• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju Perokok Muda

Dalam dokumen A Giant Pack of Lies INA (Halaman 37-42)

RATA-RATA UPAH NOMINAL PER BULAN Buruh Industri Di Bawah Mandor, 2000-2008, Ribuan

1. Laju Perokok Muda

Aldi Rizal Suganda, 3,5 tahun, membuat heboh dunia melalui layar YouTube. Setahun lalu, saat masih 2,5 tahun, bocah berpipi dan berperut gembung dari Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ini direkam kamera sedang asyik menikmati rokok. Gayanya persis seperti orang dewasa. Asap rokok dihisap dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan. Nikmat betul sepertinya. Beberapa saat kemudian, adegan beralih. Aldi tampak marah dan m e m b e n t u r b e n

-turkan kepalanya

ke tembok: rupanya dia sedang keha-bisan rokok. Anak sekecil itu sudah

biasa

menghabis-kan tiga sampai

empat bungkus

rokok, sehari. “Dia mulai merokok se-jak umur 11 bulan. Kesukaannya merek 0.6 0.41.7 1.91.7 9 9.5 12.6 1617.5 54.6 58.9 63.7 50.7 43.5 25.823.9 17.2 19 14.6 6.3 4.8 3.1 5.5 4.3 3.8 2.6 1.8 6.9 3.9 0 10 20 30 40 50 60 70 % u m u r m u la i m e ro k o k 5-9 th 10-14 th 15-19 th 20 - 24 th 25 - 29 th >30 th 1995 2001 2004 2007 2010 0.6 0.41.7 1.91.7 9 9.5 12.6 1617.5 54.6 58.9 63.7 50.7 43.5 25.823.9 17.2 19 14.6 6.3 4.8 3.1 5.5 4.3 3.8 2.6 1.8 6.9 3.9 0 10 20 30 40 50 60 70 % u m u r m u la i m e ro k o k 5-9 th 10-14 th 15-19 th 20 - 24 th 25 - 29 th >30 th 1995 2001 2004 2007 2010

Sampoerna,” kata Diana, ibu Aldi. Diana terbiasa membawa Aldi ikut berdagang di pasar, ketika itulah Aldi ‘berkenalan’ dengan rokok. Bayi ke-cil ini selalu tampak bersemangat ketika sedang memainkan bungkus ro-kok. “Suatu kali ada orang yang memberinya rokok,” kata Diana, “Eh, dia hisap, jadinya keterusan. Kalau tak dikasih rokok, pasti dia mengamuk.”

Tayangan itu membuat dunia syok. Kisah Aldi beredar di media lokal dan internasional. Maklumlah, anak balita itu belum genap tiga tahun. Apalagi, dalam film hasil rekaman Ardiles, wartawan lepas jaringan televisi ABC News itu, Diana tak terlihat khawatir dengan kebiasaan Aldi menghisap nikotin. Dalam perbincangan dengan saya di Jakarta, pada 2010, Diana mengaku bahwa selama megandung janin Aldi, dia juga

merokok. “Waktu itu, saya ngidam rokok,” katanya, “Ini berbeda dengan

Kebiasaan Aldi kecil menghisap rokok meru pakan sepenggal bukti nyata bahwa negeri ini tidak serius melindungi anak-anak dari gempuran epidemi global kecanduan nikotin. Pada Oktober 2010, saya bertemu dengan Aldi kecil ketika heboh YouTube masih meng gema. Dia dibawa ke kantor Komisi Nasional Perlindungan Anak di Pasar Rebo, Jakarta untuk menja lani rehabilitasi fisik dan psikologis di Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo (RSCM), Jakarta.

Lisda Sundari dari Komisi

Nasional Perlindungan Anak ber-kisah, pekan pertama menjalani terapi, Aldi selalu marah dan

hiper-aktif. “Ngamuk berguling-guling

itu biasa,” kata Lisda. Dengan pen-dampingan intensif, Aldi diajak bermain bola, petak umpet, berenang, dan lain sebagainya. Perlahan, suhu temperamen Aldi mereda. “Dia tidak lagi gampang ngamuk. Tapi, sesekali kalau melihat orang merokok, Aldi masih suka marah,” kata Lisda. Sebulan menjalani terapi di Jakarta, Aldi kembali lagi ke Musi Banyuasin. Perkembangan terakhir, sesuai tayangan video dari kantor berita Vanguard.com, pada Juli 2011, Aldi telah berubah. Dia kini tak ubahnya anak berusia 3,5 tahun, dengan energi melimpah dan tuntutan perhatian. Sekarang, setelah direhab, dengan nada lucu Aldi menasehati tim reporter Vanguard, “Jangan merokok, ya...!”

