• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAUT JAWA

III. KONSEP KELANGKAAN DAN ALOKASI SUMBERDAYA AIR

3.1. Konsep Kelangkaan Air DAS 1. Tahap Pengembangan DAS

Sebelum melakukan pemodelan pengelolaan sumberdaya air di suatu wilayah, perlu diketahui ketersediaan air di wilayah bukan hanya dari sisi suplai tetapi juga sisi permintaan. Kondisi ketersediaan air di DAS dapat dijadikan pedoman sampai sejauh mana ketersediaan air dapat memenuhi kebutuhan yang ada serta stok air yang tersisa di wilayah tersebut, atau seberapa besar kemungkinan terjadinya kelangkaan air di wilayah tersebut.

Revolusi hijau yang bertujuan untuk mencapai ketersediaan pangan yang cukup, menggunakan varitas tanaman dengan produktivitas tinggi memerlukan input pupuk dan air lebih banyak, berakibat peningkatan pemakaian air pada pertanian irigasi, selain itu berkontribusi pada degradasi lingkungan antara lain kualitas air akibat peningkatan pemakaian bahan kimia oleh sektor pertanian.

Kendati peningkatan dalam produksi pertanian dan berhasil menghasilkan yang berlimpah, di sisi lain beberapa wilayah mengalami kelangkaan air ekonomi, yakni kelangkaan yang diakibatkan terbatasnya finansial untuk pengembangan sumberdaya air. Selain peningkatan penggunaan bahan kimia oleh sektor pertanian, pertumbuhan kota besar yang pesat, perkembangan industri telah menurunkan mutu air sungai, danau, akuifer, dan ekosistem.

Bermacam-macam pemahaman kelangkaan air telah dikembangkan dalam pengelolaan suatu DAS. Falkenmark (2000), dalam konsepnya memisahkan air ke dalam ”air hijau” dan ”air biru”. Air biru berperan untuk runoff sungai, sedangkan air hijau akan manguap sebelum mencapai sungai dan akan turun sebagai air hujan, sektor pertanian bergantung pada kedua-duanya.

Sumber daya air merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui baik secara alami maupun dengan pengolahan air limbah menjadi air yang layak untuk digunakan kembali. Air yang tersedia dan dapat digunakan setiap waktu sangat tergantung pada infrastruktur yang ada.

Pada awalnya, air sungai mengalir dengan bebas ke lautan, dengan meningkatnya aktivitas manusia, infrastruktur mulai dibangun guna memenuhi kebutuhan air untuk minum dan pangan. Setiap penambahan infrastruktur air biru berarti menambah persediaan air yang dapat digunakan, langkah-langkahnya seperti yang terlihat pada Gambar 3. Pengalihan hutan menjadi lahan pertanian membuat sejumlah air hujan menambah air permukaan ("air hijau", jika air ini tidak masuk ke siklus sumber daya air dapat diperbaharui).

RENEWABLE UTILIZABLE DEVELOPMENT AVAILABLE DEPLETED TIME B lue W a ter Gr e en W a ter UTILIZATION ALLOCATION

Sumber : Molden et. al. (2001)

Gambar 3. Tahap Pengembangan Daerah Aliran Sungai

Ketika permintaan meningkat dan air yang tersedia lebih banyak maka makin banyak juga air yang dihabiskan. Semakin banyak lahan pertanian dialihkan, berarti lebih banyak air irigasi dialihkan ke sektor lainnya, peningkatan air untuk sektor industri dan perkotaan (domestik) menyebabkan jumlah air yang

41

digunakan mendekati persediaan air yang tersedia, dan mungkin diperlukan infrastruktur baru baik untuk penyimpanannya maupun penyalurannya.

Seringkali terjadi pengambilan air melebihi sumberdaya yang tersedia, yang menyebabkan ketidak seimbangan. Sebagai contoh, di beberapa wilayah di dunia (Postel, 1999), mengalami penurunan tingkat air tanah, sementara di wilayah lain, air digunakan sangat intensif dimana aliran dikurangi sampai pada satu titik di mana garam dan polutan tidak bisa dihilangkan dari DAS tersebut.

Gambar 3 menggambarkan tiga tahap penting pengembangan DAS yang implisit dalam diskusi di atas (Molden et.al., 2001), tahapan pengembangan tersebut terdiri dari :

1. Pengembangan, pada tahap ini secara alamiah jumlah air tidak terbatas, dimana peningkatan permintaan mendorong pembangunan infrastruktur baru dan perluasan lahan pertanian.

2. Utilisasi, pada tahap ini pembangunan infrastruktur telah berlangsung dengan sasaran utamanya perbaikan sarana penyimpanan dan pengelolaan pengiriman (deliver) air, kompetisi antar sektor masih sangat kecil. Lembaga sangat memperhatikan isu sektoral seperti pengelolaan air irigasi, atau pengelolaan suplai air minum.

3. Alokasi, tahap ini terjadi ketika pengambilan air mendekati jumlah yang tersedia, untuk pengembangan lebih lanjut terbatas, nilai sumber daya air meningkat sehingga air akan direalokasikan dari yang nilainya lebih rendah untuk " nilainya yang lebih tinggi ".

