• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang 1.1.Latar belakang

2.2. Desentralisasi Fiskal

2.2.4. Upaya Fiskal dan Kinerja Perekonomian Daerah

Kinerja fiskal daerah dapat diukur dengan tiga konsep yang merupakan kerangka dasar kinerja fiskal daerah yaitu : (1) kebutuhan fiskal, (2) ketersediaan fiskal yang merupakan proksi dari potensi daerah, dan (3) kesenjangan fiskal. Ketiga konsep ini sangat terkait dengan perekonomian daerah dalam hal pembiayaan pembangunan daerah termasuk pengadaan barang-barang publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Simanjuntak, 2001).

Kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Secara umum dan mendasar bahwa kebutuhan fiskal sebenarnya adalah total pengeluaran pemerintah daerah yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara teori kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh penerimaan daerah namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah. Bila kebutuhan fiskal meningkat maka akan berdampak meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah harus memenuhi kebutuhan publik untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial rakyatnya. Cara pemikiran keuangan negara ini berbeda dengan keuangan rumah

tangga dan perusahaan. Pembangunan fasilitas publik merupakan salah satu indikasi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fasilitas kesehatan, fasilitas jalan, jembatan serta fasilitas lainnya yang menunjang aktivitas masyarakat dan pengelolaannya oleh pemerintah (Stiglitz, 2000; Pogue and Sqontz, 1976; Musgrave and Peggy, 1989).

Dalam menentukan kebutuhan fiskal daerah ada beberapa konsep yang dibuat untuk lebih mengakomodasikan berapa sebenarnya kebutuhan fiskal daerah, apakah seperti yang telah terealisasi atau yang terealisasi sebenarnya belum mengakomodasikan kebutuhan fiskal daerah yang sebenarnya. Beberapa cara yang dilakukan antara lain adalah menetapkan standar pelayananan minimum tertentu. Kebutuhan fiskal daerah tercermin dari total pengeluaran atau belanja daerah tersebut. Sehingga kebutuhan fiskal merupakan total kebutuhan belanja pemerintahan daerah untuk menjalankan seluruh fungsinya dan tugas pemerintahan daerah dengan standar pelayanan minimum tertentu ( Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Kapasitas fiskal atau disebut juga dengan potensi daerah berdasarkan Undang-Undang No 22 tahun 1999, yang disesuaikan untuk formulasi DAU memiliki variabel-variabel yang membentuk potensi daerah tersebut terdiri dari indeks industri, bagi hasil sumber daya (BHSDA), pajak penghasilan orang pribadi (PPh) serta pajak bumi bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHATB) (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Kapasitas fiskal merupakan penjumlahan dari PAD dan Total Bagi Hasil (TBHS) yang terdiri dari Bagi Hasil Pajak (BHTX) dan Bagi Hasil SDA atau Bagi Hasil Bukan Pajak (BHNT). Indeks industri dihitung dengan membandingkan PDRB sektor industri dan jasa daerah tertentu dengan rata-rata PDRB industri dan jasa nasional. Indeks industri merupakan faktor penyesuaian terhadap PAD suatu daerah karena sektor yang termasuk di dalam sektor industri dan jasa adalah sektor yang

diperkirakan dapat mempengaruhi besar kecilnya PAD. BHSDA secara langsung menunjukkan berapa besar potensi SDA di suatu daerah. Sedang pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, menunjukkan perbedaan potensi daerah atas dasar potensi SDM-nya. Suatu daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memilki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya potensi penerimaan yang berasal dari pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan PAD. Formulasi potensi daerah berdasarkan perumusan dalam DAU tahun 2002 adalah : Potensi Daerah = PAD + ( PBB + BPHTP + BHSDA +PPh), dimana PAD adalah angka estimasi penerimaan PAD yang dihitung dengan mengalikan PAD rata-rata dengan indeks industri daerah tersebut ( Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2002).

