• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMULASI MODEL

E. Blok Outcome Ketahanan Pangan 26. Persamaan Jumlah Anak Gizi Buruk

6.2. Dugaan Parameter Persamaan Struktural

6.2.11. Konsumsi Energi

Konsumsi energi dipengaruhi positif oleh konsumsi beras, pendapatan per kapita, dana kesehatan, dan lag konsumsi energi. Konsumsi energi merupakan turunan dari konsumsi beras, apabila konsumsi beras meningkat maka konsumsi energi akan meningkat karena beras merupakan sumber utama karbohidrat yang merupakan sumber energi. Nilai elastisitas sebesar 0.8552 menunjukan bahwa apabila konsumsi beras meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi energi akan meningkat sebesar 8.6 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa pola makan penduduk di daerah penelitian sebagian besar masih didominasi oleh beras sebagai makanan pokok, sehingga perubahan konsumsi beras dengan konsumsi energi searah. Nilai elastisitas kurang dari satu menunjukkan bahwa selain beras masih ada makanan lain sebagai sumber energi di dalam makanan pokok penduduk di daerah penelitian.

Pendapatan per kapita berhubungan positif dengan konsumsi energi, hal ini menunjukan bahwa makanan sumber energi merupakan barang normal sehingga apabila pendapatan naik maka konsumsi energi akan naik. Kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata konsumsi energi masih di bawah angka kecukupan gizi (AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan pendapatan maka sebagian dari pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi konsumsi energi sehingga apabila pendapatan per kapita meningkat konsumsi energi juga meningkat. Untuk masyarakat yang tingkat pendapatannya sudah tinggi dan rata-rata konsumsi energi sudah melebihi standar kecukupan gizi, maka peningkatan pendapatan justru akan

menurunkan konsumsi energi. Pada tabel 27 tersaji hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi energi.

Tabel 27. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Energi Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Konsumsi Energi

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang INTERCEP 312.989317 3..958 0.0001 - - Intercep

CONBRS 141.703236 23.822 0.0001 0.8552 0.9560 Konsumsi beras IKAP 0.257806 2..515 0.0321 0.1535 0.1716 Pendapatan per kapita DPKES 0.00066 0.723 0.4708 - - Pengeluaran kesehatan LCONSENI 0.105435 1.969 0.051 - - Lag konsumsi energi

F Value Prob>F R-Square Dh 243.715 0.0001 0.8403 10.447

Dana kesehatan berhubungan positif tetapi tidak signifikan terhadap konsumsi energi, peningkatan dana kesehatan akan meningkatkan penduduk untuk akses terhadap pangan sumber energi. Hal ini terjadi bisa melalui program-program penyuluhan tentang pentingnya makanan sehat dan seimbang yang diadakan oleh dinas kesehatan, program makanan tambahan dan program sejenisnya.Variasi peubah penjelas dapat menjelaskan variasi konsumsi energi sebesar 84.03 persen.

6.2. 12. Konsumsi Protein

Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi konsumsi protein adalah konsumsi energi, pendapatan per kapita, dummy desentralasi fiskal, dan konsumsi protein tahun sebelumnya.Konsumsi energi signifikan berpengaruh positif terhadap konsumsi protein dengan nilai elastisitas sebesar 0.7827 artinya apabila konsumsi energi meningkat sebesar 10 persen maka konsumsi protein akan meningkat sebesar 7.8 persen. Makanan pokok penduduk di daerah penelitian mengandung komposisi

kandungan energi dan protein yang relatif imbang, sehingga peningkatan dalam konsumsi energi diikuti oleh peningkatan dalam konsumsi protein. Beras mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber energi disamping juga kandungan proteinnya relatif tinggi.

Pendapatan per kapita signifikan berhubungan positif dengan konsumsi protein hal ini menunjukkan bahwa protein merupakan barang normal atau merupakan barang superior dari sisi nilai gizi, sehingga apabila pendapatan naik maka peningkatan sebagian pendapatan akan digunakan untuk meningkatkan konsumsi protein. Kondisi masyarakat di daerah penelitian rata-rata konsumsi protein masih di bawah angka kecukupan gizi (AKG) sehingga apabila mengalami peningkatan pendapatan maka sebagian dari pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi konsumsi protein.

Tabel 28. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Protein Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan Konsumsi Protein

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang INTERCEP -1414..334811 -9.762 0.0001 - - Intercep

CONSENI 0.020636 12.632 0.0001 0.7827 1.5843 Lag konsumsi energi IKAP 5..257806 2.015 00832 0..3502 0.7088 Pendapatan per kapita JMLMIS -2.005260 -3.250 0.0001 -0.0258 -0.0522

Jumlah penduduk miskin

DMDF -4.161020 -9.657 0.0001 - - Dummy desentralisasi LCONPROT 0.505978 5.255 0.0001 - - Lag konsumsi protein

F Value Prob>F R-Square Dh 65.325 0.0001 0.6544 1.824

Jumlah penduduk miskin berhubungan negatif dan signifikan dengan konsumsi protein, hal ini terjadi karena jumlah konsumsi protein per kapita pada masyarakat miskin cenderung belum tercukupi sesuai kebutuhan, sehingga peningkatan jumlah

penduduk miskin akan menurunkan rata-rata konsumsi protein. Pada masyarakat miskin makanan pokoknya sebagian besar sebagai sumber energi sedang kandungan proteinnya relatif kurang karena protein merupakan zat gizi yang relatif lebih mahal.

