• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAUT JAWA

VII. ALOKASI AIR INTERTEMPORAL 7.1. Alokasi Air Aktual dan Optimal

8.3. Perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi

Perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi, merupakan kombinasi dari 5 skenario diatas. Kombinasi pertama antara skenario 2 (perubahan permintaan air baku PDAM dan industri) dengan skenario 3 (perubahan harga air baku PAM DKI). Hasil optimasi Model DIJ skenario 6, tidak mempengaruhi alokasi air ke sektor pertanian di semua wilayah pada musim tanam I. Perubahan alokasi air terjadi pada musim tanam II, dan hanya pada wilayah Cikarang B dan Bekasi. Alokasi optimum yang dipilih sama dengan alokasi optimum hasil optimasi Model DIJ skenario 2. Sedangkan luas lahan optimum yang diairi sama dengan hasil optimasi model dasar (Tabel 26), dengan produktivitas yang tidak berubah. Benefit yang dihasilkan oleh sektor pertanian pada musim tanam I dan II di semua wilayah sama besarnya dengan hasil optimasi model dasar.

Tabel 26. Alokasi Air Intertemporal ke Sekor Non Pertanian Berdasarkan Model Dasar dan Skenario 1 sampai dengan 7 di Wilayah Tarum Barat

SEKTOR WILAYAH 1 2 3 4 5 6 7 Domestik Curug 41.58 45.74 45.74 41.58 41.58 41.58 38.76 45.74 Cibeet A - - - - Cibeet B 254.10 279.51 279.51 254.10 254.10 254.10 279.51 279.51 Cikarang A 5.78 6.35 6.35 5.78 5.78 5.78 6.35 6.35 Cikarang B 681.45 749.60 749.60 681.45 681.45 681.45 732.01 749.60 Bekasi A 446.99 491.68 491.68 446.99 446.99 446.99 491.68 491.68 Bekasi B 17.70 19.47 19.47 17.70 17.70 17.70 19.47 19.47 Industri Curug 781.82 781.82 820.91 781.82 781.82 781.82 820.91 820.91 Cibeet A 40.70 40.70 42.74 40.70 40.70 40.70 42.74 42.74 Cibeet B 675.68 675.68 709.46 675.68 675.68 675.68 709.46 709.46 Cikarang A 280.50 280.50 294.53 280.50 280.50 280.50 294.53 294.53 Cikarang B 538.81 538.81 565.75 538.81 538.81 538.81 565.75 565.75 Bekasi A 123.20 123.20 129.36 123.20 123.20 123.20 129.36 129.36 Bekasi B - - - - DASAR SKENARIO VOLUME (ribu m3)

Perubahan nilai variabel teknis dan harga air baku PAM DKI (skenario 6), merubah benefit semua sektor non pertanian yang besarannya berbeda dengan

173

hasil optimasi model dasar maupun skenario sebelumnya. Perubahan benefit ini bervariasi, untuk wilayah Curug, perubahan terjadi pada benefit sektor domestik yang mengalami penurunan dan sektor industri yang mengalami peningkatan jauh lebih besar dibandingkan hasil optimasi model dasar. Perubahan yang sama terjadi di Sub wilayah Cibeet A, yang tidak mengalami perubahan benefit pada kedua wilayah ini adalah benefit pertanian dimana besarannya sama dengan hasil optimasi model dasar. Sub wilayah Cibeet B sampai dengan sub wilayah Bekasi B, terjadi perubahan benefit sektor domestik dan industri dimana benefit kedua sektor ini mengalami peningkatan di semua wilayah tersebut.

Kombinasi perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi (skenario 7), merubah alokasi optimum ke semua sektor pengguna air. Perubahan ini tidak seiring untuk semua sektor di semua wilayah, namun sangat fluktuatif dengan arah perubahan yang berbeda. Alokasi air optimum ke sektor pertanian tidak mengalami perubahan pada musim tanam I di semua wilayah, sama halnya dengan skenario sebelumnya. Alokasi air ke sektor pertanian ini berbeda dengan alokasi pada sektor lainnya yang relatif stabil dari waktu ke waktu. Alokasi air ke sektor pertanian, mengikuti tahap pertumbuhan dimana setiap tahap pertumbuhan membutuhkan air yang berbeda, begitu juga dengan musim tanam setiap golongan tidak serentak melainkan bertahap dengan jarak satu periode (tengah bulan). Syarat agronomis dan musim tanam yang berbeda ini menyebabkan sektor pertanian selalu dikalahkan oleh sektor lainnya dimana kebutuhan per tengah bulanannya lebih stabil. Alokasi ke sektor pertanian mengalami perubahan pada musim tanam II, dimana wilayah yang mengalami perubahan adalah sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A. Perubahan alokasi sektor pertanian pada musim tanam II, berbeda dengan hasil optimasi model sebelumnya baik model dasar maupun model skenario 1-6. Alokasi air optimum ke Sub wilayah Cikarang B memilih sawah golongan I sebagai lahan optimum,