Menurut Lisda, Komisi Nasional Perlindungan Anak memiliki data sedikitnya ada 11 anak balita yang telah merokok. Mereka tersebar di berbagai daerah di Indonesia. “Umumnya mereka tumbuh di keluarga yang juga perokok. Sehari-hari mereka melihat orang merokok dan keluarga juga merasa tak ada salah dengan hal itu,” kata Lisda.

Begitulah, disengaja atau tidak, keluarga dan masyarakat telah membombardir anak-anak dengan kebiasaan merokok. Ayah, paman, tante, kawan, yang dengan santai menghisap nikotin telah menciptakan

lagi kalau bukan iklan yang gencar dalam beragam bentuk dan media. Betul, sejak dulu merokok merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Di kampung-kampung di pedesaan Indonesia, para lelaki melinting tembakau dengan lembaran klobot (daun jagung). Kadang kala, anak-anak juga ikut serta, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, mengisap rokok yang dilinting bapaknya.

Namun Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan data yang mengkhawatirkan. Hanya dalam lima tahun, selama 2001-2004, persentase perokok belia (umur 5-9 tahun) meningkat tajam dari 0,4 menjadi 1,8 persen. ”Melonjak hampir lima kali lipat,” kata Hakim Sorimuda Pohan, dokter yang juga anggota DPR dari Komisi IX tahun 2004-2009.

Riset Global Youth Tobacco Survey (GYTS) yang digelar Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 2006, juga merekam peningkatan serupa. Indonesia memiliki 24,5 persen buyung dan 2,3 persen upik (usia 13-15 tahun) yang perokok. Sebagian anak (3,2 persen) bahkan sudah masuk tahap kecanduan. “Kualitas generasi muda menjadi taruhan apabila tren peningkatan perokok belia ini terus dibiarkan berlanjut,” kata Hakim Sorimuda Pohan.

Anak-anak sebetulnya tidak sepenuhnya tinggal diam. Dalam rangkaian Kongres Anak Indonesia, bocah-bocah ini sepakat menuntut

pemerintah untuk melindungi

mereka dari bahaya rokok, melalui sebuah deklarasi. Namun upaya ini agaknya dihalangi orang-orang yang lebih tua. Tahun 2010, dengan alasan yang tak jelas, anak-anak ini diminta tidak membacakan deklarasi hasil kongres tersebut di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kami menduga, la-rangan itu muncul karena dalam

rekomendasinya anak-anak

mereka dari paparan asap dan iklan rokok,” kata Arist Merdeka Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia.

Juli 2011 lalu, para bocah kembali bertemu dalam Kongres Anak Indonesia ke-10. Mereka kembali menyuarakan kerisauan akibat paparan nikotin. Mereka memang berhasil membacakan deklarasi tersebut,

tapi bukan dalam acara puncak yang dihadiri Bapak Wakil

Presiden, di Ancol – melainkan di tempat lain. “Sebaiknya orang tua tidak merokok di rumah karena membuat kami terbatuk-batuk,” kata perwakilan anak yang membacakan rekomendasi dalam rentetan acara Hari Anak Nasional, di Taman Monumen Nasional, Sabtu, 23 Juli 2011.

Seruan anak-anak ini mestinya dianggap sebagai tuntutan paling serius. Suara mereka adalah panggilan masa depan. Merekalah pemilik negeri ini. Mereka menuntut orang tua, pemerintah, menjalankan fungsinya: melindungi anak-anak, aset bangsa masa depan. “Mestinya kepedulian pada kualitas aset bangsa itulah yang menjadi perhatian

utama,” kata Dr. Mawarwaty Djamaludin. Mantan Sekretaris Utama Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) ini adalah anggota delegasi Republik Indonesia dalam pembaahasan Framework Convention on Tobacco Control di WHO, pada 1995-2003. “Kalau untuk kualitas kesehatan anak-anak, aset kita di masa depan, ini pemerintah tidak peduli,” katanya dengan nada prihatin, “Maka apa lagi yang bisa kita harapkan sebagai bangsa?”

Dalam dokumen A Giant Pack of Lies INA (Halaman 37-42)