• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Konsep Ekohidrolik

Ekohidrolik berasal dari kata ecological hydraulics yaitu konsep yang mengembangkan unsur ekologi atau lingkungan dalam pengelolaan sungai. Konsep ini merupakan salah satu bagian dari pengelolaan sumber daya air terpadu. Sebagaimana uraian Naiman et al. (2007) bahwa dalam pengelolaan sumber daya air terpadu (IWRM) terdapat empat konsep yaitu hydroecology, aquatic ecohydrology, ecohydraulics dan environmental flows. Adapun definisi

ecohydraulic adalah konsep atau kajian yang mengintegrasikan antara proses fisik dan respon ekologi pada sungai, estuaria dan lahan basah.

Herricks dan Suen (2003) menguraikan bahwa ekohidrolik merupakan konsep yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi dalam analisa hidrolika lingkungan yang memperhitungkan keberadaan organisme pada saluran. Selanjutnya Dong (2004) menguraikan bahwa konsep ekohidrolik yang mengintegrasikan rekayasa hidrolika dengan ekologi. Konsep ini menguraikan tentang pengaruh rekayasa hidrolika pada sistem ekologi sungai, syarat kesehatan dan keberlanjutan ekosistem akuatik.

Dalam penanggulangan banjir secara ekohidrolik, maka komponen-komponen daerah aliran sungai dipandang sebagai suatu kesatuan sistem ekologi dan hidrolik secara integral. Berbeda dengan pengelolaan sungai secara konvensional yang hanya memandang daerah aliran sungai sebagai sistim hidrolik sehingga air diharapkan mengalir secepatnya ke daerah hilir. Konsep ekohidrolik

bertujuan untuk menahan atau merentensi air di DAS bagian hulu, tengah dan hilir secara merata. Cara ini juga sekaligus mempertahankan daerah bantaran sungai sebagai daerah penyimpan air dan dapat menanggulangi kekeringan pada musim kemarau. Pemanfaatan vegetasi dalam pengelolaan sungai merupakan tanggapan atas pengelolaan sungai yang bersifat hidrolik murni.

Adapun kelemahan dari konsep hidrolik murni yaitu tidak bersifat berkelanjutan, yakni bangunan seperti tanggul akan berkurang fungsinya pada masa tertentu sesuai dengan umur rencana. Selain itu, dalam masa pemakaiannya, perlu dilakukan tindakan pemeliharaan secara berkala. Pengelolaan sungai dengan konsep hidrolik murni menyebabkan hilangnya karakter alamiah dari sungai seperti pulau, delta dan meander. Keanakeragaman hayati sungai juga berkurang dan konservasi air menurun.

Maryono (2007) menguraikan bahwa penanganan banjir dengan konsep ekohidrolik secara konkrit terdiri atas: konservasi hutan, konservasi air, penataan tata guna tanah, penataan bantaran sungai serta pencegahan erosi. Konservasi hutan pada DAS bagian hulu dilakukan untuk meningkatkan retensi dan tangkapan air. Hal ini sesuai dengan uraian Asdak (2007) bahwa secara umum peranan hutan dalam menurunkan besaran banjir adalah melalui peran perlindungannya terhadap permukaan tanah dari gempuran kinetis air hujan (proses terjadinya erosi). Erosi dan tanah longsor pada dapat mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada sungai dan menyebabkan terjadinya banjir.

Konservasi air pada penanganan banjir yaitu dengan berupaya menyebarkan jumlah air yang mengalir di sepanjang alur sungai. Maryono (2007) menguraikan bahwa konsep ekohidrolik menganut pada konsep distribusi banjir yaitu banjir besar yang terjadi secara lokal dibagi-bagi menjadi banjir kecil di sepanjang alur sungai. Banjir kecil tersebut diperlukan oleh ekosistem sepanjang sungai sebagai kelangsungan hidup flora dan fauna. Selain itu, konsep ini juga memungkinkan diaktifkannya situ atau embung alamiah sebagai kantong air.

