• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang 1.1.Latar belakang

2.2. Desentralisasi Fiskal

2.2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemeritah pusat (nasional) kepada pemeritah lokal / daerah dan kewenangan daerah untuk mengatur dan megurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya sebagai daerah otonom, sehingga otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi (Ulla, 2003; Smoke, 2001). Telaah konseptual dari desentralisasi dapat dilihat dari dua sisi ganda yaitu meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah pusat (nasional) dan mengaktualisasi representasi lokalitas ( Ebel and Yilmaz, 2002; Roy, 1999; Woller and Kerk, 1998).

Pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan pemberian peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dilegalkan dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri dari Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pusat, yang selanjutnya direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004. Tujuan perubahan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Sondakh, 2000; Vazques and McNab, 2001; Simanjuntak, 2002).

Perubahan tersebut terjadi karena kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menjadi pemicu, yaitu adanya sentimen regional, ketimpangan dan ketidakberdayaan ekonomi, represi serta pelanggaran hak-hak masyarakat lokal. Dengan ditetapkan

Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, maka setiap daerah di kabupaten dan kota diberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam melaksanakan pemerintahannya. Sehingga memberi peluang kepada daerah untuk lebih leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat dan potensi di setiap daerah ( Departemen Dalam Negeri, 2002 a).

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 25/1999, pada dasarnya diarahkan untuk : (1) meningkatkan ketahanan fiskal berkesinambungan (fiscal sustainability), (2) memperkecil ketimpangan keuangan pusat dan daerah (vertical imbalance), (3) mengkoreksi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal imbalance), (4) meningkatkan akutanbilitas, efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintah daerah, dan (5) meningkatkan kualitas pelayanan dan partipasi masyarakat di sektor publik ( Mahi, 2000).

Alasan yang mendasari pemikiran bahwa pengelolaan keuangan negara secara terdesentralisasi lebih baik dibanding dengan pengelolaan secara sentralistik adalah karena akan terjadi efisiensi dalam pengalokasian sumber daya. Desentralisasi membuat pemerintah lebih responsif terhadap aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat dibanding dengan pemerintah yang terpusat (Lin and Liu, 2000; Kerk and Garry, 1997 ; Rao, 2000; Smoke, 2001; Ebel and Yilmaz, 2002). Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis yaitu untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah maka efisiensi alokasi sumber daya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara terdesentralistik (Stiglitz, 2000).

Pola bantuan atau sistem transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal, sistem transfer ini

mempunyai arti yang sangat penting karena pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar yaitu sekitar dua per tiganya berasal dari dana transfer dari pemerintah pusat. Pada masa sebelum desentralisasi program bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesifik grant, dimana penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan dari pemerintah pusat dengan format yang sangat rigid sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan administratif. Dengan desentralisasi pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi bentuk block grant, sehingga perencanaan program, implementasi dan monitoring serta evaluasi dilakukan pada pemerintah daerah. Bentuk block grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa Dana Alokasi Umum (DAU) (Simanjuntak, 2001; Ritonga, 2002; Mawardi dan Sumarto, 2003).

Secara konseptual desentralisasi fiskal berhubungan dengan perumusan kewenangan atas sumber- sumber dana yang ada atau akses terhadap dana transfer dan pembuatan berbagai keputusan baik yang menyangkut pengeluaran rutin maupun pengeluaran investasi/ pembangunan (Braun and Grote, 2002; Ritonga, 2002). Transfer fiskal merupakan inti dari suatu hubungan fiskal antar pemerintahan dan memiliki peranan penting dan menentukan dalam mendukung program desentralisasi fiskal, karena pengeluaran pemerintah daerah dua per tiganya merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer yang berupa dana block grant akan memberikan pengaruh yang lebih efisien terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dibanding dengan dana trannsfer berupa spesific grant (Simanjuntak, 2001; Stiglitz, 2000).

Kaitan desentralisasi fiskal dengan kemiskinan dan ketahanan pangan terjadi melalui dua jalur yaitu (1) desentralisasi - partisipasi/ pemberdayaan/ tata kelola – kemiskinan dan ketahanan pangan, dan (2) desentralisasi - pelayanan publik/ investasi

yang lebih memihak kaum miskin/ petani – kemiskinan dan ketahanan pangan ( Rao, 2000; Braun and Grote, 2002; Vazques and McNab, 2001; Wasylenko, 1987).

Jalur pertama, menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan civil society

untuk berpartisipasi di dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Desentralisasi akan menyebabkan terjadinya demokratisasi dalam masyarakat sehingga terjadi proses pemberdayaan pada masyarakat. Masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam pembangunan, sehingga aspirasi masyarakat dalam proses pembangunan akan lebih terakomodasi karena masyarakat ikut aktif dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian kebijakan pembangunan daerah akan berpihak pada masyarakat banyak dan masyarakat akan bisa akses dalam proses pembangunan sehingga akan berdampak pada peningkatan perekonomian, penurunan kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan.