Dalam Tabel 12 menunjukkan tahapan pengembangan yang terjadi pada suatu DAS dengan unsur-unsurnya yang diuraikan lebih rinci oleh Molden et.al. (2001). Diawali dengan pembangunan infrastruktur pada tahap pengembangan, perbaikan operasional dan manajemen pada tahap utilisasi dan berpindah ke

nilai pemakaian yang tinggi pada tahap alokasi. Pada tahap pengembangan, air yang tersedia melebihi dari yang dibutuhkan, kelangkaan air yang terjadi disebut kelangkaan ekonomi, yakni tidak tersedianya finansial untuk mengembangkan sumberdaya air tersebut. Konflik tidak terjadi dan nilai ekonomi air masih rendah. Tabel 12. Unsur-unsur Tahap Pengembangan Daerah Aliran Sungai

Pengembangan Utilisasi Alokasi

Pembangunan Perbaikan operasional

dan manajemen

Berpindah ke nilai pemakaian yang lebih tinggi

Pengelolaan distribusi suplai

Investasi dan perbaikan operasional dan

menajemen

Pengelolaan permintaan

Kelangkaan air ekonomi Lokalisasi kelangkaan air Kelangkaan air fisik Nilai air rendah Peningkatan nilai air Nilai air tinggi Lebih sedikit konflik air Konflik dalam sistem Konflik antar sistem Pemakaian air tanah Manajemen konjuktif Pengaturan air tanah Pelemahan Polusi Muncul polusi Pembebasan polusi Memasukkan / mengeluarkan orang miskin dalam pengembangan fasilitas Dalam pengambilan keputusan operasional dan manajemen termasuk orang miskin

Orang miskin

kehilangan akses ke air

Sumber : Molden et.al. (2001).

Sedangkan tahap utilisasi nilai ekonomi air mulai terbentuk dan konflik telah terjadi, ketersediaan air mendekati yang dibutuhkan, kualitas air mulai menurun. Tahapan alokasi merupakan tahapan akhir dimana ketersediaannya terbatas sehingga air bukan lagi sebagai barang publik melainkan sebagai barang ekonomi, dan akan disalurkan ke pengguna dengan nilai ekonomi yang tinggi.

3.1.2. Kelangkaan Air

Selain tahap pengembangan DAS, unsur penting lainnya dalam penelitian sumberdaya air yakni kelangkaan air suatu wilayah. Kelangkaan air ini

43

merupakan ukuran perbandingan antara air yang tersedia dengan yang digunakan. Berbagai perhitungan kelangkaan air telah dilakukan diantaranya berdasarkan indeks yang digunakan PBB (1997) dan diadopsi Vorosmarty et.al. (2000), yakni rasio pengambilan air tahunan W dengan air yang tersedia Q. Menurut Heap et.al. (1998) indeks kelangkaan air (RWS) diturunkan sebagai berikut WS

W S

R

Q

-=

(1)

dimana W = pengambilan air tahunan S = parameter desalinisasi Q = air yang tersedia

Secara umum indeks kelangkaan air adalah sebagai berikut RWS < 0.1 tidak ada kelangkaan air 0.1 < RWS < 0.2 kelangkaan air rendah 0.2 < RWS < 0.4 kelangkaan air moderate 0.4 < RWS kelangkaan air tinggi

Pengukuran kelangkaan sumberdaya air diatas, menunjukkan indeks kelangkaan untuk air yang ada di saluran, bukan air yang tersisa di waduk. Indeks kelangkaan ini merupakan kelangkaan air secara fisik tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi air. Asumsinya bahwa sumberdaya air merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dan waktu pembaharuan lebih cepat dibandingkan dengan air tanah serta tanpa memperhitungkan kualitas air yang ada.

Dalam konteks ekonomi sumberdaya pengukuran kelangkaan bukan hanya sekedar dari segi fisik saja tetapi dengan menghitung sisa umur ekonomisnya. Hal ini dengan menghitung cadangan ekonomis yang tersedia dibagi dengan tingkat ekstraksi. Pengukuran ini hampir sama dengan indeks

kelangkaan menurut Heap et.al. (1998), kelemahannya tidak mempertimbangkan aspek ekonomi, seperti harga dan biaya ekstraksi.

Hanley et.al. (1997) diacu dalam Fauzi (2004) menyarankan menggunakan pengukuran moneter dengan cara menghitung harga riil, unit cost dan rente ekonomi dari sumberdaya. Pengukuran moneter inipun masing-masing mempunyai kelebihan dan keterbatasan, yang dapat dilihat pada Tabel 13. Pengukuran yang dianggap memiliki keunggulan dibandingkan dengan pengukuran lainnya, yakni pengukuran berdasarkan rent kelangkaan (scarcity rent), Pengukuran ini dianggap lebih sesuai dengan kondisi sumberdaya air saat ini.

Tabel 13. Keunggulan dan Keterbatasan Pengukuran Kelangkaan Sumberdaya

Pengukuran Kelangkaan

Keunggulan Keterbatasan 1. Harga Riil Tingkat harga sumberdaya

mencerminkan tingkat kelangkaan

- Jika ada distorsi pasar, harga tidak mencerminkan kelangkaan - Harga output sumberdaya hanya

mencerminkan harga pasar, tetapi tidak mencerminkan biaya oportunitas sosial akibat ekstraksi sumberdaya tersebut

- Tidak adanya deflator yang tepat 2. Unit Cost Unit cost menunjukkan

kelangkaan sumberdaya, makin tinggi unit cost nya

makinlangka sumberdaya tersebut

- Kesulitan mengukur kapital akibat perubahan teknologi produksi - Substitusi input tidak diperhitungkan - Unit cost berdasarkan informasi

masa lalu bukan forward looking

3. Rente kelangkaan (scarcity rente)

- Berdasarkan teori kapital sumberdaya, dimana rate of

return manfaat yang diperoleh

sama dengan biaya oportunitas dari aset lain - Makin tinggi scarcity rent

makin langka sumberdaya