Penataan tata guna tanah pada daerah aliran sungai memberikan pengaruh terjadinya banjir. Asdak (2007) menguraikan bahwa: perubahan tata guna lahan khususnya perubahan tegakan hutan tampaknya akan memberi pengaruh terhadap terjadinya banjir dengan periode ulang 5 sampai 20 tahun. Pengaruh itupun terjadi

dengan catatan bahwa perubahan dari hutan menjadi bentuk tata guna lahan selain hutan, terutama tata guna lahan yang bersifat lebih memadatkan permukaan tanah sehingga menurunkan laju infiltrasi tanah atau meningkatkan air larian. Hasil penelitian Suroso dan Susanto (2006) menunjukkan bahwa perubahan tata guna lahan di DAS Banjaran sejak tahun 1994 hingga 2002 memberikan pengaruh terhadap debit banjir.

Konsep ekohidrolik juga mengaktifkan daerah bantaran sungai sebagai retensi banjir. Sebagai penyangga ekologi, bantaran sungai merupakan areal penting bagi keberlanjutan sungai. Onrizal (2005) menguraikan bahwa bantaran sungai merupakan areal sempadan kiri dan kanan sungai yang terkena/terbanjiri luapan air sungai, baik dalam periode waktu yang pendek maupun periode waktu yang panjang, yang merupakan daerah peralihan (ekoton) antara sistem akuatik dengan ekosistem daratan. Sebagai ekoton, daerah bantaran sungai memiliki peran penting antara lain: menyediakan habitat yang unik bagi biota, mengatur suplai organik kesistem akuatik, sebagai indikator hidroklimat, dan mempunyai visual quality yang kuat dalam menciptakan warna, variasi dan citra yang berbeda serta menciptakan wilderness experience.

Secara teknis penataan sempadan sungai dapat dibagi atas empat bagian yaitu: lebar bantaran banjir (flood plain), lebar bantaran longsor (sliding zone), lebar bantaran ekologi penyangga (ecological buffer zone) dan lebar keamanan (safety zone) (Maryono, 2007). Hal tersebut tergambar pada Gambar 9.

Gambar 9. Lebar sempadan sungai dengan pendekatan ekohidrolik. (Maryono, 2007)

Bantaran banjir adalah areal tepi sungai yang tergenangi air pada saat banjir. Peterson et al. (1992) menguraikan beberapa istilah terkait dengan bantaran banjir yaitu buffer strip, riparian zone, floodplain dan corridor. Semua istilah tersebut menunjukkan daerah antara aliran sungai dan dataran di sekitarnya. Tumbuhan berupa pohonan, rumputan dan semak-semak atau campuran berbagai bentuk dan jenis vegetasi yang ditanam sepanjang tepi kiri dan kanan sungai disebut riparian buffers strips atau filter strips. Secara umum istilah yang digunakan adalah jalur hijau sungai. Penyangga riparian berfungsi untuk menjaga kelestarian fungsi sungai dengan cara menahan atau menangkap tanah (lumpur) yang tererosi serta unsur-unsur hara dan bahan kimia termasuk pestisida yang terbawa dari lahan di bagian kiri dan kanan sungai agar tidak sampai masuk ke sungai. Selain itu, penyangga riparian juga menstabilkan tebing sungai. Pohonan yang ditanam di sepanjang sungai juga lebih mendinginkan air sungai yang menciptakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan berbagai jenis binatang air.

Ferrera dan Aquiar (2006) menguraikan bahwa komposisi tanaman dan pola struktural pada vegetasi aquatia dan riparian menunjukkan indikator penting dalam mengendapkan erosi. Olehnya itu, pendekatan ekologi pada daerah bantaran sungai diarahkan untuk berperan dalam proses sedimentasi. Dalam kegiatan konservasi sungai secara ekologis perlu diperhitungan jenis tanaman dan daya tahannya akan kondisi basah dan kering. Vandersande et al. (2001) juga menguraikan bahwa Tamarix ramosissima, Baccharis salicifolia, Salix gooddingii, Populus fremontii dan Pluchea sericea memiliki ketahanan akan salinitas dan genangan air pada Sungai Colorado bagian hilir.

Pada sliding zone, dilakukan penataan vegetasi dengan tujuan agar longsoran tebing dapat dicegah. Penataan ini dilakukan dengan penerapan soil bioegineering yaitu melakukan rekayasa biologi terhadap tanah untuk mencegah erosi dan keruntuhan lereng. Teknik ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan memanfaatkan material lokal sehingga relatif murah dan mudah jika dibandingkan dengan teknik perlindungan tebing yang konvensional.