sedangkan lahan lainnya (golongan III dan IV) tidak dipilih. Berbeda alokasi air optimum di sub wilayah Bekasi A, model memilih seluruh sawah golongan I dan sebagian sawah golongan IV yang tersedia di sub wilayah tersebut.

Perubahan alokasi air optimum pada kedua wilayah tersebut menyebabkan perubahan benefit yang dihasilkan dimana benefit pada musim tanam II untuk sub wilayah Cikarang B lebih rendah dibandingkan dengan benefit pada model dasar, begitu juga dengan benefit yang diterima di Sub wilayah Bekasi A lebih tinggi dibandingkan dengan hasil opimai model dasar dan skenario sebelumnya. Perubahan benefit sektor pertanian selain disebabkan perubahan alokasi air optimum, juga akibat perubahan harga padi. Perubahan benefit hasil optimasi Model DIJ skenario 7, sama dengan hasil optimasi model sebelumnya (skenario 3,4 dan 5).

Perbedaan benefit sektor pertanian pada musim tanam II di Sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, terlihat hanya pengalihan air sektor pertanian di kedua wilayah tersebut, sedangkan untuk wilayah Curug sampai dengan sub wilayah Cikarang A tidak mengalami perubahan baik pada musim tanam I dan II. Hasil optimasi Model DIJ dasar sampai dengan skenario 7, menunjukkan bahwa sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A yang mengalami perubahan di sektor pertanian sedangkan sektor lainnya tidak berubah. Telah diuraikan sebelumnya bahwa berbagai perubahan nilai variabel yang dilakukan pada Model DIJ hanya merubah alokasi optimum sektor pertanian di Wilayah Cikarang B dan Bekasi A. Sedangkan di wilayah lainnya, perubahan nilai variabel hanya merubah alokasi air optimum pada sektor yang dirubah sedangkan alokasi optimum pada sektor lainnya tidak berubah.

Bila dicermati proporsi penggunaan air di wilayah Curug sampai dengan Cikarang A menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang mendominasi penggunaan air di wilayah ini. Sektor domestik dan industri

175

proporsi penggunaan airnya sangat kecil, sehingga perubahan yang dilakukan terhadap sektor domestik maupun sektor industri tidak merubah posisi optimum di wilayah tersebut. Kompetisi antar sektor tidak terlihat meskipun ketika musim kemarau, nilai sumberdaya air juga seolah diabaikan dan tidak mempengaruhi alokasi yang dihasilkan dari optimasi Model DIJ.

Kondisi optimum yang tidak menunjukkan dinamika perubahan nilai variabel pada sub wilayah Curug sampai dengan sub wilayah Cikarang A, menunjukkan bahwa bukan hanya variabel ekonomi ataupun teknis dan kombinasi keduanya yang mempengaruhi alokasi air, melainkan dominasi peggunaan air oleh sektor tertentu dengan perbedaan proporsi yang sangat jauh akan mengeliminasi kompetisi antar sektor (Gambar 29).

Berbeda dengan sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, sektor pertanian bukan merupakan sektor dominan dalam penggunaan air, sektor domestik yang berada di sub wilayah Cikarang B terdapat 3 perusahaan air terdiri dari 2 PDAM golongan kecil dan 1 golongan sedang, di sub wilayah Bekasi A terdapat 2 perusahaan terdiri dari golongan PDAM kecil dan sedang masing-masing 1 perusahaan, dan sub wilayah Bekasi B terdapat 2 PDAM dengan kategori PDAM sedang dan besar (Tabel 21). Sedangkan sektor industri terdapat 16 perusahaan di wilayah Cikarang B dan 3 perusahaan di wilayah Bekasi A (Tabel 22).