Fiskal gap atau kesenjangan fiskal adalah selisih antara ketersedian fiskal daerah dengan kebutuhan fiskal daerah. Dengan kondisi tersebut maka bila suatu daerah memerlukan pembiayaan kebutuhan daerah yang lebih besar tetapi tidak mampu membiayai sendiri dengan kemampuan atau potensi daerah yang ada, maka akan menyebabkan kesenjangan fiskal yang lebih besar. Berdasarkan formulasi DAU, maka daerah yang memiliki kesenjangan fiskal yang semakin besar akan memperoleh bobot yang lebih besar, sehingga akan menerima DAU yang lebih besar. Artinya daerah yang menerima DAU yang lebih besar, menunjukkan daerah tersebut potensi sumber dayanya serta PADnya kecil. Sehingga pemerintah pusat melalui instrumen dana penyeimbang akan memenuhi kekurangan dari potensi daerah untuk pembiayaan pengeluaran daerah, dengan standar kebutuhan mininum daerah dan berdasarkan besarnya dana untuk DAU yang tersedia untuk Provinsi (Brodjonegoro, 2001).

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa DAU yang diharapkan daerah dapat menutupi kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan fiskal daerah, tidak dapat dijadikan satu-satunya upaya menutupi kesenjangan fiskal. Perhitungan formulasi

DAU dari pusat, tidak akan mampu menutupi kebutuhan fiskal daerah, sehingga diperkirakan masih ada daerah yang dalam kinerja keuangan daerahnya akan terus mengalami defisit dan pembangunan daerahnya tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana akibat kesenjangan fiskal tersebut (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Keadaan tersebut akan menimbulkan manuver-manuver politik termasuk lobi-lobi dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat untuk meningkatkan penerimaan DAU untuk daerahnya. Bila kondisi tersebut terus terjadi maka kemandirian daerah yang merupakan tujuan dari otonomi daerah, akan semakin jauh untuk dicapai. Pembangunan daerah yang hanya mengandalkan standar mininum tentu saja tidak akan memuaskan masyarakat, sehingga akan berdampak terhadap kinerja perekonomian daerah. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa bila daerah menginginkan kebutuhan masyarakat tidak standar minimum, tapi lebih besar dari itu maka daerah tidak boleh hanya berharap dari DAU tersebut. Daerah harus meningkatkan upaya fiskalnya dengan meningkatkan potensi daerah, sesuai dengan kemampuan daerahnya atau menggalakan investasi daerah (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan kinerja keuangan daerah. Bagaimana pemerintah daerah berusaha agar dapat meningkatkan ketersediaan fiskal atau mengintensifikasi dan mengekstensifikasi potensi daerah. Usaha pajak merupakan jumlah pajak yang sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan dibandingkan dengan potensi pajak (tax capacity) yaitu jumlah pajak seharusnya mampu dikumpulkan dari obyek pajak (tax base), yang berupa pendapatan per kapita.Rasio antara usaha pajak dan potensi pajak ini disebut dengan kinerja pajak (tax performance) (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Kinerja keuangan akan berpengaruh pada kinerja perekonomian suatu daerah. Daerah yang pandai dalam mengupayakan fiskalnya sehingga memiliki kinerja keuangan yang baik akan memberikan pengaruh positif pada kinerja perekonomian. Kinerja keuangan yang baik akan berpengaruh dalam alokasi barang publik sehingga pemerintah akan bisa memberikan pelayanan publik yang lebih baik, dan hal ini akan berdampak pada kinerja perekonomian daerah (Brodjonegoro, 2001; Simanjuntak, 2001).

Anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu. Anggaran pemerintah daerah merupakan : (1) arah kebijakan pemerintah daerah dalam hal-hal penerimaan maupun pengeluaran, (2) pencapaian atau realisasi dari pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang direncanakan di awal periode anggaran, (3) kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan rencana yang sudah ditetapkan di awal, (4) kemampuan pemerintah daerah dalam memilih kebijakan yang sesuai dengan kapasitasnya, dan (5) kemampuan pemerintah daerah untuk menjaga kesinambungan kebijakan anggaran tahun tertentu dengan menimbang pencapaian annggaran di periode sebelumnya (Brodjonegoro, 2001; Jhingan, 2000; Departemen Keuangan, 2004).