Jalur kedua, menunjukan bahwa desentralisasi fiskal akan membuat pemerintahan lebih dekat dengan rakyat sehingga pemerintah daerah akan lebih tahu kebutuhan masyarakatnya, dengan demikian akan terjadi efisiensi dan efektivitas dalam melakukan alokasi sumberdaya karena terjadi penghematan pada biaya administrasi dan biaya transaksi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pelayanan publik yang lebih baik yang akan berdampak pada peningkatan perekonomian daerah, pengurangan kemiskinan dan peningkatan kinerja ketahanan pangan. Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik dan lebih responsif terhadap kebutuhan dan preferensi penduduk lokal dari pada pemerintah pusat. Dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Indonesia bisa terjadi melalui jalur pertama, kedua maupun jalur pertama dan kedua terjadi secara bersamaan.

Desentralisasi fiskal di Indonesia akan berpengaruh terhadap peranan pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah. Sumber-sumber keuangan daerah yang diatur dalam pasal 3 Undang-Undang No 25 tahun 1999, meliputi : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari : (a) Hasil Pajak Daerah, (b) Hasil Restribusi Daerah, (c) Hasil Perusahaan Daerah (BUMD), (d) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan (e) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah, dan (2) Dana Perimbangan atau disebut juga bantuan atau transfer dari pemerintah pusat yang terdiri dari : (a) Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, (b) Dana Alokasi Umum (DAU), dan (c) Dana Alokasi Khusus (DAK) ( Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Pada implementasi desentralisasi fiskal pemerintah daerah berperan dalam meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) dari berbagai sumber seperti pajak daerah, retribusi daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan penerimaan daerah lainnya. Kontribusi PAD relatif kecil dibandingkan dengan penerimaan yang berasal dari pusat. Pajak yang memberi kontribusi terbesar dari PAD masih memiliki kelemahan di daerah karena bagian yang paling besar dari pajak seperti pajak pendapatan dan pajak penghasilan masih didominasi oleh pemerintah pusat. Pada tingkat Provinsi terdapat hanya dua jenis pajak daerah yang diperkirakan signifikan terhadap penerimaan daerah seperti Pajak Kepemilikan Kendaraan Bermotor (PKKB) dan Pajak Perpanjangan Kendaraan Bermotor (PPKB), sedangkan dua jenis pajak lain seperti Pajak Minyak dan Pajak Eksploitasi Air Bawah Tanah memberi kontribusi yang tidak signifikan. Pada tingkat kabupaten/ kota terdapat tujuh jenis pajak daerah tetapi hanya beberapa jenis pajak yang memberi kontribusi signifikan terhadap penerimaan daerah. Pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak iklan

memberi kontribusi besar di kota, sedang penerimaan penting di kabupaten yang berasal dari jenis pajak adalah Pajak Bahan Galian Tipe C (Brojonegoro, 2001).

Desentralisasi memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menentukan basis pajak dalam rangka memaksimumkan pendapatan tetapi di sisi lain menimbulkan persaingan antar daerah dalam mendatangkan investor. Undang-Undang No 34 tahun 2000 mengatur batasan maksimum basis pajak daerah. Pajak Provinsi antara lima persen (pajak kendaraan bermotor) hingga 20 persen (pajak pemanfaatan air bawah tanah), sedang batasan basis pajak di kabupaten/ kota antara 10 persen (pajak hotel dan restoran) hingga 35 persen (pajak iklan). Beberapa pemerintah daerah di Indonesia memusatkan perhatian untuk memaksimumkan basis pajak tanpa mempertimbangkan pengaruh buruk terhadap investasi daerah. Tetapi juga ada pemerintah daerah yang menggunakan basis pajak yang lebih rendah dari batasan maksimum dengan tujuan agar para investor lebih tertarik masuk ke daerah tersebut (Brodjonegoro, 2001).

Keberhasilan peningkatan penerimaan pajak dan restribusi daerah tergantung kepada badan pemungut pajak di daerah yang dikenal dengan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Kemampuan administratif dinas tersebut akan menetukan apakah penerimaan daerah dari pajak sama besarnya dengan besarnya potensi pajak. Walaupun sulit mengharapkan besarnya penerimaan daerah sama dengan potensial pajak tetapi diharapkan selisihnya tidak terlalu signifikan. Beberapa permasalahan yang krusial dalam hal pemungutan pajak adalah kelemahan data dan sistem informasi serta lemahnya tindakan dalam pelaksanaan undang-undang yang telah ditetapkan. Adminitrasi harus diperbaiki mulai dari proses pendaftaran hingga proses pengumpulan. Selanjutnya tindakan yang tegas dalam mengimplementasikan

undang-undang menjadi prioritas yang menjamin bahwa setiap orang mempunyai perlakuan yang sama dalam hukum dan undang-undang (Mahi, 2000 ; Brodjonegoro, 2001).