Howell dalam Lammeranner et al. (2004) menguraikan bahwa soil bioegineering adalah penggunaan tanaman hidup atau potongan material tanaman

secara bersama-sama atau parsial untuk mengontrol erosi dan perpindahan tanah. Budinetro (2001) dalam Maryono (2005) mengungkapkan bahwa tanaman yang dapat digunakan sebagai pelindung tebing sungai di Indonesia adalah Vetiveria Zizanioides (rumput vetiver), Ipomoea Carnea (karangkungan) dan bambu.

Selain itu, vegetasi pada bantaran sungai diharapkan dapat memperkecil kecepatan air. Helmio dan Jarvela (2004) menguraikan bahwa konsep

bioengineering sangat berpengaruh pada hidrolika saluran yaitu pada faktor friksi

Darcy Weisbach, koefisien Manning dan kekasaran dinding saluran. Ketiga faktor ini berpengaruh pada kecepatan aliran air. Selanjutnya Jarvela (2004) menguraikan hasil penelitiannya bahwa dedaunan pada vegetasi bantaran banjir berpengaruh terhadap resistensi aliran air. pengaruh tersebut berbeda-beda untuk setiap jenis dedaunan.

Metode perhitungan pengaruh daerah bantaran sungai terhadap kecepatan air dan debit dilakukan berdasarkan persamaan yang diuraikan dalam Maryono (2005) sebagai berikut:

Kekasaran (kT k

) pada daerah bantaran sungai dihitung dengan rumus:

T = c. bII + 1.5 dP Keterangan:

………(33)

c = koefisien komposisi vegetasi bII

d

= lebar bantaran sungai (meter)

p

Koefisien komposisi vegetasi dihitung dengan rumus: = diameter vegetasi

C = 1.2 – 0.3 (B/1000) + 0.06 (B/1000)1.5 Keterangan :

………(34)

B = parameter vegetasi yang dihitung dengan rumus:

p y p x d a d a B 1 . 2 = ………(35) Keterangan: ax a

= jarak antar vegetasi arah melintang (m)

y

d

= jarak antar vegetasi arah memanjang (m)

- Perhitungan pengaruh lebar bantaran sungai terhadap debit air untuk ketiga jenis vegetasi. Debit air dihitung dengan persamaan:

Q = (A1 x V1) + (A2 x V2) + (A3 x V3) ………(36) Keterangan:

A1, A2, A3 = luas penampang (m2 V1,V2, V3 = kecepatan air (m/s) )

Q = debit (m3

Perhitungan luas penampang didasarkan pada notasi yang diuraikan pada Gambar 10.

/s)

Gambar 10. Potongan penampang sungai

Gambar 10 menunjukkan bahwa Q1 dan Q3 adalah kapasitas bantaran sungai dalam menampung luapan air dari palung sungai, sedang Q2

Gambaran berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sungai dengan pendekatan ekohidrolik dapat diterapkan dengan penanaman vegetasi pada bantaran sungai. Kualitas ekologi sungai termasuk pada bantarannya akan meningkatkan stabilitas sungai sehingga pola aliran dan angkutan aliran tidak menyebabkan kerusakan pada ekosisten.

menunjukkan kapasitas sungai.

Sebagai bagian pengelolaan sumber daya air, maka pengelolaan sungai yang memperhitungkan lingkungan fisik dinilai mampu mempertahankan dinamika sungai sebagai ekosistem yang stabil. Mathuwatta dan Chemin (2002) menguraikan bahwa perencanaan sumber daya air tergantung pada lingkungan fisik yaitu vegetasi dan kondisi hidrologi sungai. Pertumbuhan vegetasi baik secara alami maupun dengan campur tangan manusia berpengaruh terhadap

b3 b2 h2 h1 Q1 Q3 Q2 H b b1

dinamika sungai. Zonasi pertumbuhan vegetasi lebih baik dibandingkan dengan zonasi agroekologi eksisting dan pemetaan land use pada permukaan sungai.

Dengan demikian, maka konsep pengelolaan sungai secara ekohidrolik merupakan konsep yang kompleks dan harus melibatkan semua unsur terkait. Reed (2009) menguraikan bahwa terdapat tiga tahapan yang dilaksanakan dalam menerapkan pengelolaan sungai yang berkelanjutan yaitu keterlibatan stakeholder, pengembangan teknis, dan keterlibatan semua unsur pemerintah.