Anggaran pemerintah memiliki beberapa fungsi dasar yang dapat dikelompokkan dalam kebijakan fiskal dan manajemen. Sebagai instrumen kebijakan fiskal pertama, anggaran dapat digunakan untuk mengatur alokasi belanja untuk pengadaan barang-barang dan jasa-jasa publik (public goods dan public services). Berdasarkan skala prioritas yang ditetapkan, pemerintah dapat mengalokasikan nilai belanja tertentu untuk kebutuhan atau kegiatan tertentu. Fungsi fiskal kedua, yaitu anggaran berfungsi distribusi, melalui anggaran pemerintah dapat membuat kebijakan

yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi kesenjangan antar wilayah, kelas sosial maupun sektoral.Fungsi fiskal ketiga adalah stabilisasi, yaitu bila terjadi ketidakseimbangan yang ekstrem misalnya harga bahan pokok yang sangat tinggi atau sangat rendah maka pemerintah dapat melakukan intervensi melalui anggaran untuk mengembalikan tingkat harga pada titik yang rasional (Departemen Keuangan, 2004; Jhingan, 2000).

Anggaran dari sisi manajemen memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu sebagai (1) pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya pada periode yang akan datang, (2) sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan legeslatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi diatas pundak publik, maka anggaran bisa berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat pemerintah, dan (3) anggaran dapat digunakan masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan program-program yang direncanakan (Departemen Keuangan, 2004; Jhingan, 2000).

2.3. Kemiskinan

Dalam pokok bahasan ini akan dikaji tentang konsep kemiskinan secara mendalam, tipe dan faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan dijelaskan beberapa indikator yang digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur tingkat kemiskinan. Kemiskinan menyangkut konsep yang multidemensional dalam penelitian ini kemiskinan dibatasi pada konsep yang berhubungan dengan faktor ekonomi dan kriteria yang digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah kriteria yang menurut Badan Pusat Statistik ( BPS).

2.3. 1. Konsep dan Indikator Kemiskinan

Persoalan kemiskinan barangkali seumur dengan sejarah manusia dan mungkin akan tetap ada selama kehidupan manusia di bumi ini masih ada. Hal ini tersirat pula di semua ajaran agama, untuk memberikan derma kepada orang miskin. Dengan kata lain yang miskin itu akan tetap ada sepanjang masa. Masalahnya adalah bagaimana meminimumkan jumlahnya dan memberikan perlakuan yang adil dan sewajarnya kepada kelompok masyarakat miskin ( Hasibuan, 2000).

Walaupun kemiskinan telah ada sepanjang sejarah manusia, tetapi mendefinisikannya tidaklah mudah karena adanya berbagai pandangan tentang masalah kemiskinan itu sendiri. Itulah sebabnya kemiskinan menjadi tidak mudah menjabarkannya maupun mengukurnya secara persis karena kemiskinan mengandung unsur-unsur dan juga menyangkut nilai dan persepsi yang sering kali bersifat relatif (Supriatna, 1997).

Pengertian kemiskinan ada bermacam-macam, diantaranya adalah : kriteria kemiskinan menurut BPS dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan. Kebutuhan dasar untuk makanan adalah sebesar 2100 kkal energi per kapita per hari ( Makmun, 2003; Muharminto, 1993).

Sedang kriteria kemiskinan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah keluarga miskin pra sejahtera yaitu apabila : (1) tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, (2) seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, (3) seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian, (4) bagian terluas dari

rumahnya berlantai tanah, dan (5) tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Kemiskinan menurut Bank Dunia adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1.00 per hari ( Supriatna, 1997).

Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang mencerminkan keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan (Supriatna, 1997).

Bigsten (1992) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah keadaan serba kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan serba miskin atau kekurangan modal, baik dalam pengertian uang, pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum maupun akses terhadap fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja.

Menurut Todaro (2000) bahwa pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin, atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Konsep ini sering disebut dengan kemiskinan absolut, yang dimaksudkan untuk memenuhi tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makan, pakaian dan perumahan guna menjamin kelangsungan hidup.

Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana orang atau kelompok orang tidak mempunyai kemampuan, kebebasan, asset dan aksesibilitas untuk kebutuhan mereka di waktu yang akan datang serta sangat rentan (vulnerable) terhadap resiko dan tekanan yang disebabkan oleh penyakit dan peningkatan secara tiba-tiba atas harga-harga bahan pangan dan uang sekolah (Gemmel, 1992). Berg (1981) dan Sen (2002) mengukur kemiskinan dari perspektif yang lebih luas yaitu minimnya penghasilan, tidak tersedianya akses kepada pengetahuan, sumber daya serta layanan sosial dan kesehatan, keterasingan dari arus utama pembangunan dan ketidak mampuan memenuhi kebutuhan pokok. Dengan perspektif ini minimnya penghasilan hanyalah merupakan salah satu unsur, yang lebih mendasar adalah ketidakmampuan untuk mengakses sumber-sumber ekonomi.

Sen (1981) mencoba melihat kemiskinan melalui pendekatan kapabilitas (capability approach). Konsep kemampuan menunjukkan adanya kebebasan atau peluang yang dimiliki oleh seseorang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Seseorang disebut miskin apabila dia tidak memiliki kapabilitas dan peluang yang sangat terbatas untuk meningkatkan kesejahteraannya, minimnya kemampuan dasar untuk mencapai tingkat kesejahteraan minimal yang telah ditentukan.

Indikator yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan dan kesenjangan kemiskinan, pendekatan di dalam mengukur tingkat kemiskinan tersebut yaitu (1) headcount measure, yaitu memperkirakan jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan, dan (2) poverty gap adalah memperhitungkan jumlah dana yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan (BPS; 2005). Ukuran lain yang digunakan untuk melihat tingkat garis kemiskinan yang ada di tingkat masyarakat adalah dengan melihat pengeluaran dan penerimaan per kapita yang akan dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang dikeluarkan BPS.

Menurut Esmara ada beragam alternatif ukuran garis kemiskinan dengan memakai ukuran ”dibawah rata-rata”, yaitu angka (1) konsumsi beras (kg per orang), (2) konsumsi sembilan bahan pokok, (3) pengeluaran rumah tangga (Rp/ orang), dan (4) konsumsi kalori dan protein / orang/ hari (secara terpisah) dengan membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa atau kota. Di bawah rata-rata itulah yang disebut miskin. Tetapi masih ada alternatif lain yang lebih tepat yaitu di bawah 50 dan median. Kekurangan pada cara / ukuran relatif tersebut adalah garis kemiskinan itu tidak dihubungkan dengan keperluan pokok, paling tidak keperluan pangan dimana patokannya makin mantap, yaitu berdasarkan susunan umur/ sex, rumah tangga, jenis pekerjaan dan sebagainya. Cara dari segi kebijakan, yaitu bagaimana dan berapa besarnya biaya usaha mengatasi kemiskinan oleh masyarakat luas dan oleh golongan miskin tersebut ( Makmun, 2003).

Menurut Sajogyo (1996) garis kemiskinan mempunyai ciri-ciri : (1) spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi ”nilai ambang kecukupan pangan” (food threshold), dan (2) menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Garis kemiskinan ciri pertama dinyatakan dalam Rp /bulan, dalam bentuk equivalen nilai tukar beras (kg/ orang/ bulan) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar zaman. Memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena : (1) dalam survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka penghasilan, (2) sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, pemberian barang modal yang dimakan, mekanisme transfer penghasilan di lingkungan masyarakat tersebut, dan (3) data dari BPS mulai banyak tersedia. Hasil klasifikasi adalah sebagai berikut : (1) untuk perdesaan: (a) miskin = pengeluaran rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, (b) miskin sekali =

pangan tak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, dan (c) paling miskin dengan pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun., dan (2) untuk perkotaan : (a) miskin = pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, (b) miskin sekali = dibawah 380 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun, dan (c) paling miskin = dibawah 270 kg nilai tukar beras/ orang/ tahun.