Pemerintah daerah mempunyai peran dalam memperoleh dana transfer dari pemeritah pusat, dana tersebut diperoleh berdasarkan kebutuhan dan kapasitas fiskal daerah. Terdapat tiga jenis transfer antar pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-Undang No 25 tahun 1999, yaitu : (1) Bagi Hasil ( Revenue Sharing), (2) Dana Alokasi Umum (General Allocation Fund), dan (3) Dana Alokasi Khusus (Spesific Allocation Fund) (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Dana bagi hasil diklasifikasikan menjadi bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam (SDA). Bagi Hasil SDA merupakan jenis baru dalam undang-undang tersebut yang diharapkan dapat memberi kompensasi yang besar terhadap daerah kaya SDA yang selama ini diperas tanpa mendapatkan bagi hasil yang sesuai dengan potensi SDA yang dimiliki. Terdapat empat jenis hasil SDA yang dibagikan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu : (1) minyak dan gas, (2) pertambangan, (3) kehutanan, dan (4) perikanan (Departemen Dalam Negeri, 2002b).

Bagian kedua dari dana transfer antar pemerintah adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bagian yang sangat penting dalam penerimaan pendapatan di Indonesia. Total DAU untuk kabupaten/ kota secara nasional adalah 90 persen dikalikan dengan 25 persen Penerimaan Dalam Negeri (PDN) Nasional, sedang 10 persen dialihkan ke Provinsi. Salah satu tujuan penting pengalokasian DAU adalah pemerataan kemampuan penyediaan fasilitas publik di antara pemerintah daerah di Indonesia. Meskipun dinyatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya dengan SDA, namun distribusi SDA itu sendiri di antara provinsi dan juga di antara kabupaten di Indonesia tidak merata. Oleh karena itu, sumber perimbangan dana keuangan pusat ke daerah yang berasal dari SDA akan menimbulkan ketidakmerataan

antara daerah. Dalam konteks ini, DAU dimaksudkan untuk dapat memperbaiki pemerataan perimbangan keuangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil SDA (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Prinsip dasar rumus DAU adalah konsep selisih fiskal dimana DAU dialokasikan menutupi selisih antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal.Variabel yang diestimasi dalam kebutuhan fiskal adalah populasi, luas daerah, kondisi geografis, kondisi kemiskinan. Sedang dalam kapasitas fiskal yang diestimasi adalah potensi SDA, potensi SDM, PDRB dan potensi industri. DAU dapat diklasifikasi sebagai bantuan umum yang memberi kebebasan penuh kepada daerah untuk membelanjakannya sesuai dengan prioritas daerah (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah jenis transfer terakhir dari pemerintah pusat. Sesuai dengan hukum dan undang-undang, DAK dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus seperti prioritas nasional, kejadian-kejadian bahaya lainnya yang tidak dapat dibiayai dengan menggunakan DAU (Departemen Dalam Negeri, 2002 b).

Pada sisi pengeluaran pemerintah daerah mempunyai peranan dalam mengalokasikan pengeluaran berupa pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Implikasi desentralisasi fiskal memberi wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan pengeluarannya karena dianggap bahwa yang lebih mengetahui tentang kebutuhan masyarakat adalah pemerintah daerah sendiri bukan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mengalokasikan pengeluaran rutin ke dalam berbagai jenis pengeluaran seperti : belanja pegawai, belanja barang, biaya pemeliharaan, biaya perjalanan dinas, belanja lain-lain, angsuran hutang dan bunga, ganjaran/sumbangan/bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak terduga.

Pada saat ini belanja rutin lebih didominasi pengeluaran gaji pegawai karena banyaknya pegawai negeri sipil yang didaerahkan yang tentu membawa konsekuensi dalam pembayaran gaji yang dibebankan terhadap anggaran pemerintah daerah. Di setiap kabupaten/ kota pengeluaran rutin memiliki alokasi yang lebih besar dari pengeluaran pembangunan.

Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah yang ingin dicapai. Pada umumnya biaya pembangunan tersebut sudah diprogram dalam Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA). Pengeluaran pembangunan semuanya diprogramkan dalam berbagai proyek di setiap sektor dan subsektor. Pengeluaran pembangunan dialokasikan ke berbagai sektor sesuai dengan urutan prioritas dan kebijakan pembangunan daerah. Pengeluran pembangunan di kabupaten/ kota dialokasikan ke berbagai sektor perekonomian mulai dari sektor industri, sektor pertanian dan kehutanan, sektor sumber daya air dan irigasi, sektor tenaga kerja, sektor perdagangan, sektor transportasi, sektor pertambangan dan energi, sektor pariwisata, sektor kependudukan, sektor pendidikan, sektor agama, sektor hukum hingga sektor keamanan dan ketertiban umum (Departemen Dalam Negeri, 2002a).