Dummy desentralisasi fiskal bernilai negatif yang menunjukkan pada masa densentralisasi fiskal konsumsi protein relatif lebih rendah dibanding sebelum desentralisasi fiskal. Rendahnya konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal disebabkan karena rendahnya akses masyarakat terutama dari masyarakat golongan kurang mampu terhadap pangan hal ini juga ditunjukkan bahwa pada masa desentralisasi fiskal konsumsi beras juga lebih rendah. Kondisi ini patut mendapat perhatian karena dengan desentralisasi fiskal yang seharusnya memberi pengaruh kemudahan pada masyarakat untuk bisa mengakses pangan secara seimbang justru konsumsi protein pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil.

6.2. 13. Jumlah Penduduk Miskin

Jumlah penduduk miskin dipengaruhi signifikan oleh pengeluaran kesehatan per penduduk miskin, pendapatan per kapita, jumlah penduduk dan lag jumlah penduduk miskin. Sedang pengeluaran pembangunan tidak berpengaaruh signifikan pada jumlah penduduk miskin.

Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin berhubungan negatif dengan nilai elastisitas sebesar -0.1078 artinya apabila jumlah pengeluaran kesehatan per penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan turun sebesar 1.08 persen. Dana kesehatan bagi penduduk miskin sangat diperlukan, dan peningkatan kesehatan bagi masyarakat miskin merupakan peningkatan produktivitasnya yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bigsten (1992) dan ILO (1976)

yaitu pendekatan yang cocok untuk pengurangan kemiskinan adalah dengan strategi kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan), yang sasarannya adalah peningkatan taraf hidup masyarakat miskin karena apabila kebutuhan dasar masyarakat miskin terpenuhi maka akan menigkatkan produktivitas dan pendapataannya.

Tabel 29. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Barat

Persamaan jumlah penduduk miskin

Parameter T for H0: Prob > |T| Elastisitas Label Variabel Variable Estimate Parameter=0 J. Pendek J. Panjang INTERCEP 31.383654 1.405 0.1622 - - Intercep DPKSMIS -1.813909 -3.225 0.0016 -0.1078 -0.1908 Pengeluaran kesehatan per penduduk miskin IKAP -0.002598 -1.195 0.2341 -0.0192 -0.0341 Pendapatan per kapita PPEMB -0.000032 -0.209 0.8346 - - Pengeluaran pembangunan JMLPDK 0.171142 11.952 0.0001 1.0078 1.7831 Jumlah penduduk LJMLMIS 0.434785 5.172 0.0001 - - Lag jumlah penduduk miskin F Value Prob>F R-Square Dh

55.104 0.0001 0.6679 -

Pendapatan per kapita berhubungan negatif dengan elastisitas sebesar -0.0192 artinya apabila pendapatan per kapita meningkat sebesar 10 persen, maka jumlah penduduk miskin akan berkurang sebesar 0.2 pesen. Peningkatan pendapatan per kapita yang diikuti oleh pemerataan pendapatan akan cenderung menurunkan penduduk miskin, karena masyarakat yang paling bawah tingkat pendapatannya juga akan ikut terangkat bersamaan dengan peningkatan pendapatan per kapita Tetapi peningkatan pendapatan per kapita yang tidak diikuti oleh pemerataaan, dimana penyumbang terbesar dari pendapatan itu hanya beberapa golongan masyarakat yang mampu justeru akan meningkatkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas dari pendapatan per kapita yang inelastis menujukkan bahwa peningkatan

pendapatan tidak sepenuhnya dinikmati oleh golongan masyarakat miskin, tetapi yang menikmati justru dari golongan masyarakat mampu sehigga peningkatan pendapatan hanya kecil sekali bisa mengurangi angka kemiskinan.

Jumlah penduduk berhubungan positif dengan jumlah penduduk miskin dengan nilai elastisitas sebesar 1.0078 artinya apabila jumlah penduduk meningkat sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin akan meningkat sebesar 10.08 persen.

Peningkatan jumlah penduduk apabila tidak diimbangi oleh peningkatan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja justru menimbulkan beban sehingga akan menyebabkan terjadinya kemiskinan. Nilai elastisitas yang elastis menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk harus mendapat perhatian karena kenaikan jumlah penduduk responsif terhadap jumlah kemiskinan. Dengan demikian untuk mengurangi jumlah penduduk miskin pemerintah daerah harus mengerem pertumbuhan penduduk dengan mengatur jumlah dan waktu kelahiran terutama bagi golongan masyarakat tidak mampu dengan menggalakkan program keluarga berencana (KB).

Pengeluaran pembangunan berhubungan negatif dengan jumlah penduduk miskin, diharapkan dengan meningkatnya pengeluaran pembangunan maka akan semakin banyak dana yang tersedia yang bisa digunakan untuk program-program pengurangan kemiskinan. Namun dalam kenyataannya pengeluaran pembangunan tidak signifikan mengurangi jumlah penduduk miskin. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang dijalankan di daerah penelitian masih kurang berpihak pada masyarakat miskin.