Perubahan yang terjadi di kedua wilayah tersebut menunjukan bahwa kompetisi antar sektor telah terjadi, dimana sektor pertanian dan sektor non pertanian memiliki proporsi penggunaan air yang hampir seimbang (Gambar 26). Kondisi aktual di kedua wilayah tersebut masuk dalam tahapan alokasi pada tahapan pengembangan Molden et.al. (2001), dimana air ditransfer dari pengguna yang memberikan nilai air rendah ke pengguna dengan nilai air yang lebih tinggi, selain itu, telah terjadi juga kelangkaan fisik serta konflik antar sektor pengguna (Tabel 12).

Kompetisi antar sektor terjadi biasanya saat musim kemarau dimana ketersediaan air terbatas, curah hujan menurun sehingga air yang berasal sumber setempat berkurang. Ketersediaan air yang cukup apalagi dalam jumlah yang melimpah (biasanya terjadi pada musim penghujan), mengurangi atau meniadakan kompetisi antar sektor pengguna air dan menurunkan nilai sumberdaya air atau dengan kata lain ketika tidak terjadi kelangkaan air sehingga tidak ada kompetisi antar sektor pengguna maka nilai sumberdaya tersebut tidak mempengaruhi kriteria dan mekanisme alokasi (Dinar et.al., 2000).

Model DIJ akan efektif digunakan manakala sumberdaya dalam kondisi langka dan memiliki nilai yang berarti, model akan memberikan solusi alokasi optimum yang mendatangkan benefit optimum baik bagi pengguna maupun pengelola. Model DIJ efektif digunakan ketika sumberdaya air sudah menjadi barang ekonomi yang memiliki harga akibat kelangkaannya. Keterbatasan Model DIJ yang hanya dapat menampung faktor ekonomi dengan kendala hidrolgi, tanpa memasukkan faktor lingkungan dapat menimbulkan masalah ketika air dialokasikan pada sektor pengguna yang menghasilkan limbah dan mencemari sumberdaya air itu sendiri.

Sektor industri merupakan sektor dengan benefit yang lebih besar dibandingkan kedua sektor lainnya, meskipun proporsi alokasi airnya lebih kecil namun pencemaran yang ditimbulkannya terhadap sumberdaya air di saluran pembuang (khususnya saluran CBL) cukup memprihatinkan, dimana limbah sektor ini dialirkan langsung ke saluran tersebut tanpa pengolahan terlebih dahulu. Pencemaran ini dapat dilihat langsung dimana kekeruhan air yang mengalir di saluran tersebut sangat pekat dengan bau yang menyengat, walaupun total air di saluran pembuangan dalam kuantitas yang lebih dari cukup tetapi karena kualitasnya menyebabkan air tersebut tidak dapat digunakan lagi (reuse). Sementara lahan irigasi di hilir saluran tersebut mengalami kekeringan

177

sedangkan air disaluran pembuangan ini tersedia dalam jumlah yang cukup namun dengan kualitas yang tidak memenuhi syarat untuk dimanfaatkan.

Model DIJ akan memberikan solusi masalah alokasi sumberdaya dengan tepat ketika proporsi pengunaan dan nilai sumberdaya air masing-masing sektor berimbang, dan sumberdaya dalam kondisi langka (Molden et.al., 2000). Model DIJ tidak mengakomodasikan pencemaran dan daya rusak air yang ditimbulkan akibat aktivitas dalam alokasi sumberdaya air secara eksplisit, namun secara implisit faktor tersebut diakomodasikan melalui pembobotan yang diberikan masing-masing sektor dalam penghitungan benefit sosialnya. Namun pembobotan ini belum seefektif bila dilakukan penghitungan biaya eksternalitas pencemaran. Kesulitan dalam penghitungan biaya tersebut, karena beragamnya industri yang ada di wilayah Tarum Barat, serta tidak adanya instansi atau lembaga yang mengontrol kualitas air di wilayah hilir terutama di saluran pembuangan.

Jika pengendalian kualitas air di saluran pembuangan ini dilakukan maka air tersebut dapat dimanfaatkan kembali oleh sektor pengguna yang ada di sekitar saluran tersebut, terutama sektor domestik. Penggunaan air dari saluran CBL ini dapat mengatasi kelangkaan air di wilayah Bekasi yang terkendala kapasitas saluran induk Tarum Barat. Perubahan sistem penyaluran air ke sektor domestik dari Bendung Bekasi ke saluran CBL dapat mengatasi kekeringan yang dialami sawah di Sub wilayah Bekasi A dan Cikarang B, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan nilai sumberdaya air tersebut, serta meningkatkan benefit sektor pengguna sekaligus meningkatkan benefit sosial wilayah ini.