rokok mungkin baru kelihatan hasilnya belasan tahun kemudian. Sebelum itu, masih cukup waktu untuk bisa menyiapkan skema alternatif pertanian tembakau, baik beralih komoditi tanam atau mencari aternatif penggunaan daun tembakau untuk farmasi.

Skema kerjasama internasional FCTC, menurut Widyastuti Soerojo,

ahli kesehatan masyarakat, dilengkapi dengan berbagai paket workshop

eksplorasi pertanian tembakau, seperti workshop beralih ke komoditi lain

dengan peruntukan yang variatif di sektor farmasi. Persoalannya, petani di Indonesia tidak bisa memanfaatkan skema kerjasama internasional

ini, kata Widyastuti, “Karena kita belum juga meratifikasi

FCTC.”

Kartono Mohamad, dokter yang juga pegiat

di jaringan tobacco control, sepakat dengan

Widyastuti. Upaya pengendalian rokok sebenarnya lebih bertujuan untuk mengerem laju perokok belia. “Juga untuk memaksa industri agar tidak semata-mata menjadikan masyarakat sebagai

target pasar,” katanya.

Saat ini Indonesia bagaikan benteng terakhir industri untuk mempertahankan pasar raksasa. Bersama India, Cina, dan Rusia, Indonesia tergolong pasar gemuk lantaran populasi penduduknya dahsyat. Bedanya, India-Cina-Rusia sudah meratifikasi FCTC dan sudah menjalankan regulasi industri rokok, sedangkan Indonesia belum. Indonesia masih berstatus pasar menggiurkan: populasi gemuk, regulasi lemah, dan kepedulian yang rendah akan pentingnya kesehatan masyarakat. “Itu sebabnya industri berupaya habis-habisan untuk mencegah jangan sampai Indonesia meratifikasi FCTC,” kata Kartono.

Walaupun manfaat pengendalian rokok tak mungkin bisa dipetik tiba-tiba, langkah harus dimulai. Bagi saya, langkah kecil itu dimulai dengan menulis buku ini. Buku ini juga saya tulis sebagai bentuk kepedulian atas usaha pengaturan produk tembakau,

yang bertahun-tahun

diperjuangkan tapi selalu mental, baik di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat maupun kementerian teknis. Saya dibantu

teman-teman wartawan yang

tergabung dalam Campaign of Free Tobacco Kids (CTFK) dan KOJI (Koperasi Jurnalis

Independen), yakni Wahyu Dhiatmika, Felix Lamuri, Yus Ardhiansyah, Jojo Raharjo, Anita Rahman, Bibin Bintariadi, dan Parlindungan Sibuea. Mereka inilah yang mengumpulkan informasi, mewawancarai berbagai sumber, dan belanja data-data baru. Farid Gaban dan Alfian Hamzah melengkapi buku ini dengan beberapa tulisan.

Buku ini juga diperkaya dengan mozaik tulisan para wartawan

peserta program fellowship liputan tobacco control yang digelar AJI

(Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta, sejak tahun 2007. Harapan kami, buku yang jauh dari sempurna ini bisa menjadi salah satu rujukan dalam upaya pengendalian dan pengaturan produk tembakau di Indonesia.

Dalam dokumen A Giant Pack of Lies INA (Halaman 64-71)